FUNGSI VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(1)

PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

( Tesis )

Oleh :

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar MAGISTER HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

FUNGSI VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA Oleh

Komala Sari

Visum et repertum pada perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah memegang fungsi vital sebagai alat bukti dalam menyelesaikan perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan tesis ini yaitu fungsi dan kekuatan pembuktian visum et repertum bagi perkara kekerasan dalam rumah tangga dan perlunya visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan studi lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode seleksi data, klasifikasi data dan sistematisasi data.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa fungsi visum et repertum bagi perkara kekerasan dalam rumah tangga pada sistem peradilan pidana yaitu untuk membuktikan kebenaran faktual yang berkaitan dengan suatu peristiwa pidana sebagai pengganti corpus delicti. Kekuatan pembuktian visum et repertum bagi perkara kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai instrumen pelengkap dan mempunyai kekuatan hukum baik sebagai keterangan ahli maupun keterangan surat di dalam mencari kebenaran materil. Visum et repertum diperlukan dalam proses pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga mulai tahap penyidikan, penuntutan sampai pada persidangan di pengadilan.

Saran dalam penulisan tesis ini yaitu diperlukan upaya perlindungan yang maksimal dengan membuat sistem pelayanan satu atap bagi perlindungan terhadap perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sehingga wujud perlindungan dapat lebih dirasakan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.


(3)

Dewi, S.H., M.H., selaku Pembimbing II, yang telah memberikan saran, kritikan dan pemikirannya untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Penguji Utama, terima kasih atas saran dan masukan untuk kesempurnaan Tesis ini.

3. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., dan Bapak Dr. Yuswanto, S.H., M.H., selaku Penguji, terima kasih atas segala masukan, kritik serta saran dalam proses penyelesaian tesis ini.

4. Bapak/Ibu Dosen, Karyawan dan Staf Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.

5. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.Semua pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan motivasi dalam menyelesaikan Tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran yang konstruktif akan selalu terbuka untuk sebuah perbaikan.

Bandar Lampung, Desember 2013 Penulis,

Komala Sari NPM. 1222011067


(4)

Dewi, S.H., M.H., selaku Pembimbing II, yang telah memberikan saran, kritikan dan pemikirannya untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Penguji Utama, terima kasih atas saran dan masukan untuk kesempurnaan Tesis ini.

3. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., dan Bapak Dr. Yuswanto, S.H., M.H., selaku Penguji, terima kasih atas segala masukan, kritik serta saran dalam proses penyelesaian tesis ini.

4. Bapak/Ibu Dosen, Karyawan dan Staf Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.

5. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.Semua pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan motivasi dalam menyelesaikan Tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran yang konstruktif akan selalu terbuka untuk sebuah perbaikan.

Bandar Lampung, Desember 2013 Penulis,

Komala Sari NPM. 1222011067


(5)

Dewi, S.H., M.H., selaku Pembimbing II, yang telah memberikan saran, kritikan dan pemikirannya untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Penguji Utama, terima kasih atas saran dan masukan untuk kesempurnaan Tesis ini.

3. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., dan Bapak Dr. Yuswanto, S.H., M.H., selaku Penguji, terima kasih atas segala masukan, kritik serta saran dalam proses penyelesaian tesis ini.

4. Bapak/Ibu Dosen, Karyawan dan Staf Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.

5. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.Semua pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan motivasi dalam menyelesaikan Tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran yang konstruktif akan selalu terbuka untuk sebuah perbaikan.

Bandar Lampung, Desember 2013 Penulis,

Komala Sari NPM. 1222011067


(6)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10

D. Kerangka Pemikiran dan Konseptual ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana ... 17

B. Kedudukan Visum et Repertum sebagai Alat Bukti ... 21

C. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 34

D. Karakteristik Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 42

III. METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ... 46

B. Sumber dan Jenis Data ... 48

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 49


(7)

ii

A. Fungsi dan Kekuatan Pembuktian Visum et repertum pada Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Ditinjau dari KUHAP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

PKDRT ... 51 B. Perlunya Visum et repertum dalam Pembuktian Tindak Pidana

Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 80

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 87 B. Saran ... 88


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Ratifikasi suatu konvensi Internasional berarti aturan dan ketentuan-ketentuan dalam konvensi itu menjadi bagian dari hukum nasional. Hal tersebut berarti bahwa secara yuridis negara peserta berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Konvensi Perempuan serta rekomendasi Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (Cominite on the Elemmation of Discrimination Agamst Women-CEDAW). Bahkan pemerintah juga turut menandatangani deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang dikeluarkan PBB pada Tanggal 20 Desember 1993 sebagai wujud keinginan bangsa Indonesia berpartisipasi dalam usaha-usaha internasional menghapus segala bentuk diskriminasi perempuan.

Menurut Myra Diarsi, bahwa dalam konvensi CEDAW tersebut telah diidentifikasi tiga wilayah di mana kekerasan terhadap perempuan biasanya terjadi, yaitu:

1. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga termasuk pemukulan, penganiayaan seksual terhadap anak-anak perempuan, kekerasan yang berkaitan dengan mas kawin, pengrusakan alat kelamin perempuan dan kebiasaan tradisional lain yang membahayakan perempuan, kekerasan oleh


(9)

anggota keluarga atau pasangan dan kekerasan yang berkaitan dengan eksploitasi.

2. Kekerasan fisik, seksual, psikologis yang terjadi dalam masyarakat umum termasuk perkosaan, penganiayaan seksual, intimidasi di tempat kerja, lembaga pendidikan dan tempat-tempat lainnya, perdagangan perempuan dan prostitusi paksa.

3. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dibiarkan oleh negara dimanapun terjadi (violence by oinission).1

Dahulu suami merasa tindakan kekerasan (penganiayaan) terhadap istri adalah suatu hal yang biasa, artinya perbuatan tersebut bukan termasuk sebagai perbuatan tercela. Dengan kata lain, masyarakat umumnya bisa menerima jika suami melakukan kekerasan (menganiaya) istrinya jika terjadi perselisihan antara keduanya dalam kehidupan berkeluarga. Laki-laki memiliki otoritas terhadap perempuan karena disahkan oleh kultural, membuat laki-laki mempunyai hak atas subordinasi perempuan dan kepatuhannya.

Pengetahuan tentang tindak kekerasan di dalam rumah tangga khususnya terhadap perempuan juga masih amat terbatas, antara lain banyak bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang tidak diketahui (hidden crime). Kenyataan ini disebabkan perempuan sebagai korban (victim) kekerasan tersebut apalagi dalam lingkungan keluarga sangat merahasiakan, kemungkinan adanya rasa malu jika diketahui oleh pihak luar. Dalam hal ini kekerasan dalam rumah tangga diterima masyarakat lebih sebagai urusan domestik, urusan keluarga, urusan pribadi ketimbang sebagai tindak pidana. Sebagai akibatnya seringkali reaksi masyarakat terhadap tindak pidana jenis ini terlambat, yaitu pada saat korban sudah terluka bahkan sudah meninggal dunia.

1


(10)

Anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai urusan pribadi dan urusan keluarga juga membuat aparat hukum segan untuk campur tangan, sehingga terkesan hukum berhenti di depan pintu keadilan. Hukum lebih sering berperan sebagai pemadam kebakaran, atau jika memberi solusi keputusan justru salah, antara lain memberi nasehat agar istri kembali kepada suami atau anak kembali kepada orang tua.

Kekerasan dalam rumah tangga bersifat domestik, maka hal tersebut merupakan salah satu bentuk kekerasan yang jarang dilaporkan ke polisi. Rendahnya data dalam arsip polisi tidak berarti bahwa kekerasan tidak terjadi, tetapi lebih besar kemungkinannya karena korban tidak melapor. Korban mengalami hambatan psikologis yang sangat besar untuk melaporkan kejadian yang dialaminya kepada pihak lain dan atau pihak polisi. Selama itu, kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya dilakukan oleh orang yang semestinya bertindak sebagai pelindung korban, baik dalam hal suami menganiaya istri, orang tua menganiaya anak maupun pembantu.

Korban cenderung mendiamkan penganiayaan pertama yang dideritanya dengan harapan pelaku akan menyesal dan tidak mengulangi perbuatannya. Pada umumnya pelaku memang menyesal setelah menganiaya dan terlibat dalam

honeymoon sindrom atau sindroma bulan madu, yaitu memberi hadiah-hadiah setelah menganiaya. Tetapi alih-alih berhenti, si pelindung justru cenderung akan semakin sering menganiaya karena merasa aman dengan ketiadaan perlawanan dan korban sejak awal peristiwa itu terjadi.


(11)

Kekerasan terhadap perempuan (violence against women) selama ini dianggap sebagai perbuatan kekerasan di area pribadi antara keluarga, hal ini terjadi karena dalam masyarakat masih berkembang pandangan bahwa kekerasan itu bersifat pribadi (domestic violence) dan rahasia atau aib rumah tangga sehingga sangat tidak pantas diangkat ke permukaan atau diketahui pihak lain padahal segala tindak kekerasan terhadap rumah tangga menurut Deklarasi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan oleh PBB Tahun 1993 menyebutkan kekerasan domestik harus disebut kejahatan demikian juga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga) mengatur bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.

Fenomena penanganan kekerasan dalam rumah tangga oleh aparat penegak hukum terutama pada tahap penyidikan sampai pada tahap pembuktian di pengadilan, yang sering menjadi sorotan publik dikarenakan sifat dan karakter dari kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri yang bersifat tertutup, kurangnya alat bukti, bersifat delik aduan yang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh pelapor, ketakutan terbukanya aib keluarga, dan lain sebagainya.

Guna membuktikan terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam proses pemeriksaan di persidangan, maka diperlukan alat bukti yang sah. Alat-alat bukti yang sah yang dibenarkan oleh undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, yang terdiri dari:


(12)

1. Keterangan saksi. 2. Keterangan ahli. 3. Surat.

4. Petunjuk.

5. Keterangan terdakwa.

Visum et repertum adalah hasil pemeriksaan seorang dokter, tentang apa yang dilihatnya, apa yang diketemukannya, dan apa yang ia dengar, sehubungan dengan seseorang yang luka, seseorang yang terganggu kesehatannya, dan seseorang yang mati. Dari pemeriksaan tersebut diharapkan akan terungkap sebab-sebab terjadinya kesemuanya itu dalam kaitannya dengan kemungkinan telah terjadinya tindak pidana.2

Visum et repertum termasuk kedalam alat bukti surat dan sebagai pengganti alat bukti (corpus delicti). Visum et repertum merupakan surat yang dibuat atas sumpah jabatan, yaitu jabatan sebagai seorang dokter, sehingga surat tersebut mempunyai kekuatan otentik.

Sebagaimana dalam Pasal 184 Ayat (1) dan Pasal 187 KUHAP, maka visum et repertum dalam bingkai alat bukti yang sah menurut undang-undang, masuk dalam kategori alat bukti surat. Proses selanjutnya, visum et repertum dapat menjadi alat bukti petunjuk, yang diatur dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP, bahwa alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari:

1) Keterangan saksi. 2) Surat.

3) Keterangan terdakwa.

2

I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso. Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta. Bina Aksara. 2004. hlm. 125


(13)

Visum et repertum dapat dikatakan sebagai sarana utama dalam penyidikan perkara tindak pidana yang menyebabkan korban manusia, baik hidup maupun mati. Visum et repertum mempunyai daya bukti dalam suatu perkara pidana apabila kalau bunyi visum tersebut telah dibacakan di muka sidang pengadilan. Apabila tidak, maka visum tersebut tidak berarti apa pun. Hal ini karena visum dibuat dengan sumpah jabatannya. Visum merupakan tanda bukti, sedangkan korban yang diperiksa adalah bahan bukti. Nilai visum et repertum hanya merupakan keterangan saja bagi hakim, dan hakim tidak wajib mengikuti pendapat dokter yang membuat visum et repertum tersebut. Visum et repertum

merupakan alat bukti yang sah sepanjang visum et repertum tersebut memuat keterangan tentang apa yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksanya.

Pasal 21 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga secara jelas menentukan bahwa dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, terlihat bahwa visum et repertum dalam perkara kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga memegang peranan dan fungsi yang cukup penting. Hal ini mengandung arti jika perkara kekerasan dalam rumah tangga yang tidak dilengkapi dengan visum et repertum tidak akan ditindaklanjuti ke tahap penyidikan maupun penyelidikan oleh penyidik


(14)

kepolisian, dan sudah pasti perkara tersebut tidak sampai pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan demikian, terlihat bahwa khusus untuk perkara kekerasan dalam rumah tangga, maka saksi saja tidak cukup kuat untuk membuktikan telah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga tanpa disertai adanya visum itu sendiri.

Kekerasan dalam rumah tangga yang akan penulis bahas dalam penulisan tesis ini yaitu yang dilengkapi dengan visum et repertum sebagai alat bukti. Berdasarkan hasil prariset seperti perkara yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor: 770/Pid/B/Sus/2011/PN.TK, dimana terdakwa telah menganiaya setelah istrinya meminta uang untuk kebutuhan rumah tangganya. Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan kekerasan fisik yaitu dengan cara memukul, menjambak rambut, menyeret korban bahkan membenturkan kepala korban kepala ke tembok rumah, yang mengakibatkan bibir korban pecah dan mengeluarkan darah, terdakwa juga sempat menggigit punggung bagian kiri sambil memukul korban. Akhirnya, korban melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian Sektor Rajabasa dan oleh penyidik disuruh untuk melakukan visum ke Rumah Sakit Abdul Moeloek.

Hasil visum et repertum yang dikeluarkan rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Abdul Moeloek pada tanggal 30 April 2011 dengan No. 353/2190.A/IV/2011 oleh Dr. Rasyidah, hasil pemeriksaan luar sebagai berikut :

1. Pasien datang dalam keadaan sadar;

2. Pada pipi kiri lima setengah sentimeter dari garis tengah hidung, tiga sentimeter dari sudut mata kiri terdapat bercak kebiruan ukuran dua sentimeter kali setengah sentimeter;


(15)

3. Pada bibir atas sebelah kanan terdapat bercak kemerahan ukuran satu setengah sentimeter kali satu sentimeter disertai bengkak sekitarnya;

4. Pada dagu sebelah kiri tiga sentimeter dari garis tengah dagu terdapat bercak biru keunguan ukuran dua sentimeter kali satu setengah sentimeter;

5. Pada punggung kiri satu setengah sentimeter;

6. Pada punggung kiri satu setangah sentimeter dari garis pertengahan belakang tujuh setengah sentimeter dari puncak bahu terdapat bercak kemerahan ukuran empat sentimeter kali empat sentimeter;

7. Pada paha kanan sebelah dalam dua puluh sentimeter dari lutut kanan terdapat bercak kebiruan ukuran dua sentimeter kali satu setengah sentimeter;

Kesimpulan : Pasien datang dalam keadaan sadar, pasien mengalami luka akibat kekerasan tumpul, pasien tidak dirawat inap.3

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga bersifat pribadi (domestic violence) dan rahasia atau aib rumah tangga, sehingga tidak jarang dari kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dan diperkuat dengan alat bukti yang cukup, baik berupa keterangan dokter ahli berupa visum et repertum maupun saksi-saksi, tidak diselesaikan sampai ke meja hijau. Walaupun visum et repertum mempunyai kekuatan otentik sebagai alat bukti, akan tetapi faktor kekeluargaan, rasa malu dan perjanjian atau kesepakatan antara suami dan istri, lebih dominan dalam proses penyelesaian tindak pidana, sehingga perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga jarang diselesaikan sampai dengan proses penjatuhan pidana. Apabila dilihat dari kasus tindak pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor: 770/Pid/B/Sus/2011/PN.TK, maka terlihat bahwa atas dasar visum et repertum

yang dijadikan alat bukti dalam proses pemeriksaan terhadap terdakwa, sehingga

3


(16)

hakim berkeyakinan jika terdakwa dinyatakan bersalah dan melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk penulisan tesis dengan judul “Fungsi Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti dalam Proses Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dia atas, yang akan dibahas dalam tesis ini, adalah:

a. Bagaimanakah fungsi dan kekuatan pembuktian visum et repertum bagi perkara kekerasan dalam rumah tangga ditinjau dari KUHAP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

b. Mengapa visum et repertum perlu dalam pembuktian tindak kekerasan dalam rumah tangga?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka ruang lingkup materi penulisan tesis adalah berkenaan bidang hukum pidana, dengan bahasan terhadap fungsi dan kekuatan pembuktian visum et repertum bagi perkara kekerasan dalam rumah tangga ditinjau dari KUHAP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta perlunya


(17)

Selanjutnya, ruang lingkup tempat penelitian yaitu di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Mengetahui dan menganalisis fungsi dan kekuatan pembuktian visum et repertum bagi perkara kekerasan dalam rumah tangga ditinjau dari KUHAP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

b. Mengetahui dan menganalisis perlunya visum et repertum dalam pembuktian tindak kekerasan dalam rumah tangga.

2. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis

Kegunaan penelitian ini adalah untuk pengembangan disiplin ilmu Hukum Pidana, khususnya permasalahan yang berkaitan dengan pembuktian visum et repertum sebagai alat bukti dalam proses penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

b. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman), khususnya mengenai fungsi visum et repertum sebagai alat bukti dalam proses penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.


(18)

D. Kerangka Pemikiran dan Konseptual 1. Kerangka Pemikiran

Menurut Muladi, penegakan hukum (law enforcement) harus disertai kesadaran hukum agar hukum dapat ditegakkan dan tetap eksis di masyarakat. Teori penegakan hukum dari Joseph Goldstein memandang bahwa penegakan hukum pidana substantif (substantive law of crimes) dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: total enforcement, full enforcement, dan actual enforcement. Namun kenyataannya di lapangan terdapat pembatasan dalam hukum acara sehingga membatasi ruang gerak dimana tidak dapat dilakukan penegakkan hukum (area of no enforcement). Pada full enforcement ini juga digunakan diskresi oleh penegak hukum untuk memutuskan, melanjutkan atau tidak terhadap kasus tersebut. Sementara actual enforcement adalah ruang penegakan hukum yang sesungguhnya.4

Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita, bahwa hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Sumber-sumber hukum pembuktian adalah:

a. Undang-undang; b. Doktrin atau ajaran; c. Yurisprudensi.5

Martiman Projohamidjojo, mengemukakan bahwa untuk menilai kekuatan pembuktian terhadap alat-alat bukti, ada 4 (empat) sistem pembuktian yaitu : 1. Sistem pembuktian keyakinan belaka, menurut sistem ini hakim dianggap

cukup mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan hukum, hingga dengan sistem ini hakim dapat mencari dasar putusannya itu menurut perasaan semata-mata, hingga dengan demikian atas dasar perasaan itu dapat dipakai untuk menentukan apakah sesuatu keadaan dianggap telah terbukti atau tidak. Dalam sistem ini hakim tidak diwajibkan mengemukakan alasan-alasan hukum yang dipakai dasar putusannya namun demikian kalau hakim dalam putusannya itu dengan menyebut alat bukti yang dipakai, maka

4

Muladi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung. Alumni. 1995. hlm. 16

5

Hari Sasangka dan Lily Rosita. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Bandung. Mandar Maju. 2003. hlm. 10


(19)

hakim bebas menunjuk alat bukti itu, termasuk upaya pembuktian yang sekira sulit diterima dengan akal. Misalnya adanya kepercayaan terhadap seorang dukun setelah mengadakan upacara yang bersifat mistik dapat menetapkan siapa yang salah dan siapa yang tidak salah dalam suatu tindak pidana. Keberatan terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya terkandung suatu kepercayaan yang besar terhadap ketepatan kesan-kesan pribadi seorang hakim.

2. Sistem pembuktian menurut undang-undang yang positif (positief wettelijk), dalam sistem ini undang-undang menentukan alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim, cara bagaimana hakim dapat mempergunakannya, asal alat bukti itu telah dipakai secara yang ditentukan oleh undang-undang maka hakim harus dan berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang diperiksanya, walaupun barangkali hakim sendiri belum begitu yakin atas kebenaran putusan itu. Sebaliknya bila tidak dipenuhi persyaratan tentang cara-cara mempergunakan alat bukti itu sebagaimana ditetapkan undang-undang, maka hakim akan mengambil putusan yang sejajar artinya bahwa putusan itu harus berbunyi tentang sesuatu yang tidak dapat dibuktikan adanya, walaupun dalam hal ini mungkin hakim berkeyakinan atas hal tersebut. Misalnya ada dua orang saksi telah disumpah mengatakan kesalahan tersangka, meskipun kemungkinan hakim berkeyakinan bahwa terdakwa itu tidak melakukan pelanggaran hukum, maka hakim akan menjatuhkan putusan adanya kesalahan bagi terdakwa tersebut. Demikian pula sebaliknya andaikan dua orang saksi itu menyatakan tidak adanya kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa, maka walaupun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa melakukan pelanggaran hukum, maka hakim harus membebaskannya.

3. Sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif (negatief wettelijk), menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pada itu Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa :Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Atas dasar Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ini cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada tau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa menurut teori ini hakim baru boleh menyatakan seseorang bersalah jika telah dapat dipenuhinya syarat-syarat bukti menurut undang-undang, ditambah dengan keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Dengan demikian walaupun sudah cukup bukti yang


(20)

sah, tetapi jika hakim tidak yakin ataupun hakim telah yakin tetapi jika bukti yang sah belum cukup, maka hakim belum boleh menjatuhkan pidana atas diri terdakwa.

4. Sistem pembuktian bebas (vrije bewijstheorie), dalam teori ini ditentukan bahwa hakim di dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusan sama sekali tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti yang termaktub dalam undang-undang, melainkan hakim tersebut secara bebas diperkenankan memakai alat-alat bukti lain, asalkan semuanya itu berlandaskan alasan-alasan yang tetap menurut logika. Sistem ini di dalam ilmu pengetahuan juga dinamakan sebagai teori conviction raissonee. Jadi, menurut teori ini alat-alat dan cara pembuktian tidak ditentukan dalam undang-undang. Hal ini tidaklah berarti bahwa menurut teori tersebut tidak dikenal alat bukti dan cara pembuktiannya. Hanya semua itu tidak dipastikan dalam undang-undang sebagaimana teori-teori di atas. Oleh karena itu dalam menentukan macam dan banyaknya bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa, hakim sangat bebas dalam arti tidak terikat oleh suatu ketentuan.6

Dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/strafprocessrecht) pada khususnya, aspek “pembuktian” memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. Hakim di dalam menjatuhkan suatu putusan, tidak hanya dalam bentuk pemidanaan, tetapi dapat juga menjatuhkan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atau perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kemudian putusan lepas dari segala tuntutan hukum, akan dijatuhkan oleh hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa

6

Martiman Projohamidjojo. Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta. Pradnya Paramitha. 2010. hlm. 100-103


(21)

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.

KUHAP menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, dalam pemeriksaan atas terdakwa, hakim senantiasa berpedoman pada sistem pembuktian yang digariskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sistem negatif menurut undang-undang (Negatif Wettelijk).

Visum et repertum mempunyai daya bukti dalam suatu perkara pidana apabila kalau bunyi visum tersebut telah dibacakan dimuka sidang pengadilan. Apabila tidak, maka visum tersebut tidak berarti apa pun. Hal ini karena visum dibuat dengan sumpah jabatannya. Visum merupakan tanda bukti, sedangkan korban yang diperiksa adalah bahan bukti.

Nilai visum et repertum hanya merupakan keterangan saja bagi hakim, dan hakim tidak wajib mengikuti pendapat dokter yang membuat visum et repertum tersebut. Visum et repertum merupakan alat bukti yang sah sepanjang visum et repertum tersebut memuat keterangan tentang apa yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksanya.

Pendapat seorang ahli tidak selalu sama dengan ahli lainnya walaupun pendapat-pendapat ahli tersebut didasarkan pada data pemeriksaan yang sama. Maka wajarlah apabila hakim kadang kala menolak bagian pendapat dan kesimpulan dari seorang ahli yang ditulis dalam visum et repertum. Akan tetapi, seyogyanya hakim tidak menolak bagian yang memuat keterangan


(22)

segala apa yang dilihat dan didapat seorang dokter dalam melaksanakan tugasnya, yakni memeriksa dan meneliti barang bukti yang ada.

2. Konseptual

Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

a. Visum et repertum adalah hasil pemeriksaan seorang dokter, tentang apa yang dilihatnya, apa yang diketemukannya, dan apa yang ia dengar, sehubungan dengan seseorang yang luka, seseorang yang terganggu kesehatannya, dan seseorang yang mati.7

b. Alat bukti adalah segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan benar tidaknya tuduhan atau gugatan.8

c. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.9

d. Kekerasan menurut Pasal 89 KUHP adalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi. Dijelaskan lebih lanjut oleh R. Sugandhi mengenai kekerasan adalah menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani sekuat mungkin secara tidak sah. Melakukan kekerasan dalam hal ini dipersamakan dengan membuat orang pingsan dan tidak berdaya, dimana

7

I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso. Loc cit. hlm. 125.

8

Sumarsono. Kamus Hukum. Jakarta. Rineka Cipta. 2005. hlm. 50.

9


(23)

yang dimaksud pingsan adalah membuat orang hilang ingatan atau tak sadar akan dirinya.10

e. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.11

10

R. Sugandhi. KUHP dengan Penjelasannya. Surabaya. Usaha Nasional. 2009. hlm.40

11


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Sumber-sumber hukum pembuktian adalah:

a. Undang-Undang; b. Doktrin atau ajaran; c. Yurisprudensi.12

Dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/strafprocessrecht) pada khususnya, aspek “pembuktian” memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. Hakim di dalam menjatuhkan suatu putusan, tidak hanya dalam bentuk pemidanaan, tetapi dapat juga menjatuhkan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atau perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah

12


(25)

dan meyakinkan. Kemudian putusan lepas dari segala tuntutan hukum, akan dijatuhkan oleh hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.

Waluyadi, mengemukakan bahwa terdapat beberapa teori pembuktian dalam hukum acara, yaitu:

1. Conviction-inTime

Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, yakni dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.

Kelemahan sistem pembuktian conviction-in time adalah hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup. Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.

2. Conviction-Raisonee

Sistem conviction-raisonee pun, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, pada sistem ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian

conviction-in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan -alasan yang jelas. Hakim harus mendasarkan putusan-putusannya terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan (reasoning). Oleh karena itu putusan juga bedasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal (reasonable). Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijs bewijstheorie).


(26)

3. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke stelsel) Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Terpenuhinya syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.

Sistem pembuktian ini lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi diatas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasarkan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem ini disebut teori pembuktian formal (foemele bewijstheorie).

4. Pembuktian menurut undang-undang secara negative (negatief wettelijke stelsel)

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut.13

Terdakwa dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim, menurut M. Yahya Harahap, berdasarkan sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa, yaitu:

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;

13

Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung. Mandar Maju. 2004. hlm. 39


(27)

b. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.14

Sistem pembuktian yang dianut KUHAP ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative. Sistem pembuktian negative diperkuat oleh prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman15. Namun dalam praktik peradilannya, sistem pembuktian lebih mengarah pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Hal ini disebabkan aspek keyakinan pada Pasal 183 KUHAP tidak diterapkan secara limitatif.

Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Hal-hal yang secara umum sudah diketahui biasanya disebut notoire feiten (Pasal 184 Ayat (2) KUHAP). Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi 2 golongan yaitu:

a. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian hal yang benarnya atau semestinya demikian.

b. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian.16

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diartikan bahwa praktik pembuktian dalam proses peradilan yang diterapkan di Indonesia lebih cenderung pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, hal ini dikarenakan pada

14

M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Edisi Kedua. Jakarta. Sinar Grafika. 2008. hlm. 279

15

Romli Atmasasmita. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung. Mandar Maju. 1995. hlm. 106

16

Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung. Alumni. 2007. hlm. 199


(28)

proses pemeriksaan di persidangan, hakim sering berpedoman pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa.

B. Kedudukan Visum et Repertum sebagai Alat Bukti

KUHAP menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, dalam pemeriksaan atas terdakwa, hakim senantiasa berpedomanpada sistem pembuktian yang digariskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sistem Negatif menurut undang-undang (Negatif Wettelijk).

Alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, adalah:

1. Keterangan Saksi

Berdasarkan tata urutan alat-alat bukti dalam KUHAP tersebut, maka akan didengar atau menjadi saksi utama (kroon getugie) ialah saksi korban. Saksi korban ialah orang yang dirugikan akibat terjadi kejahatan atau pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, adalah wajar jika ia didengar sebagai saksi yang pertama-tama dan ia merupakan saksi utama atau “kroon getugie”. Akan

tetapi, dalam praktek tidak menutup kemungkinan saksi lain didengar keterangannya terlebih dahulu, misalnya jika pada sidang yang telah ditetapkan saksi korban tidak hadir, sesuai dengan asas pemeriksaan cepat.

Saksi ini diharapkan dalam proses acara pidana ialah saksi yang ia mendengar, ia mengalami, atau ia melihat dengan mata kepala sendiri, dan bukan saksi, yang ia mendengar atau memperoleh keterangan dari orang lain. Saksi terakhir ini disebut sebagai testimonium d’auditu.


(29)

Ruang lingkup pengertian saksi tidak hanya terbatas pada orang yang mendengar, mengalami dan melihat terjadinya peristiwa pidana, akan tetapi tersangka juga dapat dijadikan saksi. Hal ini dipertegas dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2010 tanggal 24 September 2010, bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Menurut pendapat Andi Hamzah, sesuai penjelasan KUHAP yang menyatakan: “Kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya maka kesaksian de auditu patut tidak dipakai di Indonesia”17

Syarat formil, menurut Pasal 160 Ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Penjelasan Pasal 161 Ayat (2) tersebut menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak.

Sumpah atau janji dapat dilakukan sebelum atau sesudah saksi memberikan keterangan di muka persidangan, kecuali dalam hal-hal tertentu. Syarat materiil, bahwa keterangan seorang saja tidak dapat dianggap sah sebagai alat

17


(30)

pembuktian (Unus Testis Nullum Testis). Akan tetapi keterangan seorang saksi, adalah cukup untuk membuktikan salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan.

Terhadap penilaian seorang saksi, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan:

a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lain b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umunya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu diberikan.

Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas:

a. Saksi A Charge (memberatkan terdakwa): saksi A Charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa

b. Saksi A De Charge (menguntungkan terdakwa): saksi A De Charge adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya meringankan terdakwa

2. Keterangan Ahli (Verklaringen Van Een Deskundige; Expert Testimony) Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 butir 28 KUHAP).


(31)

Sedangkan menurut Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli itu dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat mengingat sumpah di waktu menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim (penjelasan Pasal 186 KUHAP).

3. Surat

Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menterjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan. Adapun contoh-contoh dari alat bukti surat itu, adalah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh polisi, BAP Pengadilan, Berita Acara Penyitaan, Surat Perintah Penahanan, Surat Izin Penggeledahan, Surat Izin Penyitaan, dan lain-lainnya.

Aspek fundamental “surat” sebagai alat bukti diatur pada Pasal 184 Ayat (1) huruf c KUHAP. Kemudian secara substansial tentang bukti “surat” ini ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP yang berbunyi: “surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat


(32)

keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”

Andi Hamzah, berpendapat bahwa surat di bawah tangan masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.18

4. Petunjuk

Pasal 188 Ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk adalah sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antarasatu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Pasal 188 Ayat (2) KUHAP). Menurut Pasal 188 Ayat (3) KUHAP yang mengatakan bahwa

18Ibid


(33)

penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Disini tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan kepada hakim, dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut pengamatan oleh hakim (eigen waarneming van dde rechter) harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui oleh umum.

5. Keterangan Terdakwa

Dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat:

a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan. b. Mengaku ia bersalah.

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas pengertiannya dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi alat bukti sah. D. Simons, agak keberatan mengenai hal ini, karena hak kebebasan terdakwa


(34)

untuk mengaku atau menyangkal harus dihormati, oleh sebab itu suatu penyangkalan terhadap suatu perbuatan mengenai suatu kedaaan tidak dapat dijadikan bukti. Tetapi suatu hal yang jelas bebeda antara “keterangan terdakwa” (erkentenis) sebagai alat bukti dengan “pengakuan terdakwa” (bekentenis) ialah bahwa keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.

Istilah visum et repertum ini masih dipertahankan sampai sekarang biarpun telah ada keinginan untuk merubahnya ke bahasa Indonesia. Hal ini ternyata dalam naskah RUU Kedokteran Kehakiman yang dibuat oleh Projek Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman 1977/1978 dimana istilah visum diganti dengan surat bedah mayat lengkap sebagai pengganti istilah visum mayat sekarang.19

Dalam KUHAP Visum et repertum diatur dalam beberapa Pasal yaitu:

Pasal 133 Ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal penyelidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban, baik luka, keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”.

Pasal 133 Ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Permintaan keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat”

19

Amri Amir. Memasyarakatkan Ilmu Kedokteran Kehakiman. Bandung. Citra Aditya Bakti. 1999. hlm. 11


(35)

Pasal 134 Ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal sangat diperlukan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban”.

Pasal 134 Ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut”.

Pasal 135 KUHAP yang berbunyi : “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 Ayat (2) dan Pasal 134 Ayat (1) undang-undang ini”.

Dalam KUHP juga terdapat pengaturan yang berhubungan dengan visum et repertum yaitu Pasal 222 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghalang-halangi, merintangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau setinggi-tingginya Rp.4.500,-“

Pasal 216 Ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja tidak menurut perintah atau tuntutan. Yang dilakukan menurut peraturan undang-undang oleh pegawai negeri yang diwajibkan pengawasi pegawai negeri yang diwajibkan atau dikuasakan untuk menyelidiki atau memeriksa perbuatan yang dapat dihukum, demikian juga barang siapa dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang pegawai negeri itu, dalam menjalankan sesuatu peraturan undang-undang, dihukum penjara


(36)

selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda setinggi-tingginya Rp.9000.”.

Pasal 216 Ayat (2) KUHP yang berbunyi: “Yang disamakan dengan pegawai negeri yang dimasukkan dalam bahagian pertama dari Ayat di atas ini, ialah segala seorang yang menurut peraturan undang-undang selalu atau sementara diwajibkan menjalankan sesuatu pekerjaan umum”.

Alat-alat bukti yang sah yang dibenarkan oleh undang-undang dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, yang secara garis besar meliputi:

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Visum et repertum adalah hasil pemeriksaan seorang dokter, tentang apa yang dilihatnya, apa yang diketemukannya, dan apa yang ia dengar, sehubungan dengan seseorang yang luka, seseorang yang terganggu kesehatannya, dan seseorang yang mati. Dari pemeriksaan tersebut diharapkan akan terungkap sebab-sebab terjadinya kesemuanya itu dalam kaitannya dengan kemungkinan telah terjadinya tindak pidana.20

Aktivitas seorang dokter ahli kehakiman sebagaimana tersebut di atas, dilaksanakan berdasarkan permintaan dari pihak yang berkompeten dengan masalah tersebut. Visum et repertum termasuk kedalam alat bukti surat dan sebagai pengganti alat bukti (corpus delicti). Visum et repertum merupakan surat yang dibuat atas sumpah jabatan, yaitu jabatan sebagai seorang dokter, sehingga surat tersebut mempunyai keotentikan.21

20

I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso. Loc cit. hlm. 125

21


(37)

Sebagaimana dalam Pasal 184 Ayat (1) dan Pasal 187 KUHAP, maka visum et repertum dalam bingkai alat bukti yang sah menurut undang-undang, masuk dalam kategori alat bukti surat. Dalam proses selanjtnya, visum et repertum dapat menjadi alat bukti petunjuk, yang diatur dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP, bahwa alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari:

1) Keterangan saksi 2) Surat

3) Keterangan terdakwa

Proses awal visum et repertum yang selanjutnya disebut sebagai alat bukti surat yang untuk memperoleh visum et repertum tersebut berasal dari kesaksian dokter terhadap seorang menunjukkan bahwa di dalamnya telah terselip alat bukti berupa keterangan saksi.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan:

a. Untuk adanya visum et repertum harus ada terlebih dahulu keterangan saksi. b. Alat bukti surat sesungguhnya merupakan penjabaran dari visum et repertum. c. Dari alat bukti tersebut, dapat diperoleh alat bukti baru yaitu petunjuk. Dengan

demikian, antara keterangan saksi, visum et repertum, alat bukti surat dan petunjuk merupakan empat serangkai yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Pendapat seorang ahli tidak selalu sama dengan ahli lainnya walaupun pendapat-pendapat ahli tersebut didasarkan pada data pemeriksaan yang sama. Maka wajarlah apabila hakim kadang kala menolak bagian pendapat dan kesimpulan


(38)

dari seorang ahli yang ditulis dalam visum et repertum. Akan tetapi, seyogyanya hakim tidak menolak bagian yang memuat keterangan segala apa yang dilihat dan didapat seorang dokter dalam melaksanakan tugasnya, yakni memeriksa dan meneliti barang bukti yang ada.

Apabila saat pemeriksaan perkara di pengadilan terdapat keragu-raguan bagi hakim meskipun sudah ada visum et repertum, “selalu ada kemungkinan untuk

memanggil dokter pembuat visum et repertum itu ke muka sidang pengadilan untuk mempertanggungjawabkan pendapatnya”, dan dengan demikian ada bentuk dalam memberikan kesaksian ahli yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hakim juga dapat melakukan hal lain saat mengalami keragu-raguan yaitu memanggil dokter lain untuk memberikan pertimbangan dari hasil pemeriksaan dalam visum yang telah dibuat. Dan akhirnya hakim akan mengambil kesimpulan menurut pendapatnnya, yang mana yang akan dipakainya dalam memutuskan suatu perkara pidana.

Apabila hakim menerima hasil kesimpulan dokter dalam visum tersebut, maka dianggap sudah diambil alih kesimpulan atau pendapat dokter dan hakim akan menjatuhkan hukuman terhadap orang yang benar-benar bersalah dan membebaskan orang yang tidak bersalah.

Umumnya hakim tidak mungkin tidak sependapat dengan hasil pemeriksaan dokter pada bagian pemeriksaan karena dokter melukiskan keadaan yang sebenarnya dari apa yang dilihat dan didapatinya pada korban baik hidup maupun


(39)

mayat. Tetapi, hakim dapat tidak sependapat dengan dokter pada bagian kesimpulan karena kesimpulan ini ditarik berdasarkan pengamatan yang subjektif. Biarpun visum et repertum yang dibuat dokter telah lama memberi peranan yang menolong di sidang pengadilan, tetapi ada visum et repertum yang tidak membantu jalannya sidang karena tidak dibuat dengan teliti dan disampaikan dengan bahasa kedokteran yang tidak dapat dimengerti oleh pihak pengadilan, kesimpulannya tidak sesuai dengan bukti-bukti yang ada dan lain-lain.

Cara menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat dalam hukum acara pidana, yang dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP, yaitu:

1. Ditinjau dari segi formal

Dari sudut formal, alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b dan c adalah alat bukti yang “sempurna”. Sebab bentuk surat-surat yang disebut didalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Peninjauan dari segi formal ini dititikberatkan dari sudut “teoritis”. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai nilai “pembuktian formal yang sempurna” dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut:

a. Sudah benar,kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain; b. Semua pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan


(40)

c. Juga tidak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain;

d. Isi keterangan yang tertuang di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan terdakwa.

2. Ditinjau dari segi materil

Dari sudut materil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat mempergunakan atau menyingkirkannya. Dasar ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat tersebut, didasarkan pada beberapa asas, antara lain:

a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana

Asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materil atau “kebenaran sejati” (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal. Dengan asas ini, hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat. Walaupun dari segi formal alat bukti surat telah benar dan sempurna, namun kebenaran dan kesempurnaan formal itu, “dapat” disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran materil. Oleh karena itu, hakim bebas menilai kebenaran formal dalam rangka menjunjung tinggi kebenaran sejati.


(41)

b. Asas keyakinan hakim

Asas ini terdapat dalam Pasal 183, berhubungan erat dengan ajaran sistem pembuktian yang dianut KUHAP. Berdasarkan Pasal 183, KUHAP

menganut ajaran sistem pembuktian “menurut undang-undang secara

negative”. Berdasarkan sistem pembuktian menurut undang-undang secara

negative, hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahan terdakwa telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas keterbukaan itu hakim “yakin”, terdakwalah yang bersalah melakukannya.

c. Asas batas minimum pembuktian.

Walaupun dari segi formal, alat bukti surat resmi (autentik) berdasarkan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaan yang melekat pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukungnya untuk berdiri sendiri.

Bagaimanapun sifat kesempurnaan formal yang melekat pada dirinya, alat bukti surat tetap tidak cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Ia tetap memerlukan dukungan dari alat bukti lainnya. Sutomo Tjokronegoro menguraikan bahwa sesuai dengan arti yang terkandung didalamnya yakni, apa yang dilihat dan ditemukan, maka maksud Visum et repertum adalah memberi rencana (Visum et Refertumlag) yang sesungguhnya dan seobjektif-objektifnya tentang apa yang dilihat dan didapatnya pada waktu ia melakukan pemeriksaan rencana itu, yang mana hal tersebut bertujuan untuk:


(42)

1) Memberi kenyataan-kenyataan (feiten) kepada hakim yang memimpin pengadilan agar berdasarkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dengan jalan lain, serta berdasarkan hubungan sebab akibat (leer der causaliteit) dapat diambil keputusan yang tepat.

2) Memungkinkan ahli kedokteran lain yang dipanggil hakim untuk mempertimbangkan kesimpulan ahli kedokteran yang membuat Visum et repertum tersebut. Hal ini bisa terjadi bila hakim tidak setuju dengan kesimpulan pembuat Visum et repertum tersebut tidak hadir, sedangkan saat itu diperlukan keterangan lebih lanjut.22

C. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Beberapa Sarjana Hukum Pidana di Indonesia menggunakan istilah yang berbeda-beda menyebutkan kata “Pidana”, ada beberapa sarjana yang menyebutkan dengan tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik.23

Menurut Jonkers dalam Bambang Poernomo, tindak pidana adalah suatu kelakuan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang dan dapat dipertanggungjawabkan.24

Perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman. Peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana (hukuman).25

22

Sutomo Tjokronegoro. Beberapa Hal tentang Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta. Rineka Cipta. 2002. hlm. 45

23

Bambang Poernomo. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Ghalia Indonesia. 1997. hlm. 86

24

Ibid. hlm. 87

25


(43)

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan diajukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.26

Menurut D. Simons dalam C.S.T. Kansil, peristiwa pidana itu adalah “Een

Strafbaargestelde, Onrechtmatige, Met Schuld in Verband Staande handeling Van

een Toerekenungsvatbaar persoon”. Terjemahan bebasnya adalah perbuatan salah

dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.27

Menurut Simons dalam C.S.T. Kansil, mengemukakan unsur-unsur peristiwa pidana adalah:

a. Perbuatan manusia (handeling)

b. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)

c. Perbuatan itu diancam dengan pidana (Strafbaar gesteld) oleh Undang-undang d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab

(Toerekeningsvatbaar)

e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (Schuld) si pembuat.28

Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.

b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

26

Moeljatno. Op cit. hlm. 54

27

C.S.T. Kansil. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta. Pradnya Paramita. 2004. hlm. 37

28Ibid


(44)

c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.

d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu dicantumkan sanksinya.29

Berdasarkan pendapat para sarjana mengenai pengertian tindak pidana/peristiwa pidana dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana adalah harus ada sesuatu kelakuan (gedraging), kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang

(wettelijke omschrijving), kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak, kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku, dan kelakuan itu diancam dengan hukuman.

Di negara-negara yang memiliki Undang-Undang Kekerasan Domestik (dalam Rumah Tangga) atau kekerasan terhadap perempuan, definisi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada pengertian kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Deklarasi CEDAW 1993).

Pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 Deklarasi CEDAW tersebut menyatakan bahwa : “Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi”.

29


(45)

Kemudian Pasal 2 Deklarasi CEDAW menyatakan : “Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas kepada tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat umum, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan dan anak-anak, kekerasan dalam perkawinan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktik-praktik kekejaman transisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara dimanapun terjadinya”.

Dengan telah diundangkannya UU PKDRT Tanggal 23 September 2004 jelaslah menjadi ketentuan yang mengikat dan dambaan setiap orang dalam rumah tangga untuk dapat terlaksananya hak dan kewajiban dalam mewujudkan pembangunan keutuhan rumah tangga yang dijamin oleh suatu peraturan perundang-undangan.

Pada hakikatnya kejahatan dengan kekerasan (violent crimes) tidak hanya terbatas pada bentuk kejahatan yang melibatkan kekerasan fisik atau jasmani semata. Apabila disimak lebih lanjut, terminologi kekerasan ini dapat juga diterjemahkan sebagai bentuk perilaku yang menimbulkan penderitaan fisik maupun psikologis pada korban. Pengertian fisik maupun psikologis telah diakomodasi dalam Pasal 1 Ayat (1) UU PKDRT.


(46)

Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan : “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Menurut Pasal 2 UUKDRT, menentukan bahwa :

a. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi : 1) Suami, isteri dan anak

2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan atau

3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut

b. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf (c) dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Di dalam Pasal 5-Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dijelaskan mengenai lingkup kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut :

Pasal 5 UUPKDRT berbunyi : Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :


(47)

a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga.

Pasal 6 UUPKDRT berbunyi : “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (a) adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat”.

Pasal 7 UUPKDRT berbunyi : “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (b) adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang”.

Pasal 8 UUPKDRT berbunyi : “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (c) meliputi :

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu”.

Pasal 9 UUPKDRT berbunyi :

(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.


(48)

(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud Ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/ atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut di atas, terlihat bahwa lingkup kekerasan dalam rumah tangga dapat dilakukan oleh setiap orang yang berada dalam rumah tangga tersebut, dan tidak menutupkemungkinan di dalamnya yaitu laki-laki (suami), isteri, anak beserta orang lain yang tinggal dalam satu atap. Oleh karena itu permasalahan yang menyangkut kekerasan dalam rumah tangga dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 telah memiliki landasan hukum tersendiri dan karenanya bersifat lex specialis derogat lex generally.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa konsep kekerasan dalam rumah tangga (family violence) sebagaimana disebut di atas diadopsi dari konsep

domestic violence yang pada prinsipnya adalah penyalahgunaan kekuasaan seseorang untuk mengontrol pihak lain yang tersubordinasi yaitu pihak-pihak yang berada dalam posisi atau kedudukan yang tidak setara atau berada di bawah kekuasaan pihak lain sehingga menimbulkan rasa takut, hilang rasa percaya diri, hilang kemampuan untuk bertindak dan sebagainya. Di mana, tindakan tersebut dapat dilakukan oleh setiap orang yang berada dalam ruang lingkup rumah tangga. Adapun orang-orang yang terdapat dalam sebuah rumah tangga tersebut antara lain terdiri dari suami, istri, anak, orang tua, maupun orang lain yang tinggal dalam satu atap.


(49)

D. Karakteristik Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga

Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan perbuatan pidana, telah menjadi wacana yang menyita perhatian dan kepedulian banyak pihak, bukan saja disebabkan karena meningkatnya kasus tetapi intensitasnya sangat mengkhawatirkan dan telah menjadi fenomena gunung es (iceberg phenomenon) artinya bahwa kasus-kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga masih terselimuti kabut sehingga sangat sulit untuk mengungkap fakta yang sebenarnya untuk dijadikan alat bukti dalam suatu proses penyidikan. Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut sebagai hidden crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga ikut mengalami penderitaan.

Kesulitan mengungkap fakta dalam kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga bagaikan “api dalam sekam” dimana kasus terjadi dalam wilayah domestik/privat dan membakar keharmonisan suami isteri serta keluarga yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat serta menyerang Hak Azasi Manusia. Hal ini disebabkan oleh karena sifat dari perbuatan tindak kekerasan dalam rumah tangga mempunyai karakter cyclical violence yang pernah dikemukakan oleh Michael Victory dalam Fatahillah A. Syukur,dimana karakter ini terbagi dalam lima fase, yaitu :

1. Fase Permulaan (Build-Up Fhase). Dalam fase ini mulai ada ketegangan diantara pasangan, jika suami isteri tidak memiliki kemampuan mengatasinya maka ketegangan akan memuncak;


(50)

2. Fase Kekerasan (Stand-Over Phase). Disini laki-laki mulai menggunakan kekuatan yang dimiliki, baik secara fisik, psikologi dan ekonomi, untuk menguasai pasangannya.

3. Fase Penyesalan (Remorse Phase). Disini pelaku sering merasa bersalah atas perbuatannya atau takut terhadap ancaman hukuman pidana, sehingga mereka mulai mencoba menolak akibat serius perbuatannya

4. Fase Penebusan (Pursuit or Buy-Back Phase). Disini pelaku mulai mencoba menebus perbuatannya dengan memberi hadiah dan atau janji bahwa ia akan berubah dengan tujuan agar pasangannya tidak pergi meninggalkannya, bila gagal maka KDRT tetap berlanjut.

5. Fase Bulan Madu (Honeymoon Phase).30

Siklus ini akan terus berulang-ulang mengikuti fase-fase tersebut jika tidak dihentikan. Dan hal ini akan mengakibatkan korban kekerasan dalam rumah tangga takut melapor kepada yang berwajib atau penegak hukum tidak mampu melakukan penegakan hukumnya.

Masyarakat Indonesia masih menganggap tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan konflik intern keluarga yang berada dalam ranah hukum privat sehingga tidak dapat dicampuri oleh pihak luar keluarga atau ranah hukum publik. Menurut M. Munandar Sulaeman dan Siti Homzah bahwa perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga selalu diposisikan rentan mengalami tindak kekerasan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

1. Adanya kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-perempuan 2. Adanya kebergantungan ekonomi terhadap laki-laki

3. Takut melapor karena ancaman.

4. Petugas hukum dalam hal ini penyidik masih menggunakan KUHP semata-mata dan memiliki paradigma legalistic dalam menjerat kasus KDRT.

5. Hukum Acara Pidana yang belum memadaiuntuk menangani kasus KDRT secara komprehensif.31

30

Fatahillah A. Syukur. Mediasi Perkara KDRT (Teori dan Praktik di Pengadilan Indonesia. Bandung. CV. Mandar Maju. 2011. hlm. 1

31

M. Munandar Sulaeman dan Siti Homzah. Kekerasan Terhadap Perempuan (Tinjauan dalam Berbagai Disiplin Ilmu dan Kasus Kekerasan). Bandung. Revika Aditama. 2010. hlm. 64


(51)

Ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga ini sangat erat kaitannya dengan pihak-pihak pelaku maupun pihak-pihak para korban, dimana korban tersebut lebih banyak kepada pihak perempuan, disebabkan oleh kebudayaan. Dimana kaum pria lebih memegang kekuasaan dalam masyarakat, apalagi dalam rumah tangga yang menjadi kepala rumah tangga, pencari nafkah untuk keluarga, sehingga sang istri cenderung tunduk kepada suami sebagai suami, meskipun hak-haknya sebagai wanita ditindas, dalam hal fisik maupun psikis.

Rasa ketakutan wanita terhadap kekerasan juag lebih besar dari pada laki-laki, inilah yang menjadi kendala dalam masalah kekerasan dalam rumah tangga ini muncul kepermukaan terlebih lagi terselesaikan dengan benar, hambatannya masalah ini juga dikarenakan sang korban yang takut untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib sebagai alasan seperti :

1. Korban malu karena peristiwa ini mencemarkan dirinya, baik secara fisik, psikis maupun sosiologis.

2. Korban merasa perlu melindungi nama baik keluarganya, terutama karena pelaku berasal dari kalangan keluarga bersangkutan, atau dalam ruang lingkup rumah tangga itu.

3. Korban merasa proses pidana terhadap kasus ini belum tentu membuat pelaku dipidana.

4. Korban khawatir akan membalas dari pelaku tindak pidana kekerasan tersebut, terlebih pelaku merupakan orang yang dekat dengan korban dalam rumah tangga tersebut.

5. Lokasi pihak yang berwajib (polisi) yang berada jauh dari jangkauan tempat tinggalnya membuat enggan untuk melapor.32

32Ibid


(1)

50 teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara langsung pada lokasi dan obyek penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Tahap pengolahan data adalah sebagai berikut :

a. Seleksi data yaitu data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi data merupakan proses penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Sistematisasi data yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

D. Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data. Analisis dilakukan dengan cara analisis secara kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan secara umum yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus.


(2)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis uraikan pada Bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Fungsi dan kekuatan pembuktian visum et repertum bagi perkara kekerasan dalam rumah tangga ditinjau dari KUHAP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah merupakan suatu instrumen yang penting dalam sistem peradilan pidana untuk membuktikan kebenaran faktual yang berkaitan dengan suatu peristiwa pidana sebagai pengganti corpus delicti karena apa yang telah dilihat dan ditemukan dokter ahli secara objektif sebagai pengganti peristiwa atau keadaan yang terjadi dan pengganti bukti yang telah diperiksa menurut kenyataan berdasarkan pengetahuan dan keahlian fungsi visum et repertum dapat membuat sebuah kesimpulan yang tepat dan akurat. Kekuatan pembuktian

visum et repertum bagi perkara kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai

instrumen pelengkap dan mempunyai kekuatan hukum baik sebagai keterangan ahli maupun keterangan surat di dalam mencari kebenaran materil dari kasus tindak pidana.

2. Visum et repertum diperlukan dalam proses pembuktian tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga sudah terlihat sejak korban melaporkan peristiwa tindak pidana yang dialaminya kepada Penyidik Kepolisian. Melampirkan bukti visum et repertum di dalam suatu berkas perkara tindak


(3)

88 pidana kekerasan dalam rumah tangga pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh penyidik atau pada tahap pemeriksaan dalam proses penuntutan oleh penuntut umum, setelah dinyatakan cukup hasil pemeriksaan tersebut dari perkara yang didakwakan kepada terdakwa kemudian diajukan ke persidangan, maka visum et repertum merupakan alat bukti yang sah, seperti yang diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) Sub b dan Sub e KUHAP.

B. Saran

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan pada Bab sebelumnya, maka saran-saran yang dapat dikemukakan demi perbaikan di masa mendatang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Mengingat kekerasan perempuan dari tahun ke tahun semakin meningkat diperlukan upaya perlindungan yang maksimal dengan membuat sistem pelayanan satu atap bagi perlindungan terhadap perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sehingga wujud perlindungan dapat lebih dirasakan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga serta membebaskan segala biaya guna pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya dalam pembuatan visum et repertum melalui Rumah Sakit Daerah hingga Puskesmas di tingkat Desa.

2. Perlu ditingkatkan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat secara menyeluruh, mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga terkait pentingnya visum et

repertum untuk mengungkap dan menyelesaikan tindak pidana kekerasan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amir, Amri. 1999. Memasyarakatkan Ilmu Kedokteran Kehakiman. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung. Mandar Maju.

Daliyo, J.B. 2001. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Prenhalindo. Diarsi, Myra. 2001. Layanan yang Berpihak. Jakarta. Komnas Perempuan. Hamzah, Andi. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali. Edisi Kedua. Jakarta. Sinar Grafika.

Kansil, C.S.T. 2004. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta. Pradnya Paramita. Komaruddin. 2004. Enslikopedia Manajemen. PT Rajawali Pustaka Utama.

Jakarta.

Luhulima, Achie Sudiarti. 2000. Pemahaman Tentang Bentuk-Bentuk Kekerasan

Terhadap Perempuandan Alternatif Pemecahannya. Jakarta. PT. Alumni.

Moeljatno. 2005. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. Muladi. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung. Alumni.

Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan

Permasalahannya. Bandung. Alumni.

Murtika, I Ketut dan Djoko Prakoso. 2004. Dasar-dasar Ilmu Kedokteran

Kehakiman. Jakarta. Bina Aksara.


(5)

Prodjodikoro, Wirdjono. 1999. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Bandung. PT. Citra Aditya Bakti.

Projohamidjojo, Martiman. 2010. Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana. Jakarta. Pradnya Paramitha.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Bandung. Mandar Maju.

Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Cetakan Pertama. Jakarta. Ghalia Indonesia.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta. Rajawali Press.

Sugandhi, R. 2009. KUHP dengan Penjelasannya. Surabaya. Usaha Nasional. Sulaeman, M. Munandar dan Siti Homzah. 2010. Kekerasan Terhadap

Perempuan (Tinjauan dalam Berbagai Disiplin Ilmu dan Kasus

Kekerasan). Bandung. Revika Aditama.

Sumarsono. 2005. Kamus Hukum. Jakarta. Rineka Cipta.

Surayin. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PT Yarsif Watamfone. Bandung. Sutarto. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT Rineka Cipta. Jakarta. Syukur, Fatahillah A. 2011. Mediasi Perkara KDRT (Teori dan Praktik di

Pengadilan Indonesia. Bandung. CV. Mandar Maju.

Tjokronegoro, Sutomo. 2002. Beberapa Hal tentang Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta. Rineka Cipta.

Waluyadi. 2004. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa

dan Praktisi. Bandung. Mandar Maju.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


(6)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor: 770/Pid/B/Sus/ 2011/PN.TK.