Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Dari Sektor Riil Dan Sektor Moneter
(Studi Kasus Di Indonesia Jangka Panjang Periode 2009 – 2011)
Yayang Sarasnailyn
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Tangerang Selatan
Email : yayangsarasnailyn@yahoo.com
Dosen Pembimbing
Tony S. Chendrawan,ST., SE., M.Si

ABSTRACT
Inflation is one of the economic phenomena always attracted discussed mainly concerned
with broad impact on the world economy. The inflation rate can be affected by many factors,
not least the real sector and monetary sector. This study aimed to analyze the influence of the
real sector (production of coffee) and the monetary sector (BI rate) on Inflation in Indonesia
period 2009 to 2011 in both the long term and short term. The method used in this study is an
Error Correction Model (ECM). The estimation results indicate that in the long term shows
that the variable interest rates significantly influence the rate of inflation. While coffee
production variables no significant effect on inflation.
keywords : inflation, real sector, monetary sector, Error Correction Model

PENDAHULUAN

Inflasi merupakan salah satu fenomena
ekonomi yang selalu menarik dibahas
terutama berkaitan dengan dampaknya
yang luas terhadap perekonomian dunia.
Guncangan
dalam
negeri
akan
menimbulkan fluktuasi harga di pasar
domestik dan berakhir dengan laju inflasi
yang tinggi. Menurut data Asian
Development Bank tahun 2010, kondisi
perekonomian Asia Tenggara tahun 2008
hingga 2010 tidak stabil. Ini dikarenakan
perekonomian global yang sedang
mengalami krisis. Tekanan inflasi dunia
yang tinggi seiring dengan harga
komoditas yang masih tinggi direspons
secara bervariasi oleh bank sentral di
beberapa negara. Berbagai kebijakan dan

instrumen moneter digunakan untuk
menekan inflasi, sebab bila tidak segera
diatasi hal ini akan berpengaruh juga pada
pertumbuhan ekonomi.

Inflasi cenderung terjadi pada negara negara berkembang, tidak terkecuali
Indonesia. Kondisi di mana pertumbuhan
ekonomi pascakrisis lebih rendah dan rata
- rata inflasi yang sedikit lebih tinggi
menunjukkan penawaran agregat yang
mengindikasikan adanya permasalahan di
sisi penawaran (supply side constraints),
sehingga menyebabkan perekonomian
Indonesia lebih sensitif terhadap tekanan
harga (Outlook Ekonomi Indonesia, 2008 :
2).
Menurut Keynes, inflasi terjadi karena
masyarakat ingin hidup di luar batas
kemampuan ekonominya. Perubahan harga
secara umum tergantung pada tingkat

permintaan dan penawaran agregat. Salah
satu penyebab inflasi yaitu dimana terjadi
tekanan bahan pangan yang disebabkan
oleh kondisi cuaca yang tidak menentu.
Kondisi
yang
tidak
menentu
mengakibatkan menurunnya produktivitas
komoditas seperti pertanian. Inilah yang

dikatakan sebagai jenis inflasi tekanan
permintaan (demand pull inflation).
Kemudian terdapat jenis inflasi yang
disebabkan oleh biaya produksi yang
disebut inflasi dorongan biaya (cost push
inflation). Dari sisi penawaran agregat ini,
apabila terjadi kenaikan biaya produksi,
maka
menyebabkan

berkurangnya
penawaran agregat. Naiknya biaya
produksi disebabkan oleh naiknya harga,
sehingga mengurangi penawaran agregat.
Jika penawaran agregat berkurang, maka
inflasi akan disertai kontraksi ekonomi,
sehingga jumlah output menjadi lebih
kecil. (Prathama Rahardja & Manurung,
2008 : 365). Maka dari itu, dapat dikatan
bahwa sektor riil dan sektor moneter
memiliki pengaruh terhadap tingkat inflasi.
Selain terdapat hubungan antara inflasi
dengan sektor riil sebagaimana yang telah
diilustrasikan
sebelumnya,
sudah
sewajarnya inflasi juga dipengaruhi oleh
sektor moneter. Maka dari itu, instrumen
suku bunga dijadikan sebagai instrumen
oleh Bank Indonesia dalam mengendalikan

inflasi di Indonesia. Usaha untuk menekan
inflasi dapat dilakukan dengan menekan
kenaikan jumlah uang beredar seperti
dengan dengan menaikkan suku bunga
pinjaman (tight money policy). Dengan
fluktuasi tingkat suku bunga yang terjadi
akan mempunyai implikasi terhadap sektor
riil maupun sektor moneter dalam
perekonomian. Tingkat bunga yang tinggi
akan menjadi masalah yang menyulitkan
bagi investasi di sektor riil. Tapi tingkat
bunga yang tinggi akan merangsang
menabungan di masyarakat. Untuk itulah
tingkat fluktuasi bunga harus senantiasa
terkontrol agar tetap mendorong kegiatan
investasi dan produksi serta tidak
mengurangi hasrat masyarakat untuk
menabung dan tidak mengakibatkan
pelarian modal ke luar negeri.
Tabel 1.1

Produksi Kopi, Tingkat Suku Bunga
dan Tingkat Inflasi 2009 - 2011

No

Tahun

Variabel
2009

2010

2011

1

Produksi
Kopi ( ton)

28,67


29,01

22,22

2

BI Rate (%)

6,50

6,50

6,00

3

Inflasi (%)

2,78


6,96

3,79

Data Indonesia menunjukkan bahwa
inflasi berjalan fluktuatif, dimana dari
tahun 2009 dan 2011 inflasi mengalami
peningkatan dari 2,78 menjadi 6,96.
Sedangkan untuk tahun berikutnya yaitu
tahun 2011 mengalami deflasi yang cukup
besar menjadi 3,79. Hal ini berbanding
lurus dengan tingkat produktivitas kopi,
dimana pada tahun 2009 dan 2010
mengalami peningkatan menjadi 29,01
walapun BI rate sendiri mengalami
stagnasi pada nilai 6,50. Dan pada tahun
berikutnya
yaitu
2011

keduanya
mengalami penurunan dimana produksi
kopi menjadi 22,22 dan BI rate menjadi
6,00.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
1. Inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga secara
menyeluruh dan terus – menerus.
Sedangkan deflasi terjadi ketika harga
turun secara keseluruhana. (Case & Fair,
2007: 57). Teori inflasi konfensional
mengatakan bahwa jenis inflasi terbagi
menjadi dua, yaitu inflasi akibat tekanan
permintaan dan inflasi akibat dorongan
biaya. Inflasi tekanan permintaan dalah
inflasi yang terjadi karena dominannya
tekanan permintaan agregat. Tekanan
permintaan
menyebabkan

output
perekonomian bertambah, tetapi disertai
inflasi, dilihat dari makin tingginya harga
secara umum. Sedangkan inflasi akibat
dorongan biaya terjadi karena kenaikan

biaya produksi. Biasanya menyebabkan
penawaran agregat berkurang. Naiknya
biaya produksi disebabkan naiknya harga
input pokok.
Untuk mendapatkan gambaran Inflasi
yang paling mewakili keadaan sebenarnya,
di pergunakan indeks harga implisit (GDP
Deflator), perhitungannya sebagai berikut :
rate of inflation = tingkat harga t – tingkat
harga
t-1 x
100%
tingkat harga t-1
Selain itu, inflasi juga diklasifikasi

berdasarkan tingkat keparahannya. Yaitu
terdiri dari Inflasi ringan ( dibawah 10%
pertahun ), Inflasi sedang ( antara 10% –
30% ), Inflasi berat ( antara 30% - 100% )
dan hiper Inflasi ( diatas 100% pertahun ).
2. Sektor Riil
Sektor riil khususnya pertanian
memegang peranan penting pada tahapan
pertama pertumbuhan ekonomi Rostow
(masyarakat
taradisional).
Kondisi
masyarakat
indonesia
yang
masih
bergantung pada
sektor
pertanian,
membuat hasil pertanian masih menjadi
komoditas dan kunsumsi utama. Ini
menyebabkan perubahan kuantitas akan
mudah
mempengaruhi
harga
atas
komoditas
tersebut.
Saat
produksi
meningkat, maka harga akan turun dan
saat produksi menurun, lonjakan harga
tidak dapat dihindari. Ini juga akan
berdampak pada menurunnya daya beli
masyarakat. Bila daya beli masyarakat
menurun, maka konsumsi akan ikut
menurun sehingga pendapatan nasional
ikut menurun.
3. Sektor Moneter
Tingkat suku bunga adalah harga atas
penggunaan
uang
yang
biasanya
dinyatakan dalam persen (%) untuk jangka
waktu tertentu. Dapat pula didefinisikan

sebagai harga dari penggunaan dana
investasi (loanable funds). Tingkat suku
bunga merupakan salah satu indikator
dalam menentukan apakah seseorang akan
melakukan invesatasi atau menabung
(Boediono, 1994 :76)
Terdapat berbagai teori mengenai suku
bunga, yaitu sebagai berikut. Pertama ,teori
Klasik yang mengatakan bahwa tingkat
suku bunga merupakan teori permintaan
penawaran terhadap tabungan. Teori ini
membahas tingkat suku bunga sebagai
faktor pengimbang antara demand dan
supply yang berasal dari tabungan.
Fungsinya adalah sebagai alat pengukur
nilai dalam melakukan transaksi, sebagai
alat pertukaran untuk memperlancar
transaksi barang dan jasa, maupun sebagai
alat penyelesaian hubungan hutangpiutang yang menyangkut masa depan.
Teori penentuan tingkat suku bunga
Keynes dikenal dengan teori liquidity
prefence. Kedua , Keynes mengatakan
bahwa tingkat bunga semata - mata
merupakan fenomena moneter yang
pembentukannya terjadi di pasar uang.
Dapat dikatakan, tingkat suku bunga
ditentukan oleh money supply dan money
demand.
Kerangka Pemikiran
Dalam rumusan masalah penelitian
telah ditetapkan akan dikaji pengaruh
sektor Riil dan sektor Moneter terhadap
Inflasi di Indonesia dari tahun 2009
sampai dengan tahun 2011.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat
dijelaskan bagaimana variabel - variabel
yang berkaitan dengan penelitian ini.
Dan diduga Inflasi dipengaruhi oleh
Sektor Riil ( produksi kopi) dan Sektor
Moneter (BI Rate). Sehingga dapat dibuat
persamaan sebagai berikut :
Inflasit = f(SRt, SMt)
Dimana :
Inflasit : Inflasi
SRt
: Sektor Riil (produksi kopi)
SMt : Sektor Moneter (BI Rate)

Secara lebih jelasnya, pengaruh Sektor
Riil dan Sektor Moneter terhadap Inflasi di
Indonesia periode 2009 – 2011 dapat
dijelaskan pada gambar berikut :
Gambar 1.1
Paradigma
Sektor Riil
(produksi kopi)
SRt
Inflasit
Sektor Moneter
(BI Rate)
SMt

METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data sekunder berupa data inflasi
dan BI rate yang diperoleh dari Bank
Indonesia serta data sektor pertanian
(produksi kopi) yang diperoleh dari Badan
Pusat Statistik.
Metode analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode analisis
Error Correction Model (ECM). Metode
Error Correction Model digunakan untuk
menganalisis model dari faktor – faktor
yang mempengaruhi inflasi di Indonesia
pada jangka panjang maupun jangka
pendek. Metode ECM ini mempunyai
beberapa kelebihan sebagai analisis
pendekatan dinamis. Dalam perekonomian
ketergantungan variabel dependen dengan
variabel independen jarang terjadi dalam
waktu yang singkat atau seketika, tetapi
membutuhkan kelambanan waktu atau
time lag.
Alasan digunakannya Error Correction
Model dalam penelitian ini antara lain
(Ghozali, 2009) :
ECM adalah salah satu model
autoregresif, mengikut sertakan pengaruh
pertimbangan lag dalam análisisnya
sehingga model ini sesuai diterapkan
dalam penelitian menggunakan data yang
berbentuk time series. Kemampuan ECM
dalam meliputi banyak variabel dalam
analisis fenomena ekonomi jangka pendek
dan jangka panjang. Dengan menggunakan

ECM, dapat dianalisa secara teoritik dan
empirik apakah model yang dihasilkan
konsisten dengan teori atau tidak.
Persamaan yang digunakan sebagai
berikut :
LnInflasit = β0 + β1LnSRt + β2LnSMt +
β3 ECT
Dengan :
β0
β1 - β2
β3
LnSRt
LnSMt
ECT

= konstanta
= koefisien regresi
= koefisien ECT
= Logaritma Sektor Riil
= Logaritma Sektor
Moneter
= Error Correction Term

HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari data yang diambil dari Bank
Indonesia dan Badan Pusat Statistik, pada
tahun 2009 - 2011 mengenai Faktor Faktor yang mempengaruhi Inflasi dari
sektor Riil Dan sektor Moneter di
Indonesia Selama Periode Tahun 2009 2011, hasil atau output olahan data
tersebut adalah sebagai berikut :
Uji Akar Unit
Dalam analisis runtut waktu, uji
stasioner diketahui dengan menggunakan
uji akar unit (unit root) dengan
menggunakan metode ADF . Terlebih
dahulu menguji setiap variabel pada
derajat I(0) atau derajat level dengan
hipotesis
sebagai
berikut:
Nilai
kestasioneritas data dapat juga diketahui
dari nilai probabilitas Mac-Kinnon dimana
nilai prob. Mac-Kinnon kecil dari nilai
probabilitas kritis α = 1%, 5% atau 10%.
Tabel 1.1 Uji Unit Root Inflasi

Sumber:olahan eviwes 8
Tabel 1.2 Uji Unit Root Sektor Riil

Uji Stasioneritas
Tabel 1.4 Uji Stasioneritas Inflasi

Sumber:olahan eviwes 8
Sumber:olahan eviwes 8

Tabel 1.3 Uji Unit Root Sektor Moneter

Sumber:olahan eviwes 8

Berdasarkan output 3 variabel di atas
tersebut terdapat terdapat 1 variabel yang
tidak stasioner. Variabel tersebut adalah
variabel Y (inflasi). Dikatakan tidak
stasioner karena nilai t-statistik 1,167112
lebih kecil dari nilai probabilitas kritis α =
1%, 5% atau 10%. Maka berdasarkan
output tersebut data harus distasionerkan
dengan diferensi 1 dan jika data tersebut
belum stasioner maka harus melakukan
diferensi 2.
Sedangkan untuk dua variabel
lainnya yaitu variabel X1 (sektor riil) dan
X2 (sektor moneter), output tersebut
memperlihatkan bahwa variabel – variabel
tersebut stasioner. Untuk variabel X1 nilai
t-statistik 3,228318 lebih besar dari nilai
probabilitas kritis α = 1%, 5% atau 10%.
Dan Untuk variabel X2 nilai t-statistik
3,228318 lebih besar dari nilai probabilitas
kritis α = 1%, 5% atau 10%.

Berdasarkan output tersebut dapat
dilihat bahwa nilai t-statistik 5,482834
yang lebih besar dari nilai probabilitas
kritis α = 1%, 5% atau 10% berarti data
variabel Y (inflasi) tersebut sudah
stasioner.
Uji Kointegrasi Johansen
Pengujian kointegrasi menggunakan
selang optimal atau lag sesuai dengan
pengujian sebelumnya untuk penentuan
asumsi deterministik yang melandasi
pembentukan
persamaan
kointegrasi
didasarkan pada nilai kriteria informasi
Akaike Information Criterion (AIC) dan
Schwarz Information Criterion (SIC) yang
dikembangkan oleh Johansen (Johansen
Cointegration
Approach).
Dengan
prosedur ini maka akan terlihat banyaknya
hubungan kointegrasi. Syarat kointegrasi
adalah seluruh variabelnya terintegrasi
pada derajat yang sama dimana hasil dari
pengujian ini dilakukan adalah untuk
melihat hubungan jangka pendek dan
jangka panjang antara variabel dependen
dan independen.
Tabel 1.5

Sumber : olahan eviews 8

Pada Uji Kointegrasi Johansen diatas
menunjukan data terkointegrasi, hal ini
dapat dilihat pada nilai Trace, fungsi
persamaan lebih besar dari nilai kritis pada
α = 0,05. Pada fungsi pertama nilai trace
33,61122 > nilai kritis α = 0,05 yaitu
15.49471. Sehingga persamaan ini
memiliki hubungan kointegrasi yang
berarti dalam jangka panjang kedua
variabel ini memiliki hubungan yang
signifikan. Untuk memperkuat penelitian,
maka akan dilakukan tahap selanjutnya
yaitu menggunakan ECM untuk melihat
hubungan dalam jangka pendek.
Hasil Estimasi Error Correction Model
(ECM)
Tabel 1.6 Hasil Estimasi Model Jangka
Panjang ECM 2009.1 – 2011.12

Untuk menyatakan apakah model yang
digunakan benar atau tidak, maka
koefisien Error Correction Term harus
signifikan. Dapat dilihat pada tabel 1.7
bahwa nilai t-statistik yang tinggi yakni
4,543423 yang lebih tinggi dari 2 dan nilai
probabilitas ECT sebesar 0,0000 yang
lebih kecil dari 0,05. Hal ini berarti ECT
signifikan pada tingkat kepercayaan α =
5% dan menunjukkan bahwa model dari
pengujian ECM ini valid.
Berdasarkan tabel 1.6 di atas, dapat
dilihat dari sisi konstanta, bahwa dalam
jangka panjang, nilai konstanta -7,793010
menunjukkan apabila nilai variabel
independen konstan, maka nilai inflasi
turun sebesar 7,79 persen.
Pengaruh Sektor Riil dan sektor
Moneter terhadap tingkat Inflasi hanya
dapat dilihat secara jangka panjang.

Sektor Riil menunjukkan probabilitasnya
sebesar 0,1233 lebih besar dari 0,05. Ini
menunjukkan bahwa dalam jangka
panjang, variabel Sektor Riil tidak
berpengaruh signifikan terhadap tingkat
Inflasi. Sektor Moneter menunjukkan
probabilitasnya sebesar 0,0000 lebih kecil
dari 0,05. Ini menunjukkan bahwa dalam
jangka panjang, variabel Sektor Moneter
berpengaruh signifikan terhadap tingkat
Inflasi. Dalam jangka panjang, Sektor
Moneter memiliki nilai koefisien sebesar
1,938410 terhadap Inflasi. Maka ketika
nilai Sektor Moneter naik sebesar 1%,
maka Inflasi akan meningkat sebesar
1,938%.
Error correction Model (ECM) dalam
tabel memperlihatkan nilai Adjusted RSquared sebesar 0,871680 yang berarti
87,16% variabel dependen (inflasi) dapat
dijelaskan oleh variabel independen
(Sektor Riil dan Sektor Moneter). Sisanya
sebesar 12,84% dijelaskan oleh variabel
lain yang tidak termasuk dalam model
penelitian ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menganalisis pengaruh Sektor Riil dan
Sektor Moneter terhadap tingkat Inflasi di
Indonesia tahun 2009 – 2011 . Setelah
melakukan analisis dan pembahasan
terhadap hasil penelitian sebagaimana
diuraikan dalam bab – bab sebelumnya,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pengaruh Sektor Riil dan Sektor
Moneter terhadap tingkat Inflasi di
Indonesia periode 2009 – 2011
dapat dilihat secara jangka panjang.
2. Sektor
Riil
menunjukkan
probabilitasnya sebesar 0,1233
lebih besar dari 0,05. Ini
menunjukkan bahwa dalam jangka
panjang, variabel Sektor Riil tidak
berpengaruh signifikan terhadap
tingkat Inflasi.

3. Sektor Moneter menunjukkan
probabilitasnya sebesar 0,0000
lebih kecil dari 0,05. Ini
menunjukkan bahwa dalam jangka
panjang, variabel Sektor Moneter
berpengaruh signifikan terhadap
tingkat Inflasi.
4. Dalam jangka panjang, Sektor
Moneter memiliki nilai koefisien
sebesar 1,938410 terhadap Inflasi.
Maka ketika nilai Sektor Moneter
naik sebesar 1%, maka Inflasi akan
meningkat sebesar 1,938%.
5. nilai Adjusted R-Squared sebesar
0,871680 yang berarti 87,16%
variabel dependen (inflasi) dapat
dijelaskan
oleh
variabel
independen (Sektor Riil dan Sektor
Moneter). Sisanya sebesar 12,84%
dijelaskan oleh variabel lain yang
tidak termasuk dalam model
penelitian ini.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa sektor moneter yang
diwakilkan oleh BI Rate merupakan
variabel
yang
sangat
berpengaruh
signifikan terhadap tingkat inflasi di
Indonesia dalam jangka panjang. Jadi,
merupakan kebijakan yang tepat bagi BI
untuk menjadikan BI Rate sebagai
instrumen dalam kebijakan moneternya.
Sehingga, untuk menstabilkan inflasi,
perlu dilakukan kebijakan kebijakan
kontraktif maupun ekspansif. Salah
satunya ialah dengan “memainkan” tingkat
suku bunga, sehingga diperoleh tingkat
inflasi yang dibutuhkan.
Namun, dalam menentukan BI Rate,
pemegang otoritas juga harus memutuskan
kebijakan yang tepat dengan berbagai
macam pertimbangan.
REFERENSI
Boediono. 1985. ”Ekonomi Moneter”.
BPFE : Yogyakarta.
Case, Karl E. dan Fair, Ray C. 2007.
“Prinsip - prinsip
Ekonomi Edisi
kedelapan”. Erlangga : Jakarta.

Ghozali, Imam. 2009. “Ekonometrika:
Teori, Konsep dan Aplikasi dengan
SPSS.17”. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro
Mankiw, N. Gregory. 2007. Makro
Ekonomi. Edisi Keenam. Penerbit
Erlangga. Jakarta, Indonesia.
Outlook Ekonomi Indonesia. 2008.
“Integrasi Ekonomi ASEAN dan
Prospek Perekonomian Nasiona”. Biro
Riset Ekonomi Direktorat Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter :
Jakarta.
Rahardja,
Prathama. 2004. “Teori
ekonomi makro: suatu pengantar”.
Edisi kedua Lembaga Penerbit FE UI,
Jakarta.
Samuelson and Nordhaus. 2004. “Ilmu
Ekonomi Makro”. PT. Media Global
Edukas : Jakarta.
www.bi.go.id situs resmi Bank Indonesia
www.bps.go.id situs resmi Badan Pusat
Statistik Indonesia

Dokumen yang terkait

Analisis Komposisi Struktur Modal Yang Optimal Sebagai Upaya Peningkatan Kinerja Operasional Pada PT Telagamas Pertiwi Di Surabaya

1 65 76

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

PENGARUH CLIENT IMPORTANCE DAN AUDIT TENURE TERHADAP KUALITAS AUDIT (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEI)

4 86 21

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Pengaruh Proce To Book Value,Likuiditas Saham dan Inflasi Terhadap Return Saham syariah Pada Jakarta Islamic Index Periode 2010-2014

7 68 100

Analisis Pengaruh Faktor Yang Melekat Pada Tax Payer (Wajib Pajak) Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan

10 58 124

Pengaruh Rasio Harga Laba Dan Pengembalian Ekuitas Terhadap Harga Saham (Studi Kasus Pada Perusahaan Sektor Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

0 13 1

Pengaruh Modal Kerja Dan Leverage Keuangan Tehadap Profitabilitas (Penelitian Pada Perusahaan Tekstil Dan Garmen Yang Terdaftar Di BEI)

10 68 1

Oksidasi Baja Karbon Rendah AISI 1020 Pada Temperatur 700 °C Yang Dilapisi Aluminium Dengan Metode Celup Panas (Hot Dipping)

3 33 84