ANALISIS WACANA KRITIS MODEL TEUN A. VAN

ANALISIS WACANA KRITIS MODEL TEUN A. VAN DIJK DALAM TEKS BERITA
ONLINE: FENOMENA LGBT DI INDONESIA
Disusun guna memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Kajian Wacana
Dosen pengampu Prof. Dr. Drs. Suhardi, M. Pd

OLEH
NURUL AINI
NIM. 16706251033

PROGRAM STUDI LINGUISTIK TERAPAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk saling berinteraksi
satu sama lain. Melalui bahasa manusia dapat menyampaikan ide, gagasan, pendapat dan lain
sebagainya kepada orang lain. definisi bahasa dewasa ini juga telah berkembang sesuai

fungsinya yakni bukan hanya sebagai alat komunikasi namun bahasa juga menjadi media
perantara dalam memberikan pengaruh terhadap orang lain. Dengan demikian bahasa
menjadi penting dalam kehidupan manusia baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai
proses untuk mempengaruhi pikiran dan tingkah laku orang lain.
Dalam pandangan linguistik struktural bahasa mencakup fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, dan wacana. Berdasarkan tingkatannya wacana merupakan hierarki tertinggi dan
terlengkap dalam bahasa. Menurut Halliday (1978: 2), bahasa bukan hanya terdiri atas
kalimat, melainkan juga terdiri atas teks dan wacana yang di dalamnya terdapat tukar
menukar maksud dalam konteks interpersonal antara satu dengan yang lain. konteks yang
dimaksud sangat dipengaruhi oleh konteks sosial budaya masyarakat. Sejalan dengan
pendapat Halliday, Guy Cook (dalam Sobur, 2009:56) mengatakan bahwa wacana meliputi
teks dan konteks. Teks merupakan semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang
tercetak di atas kertas, melainkan juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik,
gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks merupakan semua situasi dan hal yang
berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa,
situasi dimana teks diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan lain sebagainya. Berdasarkan
konsep yang dikemukakan wacana dapat dibentuk berdasarkan konteks tertentu. Wacana
dapat berada pada situasi dan kondisi tertentu.
Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi dengan tujuan untuk mempengaruhi
pikiran dan tingkah laku orang lain merupakan kajian linguistik kritis. Lingusitik kritis

sendiri merupakan ilmu yang bertujuan untuk mengungkap relasi-relasi kuasa tersembunyi
dengan proses-proses ideologis yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulisan (Crystal dalam
Fauzan, 2014: 3) Dengan demikian wacana yang dilihat tidak hanya melalui aspek bahasa
akan tetapi juga konteks yang relevan dengan bentuk-bentuk ketimpangan kekuasaan,
dominasi, dan ketidaksetaraan merupakan wacana kritis.

Pandangan terhadap linguistik kritis didasari oleh beberapa tokoh diantaranya adalah
Fowler, Fairclough, Van Dijk dan Wodak (Fauzan, 2014: 2). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
mereka menjelaskan keterkaitan antara komunikasi dan interaksi nyata yang diwarnai oleh
ketidateraturan, kesenjangan, ketidakadilan dalam gender, media, politik, ras, kekuasaan, dan
komunikasi lintas budaya. Dengan demikian menganalisis linguistik baik kata, frasa, kalimat
hingga teks yang diutarakan ataupun dituliskan oleh seorang tokoh dapat mengungkap
berbagai persoalan yang terjadi. Linguistik kritis sangat relevan untuk menganalisis
fenomena-fenomena yang terjadi. Analisis wacana kritis melihat bagaimana bahasa
digunakan untuk melihat ketimapangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
Pemanfaatan bahasa yang saat ini mendominasi media adalah penggunaan bahasa
dalam wacana politik dan isu-isu yang dengan cepat mendapat reaksi masyarakat. Salah
satunya adalah pemberitaan terkait bentuk penyimpangan seksual yang terjadi di masyarakat
yaitu kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transjender). Kasus zina dan LGBT
bukanlah kasus baru. Meski demikian kasus-kasus terkait perzinahan dan LGBT selalu

hangat di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara dengan penganut
agama Islam terbesar di dunia dan tindakan zina merupakan tindakan yang jelas-jelas
dilarang oleh Islam.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan untuk uji materi
terhadap pasal terkait kejahatan kesusilaan menuai pro dan kontra di tengah-tengah
masyarakat. Berbagai lapisan masyarakat dari pakar hukum tata negara, pakar kesehatan,
pemuka agama, dan organisasi-organisasi lain turut andil memberikan komentar terkait
fenomena LGBT. Pemberitaan yang mencuat dan ramai di media sosial adalah Putusan MK
melegalkan tindakan zina dan LGBT. Pemberitaan tersebut pada akhirnya baik secara
langsung dan tidak langsung membawa pengaruh besar kepada masyarakat sehingga
masyarakat dengan mudahnya melabeli MK pro terhadap LGBT.
Media yang turut serta melakukan pemberitaan terkait wacana putusan MK adalah
www.republika.co.id dan www.kompas.com. Dalam situs Pemberitaan putusan MK
memberikan dampak terhadap kelompok-kelompok LGBT dan juga berdampak terhadap
konsumen wacana tersebut.
Model analisis wacana kritis juga disampaikan oleh beberapa ahli salah satu
diantaranya adalah Teun A. Van Dijk. Wacana dalam pandangan Van Dijk memiliki tiga
dimensi yakni teks, kognisi sosial, dan konteks sosial (Fauzan, 2014: 11). Teks ataupun
struktur teks digunakan untuk melihat atau menjelaskan suatu tema tertentu. Kognisi sosial
digunakan untuk mengetahui bagaimana kognisi individu si pembuat wacana dan konteks


sosial mempelajari konstruksi wacana yang berkembang dalam masyarakat terhadap suatu isu
tertentu.
Oleh karena itu, pemberitaan putusan MK baik yang pro MK maupun yang kontra
menarik untuk dikaji secara kritis melihat efek pasca putusan MK membentuk berbagai
macam persepsi.
B.Rumusan masalah
Dari uraian latar belakang di atas rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana
penerapan analisis wacana kritis Van Dijk pada berita online berjudul tema “tolak uji materi
pasal kesusilaan, Sodik: MK tak pancasilais” dan “MK: Kami tidak melegalkan LGBT”!?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan model analisis wacana kritis Van
Dijk pada berita online berjudul tema “tolak uji materi pasal kesusilaan, Sodik: MK tak
pancasilais dan “MK: Kami tidak melegalkan LGBT”!”
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
pengetahuan terkait bagaimana menerapkan model analisis wacana kritis Van Dijk yang
dikenal dengan model kognisi sosial Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya dan
memperluas tema penelitian dalam bidang bahasa, khususnya analisis wacana kritis. Melalui
analisis wacana kritis pula diharapkan penelitian-penelitian mengenai bahasa dapat lebih aplikatif dan ramah terhadap situasi dan peristiwa sosial yang terjadi di masyarakat sehingga

dapat menjadi solusi dari permasalahan yang ada di masyarakat.
Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi kesadaran kritis kepada institusi media dan pembaca media untuk lebih awas dan kritis terhadap segala bentuk
pemberitaan yang disalurkan melalui bahasa oleh media.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Teoritis
1. Analisis Wacana Kritis Model Teun A. Van Dijk
Seperti telah dijabarkan dalam latar belakang di atas, analisis wacana kritis Teun A.
Van Dijk dikenal sebagai model kognisi sosial (Socio-Cognitive Approach/SCA). Van Dijk
adalah seorang sarjana di bidang linguistik, analisis wacana dan analisis wacana kritis.
Teun A. van Dijk adalah seorang profesor studi wacana di Universitas Amsterdam dari
tahun 1968 hingga 2004, dan sejak tahun 1999 ia telah mengajar di Pompeu Fabra
University, Barcelona.
Maqdum (2011) dalam tulisannya mengatakan Model van Dijk ini sering disebut
sebagai “kognisi sosial”. Nama pendekatan ini tidak dapat dilepaskan Dijk. Menurut Dijk
penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena
teks hanyalah hasil dari suatu praktek produksi yang harus juga diamati. Dalam hal ini
harus dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga diperoleh suatu pengetahuan
kenapa teks bisa semacam itu. Proses produksi teks melibatkan proses yang disebut

kognisi sosial yang diadopsi dalam ilmu psikologi sosial.
Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi
sosial, dan konteks sosial. Dijk menggabungkan tiga dimensi wacana tersebut ke dalam
suatu kesatuan analisis.
Dimensi pertama adalah teks di mana teks diteliti untuk menentukan tema tertentu
dan bagaimana struktur teks dapat menegaskan hal tersebut. pada dimensi pertama struktur
wacana terdiri atas tiga bangunan struktur yang membentuk satu kesatuan (Fauzan, 2014:
11) yaitu:
a. Struktur makro yakni yang menunjuk pada makna keseluruhan (global meaning)
yang dapat dicermati dari tema atau topik yang diangkat.
b. Super struktur yakni menunjuk pada kerangka wacana atau skematika
c. Struktur mikro menunjuk pada makna setempat (local meaning), wacana dapat
ditelaah melalui aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika. Aspek semantik
suatu wacana mencakup latar, rincian, maksud praanggapan, serta nominalisasi.
Aspek sintaksis suatu wacana berkenaan dengan bagaimana frasa dan atau
kalimat disusun untuk dikemukakan. Ini mencakup bentuk kalimat, koherensi,

serta pemilihan sejumlah kata ganti. Aspek stilistika suatu wacana berkenaan
dengan pilihan kata dan lagak gaya yang digunakan oleh pelaku wacana. Dalam
kaitan pemilihan kata ganti yang digunakan dalam suatu kalimat, aspek leksikon

ini berkaitan erat dengan aspek sintaksis. Aspek retorika suatu wacana menunjuk
pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan
penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Ini mencakup penampilan
grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang digunakan. Apabila
digambarkan lebih ringkas menjadi sebagaimana yang dituliskan Eriyanto (2001,
228-229) seperti berikut:

Dengan demikian analisis wacana kritis model Van Dijk dirasa cukup praktis untuk
mengkaji penggunaan bahasa melalui media.
2. Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transjender (LGBT)
Pengertian LGBT menurut wikipedia adalah LGBT atau GLBT adalah akronim dari
"lesbian, gay, biseksual, dan transgender". Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an
dan menggantikan frasa "komunitas gay" karena istilah ini lebih mewakili kelompokkelompok yang telah disebutkan. Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan
keanekaragaman "budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender". Kadang-

kadang istilah LGBT digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan
hanya homoseksual, biseksual, atau transgender.
Istilah LGBT banyak digunakan untuk penunjukan diri. Istilah ini juga diterapkan
oleh mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas seksualitas dan gender di
Amerika serikat dan beberapa negara berbahasa Inggris lainnya.

Tiga terminologi menyangkut seksualitas manusia yaitu identitas seksual, orientasi
seksual, dan perilaku seksual (Boelstroff, 2005: 282). Identitas seksual adalah pengakuan
individu atau diri sendiri atas penentuan peran diri. Identitas seksual seseorang terbagi
menjadi tiga golongan yaitu homoseksual, heteroseksual, dan biseksual. Perilaku seksual
adalah segala perilaku yang dilakukan karena adanya dorongan seksual. Perilaku seksual
berhubugan dengan fungsi organ reproduksi. Orientasi seksual adalah pola ketertarikan
seksual emosional, romantik, dan atau seksual terhadap lelaki, perempuan, keduanya, tidak
satupun, atau jenis kelamin lainnya.
LGBT tidak mengenal batasan usia, jenis kelamin, status sosial, pekerjaan maupun
agama. Fenomena LGBT selalu ramai diperbincangkan dan selalu menuai pro dan kontra
dikalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan kaum LGBT dianggap sebagai minoritas yang
memiliki penyimpangan orientasi seksual yang bertentangan dengan budaya dan agama di
Indonesia.
Semakin ramai diperbincangkan orang-orang yang terhimpun di dalam LGBT pun
semakin berusaha untuk menunjukkan eksistensi dan identitasnya di tengah masyarakat.
Kaum LGBT menyerukan bahwa mereka memiliki hak yang sama seperti individu lainnya
hanya saja mereka berbeda dalam pilihan orientasi seksual dan pilihan tersebut bukan
sebuah kejahatan seksual.
3. Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (disingkat MKRI) adalah lembaga tinggi

negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Wewenang dan kewajiban MK diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah
Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang
mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan
UUD 1945.
4. Sumber Data
Data dalam penelitian ini merupakan data yang berjenis teks berita dengan dua topik
yaitu: “tolak uji materi pasal kesusilaan, Sodik: MK tak pancasilais” yang merupakan
opini yang dikemukakan oleh wakil ketua komisi VIII DPR, Sodik Mudjahid yang
terdapat dalam Harian www.republika.co.id yang diterbitkan pada hari jumat 15
Desember 2017 pukul 04.00 WIB dan topik kedua adalah “MK: Kami tidak melegalkan

LGBT!” yang dilansir dalam www.kompas.com yang terbit pada tanggal 18 Desember
2017 . Pemberitaan dalam media elektronik dipilih karena sebagai teks tertulis yang sangat
mudah dikonsumsi masyarakat dari berbagai kalangan sehingga dinilai layak untuk
menjadi sumber data.
5. Metode
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan
pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian deskriptif
merupakan sebuah penelitian untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala
yang ada, yaitu keadaan menurut keadaan pada saat penelitian dilakukan (Arikunto, 2006:
54). Jadi, tujuan penelitian deskriptif adalah membuat penjelasan secara sistematis,
faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.
Metode yang digunakan untuk menganalisis wacana dalam teks berita adalah metode
analisis wacana kritis model Van Dijk yang dikenal dengan kognisi sosial.
6. Hasil dan Pembahasan
a. Dimensi Teks
Secara terperinci terdapat tiga poin yang dibahas dalam dimensi teks, yaitu; analisis
struktur makro, analisis super struktur dan analisis struktur mikro. Analisis dilakukan pada
seluruh teks berita yang disajikan. Hasil analisis teks berita dengan topik “Tolak Uji
Materi Pasal Kesusilaan, Sodik: MK tak Pancasilais” dan “MK: Kami tidak Melegalkan
LGBT!” dapat dilihat pada pembahasan ketiga poin berikut:


1) Struktur makro
Teks wacana pertama yang dilansir dalam situs www.republika.co.id
mengangkat topik “Tolak Uji Materi Pasal Kesusilaan, Sodik: Mk tak Pancasilais”.
Topik ini diangkat berkaitan dengan hasil putusan MK yang menolak uji materi
pasal kejahatan kesusilaan. Putusan tersebut menuai reaksi dari berbagai kalangan
masyarakat seperti akademisi, pakar kesehatan, agamawan, politisi dan lain
sebagainya. Salah satu yang berargumen terkait putusan MK adalah anggota DPR
dari fraksi Gerindra, Sodik Mudjahid. Topik tersebut merupakan opininya terkait
putusan MK yang menolak permohonan perluasan norma hukum pada pasal 284,
pasal 285, dan pasal 292 KUHP. Ketiga pasal ini merupakan pasal yang mengatur
delik kesusilaan. Pemohon memohon agar memperjelas delik kesusilaan yang diatur
dalam ketiga pasal ini. Setelah melalui proses yang panjang permohonan pemohon
ditolak dengan komposisi 5 berbanding 4. Menurutnya tindakan MK menolak
permohonan tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Hal ini dinyatakan dalam
paragraf berikut:
“Menurut Sodik, perluasan aturan ruang lingkup perzinahan memang
berbasis agama, namun diakomodasi dan mengacu oleh Pancasila.
"Karenanya (permohonan) harusnya diakomodasi oleh MK. (Karena
putusan tersebut) MK tidak pancasilais tapi sekuler," ujar Sodik kepada
wartawan melalui pesan singkatnya pada Kamis (14/12) malam.”
Kalimat di atas merupakan pernyataan yang dinyatakan Wakil Ketua Komisi
VIII, Sodik Mudjahid. Dia berpendapat bahwa hukum yang ada di Indonesia
bersumber dari agama. Namun agama bukan merupakan sumber hukum satusatunya.
Selanjutnya wacana kedua merupakan jawaban dari berbagai anggapan negatif
terhadap putusan MK yang disampaikan melalui siaran pers pada hari senin, 18
Desember 2017 sebagaimana berikut:
“Mahkamah Konstitusi menampik seluruh rumor yang menyatakan
lembaganya melegalkan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).”
"Tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan
Mahkamah yang menyebut istilah LGBT, apalagi dikatakan

melegalkannya," demikian lansir juru bicara MK dalam siaran pers yang
diterima wartawan, Senin (18/12/2017).
Dari kedua tema wacana dapat diketahui bahwa wacana pertama merupakan
wacana yang dibangun oleh orang-orang atau kelompok yang anti LGBT sedangkan
wacana kedua adalah klarifikasi MK atas tuduhan dari berbagai kelompok yang anti
LGBT. Ketika masyarakat yang membaca wacana pertama merupakan kelompok
masyarakat yang fanatik dalam beragama wacana pertama dapat memberikan
pengaruh. Label tak pancasilais yang disematkan merupakan label yang dapat
membuat masyarakat beranggapan bahwa MK tidak mengindahkan nilai-nilai
pancasila.
Namun dijelaskan dalam wacana kedua bahwa langkah yang ditempuh oleh
MK sudah berdasarkan konstitusi dan aturan yang ada sebagaimana dijelaskan
berikut
"Sesungguhnya seluruh hakim konstitusi mempunyai concern yang sama
terhadap fenomena yang dipaparkan pemohon. Hanya saja, lima hakim
berpendapat substansi permohonan yang dimaksud sudah menyangkut
perumusan delik atau tindak pidana baru yang mengubah secara
mendasar," ujarnya.
Yang mendasar itu adalah subjek yang dapat dipidana, perbuatan yang
dapat dipidana, sifat melawan hukum perbuatan tersebut, sanksi dan
ancaman pidana.
Dari wacana tersebut masyarakat bisa menilai bahwa MK bukan tidak tidak
sepakat terhadap permohonan pemohon namun ada aturan yang tidak boleh dilanggar
ketika MK melanggar maka sebenarnya MK menciderai hukum yang ada. Wacana ini
diharapkan dapat membuka perspektif baru bagi para pembaca berita yang telah
memandang buruk MK.
2) Super struktur
Super struktur dalam penelitian ini akan menganalisis terkait pendahuluan, isi,
penutup dan simpulan dalam wacana dari keseluruhan teks. Wacana pertama dibuka
dengan kekecewaan wakil ketua komisi VIII DPR, Sodik Mudjahid. Kekecewaan
tersebut dinyatakan melalui pesan singkat kepada wartawan pada hari kamis 14
Desember 2017.

“Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid menyayangkan putusan
Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruhnya permohonan uji materi
terkait perluasan pasal perzinahan, perkosaan dan pencabulan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ia menilai MK tidak
Pancasilais”
Paragraf pembuka dalam wacana telah menyatakan kekecewaan Sodik terkait
putusan MK yang menolak perluasan uji materi terkait pasal kesusilaan. Pada
paragraf ini Sodik melabeli MK sebagai lembaga yang tidak pancasilais.
Analisis super struktur terhadap isi. Bagian isi dalam teks ini berupa
pernyataan berikut:
“Sodik menilai perlu ada aturan untuk mengatur hubungan seksual di
luar pernikahan, hal ini karena Indonesia berdasarkan Pancasila. "Perlu
ada aturannya kerena salah satu missi dan semangat dasar Pancasila
adalah antara mempertahankan dan membina keetuhan keluarga
Indonesia," kata Sodik.
Anggota DPR dari Fraksi Gerindra itu juga menyesalkan MK yang juga
menolak uji materi tentang hubungan homoseksual. Dengan demikin juga
MK menilai hubungan tersebut legal. Hal ini pun kata Sodik, bertentangan
dengan nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.”
Inti dari teks berita ini telah tersurat dalam dua paragraf di atas, yakni;
pertama, menurutnya ada hukum yang dapat mengatur tindak kejahatan kesusilaan
dan lebih jauh lagi bisa digunakan untuk mengabulkan permohonan pemohon namun
realita di lapangan MK menolak hal tersebut sehingga terlihat jelas bentuk
kekecewaan Sodik Mudjahid dan menyimpulkan bagaimana MK menilai isu LGBT
dan dalam mengambil putusan terhadap kasus LGBT. Sodik menitikberatkan pada
nilai-nilai pancasila yang dapat digunakan untuk mengatur hubungan zina dan
LGBT. Perbedaan suara diantara hakim MK bukan persoalan sudut pandang
terhadap LGBTnya namun lebih pada perbedaan substansi perumusan perluasan
norma.
Namun pada wacana kedua pihak MK memiliki argumentasi terkait
perumusan perluasan pasal kesusilaan yakni:
“Hanya saja, lima hakim berpendapat substansi permohonan yang
dimaksud sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru
yang mengubah secara mendasar,"

Lebih lanjut substansi permohonan tersebut dijelaskan pada kalimat
selanjutnya
Yang mendasar itu adalah subjek yang dapat dipidana, perbuatan yang
dapat dipidana, sifat melawan hukum perbuatan tersebut, sanksi dan
ancaman pidana.
"Sehingga hal itu sesungguhnya wilayah ciminal policy yang
kewenangannya ada pada pembentuk UU (DPR dan presiden)," MK
menegaskan.
Dari sini dapat dilihat MK membantah bahwa MK pro atau bahkan melegalkan
LGBT di Indonesia. Alasan penolakan telah disampaikan secara jelas bahwa
perluasan tersebut diluar kewenangan MK. Dengan membaca kedua wacana di atas
masyarakat dapat membandingkan sebelum mengambil sikap untuk pro LGBT atau
anti LGBT.
Bagian penutup dari analisis super struktur merupakan jumlah hakim yang
menolak dan menerima permohonan perluasan delik kesusilaan. Perbedaan suara
dengan komposisi 5 banding 4 tentunya sangat disayangkan oleh kalangan yang
kontra terhadap adanya LGBT di Indonesia khususnya.
Adapun dalam menghasilkan putusan MK tersebut terjadi 'dissenting
opinion' atau perbedaan diantara hakim dengan komposisi 5 berbanding 4.
Lima hakim berpendapat bahwa wewenang untuk memperluas delik
kesusilaan bukan berada pada wilayah MK. Hal ini dijelaskan dalam kalimat berikut
Hanya saja, lima hakim berpendapat substansi permohonan yang
dimaksud sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru
yang mengubah secara mendasar," ujarnya.
Yang mendasar itu adalah subjek yang dapat dipidana, perbuatan yang
dapat dipidana, sifat melawan hukum perbuatan tersebut, sanksi dan
ancaman pidana.
"Sehingga hal itu sesungguhnya wilayah ciminal policy yang
kewenangannya ada pada pembentuk UU (DPR dan presiden)," MK
menegaskan.
Kemudian sebagai penutup MK menyampaikan bahwa MK bukan tutup mata
terkait LGBT namun untuk mengabulkan permohonan pemohon bukan ranah MK
untuk merubahnya seperti disampaikan berikut ini

"Kami concern terhadap fenomena sosial yang dikemukakan oleh
pemohon. Dalam putusan itu pun Mahkamah sudah menegaskan agar
langkah perbaikan perlu dibawa ke pembentuk undang-undang untuk
melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang delik kesusilaan tersebut,"
pungkasnya.
Dengan demikian dari analisis super struktur pada bagian pendahuluan, isi,
dan penutup wacana pertama melalui apa yang dituturkan oleh Sodik bertujuan
untuk mempengaruhi masyarakat untuk semakin anti terhadap LGBT dan memiliki
penilaian negatif terhadap MK. Masyarakat dapat menyimpulkan bahwa MK bekerja
tidak sesuai dengan nilai pancasila sebagai dasar negara sehingga MK patut
dicurigai berpihak pada LGBT yang sejak lama menginginkan pengakuan hukum di
Indonesia. Lebih jauh lagi MK yang merupakan lembaga yang memiliki kewajiban
untuk menegakkan hukum ketika MK sebagai lembaga hukum memihak kepada
kelompok-kelompok yang bersebrangan dengan budaya Indonesia maka hukum di
Indonesia patut dipertanyakan oleh masrayakat Indonesia.
Disisi lain menghadapi berbagai macam kecaman dari masyarakat akhirnya
MK mengambil tindakan untuk mengklarifikasi berbagai tuduhan. Oleh karena itu
MK mengambil langkah untuk melakukan siaran pers yang dimuat dalam
www.kompas.com. Melalui klarifikasi MK masyarakat memiliki pemahaman baru
bahwa dalam memutuskan suatu bentuk hukum terdapat aturan yang mrngikat MK.
3) Analisis struktur mikro
Analisis struktur mikro dalam skema analisis wacana kritis Van Dijk merujuk
pada makna lokal. Analisis ini dapat dilakukan melalui aspek semantik, sintaksis,
stilistika, dan retorika.
Aspek semantik
“Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid menyayangkan putusan
Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruhnya permohonan uji materi
terkait perluasan pasal perzinahan, perkosaan dan pencabulan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ia menilai MK tidak
Pancasilais”
Opini yang diluncurkan oleh wakil ketua komisis VIII DPR pada paragraf
pertama menjadi pembuka wacana ini. Kata “ia” merujuk pada Sodik sehingga pada

paragraf ini Sodik langsung memberikan penilaian pribadinya kepada MK dimana
menurutnya MK tidak menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
"Penolakan MK ini akan semakin memperkuat semangat kelompok
LGBT untuk meluaskan perilaku dan misinya di Bumi Pancasila
Indonesia," kata Sodik.
Pernyataan di atas dapat berdampak bagi para pembaca wacana, yakni wacana
tersebut dapat menimbulkan efek ketakutan bagi masyarakat Indonesia. Makna yang
dapat ditangkap oleh pembaca yakni LGBT sangat membahayakan karena membawa
misi tertentu di Indonesia yang dapat menghancurkan bangsa Indonesia. Kalimat di
atas memiliki makna bahwa tindakan MK yang menolak permohonan perluasan
delik kesusilaan merupakan tindakan yang keliru yang membuat LGBT merasa di
atas angin sehingga kelompok-kelompok ini dianggap akan bertindak secara leluasa
dan terorganisir di Indonesia. Padahal menurutnya hukum tersebut masih dapat
meminimalisir gerakan LGBT di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan
berikut
"Perlu ada aturannya kerena salah satu missi dan semangat dasar
Pancasila adalah antara mempertahankan dan membina keetuhan
keluarga Indonesia," kata Sodik.
Dari pernyataan di atas tentunya pembaca semakin membenarkan bahwa
aturan yang dikeluarkan MK dapat menjerat LGBT dan menyelamatkan Indonesia
sayangnya hal itu tidak dilakukan oleh MK.
Menyikapi hal di atas MK berpendapat bahwa isu LGBT bukan hanya menjadi
sorotan masyarakat melainkan juga pihak MK. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan
berikut
"Kami concern terhadap fenomena sosial yang dikemukakan oleh
pemohon.
Pernyataan tersebut dilanjutkan dengan bagaimana tindakan yang
seharusnya dilakukan untuk menanggapi fenomena tersebut sebagaimana
dipaparkan berikut ini
Dalam putusan itu pun Mahkamah sudah menegaskan agar langkah
perbaikan perlu dibawa ke pembentuk undang-undang untuk melengkapi
pasal-pasal yang mengatur tentang delik kesusilaan tersebut," pungkasnya.
Dalam membaca penutup wacana kedua ini diharapkan masyarakat dapat
lebih terbuka untuk membaca isu-isu LGBT di Indonesia. Wacana tersebut

bertujuan untuk menegaskan bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk
memperluas hukum dan masyarakat diminta untuk tidak segera menyimpulkan
sebelum mengetahui secara jelas permasalahan yang ada.
a) Aspek sintaksis
Analisis sintaksis adalah analisis yang berkaitan dengan
susunan dan penataan kalimat penutur. Susunan dan
penataan kalimat ini diramu sebaik mungkin dengan harapan
tujuan dan sasaran yang diinginkan dapat dicapai. Berikut
akan disajikan analisis dalam lingkup sintaksis pada kedua
wacana
Anggota DPR dari Fraksi Gerindra itu juga menyesalkan MK yang
juga menolak uji materi tentang hubungan homoseksual
“Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid menyayangkan putusan
Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruhnya permohonan uji materi
terkait perluasan pasal perzinahan, perkosaan dan pencabulan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ia menilai MK tidak
Pancasilais”
Kekecawaan anggota DPR ini tercermin melalui kata “menyesalkan” dan
ditegaskan dengan kata “menyayangkan” pada kalimat lainnya. Dari sini Sodik
ingin menegaskan bahwa dia tidak sepakat dengan putusan MK yang dinilai
pro terhadap LGBT. Ketidaksepakatannya kembali ditekankan kembali melalui
kata “harusnya” pada paragraf di bawah ini.
"Karenanya (permohonan) harusnya diakomodasi oleh MK. (Karena
putusan tersebut) MK tidak pancasilais tapi sekuler," ujar Sodik kepada
wartawan melalui pesan singkatnya pada Kamis (14/12) malam.”
Kekecewaan tersebut bukan tanpa alasan. Pada kalimat lainnya dia
menjelaskan kembali bahwa putusan MK akan berdampak negatif bagi
mayoritas masyarakat Indonesia dan memberikan angin segar bagi kaum
LGBT. Hal itu ditunjukkan dengan kata “memperkuat” seperti di bawah ini.
"Penolakan MK ini akan semakin memperkuat semangat kelompok
LGBT untuk meluaskan perilaku dan misinya di Bumi Pancasila
Indonesia," kata Sodik.

Dari keempat pilihan kata yakni “menyesalkan” , ”menyayangkan” ,
”harusnya” , dan “memperkuat” mengindikasikan bahwa kata tersebut dipilih
untuk membangun persepsi pembaca wacana. Keempat kalimat tersebut dinilai
mampu mempengaruhi pemahaman pembaca sehingga pembaca terpengaruh
dan menyepakati apa yang dipaparkan.
Terakhir dalam analisis aspek sintaksis sebagai penutup, apa yang
menjadi pikiran anggota DPR tersebut ditandai dengan penilaiannya terhadap
MK ditandai dengan konjungsi sebagaimana berikut
“Dengan demikian juga MK menilai hubungan tersebut legal. Hal ini
pun kata Sodik, bertentangan dengan nilai dasar Pancasila dan UUD
1945.”
Pernyataan di atas dibantah dengan menggunakan kata “menampik”
dalam wacana kedua sebagaimana berikut
Mahkamah Konstitusi menampik seluruh rumor yang menyatakan
lembaganya melegalkan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Pada wacana ini masyarakat mendapat konfirmasi langsung dari pihak
MK bahwa apa yang diberitakan terkait LGBT dan putusan MK adalah tidak
benar. Anggapan MK melegalkan LGBT juga dibantah dan ditegaskan dalam
pernyataan di bawah ini
"Tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan
Mahkamah yang menyebut istilah LGBT, apalagi dikatakan
melegalkannya,"
MK yang dinilai melegalkan LGBT menekankan kembali bahwa MK
tidak melegalkan diwakilkan oleh kata “sesungguhnya” dalam dua kalimat
berikut ini
"Sesungguhnya seluruh hakim konstitusi mempunyai concern yang
sama terhadap fenomena yang dipaparkan pemohon.”
"Sehingga hal itu sesungguhnya wilayah ciminal policy yang
kewenangannya ada pada pembentuk UU (DPR dan presiden)," MK
menegaskan.
b) Aspek stilistik
Kajian stilistik dalam analisis wacana kritis adalah kajian
tentang pilihan kata yang digunakan penutur dalam

menyampaikan pesan, maksud, dan ideologinya. Pilihan kata
dalam bertutur sangat mempengaruhi penerimaan pesan oleh
lawan tutur atau pembaca wacana. Kasar, halus, lemah, dan
lembut dalam berbahasa tidak hanya dipengaruhi oleh
intonasi tuturan, tetapi juga pilihan kata. Pilihan kata dalam
kedua wacana tersebut tergolong kata baku. Masing-masing
wacana menyampaikan maksud agar pembaca mengetahui
bahwa ada pihak yang anti LGBT dan tidak sepaham dengan
MK dan demi lurusnya sebuah pemahaman masyarakat maka
wacana kedua hadir sebagai bentuk klarifikasi. Dengan
dimuatnya wacana kedua pembaca memiliki pembanding
dalam menyimpulkan persoalan LGBT.
c) Analisis retorika
Kajian retorika dalam analisis wacana kritis Van Dijk menganalisis hal
terkait grafis, metafora, dan ekspresi. Dalam penelitian ini hal yang dikaji dari
ketiga poin tersebut adalah ekspresi sebagaimana berikut:
“Menurut Sodik, perluasan aturan ruang lingkup perzinahan
memang berbasis agama, namun diakomodasi dan mengacu oleh
Pancasila. "Karenanya (permohonan) harusnya diakomodasi oleh MK.
(Karena putusan tersebut) MK tidak pancasilais tapi sekuler.”
Dengan demikin juga MK menilai hubungan tersebut legal. Hal ini
pun kata Sodik, bertentangan dengan nilai dasar Pancasila dan UUD
1945. "Penolakan MK ini akan semakin memperkuat semangat
kelompok LGBT untuk meluaskan perilaku dan misinya di Bumi
Pancasila Indonesia," kata Sodik.
Kalimat di atas merupakan bentuk ekspresi Sodik yang menyayangkan
putusan MK hingga mengklaim MK melegalkan LGBT. Menanggapi hal ini
MK menyatakan:
"Tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan
Mahkamah yang menyebut istilah LGBT, apalagi dikatakan melegalkannya,"
Pernyataan di atas merupakan ekpresi MK yang menunjukkan bahwa
dalam putusannya sama sekali tidak menyentuh LGBT apalagi melegalkannya

sehingga seluruh klaim dan tuduhan MK dari pembaca wacana yang anti
LGBT terbantahkan.
Wacana pertama dinilai berbahaya ketika pembaca wacana hanya
membaca wacana pertama. Pemahaman yang ingin dibangun oleh Sodik
kepada para konsumen wacana adalah pemahaman di mana lembaga MK salah
dalam mengambil keputusan. Pernyataan Sodik dapat memperkeruh situasi
Indonesia saat ini karena dengan pernyataan demikian banyak orang yang akan
menuding dan menyalahkan MK.
b). Dimensi Kognisi Sosial
Menganalisis dimensi kognisi sosial berarti kita harus mengetahui bagaimana
pemahaman dan pengetahuan (background of knowledge) wakil ketua komisi VIII
DPR, Sodik Mudjahid terkait isu LGBT yang berkembang di Indonesia serta
kepentingan yang ada dibalik sikapnya tersebut, mengingat bagaimanapun juga Sodik
merupakan salah satu politisi dari fraksi Gerindra. Berasal dari keluarga ulama dan
pendidik, Sodik adalah aktivis pendidikan dan pembinaan masyarakat. Sodik adalah
Ketua dari Yayasan Darul Hikam yang mengelola TK-SD-SMP-SMA Darul Hikam
International School dan Direktur dari Pusat Data dan Dinamika Ummat di Bandung.
Melihat latar belakang dan prefosi Sodik sebagai ulama maka wajar dia sangat
menentang LGBT karena LGBT bertentangan dengan agama khususnya Islam. Di sisi
lain melihat pilihan politik yang dipilih oleh Sodik yakni Gerindra tentu wacanawacana yang dibangun membawa kepentingan Gerindra.
c). Dimensi Konteks Sosial
Melihat Indonesia yang menganut budaya timur, eksistensi LGBT tentu sulit
diterima di wilayah Indonesia. Ditambah Indonesia sebagai negara dengan mayoritas
masyarakat beragama Islam di mana hukum Islam melarang hubungan sesama jenis.
Hal ini dikisahkan dalam peristiwa yang menimpa kaum nabi Luth AS. Kedua latar
belakang ini menjadi dasar penolakan tumbuh dan berkembangnya kelompok LGBT di
Indonesia belum lagi jika ditinjau dari segi kesehatan sehingga banyak kalangan yang
menjadi anti terhadap LGBT.
Kekhawatiran terhadap kelompok ini membuat kelompok masyarakat yang anti
LGBT dalam hal ini AILA (Aliansi Cinta Keluarga Indonesia) mengajukan permohonan
kepada lembaga MK untuk membuat aturan yang dapat memidanakan kelompok

LGBT. Setelah melalui proses panjang akhirnya MK memutuskan untuk menolak
permohonan tersebut dengan suara 5 banding 4. Keputusan inilah yang membuat MK
dikecam berbagai pihak. Wacana MK melegalkan LGBT oleh pihak yang anti LGBT
tidak dapat dihindari. Dengan banyaknya berita yang menyatakan MK melegalkan
LGBT masyarakat memandang Indonesia cenderung membiarkan LGBT berkembang
di Indonesia melalui MK yang tidak memperluas hukum yang ada. Oleh karena itu MK
mengklarifikasi tuduhan tersebut dengan memaparkan aturan hukum yang berlaku dan
mengikat MK.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari analisis wacana kritis model Van Dijk terhadap kedua wacana dapat disimpulkan
bahwa suatu wacana dapat memberikan pengaruh negatif ataupun positif. Negatif bila wacana
yang dikonsumsi tidak utuh seperti hanya mengkonsumsi wacana-wacana yang anti terhadap
LGBT. Positif bila pembaca wacana tidak hanya membaca satu wacana akan tetapi membaca
secara keseluruhan fenomena LGBT. Membaca fenomena secara keseluruhan berarti tidak
hanya membaca judul wacana namun keseluruhan wacana baik yang pro maupun yang
kontra, membaca isi putusan MK serta mengikuti isu tersebut dari awal hingga akhir dan
memahaminya. Dengan demikian pembaca tidak mudah dipengaruhi oleh suatu wacana yang
dituturkan oleh kelompok-kelompok tertentu demi kepentingan tertentu.

B. Saran
Hasil analsis wacana teks berita di atas tentu hasilnya sangat kurang komprehensif
dikarenakan keterbatasan peneliti. Untuk itu, perlu dilanjutkan dengan analisis yang lebih
lengkap dan mendetail, yakni pada konteks kekuasaan dan budaya sehingga dapat dilihat
bagaimana keberpihakan pemberi wacana.

Daftar Pustaka
Alex Sobur. (2009). Analisis teks media. Bandung: Remaja Rosdakarya
Arikunto, Suharsimi. (2006). Manajemen penelitian. Jakarta: Rhineka Cipta.
Boelstroff, Tom. (2005). The gay archipelago: Sexuality and nation in Indonesia. Priceton &
Oxford: Princeton University Press
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana (Pengantar Analisis Teks Media). Yogyakarta: LKiS
Printing Cemerlang
Fauzan, Umar. (2014). Analisis wacana kritis dari model Fairclough hingga Mills. Jurnal
Pendidik. Vol. 6 No. 1
Halliday M. A. K. (1978). Language as s social semiotic. London: University Park Press
https://mufatismaqdum.wordpress.com/2011/03/25/sekilas-tentang-teun-a-van-dijk-dengananalisis-wacana-kritis/. Diakses pada tanggal 25 Desember 2017

https://id.wikipedia.org/wiki/LGBT. Diakses pada tanggal 26 Desember 2017
https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Konstitusi_Republik_Indonesia. Diakses pada
tanggal 26 Desember 2017
https://id.wikipedia.org/wiki/Sodik_Mudjahid. Di akses pada tanggal 31 Desember 2017

Lampiran
Wacana 1
Tolak Uji Materi Pasal Kesusilaan, Sodik: MK tak Pancasilais
Jumat, 15 Desember 2017, 04:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid
menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruhnya permohonan uji
materi terkait perluasan pasal perzinahan, perkosaan dan pencabulan dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Ia menilai MK tidak Pancasilais
Putusan menolak gugatan dari pemohon Euis Sunarti dkk yang berasal Perkumpulan
Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) diketahui meminta MK memperluas cakupan atau
ruang lingkup dan merumuskan perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan
yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana. Menurut Sodik, perluasan aturan ruang
lingkup perzinahan memang berbasis agama, namun diakomodasi dan mengacu oleh
Pancasila. "Karenanya (permohonan) harusnya diakomodasi oleh MK. (Karena putusan

tersebut) MK tidak pancasilais tapi sekuler," ujar Sodik kepada wartawan melalui pesan
singkatnya pada Kamis (14/12) malam.
Sodik menilai perlu ada aturan untuk mengatur hubungan seksual di luar pernikahan,
hal ini karena Indonesia berdasarkan Pancasila. "Perlu ada aturannya kerena salah satu missi
dan semangat dasar Pancasila adalah antara mempertahankan dan membina keetuhan
keluarga Indonesia," kata Sodik.
Anggota DPR dari Fraksi Gerindra itu juga menyesalkan MK yang juga menolak uji
materi tentang hubungan homoseksual. Dengan demikin juga MK menilai hubungan tersebut
legal. Hal ini pun kata Sodik, bertentangan dengan nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.
"Penolakan MK ini akan semakin memperkuat semangat kelompok LGBT untuk meluaskan
perilaku dan misinya di Bumi Pancasila Indonesia," kata Sodik.
Adapun dalam menghasilkan putusan MK tersebut terjadi 'dissenting opinion' atau
perbedaan diantara hakim dengan komposisi 5 berbanding 4.
Sumber:http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/12/15/p0yya7354-tolak-ujimateri-pasal-kesusilaan-sodik-mk-tak-pancasilais. Diakses pada tanggal 23
Desember 2017

Wacana 2
MK: Kami Tidak Melegalkan LGBT!
Rivki - detikNews
Jakarta - Mahkamah Konstitusi menampik seluruh rumor yang menyatakan
lembaganya melegalkan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). MK menegaskan
seluruh hakim konstitusi mempunyai concern yang sama terhadap fenomena yang dipaparkan
pemohon.
"Tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan Mahkamah yang
menyebut istilah LGBT, apalagi dikatakan melegalkannya," demikian lansir juru bicara MK
dalam siaran pers yang diterima wartawan, Senin (18/12/2017).
Putusan yang dimaksud adalah berkenaan dengan permohonan perluasan delik
kesusilaan yang diatur dalam Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP. Pemohon meminta
MK memperjelas rumusan delik kesusilaan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut.
"Sesungguhnya seluruh hakim konstitusi mempunyai concern yang sama terhadap
fenomena yang dipaparkan pemohon. Hanya saja, lima hakim berpendapat substansi

permohonan yang dimaksud sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru
yang mengubah secara mendasar," ujarnya.
Yang mendasar itu adalah subjek yang dapat dipidana, perbuatan yang dapat dipidana,
sifat melawan hukum perbuatan tersebut, sanksi dan ancaman pidana.
"Sehingga hal itu sesungguhnya wilayah ciminal policy yang kewenangannya ada pada
pembentuk UU (DPR dan presiden)," MK menegaskan.
"Kami concern terhadap fenomena sosial yang dikemukakan oleh pemohon. Dalam
putusan itu pun Mahkamah sudah menegaskan agar langkah perbaikan perlu dibawa ke
pembentuk undang-undang untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang delik
kesusilaan tersebut," pungkasnya. (rvk/asp)
Sumber: https://news.detik.com/berita/3775078/mk-kami-tidak-melegalkan-lgbt. Diakses
pada tanggal 23 Desember 2017