PERANAN PERPOLISIAN MASYARAKAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MELALUI MEDIASI PENAL

(1)

Mahessa Raditya

ABSTRAK

PERANAN PERPOLISIAN MASYARAKAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

MELALUI MEDIASI PENAL

O l e h Mahessa Raditya

Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan jalur “penal” dan oleh karena itu harus ditunjang oleh jalur “non penal”. Salah satu jalur penal untuk mengatasi masalah-masalah sosial adalah melalui “kebijakan sosial” (social policy) yang termasuk dalam jalur “prevention without punishment. Melalui Perpolisian Masyarakat (Polmas), kepolisian berupaya melakukan suatu tindakan atau aktivitas dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat yang berkaitan dengan pencegahan terjadinya tindak pidana dan upaya menciptakan kemananan dan ketertiban tanpa penyelesaian ke meja hijau.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peran pihak kepolisian dalam melaksanakan perpolisian masyarakat dalam penyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal dan apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan perpolisian masyarakat dalam penyelesaian perkara tindak pidana tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, kemudian data primer diperoleh melalui studi lapangan dengan cara observasi dan wawancara yang kemudian analisa data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa peran pihak kepolisian dalam melaksanakan perpolisian masyarakat dalam pernyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal masih timbul kesan di mana aparat penegak hukum masih cukup kaku dalam pelaksanaannya. Upaya mediasi yang dilakukan adalah pertama, setelah menerima adanya laporan dari korban tindak pidana penganiayaan, kemudian pihak Kepolisian akan memanggil pelaku, serta mencoba menyelesaikan persoalan tersebut melalui penyelesaian alternatif. Kemudian pihak kepolisian menawarkan perdamaian kepada korban dengan memerintahkan pelaku untuk melakukan penggantian kerugian, pengembalian


(2)

Mahessa Raditya keseimbangan yang rusak karena perbuatannya, yang pilihannya disepakati oleh kedua belah pihak. Di samping, itu pihak Kepolisian juga dapat memanggil tokoh masyarakat setempat untuk menyaksikan dan turut sebagai mediator dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan melalui mediasi non penal dan juga sebagai saksi dalam menyelesaikan kasus secara kekeluargaan. Kemudian faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan perpolisian masyarakat dalam penyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal antara lain faktor hukum, faktor penegakan hukum, faktor sarana dan prasarana yang ada serta kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah, sehingga apabila terdapat hal-hal tertentu yang pada intinya memang akan mengancam keamanan masyarakat, bangsa dan negara sudah sewajarnya kepada penegak hukum diberi wewenang melakukan tindakan lain sehingga keamanan dan kenyamanan masyarakat yang dicita-citakan akan tercapai. Saran dalam penelitian ini yaitu menghadapi realita kejahatan yang terjadi saat ini di Indonesia dibutuhkan kebijakan dalam pencegahan kejahatan yang konseptual dan konsisten. Sehingga upaya yang dilakukan oleh Polri lebih responsif, akomodatif dan antisipatif dengan pengelolaan informasi/data yang terintegrasi dengan baik antara kepolisian dengan sistem peradilan pidana, di mana Polri berperan sebagai koordinator dalam upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan. Kemudian perlunya Polri meningkatkan program-program sosialisasi yang dilakukan petugas Polmas dan setiap petugas pada satuan-satuan fungsi guna meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan stabilitas Kamtibmas sehingga tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekerasan di dalam masyarakat kita seakan seperti drama tragedi yang tidak pernah berakhir. Ekses dari kekerasan beruntun semacam itu adalah trauma kolektif, yang membekas dan menorehkan luka di dalam mental serta kesadaran korban dan rakyat sebagai keseluruhan. Menapaki fenomena horor dan kekerasan semacam itu, apa sebenarnya yang terjadi di tengah bangsa ini, terutama ketika kita menyoroti fenomena negatif itu di dalam tingkat individu dan masyarakat, perubahan kesadaran individual ataupun kultural, sosial apa yang sedang terjadi, sehingga nilai-nilai individual, kultural, sosial, moral, dan spiritual seakan terkikis habis dalam arus kekerasan, brutalitas dan sadisme dan bagaimana peristiwa kekerasan tersebut dapat dimengerti sebagai suatu peristiwa psikologis, sosial, dan kultural.

Penegakan hukum menjadi kunci agar terjaganya norma-norma yang ada di masyarakat. Dengan penegakan hukum yang profesional dan proporsional akan dapat menciptakan rasa kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukumnya sendiri sehingga kepatuhan masyarakat terhadap hukum akan terwujud. Bila hal ini dapat dilakukan oleh semua warga masyarakat maka tidak akan pernah terjadi penyelesaian masalah yang terjadi di masyarakat diselesaikan dengan cara-cara yang melanggar hukum.


(4)

2 Kejahatan atau tindak pidana sebagai salah satu bentuk dan perilaku menyimpang, bukanlah merupakan sikap bawaan sejak lahir (hereditas) atau karena warisan biologis seseorang, tetapi kejahatan dapat timbul dari banyak sebab. Salah satunya adalah dampak negatif dan reformasi yang ditafsirkan secara keliru oleh masyarakat. Bentuk kejahatan yang banyak terjadi dewasa ini salah satunya adalah kejahatan dengan kekerasan (violence) atau penganiayaan. Kejahatan dengan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat mengesankan bahwa tidak ada lagi aturan atau perbuatan kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, dapat terjadi dalam beberapa contoh kasus di mana kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat seringkali dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang menangkap basah pelaku tindak pidana pencurian, perampokan dan sebagainya dengan jalan menganiaya pelaku sampai mati atau bahkan pelaku tersebut dibakar hidup-hidup.

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum pidana). Secara kasar dapatlah dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitik-beratkan pada sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas (Barda Nawawi Arief, 1996 : 48 - 49).

Penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian masalah di tengah masyarakat melalui jalur di luar pengadilan (yang


(5)

biasa dikenal dengan istilah ADR atau ”Alternative Dispute Resolution”; ada pula

yang menyebutnya “Apropriate Dispute Resolution”). ADR pada umumnya

digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.

Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah desa; musyawarah adat dan sebagainya). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.

Mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut :

a. Penanganan konflik (conflict handling/confliktbearbeitung) :

Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.

b. Berorientasi pada proses (process orientation/prozessorientierung):

Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dan sebagainya.


(6)

4 c. Proses informal (informal proceeding/informalität) :

Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokra-tis, menghindari prosedur hukum yang ketat.

d. Partisipasi aktif dan otonom para pihak (active and autonomous partici-pation- parteiautonomie/subjektivie-rung)

Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hu-kum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.

Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflic dan conflic of roles). Kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi kesenjangan peranan (role-distance) (Soerjono Soekanto, 1983 : 40).

Untuk mengatasi hal ini, menurut Satjipto Rahardjo (2004 : 84) pemecahannya dapat dibantu dengan menggunakan teori fungsi (functie theorie) yang dikemukakan oleh Herman Heller bahwa fungsi institusi negara adalah untuk melindungi masyarakat dan segala macam kepentingan yang bertentangan dengan hukum yang dapat menimbulkan ketidaktertiban. Untuk itu harus ada instansi yang mengatur dan sekaligus mempunyai fungsi atau wewenang agar tidak terjadi kekacauan. Dalam pengertian fungsi terkandung arti tugas, task atau werking yang meliputi lingkungan pekerjaan dan suatu institusi dalam hal mana ditetapkan tugas dan wewenang yang menjadi kompetensinya. Juga dalam pengertian fungsi terkadung pengertian hubungan timbal balik antara instansi atau aparatur yang ada kaitannya dengan tugas ketertiban tersebut.


(7)

Berdasarkan posisi yang dijelaskan di atas, tampak bahwa institusi negara atau lembaga pemerintahan (termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia), adalah sebagai instrumen masyarakat (the state in an instrument of social man). Jadi, teori ini mencoba menjawab bahwa setiap organisasi negara atau lembaga pemerintahan memiliki tugas dan wewenang yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang dan sekaligus dalam melaksanakan tugas/wewenang tersebut mempunyai hubungan timbal balik dengan institusi lainnya dalam mewujudkan ketertiban masyarakat (Harun Al Rasyid, 1999 : 12).

Sebagai salah satu aparat penegak hukum, kepolisian pada saat ini telah mengadopsi sebuah falsafah baru dalam kepolisian yaitu community policing sebagai model pemolisian baru melalui Polmas yang mendekatkan polisi kepada masyarakat yang dilayaninya (Satjipto Rahardjo, 2004 : 85). Hal tersebut tentunya akan membawa konsekuensi besar bagi polisi yaitu harus adanya perubahan perilaku dan tindakan-tindakan petugas kepolisian baik tingkat manajemen maupun tingkat operasional. Menurut Satjipto Rahardjo (2004 : 86), tujuan Perpolisian Masyarakat (Polmas) tersebut adalah untuk mencegah dan menangani kejahatan dengan cara mempelajari karateristik maupun permasalahan dalam lingkuangan tertentu, guna menciptakan kemitraan/kerjasama dengan masyarakat ada dua komponen yang harus dicapai yaitu kemitraan dengan masyarakat dan pemecahan masalah dengan langkah pertama ke arah terbantunya kepercayaan adalah adanya dua pihak yang sama-sama bersedia menjadi mitra. Setiap anggota polisi harus menyadari arti pentingnya bekerjasama dengan masyarakat dan keuntungan-keuntungannya serta langkah kedua memberi pemahaman kepada masyarakat tentang perlunya menciptakan kemitraan yang kuat dengan kepolisian.


(8)

6 Polmas pada dasarnya sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Siskamswakarsa yang dalam pengembangannya disesuaikan dengan ke-kini-an penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam masyarakat madani, sehingga tidak semata-mata merupakan pengadopsian dari konsep community policing. Sebagai suatu falsafah, Polmas mengandung makna sebagai suatu model perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusian dan menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Perpolisian sebagai konsep yang mengedepankan hubungan yang saling menghargai antara kepolisian dan masyarakat tersebut mengupayakan agar setiap terjadinya suatu permasalahan tertentu yang berkenaan dengan hukum di tengah masyarakat tidak diambil langkah-langkah melalui jalur hukum sehingga tidak ada masyarakat yang harus dijatuhi sanksi, sehingga diharapkan peran kepolisian dalam aktivitasnya menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat yang berkaitan dengan pencegahan terjadinya tindak kejahatan dan upaya menciptakan kemananan dan ketertiban.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Intelkam Polda Lampung, bahwa dari tahun 2006 hingga bulan September 2009 tindak pidana hampir terjadi di seluruh Polres jajaran Polda Lampung dan kemudian beberapa kasus yang terjadi diupayakan untuk dilakukan perdamaian melalui mediasi non penal. Adapun datanya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.


(9)

Tabel 1. Jumlah Kasus Pidana yang diselesaikan Melalui Jalur Mediasi Non Penal di Polres Jajaran Polda Lampung Tahun 2006 - 2009

No. Polres Jumlah Kasus

1. Polres Lampung Utara 7

2. Polres Lampung Timur 8

3. Polres Lampung Selatan 5 4. Polres Lampung Tengah 3 5. Poltabes Bandar Lampung 3

6. Polres Way Kanan 2

7. Polres Tanggamus 1

8. Polres Metro -

9. Polres Tulang Bawang -

10. Polres Lampung Barat -

Jumlah 29 kasus

Sumber : Direktorat Intelkam Polda Lampung, 2009

Berdasarkan data di atas tampak bahwa beberapa kasus yang telah ditangani oleh jajaran Kepolisian Daerah Lampung di seluruh wilayah Lampung adalah sebanyak 29 kasus. Langkah-langkah yang diupayakan terhadap kasus-kasus tersebut merupakan langkah kepolisian dalam mengedepankan Polmas sebagai sebuah filosofi, strategi operasional, dan organisasional yang mendukung terciptanya suatu kemitraan baru antara masyarakat dengan polisi dalam mencegah masalah dan tindakan-tindakan proaktif sebagai landasan terciptanya kemitraan serta menjaga ketertiban secara menyeluruh di tengah masyarakat.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai upaya mediasi penal dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang kemudian dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Peranan Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Melalui Mediasi Penal (Studi Polres Lampung Selatan)”.


(10)

8 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah diuraikan maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini antara lain :

a. Bagaimanakah peran pihak kepolisian dalam melaksanakan perpolisian masyarakat dalam pernyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal ?

b. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan perpolisian masyarakat dalam penyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal ? 2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah dalam kaitan ilmu hukum pidana khususnya mengenai peran pihak kepolisian dalam perpolisian masyarakat dalam penyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan perpolisian masyarakat dalam penyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi non penal.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui peran pihak kepolisian dalam menyelesaikan perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal.


(11)

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan perpolisian masyarakat dalam penyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengembangan Ilmu Hukum Pidana khususnya mengenai :

1) Peran pihak kepolisian dalam menyelesaikan perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal.

2) Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan perpolisian masyarakat dalam penyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal. b. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis penelitian skripsi ini adalah sebagai sumber informasi bagi masyarakat luas mengenai masalah penyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Menurut Soerjono Soekanto (1993 : 5), ada lima faktor yang mempengaruhi upaya pihak kepolisian dalam proses penegakan hukum. Lima faktor tersebut adalah : 1. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam tulisan ini dibatasi pada faktor

undang-undang-undang saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.


(12)

10 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Penggunaan kebijakan kriminal sebagai suatu cara penanggulangan kejahatan ini juga didukung oleh G. Peter Hoefnagels (1973 : 57) yang mempunyai beberapa pengertian tentang kebijakan kriminal, antara lain :

a. Criminal policy is the science of crime prevention.

b. Criminal policy is the rational organization of the social reactions to crime. c. Criminal policy is also manifest as science and as application.

Selain itu juga sebagaimana disebutkan oleh Hoefnagels bahwa (1973 : 99 - 100) : a. Criminal policy is a rational total of the responses to crime.

b. Criminal policy is a policy o fdesignating human behaviour as crime.

Maksudnya setiap ilmu mengenai penanggulangan kejahatan, suatu organisasi rasional mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan, dimanifestasikan dalam suatu ilmu dan aplikasinya serta respon secara total terhadap kejahatan dan kebijakan akan penentuan sikap tindak manusia sebagai suatu kejahatan, kesemuanya merupakan suatu politik kriminal. Berdasarkan pola berpikir demikian, Hoefnagels membuat skema terhadap kebijakan kriminal ini, yakni :


(13)

Gambar 2. Skema Criminal Policy

Adm of crim justice in narrow Sense

Criminal legislation Criminal jurisprudence Criminal process in wide Sense

Sentencing

Forensic psychiarty and psychology Forensic Social Work Crime, Sentence execution Police Statistic

Sumber : (Hoefnagels, 1969 : 56 dalam Barda Nawawi Arief, 2008 : 41)

Berdasarkan pada teori Hoefnagels (1973 : 56) dalam menanggulangi kejahatan dapat dianalisis melalui 3 bidang yakni :

a. Influencing views of society on crime and punishment (mass media)

b. Criminal law, application (practical criminology), yang terdiri atas : Administration of crime justice, In narrow sense : Criminal legislation, Criminal Jurisprudence, Criminal Process in wide sense (included : Juridical, Physical scientific, Social scientific), Forensic psychistry and psychology, Forensic social work, Crime, sentence execution and police statistic. Dikenal juga dengan upaya penal.

c. Prevention without punishment, yang dapat dilakukan melalui : social policy, community planning mental health, national mental health social work child welfare, administrative and civil law. Dikenal dengan sebagai upaya non penal.

Berdasarkan skema di atas diketahui bahwa pengetahuan mengenail kebijakan pidana (criminal policy) merupakan pengetahuan tentang pencegahan kejahatan yang juga

Criminal Policy

Influencing views society on crime and punishment

(mass media)

Criminal law application (practical criminology) Prevention without punishment Social Policy Community planning mental Nat. mental health, social work, chiled welfare Administrative and civil law


(14)

12 meliputi usaha pencarian jalan keluar dalam mempengaruhi manusia dan masyarakat dengan menggunakan hasil-hasil penelitian kriminologi. Pada dasarnya, kebijakan pidana tak lain dari organisasi rasional dari reaksi sosial terhadap kejahatan dan juga merupakan bagian kebijakan yang lebih luas dalam bidang penegakan hukum (the law enforcement policy).

Oleh karena itu, dapat dipahami apabila peraturan-peraturan adminsitratif menduduki tempat yang sama dalam skema pencegahan kejahatan, dan dalam hubungan ini pembagian Skema ke dalam ilmu pengetahuan mengikuti sifat sosial kriminologi. Kebijakan pidana terwujud baik sebagai pengetahuan maupun penerapan, sementara kebijakan penegakan hukum dan kebijakan legislatif dengan demikian merupakan suatu kebijakan sosial (social policy).

Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation”, yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan mediator atau orang yang menjadi penengah (Rahmadi Usman : 2003 : 79).

Kemudian Christopher W. Moore (Rahmadi Usman : 2003 : 80) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan.


(15)

Berdasarkan rumusan di atas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (non-intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa melalui media tersebut diperlukan seorang penengah yang dinamakan dengan mediator. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mediator adalah perantara (penghubung, penengah) bagi pihak-pihak yang bersengketa. (Rahmadi Usman : 2003 : 81).

Kemudian dalam menjalankan fungsinya tersebut, mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memberi putusan terhadap sengketa tersebut, melainkan hanya berfungsi untuk membantu dan menemukan solusi terhadap para pihak yang bersengketa tersebut.

Menurut Fuller (Rahmadi Usman : 2003 : 91 - 92) fungsi-fungsi pokok mediator menurut ada 7 (tujuh), yaitu :

1. Sebagai katalisator (catalyst), bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi dan bukan sebaliknya menyebabkan terjadinya salah pengertian dan polarisasi di antara para pihak.

2. Sebagai pendidik (educator), berarti mediator memahami kehendak aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis dan kendala usaha dari para pihak.

3. Sebagai penerjemah (translator), berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang enak didengar oleh pihak lainnya, tanpa mengurangi maksud atau sasaran yang hendak dicapai oleh pengusul.

4. Sebagai narasumber (resource person), berarti mediator harus mampu mendayagunakan atau melipatgandakan kemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia.

5. Sebagai penyandang berita jelek (bearer of bad news), berarti mediator harus menyadari para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional.


(16)

14 6. Sebagai agen realitas (agent of reality), berarti mediator harus berusaha memberi tahu atau memberi peringatan secara terus terang kepada 1 (satu) atau para pihak bahwa sasarannya tidak mungkin atau tidak masuk akal untuk dicapai melalui sebuah proses perundingan.

7. Sebagai “kambing hitam” (spacegoat), berarti mediator harus siap menjadi pihak yang dipersalahkan

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa pengalaman, kemampuan dan integritas dari pihak mediator tersebut diharapkan dapat mengefektifkan proses negosiasi di antara para pihak yang bersengketa. Selain itu mediator harus mampu mencari sumber konflik yang menjadi pokok pangkal persengketaan di antara para pihak, untuk kemudian menyusun dan merumuskan serta menyarankan pilihan pemecahan masalahnya yang pada akhirnya akan menjadi kesepakatan final para pihak dan bukan keputusan pihak mediator.

Pelaksanaan proses mediasi memerlukan beberapa syarat agar suatu proses mediasi dapat berfungsi dengan baik. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Adanya kekuatan tawar menawar yang seimbang antara para pihak. 2. Para pihak menaruh harapan terhadap hubungan di masa depan.

3. Terdapatnya banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran (trade offs).

4. Adanya urgensi untuk menyelesaikan secara cepat.

5. Tidak adanya rasa permusuhan yang mendalam atau yang telah berlangsung lama di antara para pihak.

6. Apabila para pihak mempunyai pendukung atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak dan dapat dikendalikan.

7. Membuat suatu preseden atau mempertahankan hak tidak lebih penting dibandingkan dengan penyelesaian sengketa yang cepat.

8. Jika para pihak berada dalam proses litigasi, maka kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, seperti pengacara atau penjamin tidak diberlakukan lebih baik dibandingkan dengan mediasi. (Rahmadi Usman : 2003 : 93).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa maka seorang mediator harus mampu mencari sumber konflik yang menjadi pokok pangkal persengketaan di antara para pihak, untuk kemudian menyusun dan merumuskan serta menyarankan pilihan


(17)

pemecahan masalah yang pada akhirnya akan menjadi kesepakatan final antara para pihak dan bukan merupakan keputusan yang berasal dari pihak mediator.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan dan pedoman dalam penelitian atau penulisan. Sumber konsep adalah undang-undang, buku/karya tulis, laporan penelitian, ensiklopedia, kamus dan fakta/peristiwa (Abdulkadir Muhammad : 2004, 78).

Adapun kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Perkara

Masalah, urusan, persoalan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka : 861). 2) Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan disertai ancaman (sanksi) dan menurut wujudnya atau sifatnya perbuatan-perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan-perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. (Moeljatno, 1993 : 56).

3) Perpolisian Masyarakat

Perpolisian masyarakat (Polmas) adalah sebuah filosofi, strategi operasional, dan organisasional yang mendukung terciptanya suatu kemitraan baru antara masyarakat dengan Polisi dalam mencegah masalah dan tindakan-tindakan


(18)

16 proaktif sebagai landasan terciptanya kemitraan (Chrysnanda Dwilaksana, Jakarta, 2004 : 15).

4) Mediasi

Mediasi adalah penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan mediator atau orang yang menjadi penengah (Rahmadi Usman, 2003 : 79).

5) Mediasi Penal

Mediasi penal merupakan suatu upaya atau tindakan dari mereka yang terlibat dalam perkara pidana (penegak hukum, pelaku dan korban) untuk menyelesaikan perkara pidana tersebut di luar prosedur yang formal/proses peradilan, baik pada tahap penyidikan, penuntutan dan peradilan (Tri Andrisman, 2010 : 60).

E. Sistematikan Penulisan

Sebagai upaya memudahkan dalam memahami isi penelitian, maka sistematika penulisan skripsi ini dibagi ke dalam V (lima) Bab secara berurutan dan saling berkaitan agar dapat memberikan gambaran secara utuh hasil penelitian dengan rincian sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang dari penulisan ini, yang berisi latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konsepsional serta sistematika penulisan.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan tinjauan pustaka mengenai pengertian tindak pidana dan, pengertian kebijakan mediasi non penal dalam penyelesaian perkara pidana, jenis-jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mediasi penal dan konsep perpolisian masyarakat dalam menyelesaikan perkara pidana melalui kebijakan penal.

III. METODE PENELITIAN

Berisikan tata cara atau langkah-langkah atau yang digunakan dalam rangka melakukan penelitian yaitu melalui pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampling penelitian, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisa data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan yang dibahas mengenai peran pihak kepolisian dalam melaksanakan perpolisian masyarakat dalam pernyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan perpolisian masyarakat dalam penyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan beserta saran-saran penulisan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas demi perbaikan di masa yang akan datang.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana

1. Pengertian Pidana

Literatur hukum pidana jarang sekali menjelaskan, bahwa istilah hukum pidana sebenarnya merupakan istilah yang mempunyai banyak pengertian. Tidak adanya penjelasan ini membawa konsekuensi sering adanya pemahaman yang kurang benar tentang apa yang dimaksud dengan istilah hukum pidana (Tongat, 2008 : 11).

Menurut Sudarto, hukum pidana berpangkal dari dua hal pokok, yaitu: 1. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

2. Pidana

Menurut Sudarto, dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu, dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau dapat disingkat perbuatan jahat. Oleh karena dalam “perbuatan jahat” ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang “perbuatan tertentu” itu diperinci menjadi dua, yaitu perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu. (Tongat, 2008 : 12).


(21)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. (Bambang Waluyo, 2004 : 6). Sementara yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuihi syarat-syarat tertentu itu, yang menurut Soedarto termasuk juga apa yang disebut tindakan disiplin (Tongat, 2008 : 12), sedangkan Roeslan Saleh menegaskan bahwa pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, pidana merupakan reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu. (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998 : 2)

Roeslan Saleh (1983 : 13) menjelaskan bahwa perbuatan yang oleh aturan hukum dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan perbuatan pidana juga disebut orang dengan delik. Pidana sendiri selalu mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :

a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998 : hlm. 4).

Sedangkan pemidanaan itu sendiri adalah hukuman, yang berarti dapat berupa hukum pidana dan hukum perdata. Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian dari


(22)

20 keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1. Perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa sanksi pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang disangka telah melanggar larangan tersebut. (Pipin Syarifin, 2000 : 13).

Pidana pada hakekatnya merupakan pengenaan penderitaan terhadap pembuat delik dimana pidana tersebut diharapkan mempunyai pengaruh terhadap orang yang dikenai pidana tersebut. Pidana ini baru dapat dirasakan secara nyata oleh terpidana ketika putusan hakim dilaksanakan secara efektif. Pemidanaan disini diharapkan agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi. Dengan adanya pemidanaan, maka tujuan pemidanaan baru dapat tercapai.

2. Pengertian Tindak Pidana

Menurut beberapa literatur dapat diketahui, bahwa istilah tindak pidana pada hakekatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain : tindak


(23)

pidana, delict, perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan disertai ancaman (sanksi) dan menurut wujudnya atau sifatnya perbuatan-perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil (Tongat, 2008 : 101). Perbuatan-perbuatan pidana yang diancam dengan sanksi pidana tersebut dapat dipaksakan untuk pelakunya oleh aparat penegak hukum dalam rangka menjaga ketertiban, keamanan serta norma-norma hukum pidana sendiri. Menurut Pompe, perkataan tindak pidana atau “straftbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau pun tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. (P.A.F. Lamintang, 1997 : 182).

Menurut Simmons “straftbaar feit” dapat diartikan sebagai kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifatm elawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sementara menurut Van Hamel, strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. (Tongat, 2008 : 102 - 103).

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pengertian pidana dan tindak pidana pada hakekatnya pidana merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan sedangkan tindak pidana adalah


(24)

22 suatu perbuatan yang dilakukan seseorang sengaja maupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan yang dilakukannya. B. Kebijakan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Perkara Pidana

Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu melalui jalur “penal” dan “non penal. Menurut Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of Society on crime and punishment/,ass media) (Barda Nawawi Arief, 2008 : 39 – 40).

Ketiga upaya penanggulangan kejahatan tersebut di atas itulah yang secara garis besar dibagi menjadi dua menjadi jaur penal yaitu melalui penerapan hukum pidana dan jalur non penal melalui pencegahan tanpa pidana dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui mass media.

Mediasi penal (penal mediation) merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa masalah-masalah pidana di luar pengadilan (atau dikenal dengan istilah ADR atau alternative dispute resolution). ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus perdata, tidak untuk kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus-kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian pidana di luar pengadilan.


(25)

Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga pemaafan yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga, musyawarah desa, musyawarah adat dan sebagainya).

Dengan demikian mediasi penal dapat diartikan sebagai suatu upaya atau tindakan dari mereka yang terlibat dalam perkara pidana (penegak hukum, pelaku dan korban) untuk menyelesaikan perkara pidana tersebut di luar prosedur yang formal/proses peradilan, baik pada tahap penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Praktek penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal (di luar pengadilan) selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat) namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana, menurut Prof. Detlev Frehsee (Barda Nawawi Arief, 2008 : 4), meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan bahwa perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-kembangkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan


(26)

24 global, maka upaya-upaya non penal menduduki kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.

Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan jalur “penal” dan oleh karena itu harus ditunjang oleh jalur “non penal”. Salah satu jalur non penal untuk mengatasi masalah-masalah sosial adalah melalui “kebijakan sosial” (social policy) yang termasuk dalam jalur “prevention without punishment” (Barda Nawawi Arief, 2008 : 44).

Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa atau terjadinya suatu perkara di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permufakatan yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah desa; musyawarah adat dsb.). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Menurut Barda Nawawi Arief (2006 : 12) mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut :

a. Penanganan konflik (Conflict Handling/Konfliktbearbeitung):

Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide,


(27)

bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.

b. Berorientasi pada proses (Process Orientation/Prozessorientierung):

Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dan sebagainya.

c. Proses informal (Informal Proceeding - Informalität):

Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokra-tis, menghindari prosedur hukum yang ketat.

d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Partici-pation - Parteiautonomie/Subjektivie-rung)

Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hu-kum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri. C. Jenis-jenis Tindak Pidana yang Dapat Diselesaikan Melalui Mediasi Penal

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa berdasarkan hukum positif di Indonesia, ADR hanya dimungkinkan dalam perkara perdata (Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa) bahwa untuk perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan, antara lain :

a. Dalam hal delik yang dilakukan berupa “pelanggaran yang hanya diancam dengan


(28)

26 pelanggaran itu hapus, apabila terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah “afkoop” atau “pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapusan tuntutan.

b. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1197 tentang Pengadilan Anak, batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina atau diserahkan ke Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi dibina oleh orang tua/wali/orang tua asuh (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Ketentuan di atas hanya memberi kemungkinan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namun belum merupakan mediasi non penal sebagaimana diuraikan di atas. Penyelesaian di luar pengadilan berdasar Pasal 82 KUHP di atas belum menggambarka secara tegas adanya kemungkinan penyelesaian damai atau mediasi antara pelaku dan korban (terutama dalam masalah pemberian ganti rugi atau kompensasi yang merupakan “sarana pengalihan/diversi” (mean of diversion) untuk dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. Walaupun Pasal 82 KUHP merupakan alasan penghapusan penuntutan, namun bukan karena telah adanya ganti rugi/kompensasi terhadap korban, namun hanya karena telah membayar denda maksimum yang diancamkan. Penyelesaian kasus pidana dengan memberi ganti rugi kepada korban, dimungkinkan dalam hal hakim akan menjatuhkan pidana bersyarat


(29)

(Pasal 14c KUHP). Perlu dicatat, bahwa ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP inipun masih tetap berorientasi pada kepentingan pelaku (offender oriented) dan bukan “victim oriented”.

Kemungkinan lain terlihat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 1993 untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (Pasal 1 ayat (7), Pasal 76 ayat (1), Pasal 89 ayat (4) dan Pasal 96). Namun tidak ada ketentuan secara tegas menyatakan bahwa semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM, karena menurut Pasal 86 ayat (4) Komnas HAM dapat juga memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan (sub c).

D. Konsep Perpolisian Masyarakat dalam Menyelesaikan Perkara Pidana Melalui Kebijakan Penal

Indonesia secara normatif-konstitusional adalah negara berdasarkan hukum, atau yang sering disebut sebagai negara hukum. Di tengah-tengah itu, polisi merupakan salah satu pilar yang penting, karena badan tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan janji-janji hukum menjadi kenyataan. Dapat dilihat bahwa pada era reformasi telah melahirkan paradigma baru dalam segenap tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ada dasarnya memuat koreksi terhadap tatanan lama dan penyempurnaan kearah tatanan indonesia baru yang lebih baik. Paradigma baru tersebut antara lain supermasi hukum, hak azasi manusia, demokrasi, transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan dalam praktek penyelenggara pemerintahan negara termasuk didalamnya penyelenggaraan fungsi Kepolisian.


(30)

28 Pengidentifikasian polisi sebagai birokrasi kontrol sosial memang memberi deskripsi mengenai polisi itu. Polisi seyogyanya kita lihat tidak hanya menjalankan kontrol sosial saja, melainkan juga memberi pelayanan dan interpretasi hukum secara konkrit, yaitu melalui tindakan-tindakannya. Dengan kontrol sosial, pelayanan dan agen interpretasi tersebut menjadi lebih lengkaplah bahwa polisi mewujudkan janji-janji hukum.

Sebelum konsep community policing diluncurkan terutama di negara-negara maju, penyelenggaraan tugas-tugas Kepolisian baik dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban maupun penegakan hukum, dilakukan secara konvensional. Polisi cenderung melihat dirinya semata-mata sebagai pemegang otoritas dan institusi Kepolisian dipandang semata-mata sebagai alat negara sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian. Walaupun prinsip-prinsip “melayani dan melindungi” (to serve and to protect) ditekankan, pendekatan-pendekatan yang birokratis, sentralistik, serba sama/seragam mewarnai penyajian layanan Kepolisian. Gaya perpolisian tersebut mendorong polisi untuk mendahulukan mandat dari pemerintah pusat dan mengabaikan persetujuan masyarakat lokal yang dilayani. Selain itu Polisi cenderung menumbuhkan sikap yang menampilkan dirinya sebagai sosok yang formal, dan ekslusif dari anggota masyarakat lainnya. Pada akhirnya semua itu berakibat pada memudarnya legitimasi Kepolisian di mata publik pada satu sisi, serta semain berkurangnya dukungan publik bagi pelaksanan tugas Kepolisian maupun buruknya citra polisi pada sisi lain.


(31)

Pada saat ini Polri telah mengadopsi sebuah falsafah baru dalam kepolisian yaitu community policing sebagai model pemolisian baru melalui Polmas yang mendekatkan polisi kepada masyarakat yang dilayaninya. Hal tersebut tentunya akan membawa konsekuensi besar bagi polisi yaitu harus adanya perubahan perilaku dan tindakan-tindakan petugas kepolisian baik tingkat manajemen maupun tingkat operasional (Satjipto Rahardjo, 2004 : 85).

Perubahan yang mendasar dari falsafah tersebut harus diawali dari adanya kecintaan dari anggota polisi akan tugas dan tanggung jawabnya. Gaya pemolisian sebagai suatu tindakan atau aktivitas kepolisian dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat yang berkaitan dengan pencegahan terjadinya tindak kejahatan dan upaya menciptakan kemananan dan ketertiban. (Chrysnanda Dwilaksana, 2004 : 95).

Tugas dan tanggung jawab apapun yang diberikan atau yang dipercayakan kepadanya harus menjadi suatu amanah dan harus dicintai dan ada rasa kebanggaan. Hal tersebut perlu diawali sejak adanya deskripsi dan analisa kerja yang jelas dan tertulis yang dibuat secara berjenjang dari tingkat yang terendah sampai tingkat yang tertinggi, secara terincisebagai penjabaran tugas. Adanya standarisasi keberhasilan tugas yang bervariasi antara satu tempat tugas dengan yang lainya. Untuk mengetahui keberhasilan dalam melaksanakan tugas perlu adanya penilaian kinerja yang obyektif, konsisten dan konsekuen.

Paradigma baru Polri tersebut menjadi kerangka dalam mewujudkan jati diri, profesionalisme dan modernisasi Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, berada dekat masyarakat dan membaur bersama masyarakat. Inilah


(32)

30 paradigma baru dikenal sebagai Community Policing, atau Polmas, Polmas adalah sebuah filosofi, strategi operasional, dan organisasional yang mendukung terciptanya suatu kemitraan baru antara masyarakat dengan Polisi dalam mencegah masalah dan tindakan-tindakan proaktif sebagai landasan terciptanya kemitraan.

Polmas pada dasarnya sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Siskamswakarsa yang dalam pengembangannya disesuaikan dengan ke-kini-an penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam masyarakat madani, sehingga tidak semata-mata merupakan pengadopsian dari konsep Community Policing. Sebagai suatu falsafah, polmas mengandung makna “suatu model perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusian dan menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat”.


(33)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan meode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu (Soerjono Soekanto, 1995 : 42).

Pengertian penelitian hukum dijelaskan oleh Soerjono Soekanto, merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Terhadap fakta hukum tersebut juga diadakan pemeriksaan yang mendalam, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 1995 : 43).

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan membahas permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris guna untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang benar dan objektif.


(34)

32 1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan, yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Pendekatan tersebut dimaksud untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang-undangan, teori-teori dan literatur-literatur yang erat hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris yaitu dengan meneliti dan mengumpulkan data primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian terhadap objek penelitian dengan cara observasi dan wawancara dengan responden atau narasumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Penelitian skripsi ini memerlukan data-data yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Adapun sumber data berasal dari data lapangan dan data kepustakaan, sedangkan jenis data yang digunakan adalah :

1. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini melalui studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, mempelajari dan menelaah literatur-literatur atau bahan-bahan yang ada.


(35)

Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu : 1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum bersifat mengikat. Untuk penulisan skripsi ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

3) Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris atau berupa Surat

Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan pemerintah maupun petikan berita dari majalah dan surat kabar/media cetak serta pendapat-pendapat para sarjana.


(36)

34 2. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara langsung pada objek penelitian yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara dengan responden petugas kepolisian dan tokoh masyarakat.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti. (Ronny Hanitijo, 1990 : 44). Adapun dalam penelitian ini yang menjadi populasi berasal dari pihak kepolisian dan masyarakat. Kemudian dalam penentuan sampel digunakan metode purposive sampling. Menurut metode purposive sampling adalah suatu metode pengambilan sampel yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penelitian (Irawan Soehartono, 1999 : 89).

Jadi anggota sampel diambil oleh peneliti sesuai dengan pertimbangan maksud dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka dalam penelitian ini responden yang diambil sebanyak 2 (tiga) orang dari Kepolisian Resort Lampung Selatan dan 2 (dua) orang tokoh masyarakat dengan rincian sebagai berikut :

1. Pihak Kepolisian Polres Lampung Selatan : 2 orang

2. Tokoh masyarakat : 2 orang

3. Masyarakat Pelaku Tindak Pidana : 2 orang


(37)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk melengkapi data guna pengujian hasil penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri dari :

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Merupakan prosedur pengumpulan data sekunder yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mengutip dan menelaah literatur-literatur maupun peraturan perundang-undangan, serta bahan hukum lainnya yang menunjang dan berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan (field research) dilakukan untuk mendapatkan data primer secara langsung pada objek penelitian yang dilakukan melalui cara sebagai berikut :

1) Observasi

Observasi adalah pengumpulan data secara langsung terhadap objek penelitian untuk memperoleh data yang benar dan objektif sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian.

2) Wawancara

Yaitu pengumpulan data dengan teknik purposive sampling dengan mengadakan wawancara secara langsung (interview) menggunakan daftar pertanyaan yang bersifat terbuka di mana wawancara tersebut dilakukan terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian yang dapat memberikan penjelasan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu pihak Kepolisian dan tokoh masyarakat.


(38)

36 2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya adalah pengolahan data, yaitu kegiatan merapikan dan menganalisa data tersebut, kegiatan ini meliputi kegiatan seleksi data dengan cara memeriksa data yang diperoleh melalui kelengkapannya. Klasifikasi atau pengelompokan data secara sistematis. Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan sebagai berikut :

1) Editing data, yaitu memeriksa atau meneliti data yang keliru, menambah serta melengkapi data yang kurang lengkap.

2) Klasifikasi data, yaitu penggolongan atau pengelompokan data menurut pokok bahasan yang telah ditentukan.

3) Sistematisasi data, yaitu penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis hingga memudahkan interpretasi data.

E. Analisis Data

Adapun guna dari analisis data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian. Dalam proses analisis data ini, rangkaian data yang telah tersusun secara sistematis menurut klasifikasinya kemudian diuraikan dan dianalisis secara kualitatif, yakni dengan memberikan pengertian terhadap data yang dimaksud menurut kenyataan yang diperoleh di lapangan, sehingga hal tersebut benar-benar dari pokok masalah yang ada dan disusun dalam bentuk kalimat ilmiah secara sistematis yang berupa jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.


(39)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Untuk memperoleh kesahihan penelitian dan gambaran objektif dari responden maka perlu dikemukakan terlebih dahulu identitas responden.

1. Nama : Adi Sumirat, SIK., M.H. Umur : 32 tahun

Pekerjaan : Polri/Kasatreskrim Polres Lampung Selatan Pangkat : Ajun Komisaris Polisi (AKP)

Alamat : Asrama Polres Lampung Selatan 2. Nama : Abdulloh

Umur : 40 tahun

Pekerjaan : Polri/Kanit Resum Polres Lampung Selatan Pangkat : Aipda

Alamat : Asrama Polres Lampung Selatan 3. Nama : Sugiyanto

Umur : 45 tahun

Pekerjaan : Kepala Desa Jatimulyo, Lampung Selatan Alamat : Desa Jatimulyo, Lampung Selatan


(40)

38 4. Nama : Irwansyah

Umur : 40 tahun

Pekerjaan : Tokoh Masyarakat/Wartawan Alamat : Kalianda, Lampung Selatan

B. Peran Pihak Kepolisian Dalam Melaksanakan Perpolisian Masyarakat dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Melalui Mediasi Penal

Berdasarkan hasil wawancara dengan Respoden Abdulloh selaku Kanit Resum Polres Lampung Selatan, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia secara resmi menerapkan model Polmas atau ”Perpolisian Masyarakat” yang merupakan perpaduan serasi antara konsep community policing yang diterapkan di beberapa negara luar dengan konsep Bimmas pada tanggal 13 Oktober 2005 dengan diterbitkannya Surat Keputusan Kapolri dengan Nomor : Skep/737/X/2005. Dengan terbitnya Skep tersebut secara resmi Kepolisian Negara Republik Indonesia menerapkan model community policing khas Indonesia dengan nama atau sebutan Polmas. Paradigma kepolisian sipil atau umum dikenal dengan perpolisian masyarakat (Polmas) yang dicanangkan Polri tersebut dalam implementasinya menuntut setiap personel Polri selalu berorientasi kepada pendekatan pelayanan, menghormati hak asasi manusia, serta membangun kerja sama yang harmonis dengan masyarakat. Kerja sama yang hamornis tersebut akan terwujud apabila reformasi kultural Polri terus diarahkan pada upaya merubah sikap dan perilaku setiap anggotanya serta menerapkan strategi baru yang mampu membangun kepercayaan masyarakat terhadap Polri.


(41)

Responden Abdulloh melanjutkan bahwa Polmas sebagai strategi baru yang ditetapkan Polri merupakan salah satu cara efektif untuk membangun kerja sama/kemitraan polisi dengan masyarakat dan sekaligus menjamin adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Melalui kemitraan tersebut akan memungkinkan masyarakat memahami tugas pokok dan peran polisi. Dengan demikian masyarakat akan menjadi mampu mengidentifikasi berbagai permasalahan sosial khususnya berkenaan dengan Kamtibmas dan pada akhirnya mau dan mampu bersama-sama dengan polisi mencegah dan sekaligus memberantas kejahatan.

Kemitraan polisi dengan masyarakat sangat ditentukan oleh kinerja dan tampilan operasional Polri, dalam hal ini sejalan dengan kebijakan dan strategi Polmas dengan ditetapkannya panduan pelaksanaan fungsi-fungsi operasional Polri. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi kepolisian tidak hanya berhasil dalam sudut pandang profesi tetapi juga mendapat legitimasi dari masyarakat yang dilayaninya. Legitimasi yang dimaksud adalah kepercayaan dan penerimaan masyarakat terhadap bangunan sistem kepolisian yang kondusif. Dalam pelaksanaan Polmas, Polri tidak dapat lagi menentukan kebijakannya sendiri dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Keabsahan dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian tidak hanya diperoleh/berdasarkan hukum formal dan undang-undang, tetapi juga diperoleh dari pihak-pihak terkait, pemilik dan sekaligus pengguna jasa kepolisian (stakeholder).

Lebih lanjut Responden Adi Sumirat selaku Kasatreskrim Polres Lampung Selatan menerangkan bahwa sebagai suatu falsafah, Polmas mengandung makna suatu model perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai


(42)

40 sosial/kemanusian dan menampilkan sikap santun dan saling mengahargai antara polisi dan warga dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi Kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, dapat dianalisis bahwa Kemitraan polisi dengan masyarakat sangat ditentukan oleh kinerja dan tampilan operasional Polri, dalam hal ini sejalan dengan kebijakan dan strategi Polmas dengan ditetapkannya panduan pelaksanaan fungsi-fungsi operasional Polri. Polmas sebagai strategi baru yang ditetapkan Polri merupakan salah satu cara efektif untuk membangun kerja sama/kemitraan polisi dengan masyarakat dan sekaligus menjamin adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Melalui kemitraan tersebut akan memungkinkan masyarakat memahami tugas pokok dan peran polisi.

Mengacu pada uraian di atas, menurut Responden Adi Sumirat, Polmas pada hakekatnya mengandung 2 (dua) unsur utama yaitu :

1) Membangun kemitraan antara Polisi dan masyarakat.

2) Menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat lokal. Selanjutnya, Adi Sumirat juga menjelaskan bahwa tujuan Polmas adalah sebagai berikut :

(1) Tujuan penerapan Pomas adalah terwujudnya kemitraan polisi dan masyarakat yang didasari kesadaran bersama dalam rangka menanggulangi permasalahan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat guna menciptakan rasa aman, tertib dan tenteram serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.


(43)

(2) Upaya menanggulangi permasalahan yang dapat mengganggu keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup rangkaian upaya pencegahan dengan melakukan identifikasi akar permasalahan, menganalisis, menetapkan prioritas tindakan, melakukan evaluasi dan evaluasi ulang atas efektifitas tindakan.

(3) Kemitraan polisi dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari perencanaan, pengawasan, pengendalian, analisis dan evaluasi atas pelaksanaannya. Kemitraan tersebut merupakan proses yang berkelanjutan. Responden Adi Sumirat melanjutkan bahwa sebagai suatu strategi, Perpolisian Masyarakat (Polmas) dibentuk dengan menekankan kemitraan yang sejajar antara petugas Polisi dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat setempat, dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat. Sebagai suatu falsafah, polmas mengandung makna “suatu model perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusian dan menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat”.

Sejalan dengan itu pada dasarnya penegakan hukum menjadi kunci agar terjaganya norma-norma yang ada di masyarakat. Dengan penegakan hukum yang profesional dan proporsional akan dapat menciptakan rasa kepercayaan masyarakat terhadap


(44)

42 aparat hukumnya sendiri sehingga kepatuhan masyarakat terhadap hukum akan terwujud. Bila hal ini dapat dilakukan oleh semua warga masyarakat maka tidak akan pernah terjadi penyelesaian massalah yang terjadi di masyarakat yang diselesaikan dengan cara-cara yang melanggar hukum. Sedangkan kunci dari penegakan hukum terletak kepada keberanian aparat penegak hukum yaitu polisi dalam menjalankan tugas pokok fungsi dan wewenangnya.

Dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 13 bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;


(45)

f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, Abdulloh selaku Kanit Resum Polres Lampung Selatan bahwa peranan polisi didasarkan pada amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa peran utama polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan amanat undangundang tersebut polisi seharusnya mempunyai hubungan


(46)

44 yang baik dengan masyarakat dalam rangka pengabdian diri kepada masyarakat. Akan tetapi, sampai saat ini masyarakat masih beranggapan bahwa polisi belum memberikan pengayoman seperti yang mereka harapkan.

Kemudian berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa peranan normatif telah dilaksanakan secara baik, yaitu dalam kaitannya dengan penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Namun peranan ideal di mana kemampuan polisi untuk menanggulangi kejahatan tersebut secara total, maupun menciptakan ketertiban dan keamanan secara kultural adalah tidak mungkin atau belum terlaksana. Dengan kata lain peranan polisi dalam konteks struktural yaitu bekerjanya lembaga dan apararatur negara sudah dilaksanakan, tetapi dalam kaitanya dengan masyarakat baik dalam bentuk keikutsertaan masyarakat atau partisipasi untuk mendayagunakan lembaga dan pranata belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara maksimal. Padahal, untuk mewujudkan peran polisi yang ideal sebagai pengayom masyarakat, dibutuhkan sebuah sinergi yang baik antara polisi dan masyarakat itu sendiri. Kedekatan institusi Polri melalui anggotanya dengan rakyat merupakan salah satu landasan sinergi untuk dapat mewujudkan polisi yang merakyat dan benar-benar dicintai masyarakat. Polisi harus membangun kembali kepercayaan masyarakat yang telah luntur tersebut melalui pembuktian peran utama polisi yang benar-benar mengabdi kepada masyarakat.

Peranan yang dilaksanakan tersebut masih terbatas pada peranan yang telah ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan saja, tetapi ketika peran tersebut diwujudkan, yang seharusnya bekerja sebagai sistem ternyata belum nampak. Hal ini disebabkan polisi dianggap satu-satunya yang dapat mewujudkan ketertiban atau keamanan masyarakat, baik keamanan secara batin maupun keamanan secara fisik.


(47)

Padahal untuk mewujudkan hal demikian tidak mutlak menjadi beban atau tanggung jawab polisi sendiri, melainkan unsur atau elemen lainnya harus ikut serta menciptakan ketertiban dan keamanan tersebut. Unsur atau elemen itu antara lain masyarakat sebagai pendukung hukum itu sendiri, kemudian unsur sarana dan prasarana dan kondisi atau situasi yang ikut serta berpengaruh dalam menjalankan/mengaktualkan peranan tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden Adi Sumirat, upaya pelaksanaan Polmas dalam penyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal mempunyai karakter sendiri. Faktor si pemegang peran (polisi) itu sendiri harus memiliki tidak hanya pengetahuan, tetapi juga pengalaman di lapangan (berhadapan dengan masyarakat) sangat menentukan dapat atau tidaknya peran tersebut dilaksanakan. Hal ini berarti polisi sebagai pemegang peran dan sekaligus pelaksana peran, tidak harus melaksanakan perannya, tetapi mampu melihat situasi/kondisi maupun peralatan pendukung agar peran tersebut dapat diwujudkan. Dalam kondisi seperti ini memang mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap polisi dalam menjalankan perannya, seperti penilaian peranan polisi baik atau sebaliknya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Adi Sumirat, beliau menyatakan bahwa kebijakan dan strategi polisi dalam upayanya untuk menanggulangi kejahatan kekerasan, secara umum dapat dilakukan melalui upaya penal maupun upaya non penal. Kebijakan penal dilakukan apabila pelaku secara individu dapat diketahui secara pasti bahwa ia melanggar hukum atau melakukan tindak pidana. Terhadap perbuatan dan perilaku demikian itu, maka akan dilakukan kebijakan penaggulangan secara penal. Kebijakan penal berarti proses peradilan mendudukkan polisi sebagai


(48)

46 penyidik, kemudian setelah selesai penyididkan akan dilmpahkan ke kejaksaan untuk didakwa sebagaimana hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian. Apabila peristiwa tersebut telah menjadi perkara, maka selanjutnya akan diperiksa di pengadilan negeri untuk diputuskan apakah pelaku dijatuhi hukuman atau dibebaskan. Jika dihukum berarti jaksa sebagai eksekutor akan menempatkan terpidana di lembaga pemasyarakatan sesuai dengan putusan yang dijatuhkan.

Selanjutnya Adi Sumirat menambahkan bahwa penanggulangan secara penal sebenarnya adalah penanggulangan secara simtonik saja, yaitu suatu upaya penanggulangan yang menghilangkan gejala saja tetapi tidak untuk menghilangkan sebab kejahatan tersebut. Oleh karena itu kebijakan dan strategi lain yang dilakukan oleh polisi dalam menanggulangi kejahatan dengan kekerasan adalah dilakukan baik secara penal maupun diikuti dengan penanggulangan secara non penal.

Kebijakan mediasi penal yaitu kebijakan penanggulangan kejahatan tanpa mengunakan atau melalui proses peradilan pidana (criminal justice system), seperti antara lain terhadap pelaku dilakukan perlakuan (treatment) dengan cara memberi pelatihan, pendidikan, atau melakukan program-program tertentu sebagai upaya mensejahterakan masyarakat, pemberian ganti rugi atau hukuman administrasi dan lain-lain.

Responden Abdulloh menilai bahwa kebijakan penal merupakan kebijakan untuk menanggulangi kejahatan secara integral, yaitu kebijakan yang tidak hanya dilakukan melalui penegakan pidana saja, tetapi juga dan aspek non pidana yaitu aspek ekonomi, aspek budaya (mengurangi kesenjangan sosial antara masyarakat), maupun aspek politis dan sosiologis (untuk menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan serta


(49)

solidaritas yang kuat dalam masyarakat) yang hal ini dilakukan pula sebagai bagian dari diskresi kepolisian.

Mekanisme penyelesaian secara alternatif ini dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian. Melalui cara ini pihak korban melaporkan tindak pidana yang terjadi kepada polisi, seperti dalam mekanisme sistem peradilan pidana. Namun kepolisian kemudian akan memanggil pelaku, serta mencoba menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara alternatif. Menawarkan perdamaian kepada korban dengan memerintahkan pelaku untuk melakukan penggantian kerugian, pengembalian keseimbangan yang rusak karena perbuatannya, yang pilihannya disepakati oleh kedua belah pihak. Tindakan Kepolisian dalam hal ini dimungkinkan oleh konsep kebijakan kepolisian atau police discretion.

Dalam praktik penegakan hukum pidana, police discretion sudah cukup dikenal luas. Hanya saja secara yuridis normatif belum ada pedoman bagi pihak Kepolisian untuk dalam kasus apa dan bagaimana menggunakan kewenangan tersebut. Ketiadaan pedoman inilah yang kemudian di dalam praktik menyebabkan sebagian anggota Kepolisian memanfaatkan kewenangan diskresi tersebut secara negatif, untuk mencari keuntungan pribadi secara materil. Praktik ini pada akhirnya merugikan para pihak, karena pelaku harus membayar mahal bagi penyelesaian perkara itu.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, selama tahun 2010 telah terjadi empat kali masalah sosial yaitu tindak pidana penganiayaan yang terjadi di tengah masyarakat yang diselesaikan melalui mediasi dari total 8 (delapan) kali terjadi tindak pidana penganiayaan yang kemudian difasilitasi oleh kepolisian dan tokoh masyarakat untuk diselesaikan melalui mediasi penal.


(50)

48 Salah satu contoh kasus yang terjadi yaitu pada tanggal 2 Juli 2010 telah terlaksana perdamaian secara kekeluargaan sehubungan terjadinya tindak pidana penganiayaan yang terjadi pada tanggal 12 Mei di Jatiagung, Lampung Selatan yang dilakukan oleh Sdr. Saipul Anwar warga Desa Jatimulyo Kecamatan Jatiagung Lampung Selatan terhadap Sdr. Nelson Arwan, warga Desa Way Kandis Tanjung Senang Bandar Lampung.

Kasus penganiayaan ini telah dilaporkan oleh Sdr. Nelson Arwan kepada Polres Lampung Selatan untuk dilakukan tindakan hukum terhadap penganiayaan terhadap dirinya oleh Sdr. Saipul Anwar. Kemudian selanjutnya berdasarkan adanya usaha mendamaikan kedua belah pihak oleh tokoh masyarakat yang didukung oleh Kasatreskrim Polres Lampung Selatan, disepakati untuk dilakukan penanganan kasus ini melalui jalur mediasi sehingga tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh Sdr. Saipul Anwar tidak berlanjut ke meja hijau.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Responden Adi Sumirat, selaku Kasatreskrim Polres Lampung Selatan upaya perdamaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak ini sangat didukung oleh pihak kepolisian. Hal ini sejalan dengan Rujukan Surat Kapolri No. Pol B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Alternative Dispute Resolution (ADR).

Salah satu isi Rujukan Surat Kapolri tersebut adalah banyak terjadi proses penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana dengan kerugian yang sangat kecil dan menjadi sorotan media massa di mana kesan masyarakat terhadap aparat penegak hukum terlalu kaku dalam penegakan yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut maka diminta kepada jajaran kepolisian untuk


(51)

mengupayakan penanganan kasus pidana dengan kerugian sangat kecil tersebut diselesaikan melalui konsep ADR. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR ini harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara. Namun apabila tidak ada kesepakatan, maka penyelesaiannya akan dilakukan melalui prosedur hukum yang berlaku secara proporsional dan profesional oleh pihak kepolisian.

Dalam pelaksanaan mediasi penal ini, menurut Responden Adi Sumirat, pihak kepolisian mengambil kebijakan untuk tidak melakukan tindakan secara hukum terhadap tindak pidana penganiayaan yang terjadi, dan melakukan penyelesaian secara alternatif. Mekanisme penyelesaian secara alternatif ini dapat dilakukan oleh aparat pihak Kepolisian. Upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian ini dilakukan melalui cara sebagai berikut :

1. Dalam hal ini pihak korban melaporkan tindak pidana yang terjadi kepada polisi, seperti dalam mekanisme sistem peradilan pidana.

2. Kepolisian kemudian akan memanggil pelaku, serta mencoba menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara alternatif. Menawarkan perdamaian kepada korban dengan memerintahkan pelaku untuk melakukan penggantian kerugian, pengembalian keseimbangan yang rusak karena perbuatannya, yang pilihannya disepakati oleh kedua belah pihak. Tindakan Kepolisian dalam hal ini dimungkinkan oleh konsep kebijakan kepolisian atau police discretion.

3. Pihak Kepolisian juga memanggil tokoh masyarakat setempat untuk menyaksikan dan turut sebagai mediator dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan melalui mediasi penal ini dan juga sebagai saksi dalam menyelesaikan kasus secara kekeluargaan.


(1)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah ... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 32

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 34

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 35

E. Analisa Data ... 36

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 37

B. Peran Pihak Kepolisian Dalam Melaksanakan Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Melalui Mediasi Penal ... 38

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Perpolisian Masyarakat dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Melalui Mediasi Penal ... 52

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 56


(2)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri, Buku Ajar Penyelesaian Sengketa Alternatif, Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila, Bandar Lampung, 2010

Arief, Barda Nawawi, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Semarang, 1996.

______, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta Interpratama Offset, Jakarta, 2008

Chrysnanda Dwilaksana, Perpolisian Komuniti (Community Policing) Dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban, dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Editor Parsudi Suparlan, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta, 2004.

Hoefnagels, G. Peter, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland,1973.

Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983.

Usman, Rahmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sumber Lain


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri, Buku Ajar Penyelesaian Sengketa Alternatif, Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila, Bandar Lampung, 2010

Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta Interpratama Offset, Jakarta, 2008 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Jonkers, Mr. J.E. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Syarifin, Pipin, Hukum Pidana di Indonesia, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2000. Rahardjo, Satjipto, Tentang Community Policing di Indonesia dalam Bunga Rampai

Ilmu Kepolisian Indonesia, Editor Parsudi Suparlan, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta, 2004.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 2

Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, PT. Aksara Baru, Jakarta, 1983.

Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983.

Usman, Rahmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2008.


(5)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Hanitijo, Ronny, Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990.

Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial, Alumni, Bandung, 1999. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1995.