ARTI PENTING PENGELOLAAN KAWASAN PERBATA
KARYA TULIS ILMIAH
ARTI PENTING PENGELOLAAN
KAWASAN PERBATASAN DALAM
UPAYA PENANGGULANGAN
KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA
TIMUR
Oleh
ERLINDA MATONDANG
UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA
2013
LEMBAR PENGESAHAN
Karya tulis ilmiah dengan judul
Arti Penting Pengelolaan Kawasan
Perbatasan dalam Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Nusa Tenggara
Timur yang ditulis oleh:
Nama : Erlinda Matondang
NIM
: 09430025
Telah disahkan pada tanggal 20 Februari 2013.
Surakarta, 20 Februari 2013
Dosen Pembimbing
Pengusul
Dra. Christy Damayanti, M.Si
NIP. 19630430 198901 2 001
Erlinda Matondang
NIM. 09430025
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Slamet Riyadi
Joko Pramono, S.Sos., M.Si
NIPY. 0194. 0173
ii
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan rasa puji dan syukur ke hadirat Tuhan yang
Mahakuasa karena atas berkah dan rahmat-Nya, penulisan karya tulis ini
dapat diselesaikan dengan baik.
Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk meninjau tingkat
kepentingan pengelolan kawasan perbatasan dalam upaya penanggulangan
kemiskinan. Selain itu, penulisan karya tulis juga bertujuan untuk
menyampaikan sejumlah gagasan praktis penulis yang dapat dijadikan solusi
dalam menyelesaikan sejumlah permasalahan terkait.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam
penulisan karya tulis ini. Dukungan dan bantuan yang diberikan, baik berupa
pemikiran maupun doa dan semangat, merupakan hal yang sangat berarti
untuk penulis.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih memunyai banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk dijadikan sebagai bahan koreksi dan
perbaikan di penulisan karya-karya berikutnya.
Demikian yang dapat disampaikan oleh penulis. Semoga karya tulis ini
dapat bermanfaat untuk semua pihak, terutama Indonesia.
Surakarta, 20 Februari 2013
Penulis
Erlinda Matondang
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................. iv
DAFTAR BAGAN ........................................................................................................................ v
RINGKASAN ............................................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
A. Latar Belakang.................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 3
D. Manfaat Penulisan .......................................................................................................... 3
1. Untuk Penulis................................................................................................................ 3
2. Untuk Pembaca ............................................................................................................ 3
3. Untuk Kalangan Akademisi ..................................................................................... 4
4. Untuk Pemerintah ....................................................................................................... 4
BAB II TELAAH PUSTAKA ..................................................................................................... 5
A. Dasar Teori ........................................................................................................................ 5
1. Peraturan Terkait Pengelolaan Kawasan Perbatasan .................................. 5
2. Konsep Kemiskinan .................................................................................................... 7
B. Kerangka Pemikiran ....................................................................................................... 9
C. Solusi Terdahulu ............................................................................................................10
BAB III METODE PENELITIAN ..........................................................................................12
A. Metode Pengumpulan Data .......................................................................................12
B. Metode Analisis dan Sintesis Data ..........................................................................13
BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS ......................................................................................14
A. Kawasan Perbatasan di Nusa Tenggara Timur ..................................................14
1. Kabupaten Belu ..........................................................................................................15
2. Kabupaten TTU ..........................................................................................................16
3. Kabupaten Kupang ...................................................................................................17
B. Perkembangan Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur ....................................17
C. Arti Penting Pengelolaan Kawasan Perbatasan dalam Upaya
Penanggulangan Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur ......................................20
BAB V PENUTUP .....................................................................................................................23
A. Kesimpulan ......................................................................................................................23
B. Saran...................................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................26
iv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1.
Pemikiran Keterkaitan Pengelolaan Kawasan Perbatasan
dan Upaya Penanggulangan Kemiskinan…………………..
v
9
RINGKASAN
Kawasan perbatasan merupakan wilayah yang sangat krusial untuk
Indonesia. Hal tersebut yang membuat pengelolaannya dilakukan oleh
lembaga khusus, yaitu Badan Pengelola Perbatasan. Namun, pengelolaan
kawasan perbatasan masih belum mendapatkan hasil yang optimal. Berbagai
permasalahan sosial dan ekonomi masih mewarnai kehidupan warga di
kawasan perbatasan. Salah satunya adalah permasalahan kemiskinan.
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang berbatasan darat dengan negara lain. Kawasan perbatasan di
NTT masih sangat memprihatinkan. Tingkat kemiskinan yang tinggi di
makroekonomi NTT juga meliputi kawasan perbatasan yang terletak di
Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara (TTU) dan Kupang. Oleh karena itu,
penanggulangan kemiskinan merupakan agenda utama dari Pemerintah
Provinsi NTT.
Pengelolaan di kawasan perbatasan yang dilakukan oleh lembaga
khusus dengan anggaran yang lebih besar seharusnya memberikan dampak
yang positif ke seluruh wilayah Provinsi NTT. Salah satu dampak positifnya
adalah
perekonomian
makroekonomi
NTT
yang
membaik
karena
peningkatan kesejahteraan di kawasan perbatasan, yang pada umumnya
memunyai tingkat kemiskinan yang tinggi.
Berdasarkan fakta dan pendapat tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengetahui arti penting pengelolaan kawasan perbatasan dalam upaya
penanggulangan kemiskinan di NTT. Tidak sebatas membahas kebenaran
pendapat yang telah disampaikan di atas, tetapi juga untuk mengetahui
dampak positif lain yang mungkin terjadi di wilayah di luar kawasan
perbatasan di Provinsi NTT. Oleh karena itu, penulis merumuskan
permasalahan ke dalam satu pertanyaan, yaitu apakah arti penting
pengelolaan kawasan perbatasan dalam upaya penanggulangan kemiskinan
di NTT?
Karya tulis ilmiah ini ditulis dengan menggunakan pendekatan
kualitatif dengan objek penulisan adalah kaitan antara pengelolaan kawasan
perbatasan dengan upaya penanggulangan kemiskinan di NTT. Data yang
vi
digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah data sekunder yang
dikumpulkan dengan metode studi pustaka. Data sekunder yang digunakan
dalam penulisan karya ilmiah ini merupakan data yang diterbitkan oleh
pemerintah, lembaga sosial atau individu tertentu. Pengumpulan data
sekunder itu juga sudah memenuhi kriteria reliabilitas, kesesuaian dan
kelengkapan data. Data sekunder yang sudah dikumpulkan akan dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif. Sehingga setiap data yang berupa
angka tidak akan diolah kembali, tetapi hanya digunakan untuk menjadi
pendukung analisis.
Berdasarkan analisis penulis, pengelolaan kawasan perbatasan
memunyai peranan yang sangat penting dalam upaya penanggulangan
kemiskinan di NTT. Pengelolaan Kabupaten Belu, TTU dan Kupang yang
optimal akan mendorong perekonomian masyarakat di wilayah tersebut.
Selain itu, hasil pengelolaan kawasan perbatasan tersebut memunyai peluang
untuk didistribusikan secara luas, baik melalui interaksi langsung
antarmasyarakat maupun tidak.
Distribusi hasil pengelolaan kawasan perbatasan tersebut dapat
mendorong
produktivitas
masyarakat.
Peningkatan
produktivitas
masyarakat tersebut akan mendorong daya beli masyarakat. Peningkatan
daya beli masyarakat tersebut akan memutar roda perekonomian dengan
lebih cepat. Sehingga perekonomian NTT akan semakin membaik dan
masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Pemenuhan
kebutuhan hidup minimum ini merupakan salah satu indikator dari
pengurangan angka kemiskinan. Sehingga dapat dikatakan, secara tidak
langsung, pengelolaan kawasan perbatasan dapat mempercepat upaya
penanggulangan kemiskinan di NTT.
Pengelolaan kawasan perbatasan juga dapat memberikan peranan di
dalam
upaya
penanggulangan
kemiskinan
secara
langsung
melalui
peningkatan makroekonomi NTT. Pengelolaan kawasan perbatasan yang
diolah secara optimal dengan penyesuaian terhadap potensi yang
dimilikinya, akan meningkatkan kesejahteraan penduduk di wilayah
tersebut. Peningkatan kesejahteraan penduduk selalu diiringi dengan
vii
penurunan angka kemiskinan. Ketiga kabupaten di NTT yang memunyai
kawasan perbatasan memunyai angka kemiskinan yang tinggi. Jika angka
kemiskinan menurun dan kesejahteraan meningkat, maka makroekonomi
NTT akan menunjukkan perbaikan. Perbaikan makroekonomi tersebut akan
mempermudah NTT dalam mengembangkan potensinya.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
pengelolaan kawasan perbatasan memunyai arti penting dalam upaya
penanggulangan kemiskinan, yaitu sebagai katalisator dan pendorong
makroekonomi.
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kawasan perbatasan memunyai nilai strategis dan penting dalam
mempertahankan kedaulatan negara. Untuk itu, terdapat beberapa peraturan
khusus yang mengatur mengenai pengelolaan kawasan perbatasan. Salah
satunya adalah Undang-undang (UU) No. 43 Tahun 2008 mengenai Wilayah
Negara. Di dalam UU tersebut dinyatakan bahwa kawasan perbatasan
dikelola oleh badan khusus yang dibentuk pemerintah melalui perundangundangan yang berlaku. Selain itu, untuk membangun kawasan perbatasan,
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota diwajibkan membuat
anggaran khusus. Sehingga berbagai program kerja yang dilaksanakan oleh
badan pengelola kawasan perbatasan memunyai anggaran khusus yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Namun, sistem pengelolaan dan anggaran khusus yang diberikan
pemerintah untuk daerah perbatasan masih belum memberikan hasil yang
maksimal. Berbagai permasalahan masih ditemui di kawasan perbatasan.
Salah satu permasalahan dalam masyarakat di kawasan perbatasan adalah
kemiskinan.
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang berbatasan darat dengan Timor Leste. Dengan kata lain, NTT
memunyai kawasan perbatasan. Kabupaten di NTT yang berbatasan dengan
Timur Leste adalah Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara (TTU) dan Kupang.
NTT masih dinyatakan sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan
yang tinggi. Pada tahun 2010, jumlah penduduk miskin di NTT mencapai
1.014,1 ribu orang atau sebesar 23,03% dari jumlah penduduk NTT. (Badan
Pusat Statistik, 2012:48) Pada data tahun 2012, penurunan angka
kemiskinan di NTT hanya sebesar 0,07% dari tahun 2011. Penurunan angka
kemiskinan tersebut tidak didukung oleh data yang diperoleh dari kawasan
1
2
perdesaan dan perkotaan yang menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan.
NTT menempati posisi kelima untuk provinsi dengan tingkat
kemiskinan tertinggi, setelah Papua, Papua Barat, Maluku dan Gorontalo.
Kemiskinan yang berada di NTT tersebar di seluruh kabupaten/kota. Dalam
data tingkat kemiskinan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik,
Kabupaten Belu dan Kupang merupakan dua dari lima daerah di NTT yang
memunyai angka kemiskinan paling tinggi.
Sebagai provinsi yang memunyai kawasan perbatasan, NTT mendapat
kewajiban untuk menetapkan anggaran khusus untuk pengelolaan. NTT juga
berhak untuk mendapatkan anggaran khusus dari pemerintah pusat untuk
pengelolaan kawasan perbatasan. Selain itu, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota di NTT mendapatkan bantuan kinerja
pengelolaan dari Badan Pengelola yang dibentuk berdasarkan perundangundangan.
Sehingga
dapat
dikatakan
bahwa
kawasan
perbatasan
mendapatkan perhatian yang lebih besar dari pemerintah.
Pengelolaan di kawasan perbatasan yang dilakukan dengan upaya dan
anggaran khusus, seharusnya memberikan dampak ke seluruh wilayah
Provinsi NTT, termasuk ke makroekonominya dan berbagai hal yang sedang
diupayakan penyelesaiannya, termasuk kemiskinan. Dengan kata lain,
pengelolaan kawasan perbatasan akan memberikan pengaruh kepada upaya
penanggulangan kemiskinan NTT.
Hal tersebut yang menarik perhatian penulis untuk membahas
peranan pengelolaan kawasan perbatasan dalam mengatasi permasalahan
kemiskinan di NTT dalam karya tulis ilmiah ini. Oleh karena itu, karya tulis
ilmiah ini diberi judul Arti Penting Pengelolaan Kawasan Perbatasan dalam
Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur .
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di
atas,
maka
penulis
merumuskan permasalahan ke dalam satu pertanyaan umum, yaitu apakah
3
arti penting pengelolaan kawasan perbatasan dalam upaya pengentasan
kemiskinan di NTT?
C. Tujuan Penulisan
Karya tulis ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui sistem pengelolaan kawasan perbatasan di NTT.
2. Untuk mengetahui tingkat kemiskinan dan upaya penanggulangan yang
sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah NTT.
3. Untuk mengetahui keterkaitan antara pengelolaan kawasan perbatasan
dengan upaya pengentasan kemiskinan di NTT.
4. Untuk
mengetahui
tingkat
kepentingan
pengelolaan
kawasan
perbatasan dalam upaya pengentasan kemiskinan di NTT.
5. Untuk mencari solusi permasalahan kemiskinan dan optimalisasi
pengelolaan kawasan perbatasan di NTT.
D. Manfaat Penulisan
1. Untuk Penulis
Penulisan karya tulis ini merupakan salah satu bagian dari
pengembangan kemampuan penulis dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan keilmuannya untuk membangun Indonesia. Selain
itu, penulisan karya tulis ini juga diharapkan dapat meningkatkan jiwa
sosial penulis pada kondisi masyarakat yang berada di wilayah lain di
dari Indonesia.
2. Untuk Pembaca
Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi salah satu sarana
pembuka wawasan pembaca mengenai kondisi masyarakat Indonesia.
Karya tulis ini juga dapat dijadikan sebagai acuan pelaksanaan sejumlah
penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan pebatasan dan
kemiskinan di NTT.
4
3. Untuk Kalangan Akademisi
Karya tulis ini dapat dijadikan sebagai bahan diskusi mengenai
pengelolaan kawasan perbatasan, penanggulangan kemiskinan serta
undang-undang terkait otonomi daerah dan pemerintah daerah.
Sehingga karya tulis ini dapat dijadikan literatur tambahan dalam forum
diskusi.
4. Untuk Pemerintah
Karya tulis ini mengandung sejumlah analisis dan sintesis serta
gagasan berupa solusi dari penulis mengenai pengelolaan kawasan
perbatasan dan penanggulangan kemiskinan di NTT. Sehingga karya tulis
ini dapat dijadikan bahan tinjauan oleh pemerintah untuk membentuk
kebijakan dan mengevaluasi kinerjanya dalam membangun daerah
selama ini.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Dasar Teori
1. Peraturan Terkait Pengelolaan Kawasan Perbatasan
Dalam pasal 1 ayat (6) UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah
Negara, kawasan perbatasan merupakan bagian dari wilayah negara yang
terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah darat Indonesia dengan
negara lain. Kawasan perbatasan dihitung dari garis batas wilayah hingga
ke tingkat kecamatan setempat. Sehingga perbatasan laut tidak termasuk
dalam kawasan perbatasan yang dimaksud dalam undang-undang
tersebut.
Berdasarkan definisi tersebut, kawasan perbatasan Indonesia
berada di tiga pulau, yaitu Kalimantan, Papua dan Pulau Timor (Nusa
Tenggara Timur/NTT). Di sebelah utara pulau Kalimantan, Indonesia
berbatasan dengan Malaysia. Di sebelah timur Papua, Indonesia
berbatasan dengan Papua Nugini. Di NTT, Indonesia berbatasan langsung
dengan negara yang sebelumnya merupakan bagian Timor Leste.
Kawasan perbatasan memunyai nilai strategis dalam menjaga
keutuhan negara sehingga pengelolaannya dilakukan secara khusus oleh
pemerintah. Dalam pasal 1 ayat (11) UU No. 43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara dinyatakan bahwa pengelolaan kawasan perbatasan
merupakan kewenangan badan pengelola yang dibentuk oleh pemerintah.
Dalam mengelola kawasan perbatasan, badan pengelola memunyai tugas
untuk menetapkan kebijakan program pembangunan, menetapkan
rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasi pelaksanaan program dan
melaksanakan evaluasi dan pengawasan. Sedangkan
pelaksana teknis
pembangunan dilakukan oleh instansi teknis terkait.
Badan pengelola ini terdiri dari Badan Pengelola Nasional dan
Badan Pengelola Daerah. Landasan praktis kelembagaan dari kedua badan
pengelola tersebut tidak sama. Badan Pengelola Pusat berpedoman pada
5
6
Peraturan Presiden, sedangkan Badan Pengelola Daerah diatur oleh
Peraturan Daerah.
Walaupun badan pengelola sudah diberi kewenangan oleh undangundang, pemerintah pusat dan daerah masih memunyai peranan yang
penting dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Sebagaimana yang
tertuang dalam pasal 10 ayat (1a) UU No. 43 Tahun 2008, pemerintah
pusat memunyai wewenang untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dan
pemanfaatan kawasan perbatasan. Selain itu, pemerintah pusat juga
diwajibkan untuk menetapkan biaya pembangunan kawasan perbatasan.
Sebagaimana penetapan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan
Daerah,
pemerintah
daerah
merupakan
pemegang
wewenang dalam mengelola daerahnya, termasuk kawasan perbatasan
yang berada di wilayahnya. Oleh karena itu, pemerintah daerah, baik yang
di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, memunyai peranan yang
sangat penting dalam mengelola kawasan perbatasan.
Dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 43 Tahun 2008, pemerintah di
tingkat provinsi berwenang untuk menjalin kerjasama antar-pemerintah
daerah dan/atau dengan pihak ketiga lain dalam upaya pembangunan
kawasan perbatasan. Selain itu, pemerintah di tingkat provinsi juga
berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pembangunan
kawasan perbatasan yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat
kabupaten/kota. Pemerintah di tingkat provinsi juga berkewajiban untuk
menetapkan biaya pembangunan kawasan perbatasan. Sementara itu,
pemerintah di tingkat kabupaten/kota juga memunyai wewenang yang
sama dengan pemerintah di tingkat provinsi, tetapi dengan kinerja yang
lebih terfokus.
Selain peran pemerintah, partisipasi masyarakat juga diwajibkan
melalui pasal 19 UU No. 43 Tahun 2008. Masyarakat dapat berpartisipasi
dengan
cara
mengembangkan
pembangunan
serta
menjaga dan
mempertahankan kawasan perbatasan. Masyarakat juga diwajibkan untuk
berpartisipasi aktif dalam program yang dicanangkan pemerintah dalam
rangka membangun kawasan perbatasan.
7
2. Konsep Kemiskinan
Kemiskinan
merupakan
bagian
dari
keamanan
nasional.
Kemiskinan dapat mengancam integritas negara. Oleh karena itu, berbagai
studi memelajari kemiskinan dan mencari upaya penanggulangan yang
tepat. (Williams, 2008:246)
Berbagai pengertian dari kemiskinan disampaikan oleh pakar dan
akademisi. Definisi yang disampaikan dapat bersifat normatif dan empiris.
Definisi
kemiskinan yang bersifat
kemampuan
kelompok
tertentu
normatif menentukan
dalam
memenuhi
kriteria
kebutuhannya.
Sedangkan definisi yang bersifat empiris menentukan kriterianya melalui
penelitian. (Veit-Wilson, 2006:3)
Bank Dunia menyatakan bahwa kemiskinan adalah kekurangan
atau ketidakmampuan pencapaian standar hidup secara sosial (Bellù dan
Liberati, 2005:2). Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengartikan
kemiskinan sebagai ketidakmampuan suatu individu atau kelompok
masyarakat untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasarnya
(Cahyat, 2004:2).
Dalam teori ekonomi, kata kemiskinan memunyai arti yang lebih
luas. Tidak sekedar diartikan sebagai kondisi kekayaan yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan, tetapi kata kemiskinan juga didefinisikan sebagai
penggambaran dari perilaku dan budaya yang mendasari perilaku
ekonomi seseorang. Oleh karena itu, Harold W. Watts (t.t: 8-9)
menyatakan bahwa kemiskinan adalah suatu sifat dari situasi individu
yang melebihi karakternya atau perilaku pada umumnya dalam
melakukan tindakan ekonomi. Dengan kata lain, seseorang yang
melakukan transaksi pasar secara terpaksa merupakan salah satu bentuk
kemiskinan.
Menurut Watts, faktor pendorong dari keterpaksaan yang
dimaksud dalam definisi tersebut adalah tingkat pendapatan dari individu
tertentu. Tingkat pendapatan yang rendah tidak mampu memberikan
kepuasan yang optimal terhadap barang/jasa yang dibeli dan dikonsumsi.
Hal tersebut yang dimaksud dengan pembelian terpaksa. Sehingga dapat
8
disimpulkan bahwa indikator utama dari kemiskinan adalah tingkat
pendapatan suatu individu atau kelompok (rumah tangga).
Berbagai pakar dan lembaga terkait menetapkan indikator yang
berbeda mengenai kemiskinan. Indikator-indikator tersebut yang menjadi
tolok ukur dari penentuan dan identifikasi tingkat kemiskinan dari suatu
kelompok masyarakat.
Secara tradisional, kelompok masyarakat yang dinyatakan miskin
dicirikan dengan gaya hidup yang sangat kekurangan, mengalami
minder dan perasaan yang buruk. Selain itu, kekurangan gizi dan
defisiensi kesehatan, pengalaman partisipasi yang minim, rumah yang
tidak layak huni, lingkungan yang tidak sehat serta pemenuhan kebutuhan
sosial yang kurang juga menjadi indikator dari kemiskinan. (Wilson,
2006:2)
Sementara itu, secara spesifik pada lembaga nasional tertentu,
indikator tersebut tidak selalu digunakan. Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) menggolongkan kelompok masyarakat yang
mengalami kemiskinan ke dalam dua kelompok, yaitu Pra-Sejahtera
(sangat miskin) dan Sejahtera I (miskin). Keluarga Pra-Sejahtera
merupakan kelompok masyarakat yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti sandang, pangan, papan,
kesehatan dan pengajaran agama. Sedangkan Keluarga Sejahtera I
merupakan kelompok masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan
dasarnya, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial dan
psikologisnya,
seperti
pendidikan,
transportasi,
interaksi
dengan
lingkungan dan keluarga berencana. (Cahyat, 2004:4)
Indikator yang digunakan oleh BKKBN dalam penetapan status
tingkat kemiskinan masyarakat, yaitu intensitas dan kualitas makan,
kondisi tempat tinggal serta pendapatan. Keluarga Pra-Sejahtera belum
mampu untuk memenuhi kebutuhan makan dua kali atau lebih dalam
sehari.; belum mampu memunyai pakaian yang berbeda untuk aktivitas;
dan bagian terluas dari lantai rumah tidak berasal dari tanah. (Cahyat,
2004:4)
9
Sementara itu, Keluarga Sejahtera I belum mampu memakan
daging/ikan/telur minimal satu kali dalam seminggu; belum mampu
membeli satu stel pakaian baru pada setahun terakhir; memunyai
penghasilan tetap; luas lantai rumah minimal 8 m2 untuk setiap penghuni;
tidak ada anggota keluarga yang buta huruf pada usia 10-60 tahun; dan
mengikuti program Keluarga Berencana. (Cahyat, 2004:5)
B. Kerangka Pemikiran
Perhatikan gambar berikut!
UU No. 43 Tahun
2008 tentang
Wilayah Negara
UU No. 32 Tahun
2004 tentang
Pemerintahan
Daerah
Pengelolaan
Kawasan Perbatasan
Otonomi Daerah
Penanggulangan
Kemiskinan
Sumber: Diolah Penulis
Bagan 2.1. Pemikiran Keterkaitan Pengelolaan Kawasan Perbatasan
dan Upaya Penanggulangan Kemiskinan
Peraturan mengenai pengelokaan kawasan perbatasan tertuang dalam
UU No. 43 Tahun 2008 tentang wilayah negara, merupakan peraturan yang
bernilai strategis untuk pembangunan provinsi atau daerah yang memunyai
kawasan perbatasan. Pengelolaan suatu wilayah menjadi kewenangan
pemerintah daerah. Hal ini dijelaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Sehingga berbagai program pemerintah daerah dalam
pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
wilayahnya.
Daerah yang memunyai kawasan perbatasan juga memunyai hak
pengelolaan yang sama dengan wilayah lainnya. Bahkan, dengan dukungan
UU No. 43 Tahun 2008, pemerintah daerah yang memunyai kawasan
perbatasan mendapat
energi
khusus, berupa bantuan material dan
immaterial. Oleh karena itu, upaya pembangunan di wilayah yang memunyai
10
kawasan perbatasan lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah yang
memunyai kawasan perbatasan lebih baik atau permasalahan kemiskinannya
dapat ditanggulangi.
C. Solusi Terdahulu
Kawasan perbatasan di NTT berada di Kabupaten Belu, Timor Tengah
Utara (TTU) dan Kupang. Kondisi ketiga kabupaten ini masih belum
menunjukkan gambaran kawasan perbatasan yang ideal. Pemasalahan
mendasar yang dihadapi masyarakat di kawasan perbatasan NTT meliputi
tingkat kesejahteraan yang rendah; sarana dan prasarana pendidikan,
kesehatan, perhubungan, penerangan dan komunikasi; kerusakan lingkungan
hidup karena pengalihan fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan
pertambangan; permasalahan lahan sengketa dan peraturan lintas batas
ilegal; serta kapasitas aparat pemerintah di tingkat kecamatan dan desa
masih minim dan anggaran dana yang sangat terbatas.
Dalam buku Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Indonesia
(2011:19-20) disampaikan kebijakan khusus yang ditetapkan pemerintah
dalam mengelola kawasan perbatasan di NTT. Adapun kebijakan tersebut
antara lain.
a. Kebijakan penyelesaian masalah pertanahan berbasis ulayat menjadi
tanah yang memunyai keabsahan untuk diatur dengan legitimasi
peraturan berdasarkan undang-undang pertanahan yang berlaku.
b. Kebijakan mengakomodasi aspek sosial-budaya untuk menyelesaikan
sengketa batas lahan yang berkepanjangan.
c. Kebijakan affirmative action yang berkenaan dengan faktor intervensi
teknologi serta dukungan modal, bibit, air dan budidaya.
Selain itu, dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM), program
pendidikan diarahkan pada pemenuhan kesempatan mengikuti pendidikan
dasar sembilan tahun, pendidikan lanjutan tingkat atas (SMA), pendidikan
luar sekolah yang memberikan ketrampilan hidup (life skill) dan
pengembangan muatan lokal yang bertujuan untuk mengembangkan potensi
11
wilayah NTT. Di bidang kesehatan, kebijakan diarahkan pada upaya
penurunan angka kematian ibu dan bayi, status gizi dan penanggulangan gizi
buruk serta pemberantasan penyakit masyarakat, seperti frambusia, malaria
serta penyakit seksual.
Peningkatan
pendapatan
masyarakat
diarahkan
melalui
pengembangan kesempatan kerja dan berusaha berbasis pengelolaan
sumber daya yang dikuasai oleh masyarakat. Masyarakat yang pada
umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan peternak juga
mendapatkan kesempatan untuk menambah keahliannya melalui berbagai
program pengembangan usaha.
Untuk menjalankan kebijakan tersebut, Pemerintah Provinsi NTT
sudah membentuk Badan Pengelola Perbatasan Provinsi (BPPP) melalui
Peraturan Gubernur No. 28 Tahun 2010 (Kemitraan Partnership, 2011:1213). Beberapa lembaga non-pemerintah juga terlibat dalam pembangunan
kawasan perbatasan tersebut, yaitu seperti UNICEF, UNDP, FAO, CARE,
OXFAM, PLAN, Kemitraan, Yayasan Mitra Tani Mandiri, YABIKU, Yayasan
Nusra Septara dan lain-lain.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pengumpulan Data
Penulisan
karya
tulis
ini
menggunakan
pengamatan
dengan
pendekatan kualitatif. Objek yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini
adalah kaitan antara pengelolaan kawasan perbatasan dengan upaya
penanggulangan kemiskinan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan
objek penelitian tersebut, maka terdapat dua variabel yang akan menentukan
distribusi data yang digunakan, yaitu pengelolaan kawasan perbatasan dan
upaya penanggulangan kemiskinan.
Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yang
diperoleh dengan menggunakan metode studi pustaka. Data sekunder
merupakan data yang dikumpulkan oleh orang lain dan sudah pernah
melewati proses statistik (Kothari, 2004: 95). Data sekunder terbagi ke
dalam dua jenis, yaitu data yang diterbitkan dan tidak diterbitkan (Kothari,
2004: 111). Data sekunder yang digunakan dalam karya tulis ini adalah data
yang diterbitkan, baik oleh pemerintah maupun lembaga atau individu
tertentu.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam pengumpulan data
sekunder, yaitu reliabilitas data, kesesuaian dan kelengkapan data (Kothari,
2004: 111). Reliabilitas data mengacu pada identitas sumber data dan
kualitas data yang digunakan. Sementara itu, kesesuaian dan kelengkapan
data mengacu pada keterkaitan data dengan tema yang diangkat dan
kapasitasnya dalam keperluan analisis.
Data yang digunakan dalam karya tulis ini sudah memenuhi ketiga hal
tersebut. Data yang digunakan dalam karya tulis ini berasal dari pemerintah
lokal dan pusat serta lembaga pemerintahan terkait. Sumber berupa artikel
dan makalah juga berasal dari penulis yang berkecimpung dengan bidang
yang diangkat dalam tema karya tulis ini. Sehingga data yang digunakan
tergolong data dengan reliabilitas yang baik dan sesuai dengan tema yang
diangkat serta cukup untuk keperluan analisis.
12
13
B. Metode Analisis dan Sintesis Data
Analisis data dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu analisis
deskriptif dan interferensial. Analisis deskriptif merupakan teknik analisis
yang dilakukan dengan cara menyampaikan sejumlah penjelasan mengenai
variabel yang digunakan dalam tema yang diangkat. Sedangkan analisis
interferensial merupakan teknik analisis data dengan menggunakan metode
statistik. (Kothari, 2004: 130).
Karya tulis ini menggunakan hasil pengamatan yang dilakukan dengan
metode kualitatif. Selain itu, karya tulis ini juga menggunakan data sekunder.
Oleh karena itu, teknik analisis data yang digunakan dalam karya tulis ini
adalah analisis deskriptif.
Data berupa angka yang digunakan dalam karya tulis ini tidak diolah
kembali oleh penulis. Data angka yang disampaikan dalam karya tulis ini
merupakan kutipan langsung dari sumber data. Data angka digunakan
sebagai pendukung dari fakta-fakta lapangan yang tercantum dalam sumber
data. Sehingga analisis yang digunakan dalam karya tulis ini tidak
menggunakan statistik, tetapi penjelasan mendetil mengenai distribusi dari
variabel yang sudah ditentukan.
14
BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
A. Kawasan Perbatasan di Nusa Tenggara Timur
Kawasan perbatasan Indonesia dengan Timor Leste di Nusa Tenggara
Timur (NTT) terletak di tiga kabupaten, yaitu Belu, Timor Tengah Utara
(TTU) dan Kupang. Kawasan perbatasan di Kabupaten Belu terletak
memanjang dari utara ke selatan bagian Pulau Timor, sedangkan Kabupaten
Kupang dan TTU berbatasan dengan bagian Timor Leste yang terpisah dan
terletak di tengah wilayah Indonesia (enclave).
Garis batas antarnegara di NTT terletak di sembilan kecamatan, yaitu
satu kecamatan di Kabupaten Kupang, tiga kecamatan di Kabupaten TTU dan
lima kecamatan di Kabupaten Belu. Pintu perbatasan terdapat di setiap
kecamatan, tetapi akses terbesar berada di Kabupaten Belu.
Kabupaten Belu memunyai tiga Pintu Lintas Batas (PLB) sebagai pintu
masuk atau keluar dari Timor Leste (Bank Indonesia, 2012:11). Namun, pintu
perbatasan yang memunyai fasilitas yang relatif lengkap dan sering
digunakan sebagai lintas batas berada di Kecamatan Tasifeto Timur. Fasilitas
di wilayah tersebut sudah cukup lengkap walaupun masih dalam kondisi
darurat. (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2011:50)
Sarana dan prasarana sosial yang dibangun oleh pemerintah pusat
dan daerah juga masih sangat terbatas. Sekolah dan pusat kesehatan
masyarakat sudah tersedia walaupun kondisinya masih belum baik. Sarana
perhubungan darat dan laut ke pintu perbatasan juga cukup baik. Sehingga
akses jalan yang dapat digunakan untuk saling berkunjung relatif mudah dan
cepat. (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2011:50)
Kegiatan di lintas batas Indonesia-Timor Leste masih terjadi secara
tradisional. Penduduk Indonesia yang memasuki wilayah Timor Leste untuk
berdagang dan penduduk Timor Leste yang ingin menemui keluarganya,
masih menempuh jalur yang biasa dilalui sebelum kemerdekaan Timor Leste.
(Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2011:50)
15
Potensi sumber daya alam yang tersedia di kawasan perbatasan NTT
tidak terlalu besar. Hal tersebut ditinjau dari kondisi lahan yang kurang baik
untuk pengembangan pertanian di sepanjang perbatasan. Sementara itu,
hutan yang berada di kawasan ini bukan merupakan hutan produksi atau
konversi. (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2011:51)
Kondisi
masyarakat
disepanjang
perbatasan,
pada
umumnya,
tergolong miskin ataumemunyai tingkat kesejahteraan yang rendah. Sumber
mata pencaharian utama masyarakat di kawasan perbatasan adalah
pertanian lahan kering. Potensi yang dimiliki oleh kawasan perbatasan
Indonesia-Timor Leste dapat dilihat dalam uraian berikut ini.
1. Kabupaten Belu
Menurut penilaian Bank Indonesia, Kabupaten Belu memunyai nilai
strategis untuk kepentingan bisnis maupun tujuan wisata. Perkembangan
perekonomian di Kabupaten Belu menunjukkan yang cukup signifikan.
Bahkan, wilayah ini juga menjadi penopang perekonomian negara Timor
Leste dalam memenuhi kebutuhannya. (Bank Indonesia, 2012:11)
Posisi Belu yang berada di perbatasan Indonesia-Timor Leste dan
juga berada di titik silang Kabupaten Flores Timur dan TTU merupakan
posisi strategis dalam pengembangan perdagangan. Hal tersebut yang
digunakan
oleh
sebagian
masyarakat
Belu.
Walaupun
intensitas
perdagangannya masih kecil, masyarakat Belu sudah melakukan kegiatan
berdagang dengan Timor Leste. Sehingga sektor perdagangan dapat
dikatakan sebagai salah satu potensi yang dimiliki Belu.
Selain perdagangan, pertanian juga merupakan sektor penting
untuk Belu karena berkaitan dengan pengadaan bahan pangan. Oleh
karena itu, Pemerintah Kabupaten Belu bekerjasama dengan Bank
Indonesia untuk mengadakan pengembangan klaster budidaya padi
dengan pilot project percontohan di Kecamatan Raihat, tepatnya di Desa
Tohe dan Maumutin. (Bank Indonesia, 2012:12)
Perindustrian
juga merupakan
potensi yang belum dapat
dikembangkan dengan baik di Belu. Industri yang berkembang di Belu,
16
pada umumnya merupakan industri rumah tangga yang padat karya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia Belu memunyai
keterampilan yang bernilai lebih.
2. Kabupaten TTU
Kabupaten TTU memunyai kondisi yang tidak jauh berbeda dengan
Belu. Namun, secara berangsur TTU sudah tidak bergantung pada sektor
pertanian. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian mulai
mengalami penurunan, sedangkan pekerja di sektor sekunder dan tersier
terus mengalami peningkatan.
Pada tahun 2008, sektor pertanian menyerap 67,71% tenaga kerja
di TTU, sedangkan lapangan kerja sekunder hanya 13,92% dan tersier
18,37%. Pada tahun 2009, lapangan pekerjaan primer (pertanian) TTU
menyerap tenaga kerja sebesar 60,42%, sedangkan sekunder 19,83% dan
tersier 19,75%. Hal tersebut menunjukkan kemajuan pola pikir
masyarakat dan mendorong pembentukan lapangan kerja yang lebih
beragam.
Walaupun demikian, pertanian merupakan salah satu sektor
penting untuk TTU. Hal tersebut berkaitan dengan pengadaan bahan
pangan untuk masyarakat di wilayahnya. Oleh karena itu, Pemerintah
Kabupaten TTU memasukkan program peningkatan pertanian ke dalam
Panca Program . Program yang dilaksanakan pemerintah daerah di
bidang pertanian memunyai misi sebagai berikut:
a. meningkatkan pemanfaatan teknologi pertanian tepat guna;
b. merevisi pola bertani yang bersifat subsisten tradisional ke pola yang
berorientasi pasar;
c. penguatan kelembagaan desa; dan
d. melakukan restrukturisasi aspek sosial dan budaya yang menghambat
produktivitas pertanian.
17
3. Kabupaten Kupang
Kabupaten Kupang memunyai ibukota yang sama dengan ibukota
Provinsi NTT. Namun, sebagai bagian dari kawasan perbatasan,
perkembangan Kabupaten Kupang masih berada di bawah Belu dan TTU.
Walaupun lahan Kabupaten Kupang lebih luas dibandingkan dengan Belu
dan TTU, hasil alam yang dimilikinya belum mampu untuk memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat setempat.
Kabupaten Kupang tidak memunyai potensi yang cukup besar di
bidang agraria. Penanaman padi di Kabupaten Kupang yang mencapai
13.135 hektar, jumlah terbesar di antara kawasan perbatasan lainnya di
NTT, hanya menghasilkan 28,54 kuintal/hektar lahan. Jumlah ini lebih
sedikit dibandingkan dengan hasil tanam padi di TTU dan Belu yang
memunyai lahan yang lebih kecil.
Namun,
Kabupaten
Kupang
memunyai
potensi
di
bidang
peternakan dan perikanan. Pengusaha di bidang perikanan yang berada di
Kabupaten Kupang merupakan potensi yang cukup besar untuk dapat
dikembangkan. Kabupaten Kupang yang menjadi wilayah dengan populasi
dan peternakan sapi terbesar di NTT dapat dikembangkan dan
menghasilkan hasil optimal jika dikelola dengan baik.
B. Perkembangan Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur
Indonesia menunjukkan pergerakan perekonomian makro yang
positif sejak memasuki tahun 2000. Perekonomian Indonesia terus
mengalami kemajuan yang pesat hingga dinobatkan sebagai negara ekonomi
terbaik ketiga di dunia pada masa krisis global. Penobatan Indonesia sebagai
negara ekonomi terbaik ketiga di dunia pada krisis global pada tahun 2008
didorong oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif.
Sebagai salah satu indikator dari pertumbuhan ekonomi Indonesia,
tingkat kemiskinan juga menunjukkan perbaikan secara perlahan. Pada bulan
Maret 2012, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 29,13 juta
orang atau 11,96%. Jumlah ini menunjukkan penurunan sebesar 0,53% atau
0,89 juta orang dibandingkan pada Maret 2011. Penurunan tingkat
18
kemiskinan ini lebih banyak terjadi di wilayah perdesaan. Persentase
penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2011 sebesar 9,23%,
menurun menjadi 8,78% pada Maret 2012. Sedangkan di daerah perdesaan
jumlah penduduk miskin pada Maret 2011 mencapai 15,72% dan menurun
hingga 15,12% pada Maret 2012. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
penurunan angka kemiskinan di perkotaan sebesar 0,45% sedangkan di
perdesaan mencapai 0,60%. (Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XV, 2 Juli
2012)
Pada umumnya kemiskinan di perkotaan disebabkan oleh harga
perumahan yang tinggi. Sedangkan kemiskinan di daerah pedesaan didorong
oleh kelangkaan bahan pangan. Sehingga indikator utama kemiskinan di
perkotaan adalah pemukiman. Indikator kemiskinan di perdesaan adalah
kemampuan memenuhi kebutuhan pangan.
Angka kemiskinan di Indonesia semakin menurun. Pada bulan
September 2012, jumlah penduduk miskin mencapai 28,59 juta orang
(11,66%), berkurang sebesar 0,54 juta orang (0,30%). Penurunan angka
kemiskinan di daerah perkotaan mencapai 0,18%, sedangkan di perdesaan
0,42% jika dibandingkan dengan kondisi pada Maret 2012. (Berita Resmi
Statistik No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013)
Penurunan tingkat kemiskinan di tingkat provinsi juga terjadi di NTT.
Pada September 2012, jumlah penduduk miskin di NTT sebesar 20,41%,
mengalami penurunan sebesar 0,07% dari 20,48% pada September 2011.
Walaupun secara regional mengalami penurunan angka kemiskinan, data
yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kenaikan yang
cukup signifikan.
Penurunan jumlah penduduk miskin di NTT juga terjadi dari tahun
2009. Dalam data yang disampaikan oleh BPS, jumlah penduduk miskin pada
tahun 2010 tercatat sebesar 1.014,1 ribu orang atau sebesar 23,03%.
Sedangkan pada September 2011, jumlah penduduk miskin di NTT sebesar
986,50 ribu orang atau 20,48%.
Dalam data jumlah keluarga fakir miskin dan miskin, kabupaten yang
memunyai angka kemiskinan tertinggi adalah Sumba Barat Daya diikuti oleh
19
Manggarai, Kupang dan Belu. Sementara itu, data penduduk miskin
menunjukkan bahwa kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah
Timor Tengah Selatan (TTS), Kupang, Sumba Barat Daya, Belu dan Sumba
Timur.
Kabupaten Kupang dan Belu merupakan wilayah yang memiliki
kawasan perbatasan. Dana yang diberikan oleh pemerintah pusat dan
provinsi serta berbagai program yang dilaksanakan oleh lembaga
masyarakat non-pemerintah seharusnya dapat memperbaiki kondisi di
wilayah tersebut. Sehingga Kabupaten Kupang dan Belu dapat terlepas dari
masalah kemiskinan.
Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, Pemerintah Provinsi NTT
membentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
2009-2013. Penanggulangan kemiskinan merupakan upaya lintas sektor dan
kewenangan. Oleh karena itu, program penanggulangan kemiskinan
merupakan program lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Prioritas
dalam program tersebut antara lain.
a. Program – program terkait Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PKMS).
b. Program terkait ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian.
c. Program terkait pengembangan kelembagaan agribisnis.
d. Program terkait pengembangan industri non pertanian.
e. Program terkait revitalisasi institusi ekonomi.
f. Program terkait peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
g. Program terkait peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat.
h. Program terkait penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
i.
Program terkait pendidikan non formal.
j.
Program terkait peningkatan kualitas angkatan kerja, penciptaan
kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja.
k. Program terkait pemberdayaan perempuan pedesaan.
20
Sementara itu, program untuk pembangunan infrastruktur berupa:
a. pembangunan dan pemeliharaan sarana prasarana dan fasilitas
perhubungan (termasuk jalan dan jembatan);
b. pembangunan dan pengembangan energi listrik dan mineral; dan
c. pembangunan infrastruktur pedesaan.
C. Arti Penting Pengelolaan Kawasan Perbatasan dalam Upaya
Penanggulangan Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur
Permasalahan sosial dan ekonomi kerapkali melanda wilayah
perbatasan Indonesia. Salah satunya adalah kawasan perbatasan di NTT.
Provinsi NTT memunyai angka kemiskinan yang tinggi. Tidak hanya di
kawasan perbatasan, tetapi juga wilayah lainnya. Sehingga permasalahan
kemiskinan di seluruh wilayah NTT, termasuk kawasan perbatasan, menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.
Namun, di dalam UU No. 43 Tahun 2008, dijelaskan tugas pemerintah
pusat, provinsi dan kabupaten dalam pengelolaan kawasan perbatasan.
Selain itu, pemerintah juga membentuk badan pengelola perbatasan.
Pembentukan badan pengelola perbatasan ini bertujuan untuk meningkatkan
pembangunan di kawasan perbatasan.
Pada dasarnya tugas badan pengelola perbatasan hanya sebatas
pembentuk dan pelaksana program pembangunan, sedangkan pemerintah
memunyai tugas sebagai pengawas dan penyedia dana. Jika dilihat dari
faktanya, pemerintah Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah, belum
mampu menyediakan dana yang cukup untuk pembangunan di kawasan
perbatasan. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama dengan pihak ketiga,
terutama perusahaan tertentu. Dengan kata lain, pemerintah harus dapat
menarik perhatian investor untuk menanamkan modal.
Penanaman modal dari investor ke NTT akan mendorong pembukaan
lapangan kerja yang baru untuk masyarakat. Apalagi sebagian besar
masyarakat sudah memunyai keterampilan di bidang industri. Kemampuan
tersebut dapat berkembang dengan keberadaan investasi di kawasan
perbatasan.
21
Selain itu, potensi di bidang industri tersebut juga dapat dikelola
dengan mendorong pembentukan usaha kecil dan menengah. Hal ini dapat
dilakukan dengan peningkatan intensivitas dan efektivitas dari kerjasama
yang dilakukan dengan lembaga non-pemerintah, seperti FAO, UNDP, dan
lain-lain.
Pengelolaan kawasan perbatasan di NTT tidak dapat dilakukan
dengan cara yang sama di setiap wilayahnya. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan potensi wilayah di setiap kawasan perbatasan. Kabupaten Belu
dengan potensi perdagangan dan pertanian, TTU dengan perindustrian dan
Kupang dengan peternakan dan perikanan. Ketiga kabupaten tersebut harus
mendapatkan pengelolaan dengan cara yang berbeda.
Pengelolaan yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula.
Kabupaten Belu dengan hasil pertanian dan perdagangan, TTU dengan hasil
perindustrian, sedangkan Kupang dengan hasil peternakan dan perikanan.
Hasil pengelolaan kawasan perbatasan dapat didistribusikan ke wilayah
lainnya. Sehingga dapat dikembangkan di luar kawasan perbatasan dan
dapat mendorong perbaikan ekonomi masyarakat NTT yang berada di luar
kawasan perbatasan.
Sebagai contoh, potensi Kabupaten TTU di bidang perindustrian dapat
dikembangkan menjadi sumber mata pencaharian utama untuk masyarakat
setempat melalui pembentukan usaha kecil dan menengah. Hasil industri
rumah tangga yang selama ini bersifat musiman dapat menjadi aktivitas rutin
yang menguntungkan melalui penjualan ke pasar yang lebih luas, termasuk
ke Timor Leste. Apalagi Kabupaten TTU memunyai pintu lintas batas ke
wilayah kantong Timor Leste.
Jika pengembangan hasil perindustrian juga dikembangkan hingga ke
wilayah utama Timor Leste, maka jalur perdagangan daratnya akan melewati
Kabupaten Belu. Lalu lintas hasil industri padat karya ini akan mendorong
masyarakat Belu untuk mengembangkan industri sejenis atau dengan variasi
tertentu. Apalagi masyarakat Belu juga sudah memunyai keterampilan dalam
industri padat karya.
22
Prospek distribusi hasil pengelolaan kawasan perbatasan ditunjukkan
dengan cara yang berbeda oleh Kabupaten Kupang. Kabupaten yang
memunyai potensi di bidang peternakan dan perikanan ini, dapat memberi
pengaruh ke wilayah lainnya yang juga bergantung pada hasil laut. Tidak
hanya sebatas pada penjualan hasil laut, tetapi juga pada pengembangan
kemampuan sumber daya manusianya dan kelengkapan peralatan yang
dimiliki. Distribusi hasil pengelolaan kawasan perbatasan tersebut tidak
hanya melalui pembelajaran secara formal, tetapi juga melalui proses imitasi
yang dilakukan oleh masyarakat dari luar kawasan perbatasan.
Pengembangan berbagai sektor yang berawal dari upaya pengelolaan
kawasan perbatasan tersebut, akan mendorong peningkatan pendapatan
penduduk. Tidak hanya yang berada di Kabupaten Belu, TTU dan Kupang,
tetapi juga di wilayah NTT lainnya. Sebagaimana dalam ilmu ekonomi,
peningkatan pendapatan akan mendorong daya beli. Begitupula dengan
peningkatan pendapatan penduduk NTT akan mendorong daya beli
masyarakat. Daya beli yang meningkat akan memutar roda perekonomian
NTT dengan lebih cepat, sehingga aktivitas ekonomi penduduk dapat
memenuhi kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan pemerintah.
Peningkatan kemampuan penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimum merupakan gambaran dari penurunan angka kemiskinan.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan
kawasan perbatasan merupakan bagian dari upaya penanggulangan
kemiskinan di NTT. Tidak hanya mengurangi kemiskinan di kawasan
perbatasan, tetapi juga di wilayah NTT yang berada di luar kawasan
perbatasan. Sehingga pengelolaan kawasan perbatasan juga merupakan
pendorong pencapaian hasil optimal dari upaya penanggulangan kemiskinan
yang sudah dibentuk pemerintah daerah, tetapi masih berjalan lambat.
Dengan kata lain, pengelolaan kawasan perbatasan merupakan katalisator
dari upaya penanggulangan kemiskinan di NTT.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan dalam bab-bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
a. Pengelolaan kawasan perbatasan melibatkan peranan pemerintah pusat,
daerah dan masyarakat, sedangkan tugas pelaksana dan pembentuk
program berada pada badan pengelola perbatasan, baik yang dibentuk di
tingkat pusat maupun daerah.
b. Permasalahan kemiskinan masih menjadi agenda pemerintah Nusa
Tenggara Timur (NTT) untuk diselesaikan.
c. Kawasan perbatasan di NTT berada di Kabupaten Belu, Timor Tengah
Utara (TTU) dan Kupang. Ketiga kabupaten tersebut memunyai potensi
yang berbeda-beda.
d. Pengelolaan kawasan perbatasan NTT masih belum maksimal dan
memberikan hasil yang optimal.
e. Pengelolaan kawasan perbatasan yang optimal dapat memberikan
dampak positif untuk wilayah NTT lainnya, baik melalui interaksi
langsung maupun tidak. Dampak positif utama yang diperoleh penduduk
adalah pembentukan sumber mata pencaharian baru dan peningkatan
pendapatan.
f. Peningkatan pendapatan penduduk sebagai akibat dari pengelolaan
kawasan perbatasan akan meningkatkan daya beli masyarakat. Sehingga
masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Kemampuan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum tersebut
menunjukkan peningkatan kualitas hidup.
g. Peningkatan kualitas hidup tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan
kawasan perbatasan merupakan katalisator upaya penanggulangan
kemiskinan. Sehingga pengelolaan kawasan perbatasan merupakan hal
yang sangat penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan di NTT
23
24
B. Saran
Berdasarkan pembahasan permasalahan yang disampaikan dalam bab
sebelumnya dan kesimpulan yang di atas, maka penulis menyarankan
beberapa upaya untuk pengelolaan kawasan perbatasan. Adapun upaya yang
disarankan penulis antara lain.
a. Pembentukan hubungan kerjasama oleh Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten dengan pihak ketiga dalam membangun kawasan perbatasan,
baik secara permodalan maupun peningkatan k
ARTI PENTING PENGELOLAAN
KAWASAN PERBATASAN DALAM
UPAYA PENANGGULANGAN
KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA
TIMUR
Oleh
ERLINDA MATONDANG
UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA
2013
LEMBAR PENGESAHAN
Karya tulis ilmiah dengan judul
Arti Penting Pengelolaan Kawasan
Perbatasan dalam Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Nusa Tenggara
Timur yang ditulis oleh:
Nama : Erlinda Matondang
NIM
: 09430025
Telah disahkan pada tanggal 20 Februari 2013.
Surakarta, 20 Februari 2013
Dosen Pembimbing
Pengusul
Dra. Christy Damayanti, M.Si
NIP. 19630430 198901 2 001
Erlinda Matondang
NIM. 09430025
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Slamet Riyadi
Joko Pramono, S.Sos., M.Si
NIPY. 0194. 0173
ii
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan rasa puji dan syukur ke hadirat Tuhan yang
Mahakuasa karena atas berkah dan rahmat-Nya, penulisan karya tulis ini
dapat diselesaikan dengan baik.
Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk meninjau tingkat
kepentingan pengelolan kawasan perbatasan dalam upaya penanggulangan
kemiskinan. Selain itu, penulisan karya tulis juga bertujuan untuk
menyampaikan sejumlah gagasan praktis penulis yang dapat dijadikan solusi
dalam menyelesaikan sejumlah permasalahan terkait.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam
penulisan karya tulis ini. Dukungan dan bantuan yang diberikan, baik berupa
pemikiran maupun doa dan semangat, merupakan hal yang sangat berarti
untuk penulis.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih memunyai banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk dijadikan sebagai bahan koreksi dan
perbaikan di penulisan karya-karya berikutnya.
Demikian yang dapat disampaikan oleh penulis. Semoga karya tulis ini
dapat bermanfaat untuk semua pihak, terutama Indonesia.
Surakarta, 20 Februari 2013
Penulis
Erlinda Matondang
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................. iv
DAFTAR BAGAN ........................................................................................................................ v
RINGKASAN ............................................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
A. Latar Belakang.................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 3
D. Manfaat Penulisan .......................................................................................................... 3
1. Untuk Penulis................................................................................................................ 3
2. Untuk Pembaca ............................................................................................................ 3
3. Untuk Kalangan Akademisi ..................................................................................... 4
4. Untuk Pemerintah ....................................................................................................... 4
BAB II TELAAH PUSTAKA ..................................................................................................... 5
A. Dasar Teori ........................................................................................................................ 5
1. Peraturan Terkait Pengelolaan Kawasan Perbatasan .................................. 5
2. Konsep Kemiskinan .................................................................................................... 7
B. Kerangka Pemikiran ....................................................................................................... 9
C. Solusi Terdahulu ............................................................................................................10
BAB III METODE PENELITIAN ..........................................................................................12
A. Metode Pengumpulan Data .......................................................................................12
B. Metode Analisis dan Sintesis Data ..........................................................................13
BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS ......................................................................................14
A. Kawasan Perbatasan di Nusa Tenggara Timur ..................................................14
1. Kabupaten Belu ..........................................................................................................15
2. Kabupaten TTU ..........................................................................................................16
3. Kabupaten Kupang ...................................................................................................17
B. Perkembangan Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur ....................................17
C. Arti Penting Pengelolaan Kawasan Perbatasan dalam Upaya
Penanggulangan Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur ......................................20
BAB V PENUTUP .....................................................................................................................23
A. Kesimpulan ......................................................................................................................23
B. Saran...................................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................26
iv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1.
Pemikiran Keterkaitan Pengelolaan Kawasan Perbatasan
dan Upaya Penanggulangan Kemiskinan…………………..
v
9
RINGKASAN
Kawasan perbatasan merupakan wilayah yang sangat krusial untuk
Indonesia. Hal tersebut yang membuat pengelolaannya dilakukan oleh
lembaga khusus, yaitu Badan Pengelola Perbatasan. Namun, pengelolaan
kawasan perbatasan masih belum mendapatkan hasil yang optimal. Berbagai
permasalahan sosial dan ekonomi masih mewarnai kehidupan warga di
kawasan perbatasan. Salah satunya adalah permasalahan kemiskinan.
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang berbatasan darat dengan negara lain. Kawasan perbatasan di
NTT masih sangat memprihatinkan. Tingkat kemiskinan yang tinggi di
makroekonomi NTT juga meliputi kawasan perbatasan yang terletak di
Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara (TTU) dan Kupang. Oleh karena itu,
penanggulangan kemiskinan merupakan agenda utama dari Pemerintah
Provinsi NTT.
Pengelolaan di kawasan perbatasan yang dilakukan oleh lembaga
khusus dengan anggaran yang lebih besar seharusnya memberikan dampak
yang positif ke seluruh wilayah Provinsi NTT. Salah satu dampak positifnya
adalah
perekonomian
makroekonomi
NTT
yang
membaik
karena
peningkatan kesejahteraan di kawasan perbatasan, yang pada umumnya
memunyai tingkat kemiskinan yang tinggi.
Berdasarkan fakta dan pendapat tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengetahui arti penting pengelolaan kawasan perbatasan dalam upaya
penanggulangan kemiskinan di NTT. Tidak sebatas membahas kebenaran
pendapat yang telah disampaikan di atas, tetapi juga untuk mengetahui
dampak positif lain yang mungkin terjadi di wilayah di luar kawasan
perbatasan di Provinsi NTT. Oleh karena itu, penulis merumuskan
permasalahan ke dalam satu pertanyaan, yaitu apakah arti penting
pengelolaan kawasan perbatasan dalam upaya penanggulangan kemiskinan
di NTT?
Karya tulis ilmiah ini ditulis dengan menggunakan pendekatan
kualitatif dengan objek penulisan adalah kaitan antara pengelolaan kawasan
perbatasan dengan upaya penanggulangan kemiskinan di NTT. Data yang
vi
digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah data sekunder yang
dikumpulkan dengan metode studi pustaka. Data sekunder yang digunakan
dalam penulisan karya ilmiah ini merupakan data yang diterbitkan oleh
pemerintah, lembaga sosial atau individu tertentu. Pengumpulan data
sekunder itu juga sudah memenuhi kriteria reliabilitas, kesesuaian dan
kelengkapan data. Data sekunder yang sudah dikumpulkan akan dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif. Sehingga setiap data yang berupa
angka tidak akan diolah kembali, tetapi hanya digunakan untuk menjadi
pendukung analisis.
Berdasarkan analisis penulis, pengelolaan kawasan perbatasan
memunyai peranan yang sangat penting dalam upaya penanggulangan
kemiskinan di NTT. Pengelolaan Kabupaten Belu, TTU dan Kupang yang
optimal akan mendorong perekonomian masyarakat di wilayah tersebut.
Selain itu, hasil pengelolaan kawasan perbatasan tersebut memunyai peluang
untuk didistribusikan secara luas, baik melalui interaksi langsung
antarmasyarakat maupun tidak.
Distribusi hasil pengelolaan kawasan perbatasan tersebut dapat
mendorong
produktivitas
masyarakat.
Peningkatan
produktivitas
masyarakat tersebut akan mendorong daya beli masyarakat. Peningkatan
daya beli masyarakat tersebut akan memutar roda perekonomian dengan
lebih cepat. Sehingga perekonomian NTT akan semakin membaik dan
masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Pemenuhan
kebutuhan hidup minimum ini merupakan salah satu indikator dari
pengurangan angka kemiskinan. Sehingga dapat dikatakan, secara tidak
langsung, pengelolaan kawasan perbatasan dapat mempercepat upaya
penanggulangan kemiskinan di NTT.
Pengelolaan kawasan perbatasan juga dapat memberikan peranan di
dalam
upaya
penanggulangan
kemiskinan
secara
langsung
melalui
peningkatan makroekonomi NTT. Pengelolaan kawasan perbatasan yang
diolah secara optimal dengan penyesuaian terhadap potensi yang
dimilikinya, akan meningkatkan kesejahteraan penduduk di wilayah
tersebut. Peningkatan kesejahteraan penduduk selalu diiringi dengan
vii
penurunan angka kemiskinan. Ketiga kabupaten di NTT yang memunyai
kawasan perbatasan memunyai angka kemiskinan yang tinggi. Jika angka
kemiskinan menurun dan kesejahteraan meningkat, maka makroekonomi
NTT akan menunjukkan perbaikan. Perbaikan makroekonomi tersebut akan
mempermudah NTT dalam mengembangkan potensinya.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
pengelolaan kawasan perbatasan memunyai arti penting dalam upaya
penanggulangan kemiskinan, yaitu sebagai katalisator dan pendorong
makroekonomi.
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kawasan perbatasan memunyai nilai strategis dan penting dalam
mempertahankan kedaulatan negara. Untuk itu, terdapat beberapa peraturan
khusus yang mengatur mengenai pengelolaan kawasan perbatasan. Salah
satunya adalah Undang-undang (UU) No. 43 Tahun 2008 mengenai Wilayah
Negara. Di dalam UU tersebut dinyatakan bahwa kawasan perbatasan
dikelola oleh badan khusus yang dibentuk pemerintah melalui perundangundangan yang berlaku. Selain itu, untuk membangun kawasan perbatasan,
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota diwajibkan membuat
anggaran khusus. Sehingga berbagai program kerja yang dilaksanakan oleh
badan pengelola kawasan perbatasan memunyai anggaran khusus yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Namun, sistem pengelolaan dan anggaran khusus yang diberikan
pemerintah untuk daerah perbatasan masih belum memberikan hasil yang
maksimal. Berbagai permasalahan masih ditemui di kawasan perbatasan.
Salah satu permasalahan dalam masyarakat di kawasan perbatasan adalah
kemiskinan.
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang berbatasan darat dengan Timor Leste. Dengan kata lain, NTT
memunyai kawasan perbatasan. Kabupaten di NTT yang berbatasan dengan
Timur Leste adalah Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara (TTU) dan Kupang.
NTT masih dinyatakan sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan
yang tinggi. Pada tahun 2010, jumlah penduduk miskin di NTT mencapai
1.014,1 ribu orang atau sebesar 23,03% dari jumlah penduduk NTT. (Badan
Pusat Statistik, 2012:48) Pada data tahun 2012, penurunan angka
kemiskinan di NTT hanya sebesar 0,07% dari tahun 2011. Penurunan angka
kemiskinan tersebut tidak didukung oleh data yang diperoleh dari kawasan
1
2
perdesaan dan perkotaan yang menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan.
NTT menempati posisi kelima untuk provinsi dengan tingkat
kemiskinan tertinggi, setelah Papua, Papua Barat, Maluku dan Gorontalo.
Kemiskinan yang berada di NTT tersebar di seluruh kabupaten/kota. Dalam
data tingkat kemiskinan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik,
Kabupaten Belu dan Kupang merupakan dua dari lima daerah di NTT yang
memunyai angka kemiskinan paling tinggi.
Sebagai provinsi yang memunyai kawasan perbatasan, NTT mendapat
kewajiban untuk menetapkan anggaran khusus untuk pengelolaan. NTT juga
berhak untuk mendapatkan anggaran khusus dari pemerintah pusat untuk
pengelolaan kawasan perbatasan. Selain itu, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota di NTT mendapatkan bantuan kinerja
pengelolaan dari Badan Pengelola yang dibentuk berdasarkan perundangundangan.
Sehingga
dapat
dikatakan
bahwa
kawasan
perbatasan
mendapatkan perhatian yang lebih besar dari pemerintah.
Pengelolaan di kawasan perbatasan yang dilakukan dengan upaya dan
anggaran khusus, seharusnya memberikan dampak ke seluruh wilayah
Provinsi NTT, termasuk ke makroekonominya dan berbagai hal yang sedang
diupayakan penyelesaiannya, termasuk kemiskinan. Dengan kata lain,
pengelolaan kawasan perbatasan akan memberikan pengaruh kepada upaya
penanggulangan kemiskinan NTT.
Hal tersebut yang menarik perhatian penulis untuk membahas
peranan pengelolaan kawasan perbatasan dalam mengatasi permasalahan
kemiskinan di NTT dalam karya tulis ilmiah ini. Oleh karena itu, karya tulis
ilmiah ini diberi judul Arti Penting Pengelolaan Kawasan Perbatasan dalam
Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur .
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di
atas,
maka
penulis
merumuskan permasalahan ke dalam satu pertanyaan umum, yaitu apakah
3
arti penting pengelolaan kawasan perbatasan dalam upaya pengentasan
kemiskinan di NTT?
C. Tujuan Penulisan
Karya tulis ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui sistem pengelolaan kawasan perbatasan di NTT.
2. Untuk mengetahui tingkat kemiskinan dan upaya penanggulangan yang
sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah NTT.
3. Untuk mengetahui keterkaitan antara pengelolaan kawasan perbatasan
dengan upaya pengentasan kemiskinan di NTT.
4. Untuk
mengetahui
tingkat
kepentingan
pengelolaan
kawasan
perbatasan dalam upaya pengentasan kemiskinan di NTT.
5. Untuk mencari solusi permasalahan kemiskinan dan optimalisasi
pengelolaan kawasan perbatasan di NTT.
D. Manfaat Penulisan
1. Untuk Penulis
Penulisan karya tulis ini merupakan salah satu bagian dari
pengembangan kemampuan penulis dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan keilmuannya untuk membangun Indonesia. Selain
itu, penulisan karya tulis ini juga diharapkan dapat meningkatkan jiwa
sosial penulis pada kondisi masyarakat yang berada di wilayah lain di
dari Indonesia.
2. Untuk Pembaca
Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi salah satu sarana
pembuka wawasan pembaca mengenai kondisi masyarakat Indonesia.
Karya tulis ini juga dapat dijadikan sebagai acuan pelaksanaan sejumlah
penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan pebatasan dan
kemiskinan di NTT.
4
3. Untuk Kalangan Akademisi
Karya tulis ini dapat dijadikan sebagai bahan diskusi mengenai
pengelolaan kawasan perbatasan, penanggulangan kemiskinan serta
undang-undang terkait otonomi daerah dan pemerintah daerah.
Sehingga karya tulis ini dapat dijadikan literatur tambahan dalam forum
diskusi.
4. Untuk Pemerintah
Karya tulis ini mengandung sejumlah analisis dan sintesis serta
gagasan berupa solusi dari penulis mengenai pengelolaan kawasan
perbatasan dan penanggulangan kemiskinan di NTT. Sehingga karya tulis
ini dapat dijadikan bahan tinjauan oleh pemerintah untuk membentuk
kebijakan dan mengevaluasi kinerjanya dalam membangun daerah
selama ini.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Dasar Teori
1. Peraturan Terkait Pengelolaan Kawasan Perbatasan
Dalam pasal 1 ayat (6) UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah
Negara, kawasan perbatasan merupakan bagian dari wilayah negara yang
terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah darat Indonesia dengan
negara lain. Kawasan perbatasan dihitung dari garis batas wilayah hingga
ke tingkat kecamatan setempat. Sehingga perbatasan laut tidak termasuk
dalam kawasan perbatasan yang dimaksud dalam undang-undang
tersebut.
Berdasarkan definisi tersebut, kawasan perbatasan Indonesia
berada di tiga pulau, yaitu Kalimantan, Papua dan Pulau Timor (Nusa
Tenggara Timur/NTT). Di sebelah utara pulau Kalimantan, Indonesia
berbatasan dengan Malaysia. Di sebelah timur Papua, Indonesia
berbatasan dengan Papua Nugini. Di NTT, Indonesia berbatasan langsung
dengan negara yang sebelumnya merupakan bagian Timor Leste.
Kawasan perbatasan memunyai nilai strategis dalam menjaga
keutuhan negara sehingga pengelolaannya dilakukan secara khusus oleh
pemerintah. Dalam pasal 1 ayat (11) UU No. 43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara dinyatakan bahwa pengelolaan kawasan perbatasan
merupakan kewenangan badan pengelola yang dibentuk oleh pemerintah.
Dalam mengelola kawasan perbatasan, badan pengelola memunyai tugas
untuk menetapkan kebijakan program pembangunan, menetapkan
rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasi pelaksanaan program dan
melaksanakan evaluasi dan pengawasan. Sedangkan
pelaksana teknis
pembangunan dilakukan oleh instansi teknis terkait.
Badan pengelola ini terdiri dari Badan Pengelola Nasional dan
Badan Pengelola Daerah. Landasan praktis kelembagaan dari kedua badan
pengelola tersebut tidak sama. Badan Pengelola Pusat berpedoman pada
5
6
Peraturan Presiden, sedangkan Badan Pengelola Daerah diatur oleh
Peraturan Daerah.
Walaupun badan pengelola sudah diberi kewenangan oleh undangundang, pemerintah pusat dan daerah masih memunyai peranan yang
penting dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Sebagaimana yang
tertuang dalam pasal 10 ayat (1a) UU No. 43 Tahun 2008, pemerintah
pusat memunyai wewenang untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dan
pemanfaatan kawasan perbatasan. Selain itu, pemerintah pusat juga
diwajibkan untuk menetapkan biaya pembangunan kawasan perbatasan.
Sebagaimana penetapan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan
Daerah,
pemerintah
daerah
merupakan
pemegang
wewenang dalam mengelola daerahnya, termasuk kawasan perbatasan
yang berada di wilayahnya. Oleh karena itu, pemerintah daerah, baik yang
di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, memunyai peranan yang
sangat penting dalam mengelola kawasan perbatasan.
Dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 43 Tahun 2008, pemerintah di
tingkat provinsi berwenang untuk menjalin kerjasama antar-pemerintah
daerah dan/atau dengan pihak ketiga lain dalam upaya pembangunan
kawasan perbatasan. Selain itu, pemerintah di tingkat provinsi juga
berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pembangunan
kawasan perbatasan yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat
kabupaten/kota. Pemerintah di tingkat provinsi juga berkewajiban untuk
menetapkan biaya pembangunan kawasan perbatasan. Sementara itu,
pemerintah di tingkat kabupaten/kota juga memunyai wewenang yang
sama dengan pemerintah di tingkat provinsi, tetapi dengan kinerja yang
lebih terfokus.
Selain peran pemerintah, partisipasi masyarakat juga diwajibkan
melalui pasal 19 UU No. 43 Tahun 2008. Masyarakat dapat berpartisipasi
dengan
cara
mengembangkan
pembangunan
serta
menjaga dan
mempertahankan kawasan perbatasan. Masyarakat juga diwajibkan untuk
berpartisipasi aktif dalam program yang dicanangkan pemerintah dalam
rangka membangun kawasan perbatasan.
7
2. Konsep Kemiskinan
Kemiskinan
merupakan
bagian
dari
keamanan
nasional.
Kemiskinan dapat mengancam integritas negara. Oleh karena itu, berbagai
studi memelajari kemiskinan dan mencari upaya penanggulangan yang
tepat. (Williams, 2008:246)
Berbagai pengertian dari kemiskinan disampaikan oleh pakar dan
akademisi. Definisi yang disampaikan dapat bersifat normatif dan empiris.
Definisi
kemiskinan yang bersifat
kemampuan
kelompok
tertentu
normatif menentukan
dalam
memenuhi
kriteria
kebutuhannya.
Sedangkan definisi yang bersifat empiris menentukan kriterianya melalui
penelitian. (Veit-Wilson, 2006:3)
Bank Dunia menyatakan bahwa kemiskinan adalah kekurangan
atau ketidakmampuan pencapaian standar hidup secara sosial (Bellù dan
Liberati, 2005:2). Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengartikan
kemiskinan sebagai ketidakmampuan suatu individu atau kelompok
masyarakat untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasarnya
(Cahyat, 2004:2).
Dalam teori ekonomi, kata kemiskinan memunyai arti yang lebih
luas. Tidak sekedar diartikan sebagai kondisi kekayaan yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan, tetapi kata kemiskinan juga didefinisikan sebagai
penggambaran dari perilaku dan budaya yang mendasari perilaku
ekonomi seseorang. Oleh karena itu, Harold W. Watts (t.t: 8-9)
menyatakan bahwa kemiskinan adalah suatu sifat dari situasi individu
yang melebihi karakternya atau perilaku pada umumnya dalam
melakukan tindakan ekonomi. Dengan kata lain, seseorang yang
melakukan transaksi pasar secara terpaksa merupakan salah satu bentuk
kemiskinan.
Menurut Watts, faktor pendorong dari keterpaksaan yang
dimaksud dalam definisi tersebut adalah tingkat pendapatan dari individu
tertentu. Tingkat pendapatan yang rendah tidak mampu memberikan
kepuasan yang optimal terhadap barang/jasa yang dibeli dan dikonsumsi.
Hal tersebut yang dimaksud dengan pembelian terpaksa. Sehingga dapat
8
disimpulkan bahwa indikator utama dari kemiskinan adalah tingkat
pendapatan suatu individu atau kelompok (rumah tangga).
Berbagai pakar dan lembaga terkait menetapkan indikator yang
berbeda mengenai kemiskinan. Indikator-indikator tersebut yang menjadi
tolok ukur dari penentuan dan identifikasi tingkat kemiskinan dari suatu
kelompok masyarakat.
Secara tradisional, kelompok masyarakat yang dinyatakan miskin
dicirikan dengan gaya hidup yang sangat kekurangan, mengalami
minder dan perasaan yang buruk. Selain itu, kekurangan gizi dan
defisiensi kesehatan, pengalaman partisipasi yang minim, rumah yang
tidak layak huni, lingkungan yang tidak sehat serta pemenuhan kebutuhan
sosial yang kurang juga menjadi indikator dari kemiskinan. (Wilson,
2006:2)
Sementara itu, secara spesifik pada lembaga nasional tertentu,
indikator tersebut tidak selalu digunakan. Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) menggolongkan kelompok masyarakat yang
mengalami kemiskinan ke dalam dua kelompok, yaitu Pra-Sejahtera
(sangat miskin) dan Sejahtera I (miskin). Keluarga Pra-Sejahtera
merupakan kelompok masyarakat yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti sandang, pangan, papan,
kesehatan dan pengajaran agama. Sedangkan Keluarga Sejahtera I
merupakan kelompok masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan
dasarnya, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial dan
psikologisnya,
seperti
pendidikan,
transportasi,
interaksi
dengan
lingkungan dan keluarga berencana. (Cahyat, 2004:4)
Indikator yang digunakan oleh BKKBN dalam penetapan status
tingkat kemiskinan masyarakat, yaitu intensitas dan kualitas makan,
kondisi tempat tinggal serta pendapatan. Keluarga Pra-Sejahtera belum
mampu untuk memenuhi kebutuhan makan dua kali atau lebih dalam
sehari.; belum mampu memunyai pakaian yang berbeda untuk aktivitas;
dan bagian terluas dari lantai rumah tidak berasal dari tanah. (Cahyat,
2004:4)
9
Sementara itu, Keluarga Sejahtera I belum mampu memakan
daging/ikan/telur minimal satu kali dalam seminggu; belum mampu
membeli satu stel pakaian baru pada setahun terakhir; memunyai
penghasilan tetap; luas lantai rumah minimal 8 m2 untuk setiap penghuni;
tidak ada anggota keluarga yang buta huruf pada usia 10-60 tahun; dan
mengikuti program Keluarga Berencana. (Cahyat, 2004:5)
B. Kerangka Pemikiran
Perhatikan gambar berikut!
UU No. 43 Tahun
2008 tentang
Wilayah Negara
UU No. 32 Tahun
2004 tentang
Pemerintahan
Daerah
Pengelolaan
Kawasan Perbatasan
Otonomi Daerah
Penanggulangan
Kemiskinan
Sumber: Diolah Penulis
Bagan 2.1. Pemikiran Keterkaitan Pengelolaan Kawasan Perbatasan
dan Upaya Penanggulangan Kemiskinan
Peraturan mengenai pengelokaan kawasan perbatasan tertuang dalam
UU No. 43 Tahun 2008 tentang wilayah negara, merupakan peraturan yang
bernilai strategis untuk pembangunan provinsi atau daerah yang memunyai
kawasan perbatasan. Pengelolaan suatu wilayah menjadi kewenangan
pemerintah daerah. Hal ini dijelaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Sehingga berbagai program pemerintah daerah dalam
pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
wilayahnya.
Daerah yang memunyai kawasan perbatasan juga memunyai hak
pengelolaan yang sama dengan wilayah lainnya. Bahkan, dengan dukungan
UU No. 43 Tahun 2008, pemerintah daerah yang memunyai kawasan
perbatasan mendapat
energi
khusus, berupa bantuan material dan
immaterial. Oleh karena itu, upaya pembangunan di wilayah yang memunyai
10
kawasan perbatasan lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah yang
memunyai kawasan perbatasan lebih baik atau permasalahan kemiskinannya
dapat ditanggulangi.
C. Solusi Terdahulu
Kawasan perbatasan di NTT berada di Kabupaten Belu, Timor Tengah
Utara (TTU) dan Kupang. Kondisi ketiga kabupaten ini masih belum
menunjukkan gambaran kawasan perbatasan yang ideal. Pemasalahan
mendasar yang dihadapi masyarakat di kawasan perbatasan NTT meliputi
tingkat kesejahteraan yang rendah; sarana dan prasarana pendidikan,
kesehatan, perhubungan, penerangan dan komunikasi; kerusakan lingkungan
hidup karena pengalihan fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan
pertambangan; permasalahan lahan sengketa dan peraturan lintas batas
ilegal; serta kapasitas aparat pemerintah di tingkat kecamatan dan desa
masih minim dan anggaran dana yang sangat terbatas.
Dalam buku Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Indonesia
(2011:19-20) disampaikan kebijakan khusus yang ditetapkan pemerintah
dalam mengelola kawasan perbatasan di NTT. Adapun kebijakan tersebut
antara lain.
a. Kebijakan penyelesaian masalah pertanahan berbasis ulayat menjadi
tanah yang memunyai keabsahan untuk diatur dengan legitimasi
peraturan berdasarkan undang-undang pertanahan yang berlaku.
b. Kebijakan mengakomodasi aspek sosial-budaya untuk menyelesaikan
sengketa batas lahan yang berkepanjangan.
c. Kebijakan affirmative action yang berkenaan dengan faktor intervensi
teknologi serta dukungan modal, bibit, air dan budidaya.
Selain itu, dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM), program
pendidikan diarahkan pada pemenuhan kesempatan mengikuti pendidikan
dasar sembilan tahun, pendidikan lanjutan tingkat atas (SMA), pendidikan
luar sekolah yang memberikan ketrampilan hidup (life skill) dan
pengembangan muatan lokal yang bertujuan untuk mengembangkan potensi
11
wilayah NTT. Di bidang kesehatan, kebijakan diarahkan pada upaya
penurunan angka kematian ibu dan bayi, status gizi dan penanggulangan gizi
buruk serta pemberantasan penyakit masyarakat, seperti frambusia, malaria
serta penyakit seksual.
Peningkatan
pendapatan
masyarakat
diarahkan
melalui
pengembangan kesempatan kerja dan berusaha berbasis pengelolaan
sumber daya yang dikuasai oleh masyarakat. Masyarakat yang pada
umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan peternak juga
mendapatkan kesempatan untuk menambah keahliannya melalui berbagai
program pengembangan usaha.
Untuk menjalankan kebijakan tersebut, Pemerintah Provinsi NTT
sudah membentuk Badan Pengelola Perbatasan Provinsi (BPPP) melalui
Peraturan Gubernur No. 28 Tahun 2010 (Kemitraan Partnership, 2011:1213). Beberapa lembaga non-pemerintah juga terlibat dalam pembangunan
kawasan perbatasan tersebut, yaitu seperti UNICEF, UNDP, FAO, CARE,
OXFAM, PLAN, Kemitraan, Yayasan Mitra Tani Mandiri, YABIKU, Yayasan
Nusra Septara dan lain-lain.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pengumpulan Data
Penulisan
karya
tulis
ini
menggunakan
pengamatan
dengan
pendekatan kualitatif. Objek yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini
adalah kaitan antara pengelolaan kawasan perbatasan dengan upaya
penanggulangan kemiskinan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan
objek penelitian tersebut, maka terdapat dua variabel yang akan menentukan
distribusi data yang digunakan, yaitu pengelolaan kawasan perbatasan dan
upaya penanggulangan kemiskinan.
Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yang
diperoleh dengan menggunakan metode studi pustaka. Data sekunder
merupakan data yang dikumpulkan oleh orang lain dan sudah pernah
melewati proses statistik (Kothari, 2004: 95). Data sekunder terbagi ke
dalam dua jenis, yaitu data yang diterbitkan dan tidak diterbitkan (Kothari,
2004: 111). Data sekunder yang digunakan dalam karya tulis ini adalah data
yang diterbitkan, baik oleh pemerintah maupun lembaga atau individu
tertentu.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam pengumpulan data
sekunder, yaitu reliabilitas data, kesesuaian dan kelengkapan data (Kothari,
2004: 111). Reliabilitas data mengacu pada identitas sumber data dan
kualitas data yang digunakan. Sementara itu, kesesuaian dan kelengkapan
data mengacu pada keterkaitan data dengan tema yang diangkat dan
kapasitasnya dalam keperluan analisis.
Data yang digunakan dalam karya tulis ini sudah memenuhi ketiga hal
tersebut. Data yang digunakan dalam karya tulis ini berasal dari pemerintah
lokal dan pusat serta lembaga pemerintahan terkait. Sumber berupa artikel
dan makalah juga berasal dari penulis yang berkecimpung dengan bidang
yang diangkat dalam tema karya tulis ini. Sehingga data yang digunakan
tergolong data dengan reliabilitas yang baik dan sesuai dengan tema yang
diangkat serta cukup untuk keperluan analisis.
12
13
B. Metode Analisis dan Sintesis Data
Analisis data dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu analisis
deskriptif dan interferensial. Analisis deskriptif merupakan teknik analisis
yang dilakukan dengan cara menyampaikan sejumlah penjelasan mengenai
variabel yang digunakan dalam tema yang diangkat. Sedangkan analisis
interferensial merupakan teknik analisis data dengan menggunakan metode
statistik. (Kothari, 2004: 130).
Karya tulis ini menggunakan hasil pengamatan yang dilakukan dengan
metode kualitatif. Selain itu, karya tulis ini juga menggunakan data sekunder.
Oleh karena itu, teknik analisis data yang digunakan dalam karya tulis ini
adalah analisis deskriptif.
Data berupa angka yang digunakan dalam karya tulis ini tidak diolah
kembali oleh penulis. Data angka yang disampaikan dalam karya tulis ini
merupakan kutipan langsung dari sumber data. Data angka digunakan
sebagai pendukung dari fakta-fakta lapangan yang tercantum dalam sumber
data. Sehingga analisis yang digunakan dalam karya tulis ini tidak
menggunakan statistik, tetapi penjelasan mendetil mengenai distribusi dari
variabel yang sudah ditentukan.
14
BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
A. Kawasan Perbatasan di Nusa Tenggara Timur
Kawasan perbatasan Indonesia dengan Timor Leste di Nusa Tenggara
Timur (NTT) terletak di tiga kabupaten, yaitu Belu, Timor Tengah Utara
(TTU) dan Kupang. Kawasan perbatasan di Kabupaten Belu terletak
memanjang dari utara ke selatan bagian Pulau Timor, sedangkan Kabupaten
Kupang dan TTU berbatasan dengan bagian Timor Leste yang terpisah dan
terletak di tengah wilayah Indonesia (enclave).
Garis batas antarnegara di NTT terletak di sembilan kecamatan, yaitu
satu kecamatan di Kabupaten Kupang, tiga kecamatan di Kabupaten TTU dan
lima kecamatan di Kabupaten Belu. Pintu perbatasan terdapat di setiap
kecamatan, tetapi akses terbesar berada di Kabupaten Belu.
Kabupaten Belu memunyai tiga Pintu Lintas Batas (PLB) sebagai pintu
masuk atau keluar dari Timor Leste (Bank Indonesia, 2012:11). Namun, pintu
perbatasan yang memunyai fasilitas yang relatif lengkap dan sering
digunakan sebagai lintas batas berada di Kecamatan Tasifeto Timur. Fasilitas
di wilayah tersebut sudah cukup lengkap walaupun masih dalam kondisi
darurat. (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2011:50)
Sarana dan prasarana sosial yang dibangun oleh pemerintah pusat
dan daerah juga masih sangat terbatas. Sekolah dan pusat kesehatan
masyarakat sudah tersedia walaupun kondisinya masih belum baik. Sarana
perhubungan darat dan laut ke pintu perbatasan juga cukup baik. Sehingga
akses jalan yang dapat digunakan untuk saling berkunjung relatif mudah dan
cepat. (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2011:50)
Kegiatan di lintas batas Indonesia-Timor Leste masih terjadi secara
tradisional. Penduduk Indonesia yang memasuki wilayah Timor Leste untuk
berdagang dan penduduk Timor Leste yang ingin menemui keluarganya,
masih menempuh jalur yang biasa dilalui sebelum kemerdekaan Timor Leste.
(Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2011:50)
15
Potensi sumber daya alam yang tersedia di kawasan perbatasan NTT
tidak terlalu besar. Hal tersebut ditinjau dari kondisi lahan yang kurang baik
untuk pengembangan pertanian di sepanjang perbatasan. Sementara itu,
hutan yang berada di kawasan ini bukan merupakan hutan produksi atau
konversi. (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2011:51)
Kondisi
masyarakat
disepanjang
perbatasan,
pada
umumnya,
tergolong miskin ataumemunyai tingkat kesejahteraan yang rendah. Sumber
mata pencaharian utama masyarakat di kawasan perbatasan adalah
pertanian lahan kering. Potensi yang dimiliki oleh kawasan perbatasan
Indonesia-Timor Leste dapat dilihat dalam uraian berikut ini.
1. Kabupaten Belu
Menurut penilaian Bank Indonesia, Kabupaten Belu memunyai nilai
strategis untuk kepentingan bisnis maupun tujuan wisata. Perkembangan
perekonomian di Kabupaten Belu menunjukkan yang cukup signifikan.
Bahkan, wilayah ini juga menjadi penopang perekonomian negara Timor
Leste dalam memenuhi kebutuhannya. (Bank Indonesia, 2012:11)
Posisi Belu yang berada di perbatasan Indonesia-Timor Leste dan
juga berada di titik silang Kabupaten Flores Timur dan TTU merupakan
posisi strategis dalam pengembangan perdagangan. Hal tersebut yang
digunakan
oleh
sebagian
masyarakat
Belu.
Walaupun
intensitas
perdagangannya masih kecil, masyarakat Belu sudah melakukan kegiatan
berdagang dengan Timor Leste. Sehingga sektor perdagangan dapat
dikatakan sebagai salah satu potensi yang dimiliki Belu.
Selain perdagangan, pertanian juga merupakan sektor penting
untuk Belu karena berkaitan dengan pengadaan bahan pangan. Oleh
karena itu, Pemerintah Kabupaten Belu bekerjasama dengan Bank
Indonesia untuk mengadakan pengembangan klaster budidaya padi
dengan pilot project percontohan di Kecamatan Raihat, tepatnya di Desa
Tohe dan Maumutin. (Bank Indonesia, 2012:12)
Perindustrian
juga merupakan
potensi yang belum dapat
dikembangkan dengan baik di Belu. Industri yang berkembang di Belu,
16
pada umumnya merupakan industri rumah tangga yang padat karya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia Belu memunyai
keterampilan yang bernilai lebih.
2. Kabupaten TTU
Kabupaten TTU memunyai kondisi yang tidak jauh berbeda dengan
Belu. Namun, secara berangsur TTU sudah tidak bergantung pada sektor
pertanian. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian mulai
mengalami penurunan, sedangkan pekerja di sektor sekunder dan tersier
terus mengalami peningkatan.
Pada tahun 2008, sektor pertanian menyerap 67,71% tenaga kerja
di TTU, sedangkan lapangan kerja sekunder hanya 13,92% dan tersier
18,37%. Pada tahun 2009, lapangan pekerjaan primer (pertanian) TTU
menyerap tenaga kerja sebesar 60,42%, sedangkan sekunder 19,83% dan
tersier 19,75%. Hal tersebut menunjukkan kemajuan pola pikir
masyarakat dan mendorong pembentukan lapangan kerja yang lebih
beragam.
Walaupun demikian, pertanian merupakan salah satu sektor
penting untuk TTU. Hal tersebut berkaitan dengan pengadaan bahan
pangan untuk masyarakat di wilayahnya. Oleh karena itu, Pemerintah
Kabupaten TTU memasukkan program peningkatan pertanian ke dalam
Panca Program . Program yang dilaksanakan pemerintah daerah di
bidang pertanian memunyai misi sebagai berikut:
a. meningkatkan pemanfaatan teknologi pertanian tepat guna;
b. merevisi pola bertani yang bersifat subsisten tradisional ke pola yang
berorientasi pasar;
c. penguatan kelembagaan desa; dan
d. melakukan restrukturisasi aspek sosial dan budaya yang menghambat
produktivitas pertanian.
17
3. Kabupaten Kupang
Kabupaten Kupang memunyai ibukota yang sama dengan ibukota
Provinsi NTT. Namun, sebagai bagian dari kawasan perbatasan,
perkembangan Kabupaten Kupang masih berada di bawah Belu dan TTU.
Walaupun lahan Kabupaten Kupang lebih luas dibandingkan dengan Belu
dan TTU, hasil alam yang dimilikinya belum mampu untuk memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat setempat.
Kabupaten Kupang tidak memunyai potensi yang cukup besar di
bidang agraria. Penanaman padi di Kabupaten Kupang yang mencapai
13.135 hektar, jumlah terbesar di antara kawasan perbatasan lainnya di
NTT, hanya menghasilkan 28,54 kuintal/hektar lahan. Jumlah ini lebih
sedikit dibandingkan dengan hasil tanam padi di TTU dan Belu yang
memunyai lahan yang lebih kecil.
Namun,
Kabupaten
Kupang
memunyai
potensi
di
bidang
peternakan dan perikanan. Pengusaha di bidang perikanan yang berada di
Kabupaten Kupang merupakan potensi yang cukup besar untuk dapat
dikembangkan. Kabupaten Kupang yang menjadi wilayah dengan populasi
dan peternakan sapi terbesar di NTT dapat dikembangkan dan
menghasilkan hasil optimal jika dikelola dengan baik.
B. Perkembangan Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur
Indonesia menunjukkan pergerakan perekonomian makro yang
positif sejak memasuki tahun 2000. Perekonomian Indonesia terus
mengalami kemajuan yang pesat hingga dinobatkan sebagai negara ekonomi
terbaik ketiga di dunia pada masa krisis global. Penobatan Indonesia sebagai
negara ekonomi terbaik ketiga di dunia pada krisis global pada tahun 2008
didorong oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif.
Sebagai salah satu indikator dari pertumbuhan ekonomi Indonesia,
tingkat kemiskinan juga menunjukkan perbaikan secara perlahan. Pada bulan
Maret 2012, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 29,13 juta
orang atau 11,96%. Jumlah ini menunjukkan penurunan sebesar 0,53% atau
0,89 juta orang dibandingkan pada Maret 2011. Penurunan tingkat
18
kemiskinan ini lebih banyak terjadi di wilayah perdesaan. Persentase
penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2011 sebesar 9,23%,
menurun menjadi 8,78% pada Maret 2012. Sedangkan di daerah perdesaan
jumlah penduduk miskin pada Maret 2011 mencapai 15,72% dan menurun
hingga 15,12% pada Maret 2012. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
penurunan angka kemiskinan di perkotaan sebesar 0,45% sedangkan di
perdesaan mencapai 0,60%. (Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XV, 2 Juli
2012)
Pada umumnya kemiskinan di perkotaan disebabkan oleh harga
perumahan yang tinggi. Sedangkan kemiskinan di daerah pedesaan didorong
oleh kelangkaan bahan pangan. Sehingga indikator utama kemiskinan di
perkotaan adalah pemukiman. Indikator kemiskinan di perdesaan adalah
kemampuan memenuhi kebutuhan pangan.
Angka kemiskinan di Indonesia semakin menurun. Pada bulan
September 2012, jumlah penduduk miskin mencapai 28,59 juta orang
(11,66%), berkurang sebesar 0,54 juta orang (0,30%). Penurunan angka
kemiskinan di daerah perkotaan mencapai 0,18%, sedangkan di perdesaan
0,42% jika dibandingkan dengan kondisi pada Maret 2012. (Berita Resmi
Statistik No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013)
Penurunan tingkat kemiskinan di tingkat provinsi juga terjadi di NTT.
Pada September 2012, jumlah penduduk miskin di NTT sebesar 20,41%,
mengalami penurunan sebesar 0,07% dari 20,48% pada September 2011.
Walaupun secara regional mengalami penurunan angka kemiskinan, data
yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kenaikan yang
cukup signifikan.
Penurunan jumlah penduduk miskin di NTT juga terjadi dari tahun
2009. Dalam data yang disampaikan oleh BPS, jumlah penduduk miskin pada
tahun 2010 tercatat sebesar 1.014,1 ribu orang atau sebesar 23,03%.
Sedangkan pada September 2011, jumlah penduduk miskin di NTT sebesar
986,50 ribu orang atau 20,48%.
Dalam data jumlah keluarga fakir miskin dan miskin, kabupaten yang
memunyai angka kemiskinan tertinggi adalah Sumba Barat Daya diikuti oleh
19
Manggarai, Kupang dan Belu. Sementara itu, data penduduk miskin
menunjukkan bahwa kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah
Timor Tengah Selatan (TTS), Kupang, Sumba Barat Daya, Belu dan Sumba
Timur.
Kabupaten Kupang dan Belu merupakan wilayah yang memiliki
kawasan perbatasan. Dana yang diberikan oleh pemerintah pusat dan
provinsi serta berbagai program yang dilaksanakan oleh lembaga
masyarakat non-pemerintah seharusnya dapat memperbaiki kondisi di
wilayah tersebut. Sehingga Kabupaten Kupang dan Belu dapat terlepas dari
masalah kemiskinan.
Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, Pemerintah Provinsi NTT
membentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
2009-2013. Penanggulangan kemiskinan merupakan upaya lintas sektor dan
kewenangan. Oleh karena itu, program penanggulangan kemiskinan
merupakan program lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Prioritas
dalam program tersebut antara lain.
a. Program – program terkait Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PKMS).
b. Program terkait ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian.
c. Program terkait pengembangan kelembagaan agribisnis.
d. Program terkait pengembangan industri non pertanian.
e. Program terkait revitalisasi institusi ekonomi.
f. Program terkait peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
g. Program terkait peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat.
h. Program terkait penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
i.
Program terkait pendidikan non formal.
j.
Program terkait peningkatan kualitas angkatan kerja, penciptaan
kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja.
k. Program terkait pemberdayaan perempuan pedesaan.
20
Sementara itu, program untuk pembangunan infrastruktur berupa:
a. pembangunan dan pemeliharaan sarana prasarana dan fasilitas
perhubungan (termasuk jalan dan jembatan);
b. pembangunan dan pengembangan energi listrik dan mineral; dan
c. pembangunan infrastruktur pedesaan.
C. Arti Penting Pengelolaan Kawasan Perbatasan dalam Upaya
Penanggulangan Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur
Permasalahan sosial dan ekonomi kerapkali melanda wilayah
perbatasan Indonesia. Salah satunya adalah kawasan perbatasan di NTT.
Provinsi NTT memunyai angka kemiskinan yang tinggi. Tidak hanya di
kawasan perbatasan, tetapi juga wilayah lainnya. Sehingga permasalahan
kemiskinan di seluruh wilayah NTT, termasuk kawasan perbatasan, menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.
Namun, di dalam UU No. 43 Tahun 2008, dijelaskan tugas pemerintah
pusat, provinsi dan kabupaten dalam pengelolaan kawasan perbatasan.
Selain itu, pemerintah juga membentuk badan pengelola perbatasan.
Pembentukan badan pengelola perbatasan ini bertujuan untuk meningkatkan
pembangunan di kawasan perbatasan.
Pada dasarnya tugas badan pengelola perbatasan hanya sebatas
pembentuk dan pelaksana program pembangunan, sedangkan pemerintah
memunyai tugas sebagai pengawas dan penyedia dana. Jika dilihat dari
faktanya, pemerintah Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah, belum
mampu menyediakan dana yang cukup untuk pembangunan di kawasan
perbatasan. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama dengan pihak ketiga,
terutama perusahaan tertentu. Dengan kata lain, pemerintah harus dapat
menarik perhatian investor untuk menanamkan modal.
Penanaman modal dari investor ke NTT akan mendorong pembukaan
lapangan kerja yang baru untuk masyarakat. Apalagi sebagian besar
masyarakat sudah memunyai keterampilan di bidang industri. Kemampuan
tersebut dapat berkembang dengan keberadaan investasi di kawasan
perbatasan.
21
Selain itu, potensi di bidang industri tersebut juga dapat dikelola
dengan mendorong pembentukan usaha kecil dan menengah. Hal ini dapat
dilakukan dengan peningkatan intensivitas dan efektivitas dari kerjasama
yang dilakukan dengan lembaga non-pemerintah, seperti FAO, UNDP, dan
lain-lain.
Pengelolaan kawasan perbatasan di NTT tidak dapat dilakukan
dengan cara yang sama di setiap wilayahnya. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan potensi wilayah di setiap kawasan perbatasan. Kabupaten Belu
dengan potensi perdagangan dan pertanian, TTU dengan perindustrian dan
Kupang dengan peternakan dan perikanan. Ketiga kabupaten tersebut harus
mendapatkan pengelolaan dengan cara yang berbeda.
Pengelolaan yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula.
Kabupaten Belu dengan hasil pertanian dan perdagangan, TTU dengan hasil
perindustrian, sedangkan Kupang dengan hasil peternakan dan perikanan.
Hasil pengelolaan kawasan perbatasan dapat didistribusikan ke wilayah
lainnya. Sehingga dapat dikembangkan di luar kawasan perbatasan dan
dapat mendorong perbaikan ekonomi masyarakat NTT yang berada di luar
kawasan perbatasan.
Sebagai contoh, potensi Kabupaten TTU di bidang perindustrian dapat
dikembangkan menjadi sumber mata pencaharian utama untuk masyarakat
setempat melalui pembentukan usaha kecil dan menengah. Hasil industri
rumah tangga yang selama ini bersifat musiman dapat menjadi aktivitas rutin
yang menguntungkan melalui penjualan ke pasar yang lebih luas, termasuk
ke Timor Leste. Apalagi Kabupaten TTU memunyai pintu lintas batas ke
wilayah kantong Timor Leste.
Jika pengembangan hasil perindustrian juga dikembangkan hingga ke
wilayah utama Timor Leste, maka jalur perdagangan daratnya akan melewati
Kabupaten Belu. Lalu lintas hasil industri padat karya ini akan mendorong
masyarakat Belu untuk mengembangkan industri sejenis atau dengan variasi
tertentu. Apalagi masyarakat Belu juga sudah memunyai keterampilan dalam
industri padat karya.
22
Prospek distribusi hasil pengelolaan kawasan perbatasan ditunjukkan
dengan cara yang berbeda oleh Kabupaten Kupang. Kabupaten yang
memunyai potensi di bidang peternakan dan perikanan ini, dapat memberi
pengaruh ke wilayah lainnya yang juga bergantung pada hasil laut. Tidak
hanya sebatas pada penjualan hasil laut, tetapi juga pada pengembangan
kemampuan sumber daya manusianya dan kelengkapan peralatan yang
dimiliki. Distribusi hasil pengelolaan kawasan perbatasan tersebut tidak
hanya melalui pembelajaran secara formal, tetapi juga melalui proses imitasi
yang dilakukan oleh masyarakat dari luar kawasan perbatasan.
Pengembangan berbagai sektor yang berawal dari upaya pengelolaan
kawasan perbatasan tersebut, akan mendorong peningkatan pendapatan
penduduk. Tidak hanya yang berada di Kabupaten Belu, TTU dan Kupang,
tetapi juga di wilayah NTT lainnya. Sebagaimana dalam ilmu ekonomi,
peningkatan pendapatan akan mendorong daya beli. Begitupula dengan
peningkatan pendapatan penduduk NTT akan mendorong daya beli
masyarakat. Daya beli yang meningkat akan memutar roda perekonomian
NTT dengan lebih cepat, sehingga aktivitas ekonomi penduduk dapat
memenuhi kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan pemerintah.
Peningkatan kemampuan penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimum merupakan gambaran dari penurunan angka kemiskinan.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan
kawasan perbatasan merupakan bagian dari upaya penanggulangan
kemiskinan di NTT. Tidak hanya mengurangi kemiskinan di kawasan
perbatasan, tetapi juga di wilayah NTT yang berada di luar kawasan
perbatasan. Sehingga pengelolaan kawasan perbatasan juga merupakan
pendorong pencapaian hasil optimal dari upaya penanggulangan kemiskinan
yang sudah dibentuk pemerintah daerah, tetapi masih berjalan lambat.
Dengan kata lain, pengelolaan kawasan perbatasan merupakan katalisator
dari upaya penanggulangan kemiskinan di NTT.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan dalam bab-bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
a. Pengelolaan kawasan perbatasan melibatkan peranan pemerintah pusat,
daerah dan masyarakat, sedangkan tugas pelaksana dan pembentuk
program berada pada badan pengelola perbatasan, baik yang dibentuk di
tingkat pusat maupun daerah.
b. Permasalahan kemiskinan masih menjadi agenda pemerintah Nusa
Tenggara Timur (NTT) untuk diselesaikan.
c. Kawasan perbatasan di NTT berada di Kabupaten Belu, Timor Tengah
Utara (TTU) dan Kupang. Ketiga kabupaten tersebut memunyai potensi
yang berbeda-beda.
d. Pengelolaan kawasan perbatasan NTT masih belum maksimal dan
memberikan hasil yang optimal.
e. Pengelolaan kawasan perbatasan yang optimal dapat memberikan
dampak positif untuk wilayah NTT lainnya, baik melalui interaksi
langsung maupun tidak. Dampak positif utama yang diperoleh penduduk
adalah pembentukan sumber mata pencaharian baru dan peningkatan
pendapatan.
f. Peningkatan pendapatan penduduk sebagai akibat dari pengelolaan
kawasan perbatasan akan meningkatkan daya beli masyarakat. Sehingga
masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Kemampuan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum tersebut
menunjukkan peningkatan kualitas hidup.
g. Peningkatan kualitas hidup tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan
kawasan perbatasan merupakan katalisator upaya penanggulangan
kemiskinan. Sehingga pengelolaan kawasan perbatasan merupakan hal
yang sangat penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan di NTT
23
24
B. Saran
Berdasarkan pembahasan permasalahan yang disampaikan dalam bab
sebelumnya dan kesimpulan yang di atas, maka penulis menyarankan
beberapa upaya untuk pengelolaan kawasan perbatasan. Adapun upaya yang
disarankan penulis antara lain.
a. Pembentukan hubungan kerjasama oleh Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten dengan pihak ketiga dalam membangun kawasan perbatasan,
baik secara permodalan maupun peningkatan k