RANGKUMAN DASAR DASAR SUMBER HUKUM ISLAM

RANGKUMAN
DASAR-DASAR SUMBER HUKUM ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
"PENGANTAR STUDI ISLAM"

DOSEN PEMBIMBING
Drs. MUHADIN

DISUSUN OLEH :
HUDA YUSUF

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIAH
AL-MUSLIHUUN
TLOGO - KANIGORO - BLITAR

DASAR-DASAR SUMBER HUKUM ISLAM

A.

AL-QUR’AN


1. Arti Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT. Yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada
nabi Muhammad s.a.w. Sebagai sumber hokum dan pedoman hidup bagi pemeluk agama islam,
jika dibaca menjadi ibadah kepada Allah.
Al-Qur’an mempunyai nama-nama lain seperti : Al-Kitab, Kitabullah, Al-Furqon (yang
artinya membedakan antara yang hak dan yang batil) dan Adz-Dzikru artinya peringatan.
2. Garis-garis besar isi Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada lima :
a. Tauhid.
b. Tuntunan ibadah.
c. Janji dan ancaman.
d. Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
e. Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah.
3. Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber islam
Allah SWT. Menurunkan Al-Qur’an itu, gunanya untuk dijadikan dasar hukum, dan
disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan
segala larangannya, sebagaimana firman Allah :
(43 : ‫) الزخرف‬

‫فاستمسك بالذي أوحى اليك‬


Artinya :
“ maka berpeganglah kepada apa diwahyukan kepadamu”. (Az-Zukhruf ayat 43)

4. Dasar-dasar Al-Qur’an dalam membuat hukum

Al-Qur’an diturunkan Allah kepada nabi Muhammad untuk jadi petunjuk
dan pengajaran bagi seluruh umat manusia.
Al-Qur’an selalu berpedoman kepada 2 hal yaitu : (1) Tidak memberatkan, dan (2)
berangsur-angsur.
1. Tidak memberatkan, Sebagaimana firman Allah :
(286 : ‫) البقرة‬

‫ل يكللف ال نفسا ال وسعها‬

Artinya :
“ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
(Al-Baqoroh ayat 286)
Dengan dasar-dasar itulah, kita boleh :
a. Mengqoshor shalat dan menjama’ .

b. Boleh tidak berpuasa apabila dalam bepergian.
c. Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu.
d. Boleh memakan makanan yang diharamkan, jika dalam keadaan memaksa.

2. Berangsur-angsur, Al-Qur’an telah membuat hukum-hukum dengan berangsurangsur. Hal ini dapat diketahui sebagai berikut :
a. Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, seperti larangan minum minuman keras
dan perjudian, sebagaimana firman Allah :

‫يسئلونك عن الخمر والميسر قل فيهما اثم كبير ومنافع للناس واثمها اكبر من‬
(219: ‫ )البقرة‬.‫نفعهما‬
Artinya :
“ mereka bertanya kepadamu tentang minuman yang memabukkan dan tentang perjudian.
Katakanlah olehmu, bahwa minuman yang memabukkan dan perjudian itu dosa besar dan ada
manfaatnya bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya”. (S. Al-Baqoroh
ayat 219)
lalu datanglah fase yang kedua dari fase mengharamkan khamar itu, yaitu dengan
jalan mengharamkannya sesaat sebelum shalat dan bahwa bekas-bekasnya hrus lenyap
sebelum shalat, yaitu dengan firman Allah :

(43 : ‫)النساء‬


.‫ياايها الذين امنوا لتقربوا الصلة وانتم سكرى‬

Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati shalat di kala kamu sedang mabuk”.
(S. An-Nisa’ ayat 43)
Kemudian datanglah fase terakhir yaitu larangan keras terhadap arak dan judi, setelah
banyak orang-orang yang telah meninggalkan kebiasaan itu dan sesudah turun ayat yang pertama
dan yang kedua. Yaitu firman Allah :

‫ياايها الذين امنوا انما الخمر والميسر والنصاب والزلم رجس من عمل الشيطان‬
(90 : ‫ )المائدة‬.‫فاجتنبوه لعلكم تفلحون‬
Artinya :
”Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung adalah
pekerjaan yang keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar
kamu memperoleh kebahagiaan”. (S. Al-Maidah ayat 90)
Demikian Allah membuat larangan secara berangsur-angsur dan sebaliknya dalam
pembinaan hukumpun secara berangsur-angsur pula.
5. Memetik pelajaran dari Al-Qur’an
Selain mengetahui sebab-sebab turunya Al-Qur’an, perlu pula mengetahui cara


mengambil pelajaran yang terdapat di dalamnya. terutama yang berhubungan
dengan hukum.
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa macam kedudukan ayat, antara lain sebagai
berikut :
1. Ada yang perintahnya jelas, tetapi caranya tidak jela. Seperti ayat :
43 ‫البقرة‬

.‫واقيموا الصلة‬

Artinya :
”Dan dirikanlah olehmu shalat”. (S. Al-baqarah ayat 43)
Dalam ayat ini perintah shalat jelas, tetepi cara melaksanakannya tidak disebutkan.

2. Ada yang perintahnya jelas, tetapi ukurannya tidak jelas. Misalnya :
43 ‫البقرة‬
Artinya :

.‫واتواالزكاة‬


“Dan keluarkanlah olehmu zakat”. (S. Al-baqarah ayat 43)
Ayat ini jelas perintahnya tentang zakat, tetapi ukurannya dan nishabnya tidak diterangkan di
dalam ayat ini.


Kalau kita menjumpai ayat-ayat semacam ini, maka perlu sekali adanya penjelasan lebih
lanjut. Penjelasan ini tidak ada yang berhak memberikannya, kecuali Nabi Muhammad saw.
Sebagaimana firman Allah :



44 ‫النحل‬

.‫وانزلنا اليك الذكرلتبين للناس‬

Artinya :
“Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
ummat manusia”. (S. An-Nahl ayat 44)
Adz-Dzikru oleh sebagian ulama’ diartikan segala yang datang dari Rasulullah, yaitu
sabdanya, perbuatan dan sebagainya yang menjadi tafsir bagi Al-Qur’an, yaitu yang dinamakan

“sunnah”.

B.

SUNNAH

1. Arti sunnah dan pembagiannya masing-masing
Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara. Sunnah menurut istilah
syara’ ialah perkataan nabi Muhammad saw., perbuatannya, dan keterangannya yaitu sesuatu
yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh nabi, tiada ditegurnya sebagai
bukti bahwa perbuatan itu tiada terlarang hukumnya.

2. Pembagian sunnah dan pengertiannya
Sunnah itu dibagi menjadi tiga : (1) Sunnah Qouliyah = sabda-sabda Rasulullah; (2)
Sunnah Fi’liyah = perbuatan Rasulullah; (3) Sunnah Taqririyah = diamnya Rasulullah atas
ucapan atau perbuatan sahabat.
a.

Sunnah Qouliyah


Sunnah Qouliyah yaitu perkataan nabi saw. yang menerangkan hukum-hukum agama dan
maksud isi Al-Qur’an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga menganjurkan
akhlaq yang mulia. Sunnah qouliyah (ucapan) dinamakan juga hadits nabi saw.
Sunnah Qouliyah juga disebut “khabar”. Jadi sunnah qouliyah itu boleh dikatakan
sunnah, hadits dan khabar. Khabar pada umumnya dapat dibagi tiga :
1. Yang pasti benarnya,seperti apa yang datang dari Allah,RasulNya dan khabar yang dibeikan
dengan jalan mutawatir.
2. Yang pasti tidak benarnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenarkan
oleh akal, seperti khabar mati dan hidup dapat berkumpul.
3. Khabar yang tidak dapat dipastikan benar bohongnya seperti khabar-khabar yang samar,karena
kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat, benarnya atau bohongnya.
b. Sunnah Fi’liyah
Sunnah Fi’liyah yaitu perbuatan nabi saw. yang menerangkan cara melaksanakan ibadah,
misalnya cara berwudhu, shalat dan sebagainya.
Sunnah Fi’liyah itu terbagi sebagai berikut :
1. Pekerjaan nabi saw. yang bersifat gerakan jiwa, gerakan hati, gerakan tubuh, seperti : bernafas,
duduk, berjalan dan sebagainya. Perbuatan seperti ini tidak bersangkut-paut dengan soal hukum,
dan tidak ada hubungannya dengan suruhan larangan atau tauladan.
2. Perbuatan nabi saw. yang bersifat kebiasaan, seperti : cara-cara makan, tidur dan sebagainya.
Perbuatan semacam ini pun tidak ada hubungannya dengan perintah, larangan, dan tauladan.

kecuali kalau ada perintah anjuran nabi untuk mengikuti cara-cara tersebut.
3. Perbuatan nabi saw. yang khusus untuk beliau sendiri, beristri lebih dari empat. Dalam hal ini
orang lain tidak boleh mengikutinya.
4. Pekerjaan yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal, seperti : shalatnya, hajjinya, yang
kedua-duanya menjelaskan sabdanya :

.‫صلواكمارأيتمونى اصلى‬
Artinya :
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.
Dan:

.‫خذوا مناسككم‬
Artinya :

“Ambillah dari padaku hal-hal (pelakuan) ibadah hajjimu”.
Hukum perbuatan tersebut sama dengan hukum apa yang dijelaskan, baik wajib maupun
mandubnya.
5. Pekerjaan yang dilakukan orang lain sebagai hukuman, seperti: menahan orang,atau
mengusahakan milik orang lain.
6. Pekerjaan yang menunjukkan kebolehan saja, seperti: berwudhu dengan satu kali, dua kali dan

tiga kali.

c.

Sunnah Taqririyah
Sunnah Taqririyah yaitu bila nabi saw. mendengar sahabat mengatakan sesuatu perkataan
atau melihat mereka memperbuat suatu perbuatan, lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh nabi saw.
dan tiada ditegurnya atau dilarangnya, maka yang demikian dinamai sunnah ketetapan Nabi
(taqrir).
Maka perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu sama saja dengan perkataan dan
perbuatan Nabi sendiri, yaitu dapat menjadi hujjah bagi ummat seluruhnya.
Syarat sahnya taqrir ialah orang yang dibiarkannya itu benar-benar orang yang tunduk
kepada syara’, bukan orang kafir atau munafiq.
Contoh-contoh taqrir antara lain sebagai berikut:

1. Mempergunakan uang yang dibuat oleh orang kafir.
2. Mempergunakan harta yang diusahakan mereka seketika masih kafir.
3. Membiarkan dzikir dengan suara keras sesudah shalat.

C.


IJTIHAD

1. Pengertian dan Peranan Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari ‫اجتهاد‬

- ‫ يجتهد‬- ‫اجتهد‬

“bersungguh-sungguh, rajin,

giat”.
Kemudian dikalangan para ulama’ perkataan “ijtihad” ini khusus digunakan dalam
pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fiqih) untuk mengetahui
hukum syari’at. Jadi dengan demikian, ijtihad itu ialah perbuatan menggali hukum syar’iyyat

dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam syari’at. Orang yang melakukan ijtihad disebut
mujtahid.
Imam Ghozali mendefinisikan ijtihad sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang
mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at. Dalam batasan lain
dikatakan :

‫الجتهاد هو استفراغ الوسع فى نيل حكم شرعلى بطريق الستنباط من الكتاب‬
‫واللسلنة‬.
Artinya :

”Ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan
istimbat (mengeluarkan hukum) dari kitab dan sunnah.
Ijtihad sebagaimana dijelasakan di atas mempunyai peranan yang sangat penting dalam
penetapan status hukum suatu masalah yang belum ada hukumnya secara rinci baik dalam AlQur’an maupun As-Sunnah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak
dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut.
Dengan ijtihad masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya.
2. Hukum Ijtihad
Menurut Syekh Muhammad Khudlaribahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi :
a.

Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah, dan masalah itu akan
hilang sebelum hukumnya diketahui.

b. Wajib Kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang
sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang
mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban
mujtahid yang lain telah gugur.
c.

Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.

3. Syarat-syarat Ijtihad
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang diperbolehkan melakukan
ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi dua, yaitu
syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus dan syarat pelengkap.
a. Syarat-syarat Umum
1. Baligh

2. Berakal sehat
3. Memahami masalah
4. Beriman
b. Syarat-syarat Khusus
1. Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis.
2. Mengetahui sunnah-sunnah nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis.
3. Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam.
4. Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah.
5. Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab.
6. Mengetahui ilmu ushul fiqih.
7. Mengetahui ilmu mantiq.
8. Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah asliah.
9. Mengetahui soal-soal ijma’.
c.

Syarat-syarat pelengkap

1. Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan
hukumnya.
2. Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama’ dan yang akan mereka
sepakati.
3. Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlaq.
4. Tigkatan-tingkatan Mujtahid
Tingkatan ini sangat bergantung pada kemampuan, minat, dan aktifitas yang ada pada
mujtahid itu sendiri. Secara umum tingkatan mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi :
a.

Mujtahid Mutlak atau Mustaqil.

b. Mujtahid Muntasib.
c.

Mujtahid Fil Mazahib.

d. Mujtahid Murajjih.

D.

IJMA’

1. Pengertian Ijma’

Ijma’ menurut bahasa, artinya : sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut
istilah, ialah :

‫التفاق مجتهدى المة محلمد صلى ال عليه وسللم بعد وفاته فى عصر من العصار‬
‫على امر من المور‬.
Artinya :
“Kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada
masa tertentu tentang masalah tertentu”.
Dari pengertian diatas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan
mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatan orang-orang semasa dengan nabi tidaklah
disebut sebagai ijma’.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat
sebagai ijma’, namun pendapat jumhur, ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama)
yang ada pada masa itu. Tidak sah ijma’ jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada
masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma’ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah
dan tidak boleh didasarkan kepada yang lainnya.
Contoh mengenai ijma’ antara lain ialah menjadikan as-Sunnah sebagai salah satu sumber
islam. Semua mujtahid dan bahkan semua umat islam sepakat (ijma’) menetapkan as-Sunnah
sebagai salah satu sumber hukum islam.
Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu :
1. Dengan ucapan (Qouli),
2. dengan perbuatan (Fi’li),
3. dengan diam (sukut)
2. Macam-macam Ijma’
1. Ijma’ Ummah
2. Ijma’ Sahaby
3. Ijma’ Ahli Madinah
4. Ijma’ Ahli Kufaah
5. Ijma’ Khalifah yang empat
6. Ijma’ Syaikhany
7. Ijma’ Ahli Bait

3. Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma' dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum
islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat dzhanny. Golongan
syi'ah memandang bahwa ijma' ini sebagai hujjah yang harus diamalkan. Sedang ulama-ulama
Hanafi dapat menerima ijma' sebagai dasar hukum, baik ijma' qath'iy maupun dzhanny.
Sedangkan ulama-ulama Syafi'iyah hanya memegangi ijma' qath'iy dalam menetapkan hukum.
Dalil penetapan ijma' sebagai sumber hukum islam ini antara lain adalah :
Firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 59 :
(59 : ‫) النساء‬

‫يايهاالذين امنوا اطيعوا ال واطيعوا الرسول واولى المر منكم‬

Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya dan Ulil Amri
diantara kamu".
Yang dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah dan para
ulama. Menurut hadits:

‫لتجتمع ألمتى على اللضللة‬
Artinya:
"Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan".
Menurut sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri fid-dunya, yaitu
penguasa, dan Ulil Amri fid-din, yaitu mujtahid. Sebagian ulama lain menafsirkannya dengan
ulama.
Ijma' ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar'iy, yaitu setelah Al-Qur'an dan asSunnah.
Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma' dapat dijadikan alternatif dalam
menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qu'an atau as-Sunnah tidak ada atau
kurang jelas hukumnya.
4. Sebab-sebab Dilakukan Ijma'
Di antara sebab-sebab dilakukannya ijma' ialah :
a. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam
nash Al-Qur'an dan as-Sunnah tidak diketemukan hukumnya.

b. Karena nash baik yang berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah sudah tidak turun lagi atau telah
berhenti.
c. Karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah
dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum persoalan
permasalahan yang timbul pada saat itu.
d. Di antara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih
mudah dipersatukan.

E.

QIYAS

1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan, atau mempersamakan
sesuatu dengan lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah qiyas ialah
menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash dengan
mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.
Berbeda dengan ijma', qiyas bisa dilakukan oleh individu, sedang ijma' harus dilakukan
bersama oleh para mujtahid.
2. Kedudukan Qiyas sebagai sumber hukum Islam
Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat sesudah Al-Qur'an,
Hadits dan Ijma'.
Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
Firman Allah :
(2 : ‫) الحسر‬

.‫فاعتبروا يااولى البصار‬

Artinya:
"Hendaklah kamu mengambil i'tibar (ibarat = pelajaran) hai orang-orang yang berfikiran". (S.
Al-Hasyr ayat 2)
Karena i'tibar artinya "qiyasusysyai-i bisysyai-i : membandingkan sesuatu dengan sesuatu
yang lain".
3. Rukun Qiyas
Rukun qiyas ada empat

a. Ashal (pangkal) yang menjadi ukuran.
b. Far'un (cabang) yang diukur
c. 'Illat, yaitu sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.
d. Hukum, yang ditetapkan pada far'i sesudah tetap pada ashal.
4. Macam-macam Qiyas
Qiyas ini ada empat macam :
a. Qiyas aulawi (lebih-lebih)
Qiyas aulawi ialah yang 'illatnya sendiri menetapkan adanya hukum.
b. Qiyas musawi (bersamaan 'illatnya)
Qiyas musawi ialah 'illatnya sama dengan 'illat qiyas aulawi.
c. Qiyas dilalah (menunjukkan)
Qiyas dilalah ialah yang 'illatnya tidak menetapkan hukum.
d. Qiyas syibh (menyerupai)
Qiyas syibh ialah mengqiyaskan cabang yang diragukan di antara kedua pangkal ke mana yang
paling banyah menyamai.
5. Sebab-sebab Dilakukan Qiyas
a. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam
nash Al-Qur'an dan as-Sunnah tidak diketemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan
ijma'.
b. Karena nash, baik berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah telah berakhir dan tidak turun lagi.
c. Karena adanya persamaan 'illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa
yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.

F.

MASHALIHUL MURSALAH

1. Pengertiannya
Mashalih bentuk jama' dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah
berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas.
Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi
manusia atau menolak kemadharatan atas mereka.

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai sumber
hukum.
1. Jumhur ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
a. Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umat manusia.
b. Pembinaan Hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu
bagi keinginan hawa nafsu.
2. Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi'i
boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil kully atau dalil juz'iy
dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan :
a. Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya.
b. Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan
maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'.
3. Dalam Al-Qur'an dan hadits, tidak ada nash yang memerintah pengumpulan mushaf Al-Qur'an
tetapi oleh ummat Islam hal ini dilakukan, tiada lain ialah karena mengingat maslahat ummat.
4. Dalam pernikahan mengadakan pensyaratan adanya surat nikah, untuk sahnya gugatan, nafkah
dan pembagian pusaka.

3. Syarat-syarat Berpegang Kepada Mashalihul Mursalah
1. Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
2. Maslahaat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
3. Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip
yang telah ditetapkan dengan nash atau ijma'.

G. SADDUDZ DZARI'AH
1. Pengertiannya
Dyara'i jamak dari kata dzari'ah artinya jalan. Saddudz dzari'ah berarti menutup jalan.
Menurut istilah ulama Ushul Fiqih bahwa yang di sebut dengan dzari'ah ialah menghambat
segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
1. Menurut Imam Malik, jalan-jalan yang mendatangkan kerusakan itu harus dihindarkan.
2. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan
sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai
yang mubah. Dalam sebuah hadits nabi saw. dikatakan :

‫دع مايربك الى ماليربك‬
Artinya :
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".

H.

ISTISHAB

1. Pengertiannya
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan
sampai yang akan datang, selama tidak terdapat hukum yang mengubahnya.
2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
Jumhur ulama mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah,
karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan menjadi kekuatan hukum bila
berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.
Dari prinsip-prinsip ini ditetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai berikut :
a. Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya :

‫الصل بقاء ماكان على ماكان‬
Artinya :
"Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya".
Misalnya hukum asal makanan dan minuman adalah lala.
b. Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena adanya keragu-raguan.

‫ما ثبت باليقين ليزول باللشك‬
Misalnya seorang yang telah berwudlu kemudian dia ragu-ragu, apakah wudlunya sudah batal
atau belum, maka wudlunya tetap ada (tidak batal).

c. Asal hukum sesuatu adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil yang mengharuskan meninggalkan
hukum tersebut.

‫الصل فى الشياء الباحة‬
Misalnya asal hukum akad jual beli itu boleh.
Sebagian ulama berpendapat, terutama golongan Hanafiyah mengatakan bahwa istishab
itu hanya berlaku bila dipergunakan untuk menolak.

I.

‘URF

1. Pengertiannya
Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat
dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun meninggalkan.
Menurut ahli syara' urf bermakna adat, atau antara urf dan adat itu tidak ada perbedaanya.
Diantara contah urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan
tidak mengucapkan shighat. Contah urf Qouly ialah orang telah mengetahui bahwa kata ar-rajul
itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.
2. Macam-macam Urf dan Hukumnya
a. Urf shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak
menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini diperbolehkan
dan bahkan harus dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan maslahat bagi
manusia.
b. Urf Fasid, yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan
syari'at, atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini hukumnya
haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama.
3. Kedudukan Urf sebagai sumber hukum
Untuk urf shahih haruslah dilestarikan dalam kaitannya dengan upaya pembentukan
hukum dan proses peradilan.

J.

ISTIHSAN

1. Pengertiannya
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik. Sedang menurut istilah Ahli Ushul
yang dimaksud istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh
qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari
hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian), karena ada dalil
syara' yang menghendaki perpindahan itu.
Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu :
1. Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah
bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan istihsan tetapi haram
menurut qiyas.
Qiyas : Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak
suci. Orang junub haram membaca Al-Qur'an, maka orang yang haid juga haram membaca AlQu'an.
Istihsan : Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama. Karena itu, wanita yang
sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur'an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu
wanita tidak memperoleh pahala ibadah apa pun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
2. Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan)
berdasarkan Istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kully, syara' melarang jual beli yang
barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti
itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan :
1. Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti
menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
2. Golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah
dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyar khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau
menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang
menghendaki penguatan itu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sumber hukum islam
2. Fiqih madrasah aliyah 3