Dari Sidang Tanwir I Aisyiyah

Dari Sidang Tanwir I Aisyiyah
“GERAKAN pendidikan moral untuk mewujudkan masyarakat antikekerasan”
merupakan tema Tanwir I Aisyiyah, yang berlangsung 3-5 Juli 2002 di Yogyakarta. Diikuti
lebih 200 peserta dari 30 Pimpinan Wilayah Aisyiyah seluruh Indonesia, utusan NA dan
Angkatan Muda Muhammadiyah, serta tamu undangan lainnya. Dengan tema ini Aisyiyah,
sebagai gerakan perempuan dalam Muhammadiyah, ingin mengukuhkan komitmen terhadap
pendidikan moral (akhlak) bangsa sekaligus peduli dan mengambil peran aktif di dalam
melakukan gerakan antikekerasan yang kini mekar di tengah masyakarat.
Dasar pemikiran yang sempat mendapat pujian dari Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia, Hj. Sri Redjeki Soemarjoto, SH, ketika menyampaikan
ceramahnya, berangkat dari krisis dalam kehidupan bangsa yang ditinggalkan Orde Baru.
Menurut pengamatan Aisyiyah, krisis yang terjadi tidak hanya berupa krisis ekonomi dan
politik, tetapi juga berupa krisis moral yang ditandai a.l. dengan semakin meningkatnya
kekerasan dalam berbagai bentuk. Kekerasan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, politik,
konflik, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering disebut kekerasan
struktural. Kekerasan ini, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, menimbulkan
luka dan hancurnya sendi-sendi kemanusiaan yang berdampak sangat luas dan traumatik bagi
generasi mendatang.
Pemecahan terhadap kekerasan maupun krisis kemanusiaan pada umumnya tidak
semata-mata dilakukan melalui kebijakan-kebijakan jangka pendek dan praktis. Diperlukan
penyelesaian-penyelesaian masalah yang bersifat menyeluruh dan jangka panjang, antara lain

melalui pendekatan dan aspek pendidikan, khususnya melalui gerakan pendidikan moral yang
seluas-luasnya. Melalui gerakan ini ditempuh berbagai macam proses sosialisasi nilai-nilai
sekaligus upaya-upaya pencegahan agar setiap orang dari warga negara Indonesia benar-benar
tidak lagi melakukan kekerasan, selain melalui upaya-upaya penindakan dalam bentuk kontrol
sosial dan sanksi hukum dalam melawan kekerasan. Dengan gerakan secara tersistem dan
terus-menerus diusahakan akan terbentuk masyarakat antikekerasan. Pada akhirnya akan
melahirkan generasi umat manusia yang berkeadaban.
Ketua PP Aisyiyah periode 2000-2005, Prof. Dr. Hj. Siti Chamamah Soeratno, dalam
pidato iftitahnya mengatakan, “bagi Aisyiyah periode 2000-2005 merupakan periode yang
penting, karena periode ini menandai peran Aisyiyah sebagai komponen wanita Persyarikatan
Muhammadiyah, yang mendapat amanat Muktamar Muhammadiyah dan Muktamar Aisyiyah,
untuk meningkatkan, meluaskan, dan menyempurnakan lingkup kiprahnya di dalam
masyarakat, dengan dakwah amar makruf nahi munkar dalam segenap aspek kehidupan.”
Dengan sidang tanwir ini, lanjutnya, akan dibicarakan, dicanangkan secara konkret,
menyusun langkah untuk menyajikan alternatif yang, bagi Aisyiyah, akan dilakukan dengan
tindakan konkret demi masa depan bangsa.
Sementara itu, Prof. Dr. HM Amien Rais, MA, Ketua MPR RI, dalam pidato kuncinya
menegaskan, kiprah Aisyiyah memang harus tidak kalah dengan Muhammadiyah. Dalam
menghadapi sebuah situasi, katakanlah, cukup kritis itu, maka peranan kaum perempuan
(termasuk di dalamnya Aisyiyah) harus lebih menentukan lagi dalam membentuk masa depan

bangsa yang lebih bagus dari keadaan sekarang. Kedua, Aisyiyah memang harus diberi
kesempatan yang seluas-luasnya untuk berfastabiqul khairat dengan Muhammadiyah, supaya
semakin semarak syiar dan dakwah Islam di Indonesia. “Kita ini, Muhammadiyah dan
Aisyiyah, merupakan dua sayap yang masing-masing harus berkembang bersama, saling
mengisi, saling melengkapi untuk kepentingan dakwah amar makruf nahi munkar,” tuturnya.
Amien melihat, di penghujung abad 20 dan awal abad 21, terdapat peningkatan peran
kaum perempuan di segala bidang. Di lapangan kepolisian, antariksa, bahkan di kehidupan
sosial politik. Amien berharap agar Aisyiyah cermat dan cerdik melihat tanda-tanda zaman ini
agar para kadernya menjadi cukup fasih dan lancar dalam merespon dan mengambil sikap
terhadap perkembangan dan kemajuan-kemajuan zaman itu. “Aisyiyah supaya betul-betul

tidak pernah berhenti membaca situasi dan tidak pernah berhenti berpikir untuk mencari
jawaban yang tepat bagi tantangan-tantangan yang dihadapi kaum perempuan di Indonesia
dewasa ini,” harapnya.
Dengan menyitir puisi Muhammad Iqbal: the sign of kafir is that he lost in the
horizons; the sign of mukmin is that the horizons are lost in him, Amien mengajak para
peserta tanwir agar bersikap optimis menghadapi krisis multi dimensional yang tengah
melanda Indonesia saat ini. “Berbekal keuletan, tafakur, dan tasyakur,” tuturnya,
“sesungguhnya tidak ada yang tidak bisa diatasi. Karena orang beriman itu harus punya
keteguhan, kemantapan, sekaligus kecerdasan bahwa dia bisa memecahkan berbagai masalah

yang dihadapi.”
Sebagaimana yang diharapkan itu, Aisyiyah dalam tanwirnya yang pertama ini
bertujuan melakukan evaluasi dan peningkatan pelaksanaan program Muktamar Aisyiyah ke44, menetapkan pelaksanaan program keputusan Muktamar ke-44 untuk periode pasca tanwir,
meningkatkan partisipasi Aisyiyah untuk mewujudkan masyarakat antikekerasan melalui
gerakan pendidikan moral, dan menyiapkan kualitas sumberdaya Aisyiyah dalam berbagai
aspek kehidupan baik di tingkat pimpinan maupun anggota dalam upaya mencapai tujuan.
Berbicara pada tanwir itu antara lain Prof. Dr. HA Syafii Maarif (Ketua PP
Muhammadiyah), Prof. Drs. H. Malik Fadjar, MSc (Mendiknas RI), Hj. Sri Redjeki
Soemarjoto, SH (Meneg PP RI), Dr. Andi Alifian Mallarangeng, Dr. Chusnul Mar’iyah,
GBPH H. Joyokusumo (Tokoh Yogyakarta), Drs. H. Haedar Nashir, MSi. Membahas 10
materi, di antaranya diskusi panel tentang “Kekerasan Struktural dan Sosial dalam Berbagai
Dimensi” dan “Sistematisasi Pendidikan Moral Menuju Terbentuknya Budaya
Antikekerasan”.
Dalam penutupan tanwir, Aisyiyah merekomendasikan berbagai hal kepada MPR dan
DPR, Pemerintah, Partai Politik, Media Massa, PP Aisyiyah dan Muhammadiyah. Kepada
MPR dan DPR Aisyiyah mendesak MPR RI untuk melanjutkan amandemen UUD 1945
dalam rangka menyempurnakan sistem ketatanegaraan RI dan mencegah terjadinya kebuntuan
konstitusi; kedua, kepada DPR RI untuk mengkaji kembali dan menunda pengesahan
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Anak, karena mengandung pasal-pasal yang
memberi peluang kepada pemurtadan bagi anak-anak asuh yang beragama Islam atau

sebaliknya.
Kepada Pemerintah Aisyiyah mendesak supaya hati-hati dan kritis dalam menjalin
kerjasama dengan IMF karena dalam kenyataannya IMF tidak mampu membantu pemerintah
keluar dari krisis berkepanjangan; kepada pihak aparat hukum untuk menegakkan supremasi
hukum secara transparan, serius, dan menjauhkan diri dari praktik-praktik permainan hukum;
pemerintah mempercepat penyelesaian konflik horisontal dengan tanpa menggunakan
tindakan kekerasan; merevisi undang-undang dan peraturan yang cenderung diskriminatif
terhadap perempuan; menghukum seberat-beratnya kepada pelaku pelecehan seksual,
perkosaan, perdagangan perempuan dan anak, eksploitasi perempuan dan anak, serta
pembuat, pengedar, dan pemakai NAPZA.
Berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Aisyiyah
mendesak DPR dan pemerintah untuk benar-benar menyusun undang-undang yang
mengandung misi pencerdasan dan pencerahan bangsa dan memberi tekanan yang kuat pada
pendidikan moral bagi generasi mendatang dan meningkatkan martabat perempuan;
meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20%, karena dengan pendidikan yang berkualitas
akan terhindar dari perilaku dan tindak kekerasan.
Di bidang kesehatan Aisyiyah mendesak untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat miskin dan masyarakat korban konflik. Begitu pula perbaikan kebijakan dan
peraturan yang masih cenderung bias jender dan mengarah kepada perilaku tindak kekerasan
baik terhadap perempuan maupun masyarakat luas. Melalui aparat penegak hukum, Aisyiyah

mendesak untuk menindak tegas pihak-pihak yang melakukan penyelewengan dalam
penyebaran agama dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, buku-buku, dan media lain

yang dikemas untuk membelokkan akidah ummat Islam. Pun pula memberantas tempattempat perjudian baik yang terang-terangan maupun terselubung, karena praktik-praktik
perjudian merupakan sumber kejahatan dan kekerasan.
Dalam keterkaitannya dengan eksistensi ulama wanita, Aisyiyah mendesak kepada
Departemen Agama agar eksistensi wanita yang ulama diakui sebagai ulama wanita sehingga
bisa duduk bersama dalam sidang-sidang MUI.
Kepada partai politik Aisyiyah mendesak untuk memperhatikan dan lebih
mengutamakan kepentingan rakyat demi keutuhan bangsa dan negara daripada kepentingan
golongan. Sedangkan kepada media massa mendesak untuk menyeleksi secara ketat
penayangan dan penyiaran yang mengandung unsur pornografi, tindak kekerasan pelecehan
terhadap perempuan, serta lebih memberi prioritas kepada penayangan dan penyiaran yang
mengandung unsur pendidikan moral.
Kepada Pimpinan Pusat Aisyiyah agar menyiapkan kader yang selalu peka terhadap
perkembangan publik dan melakukan kajian-kajian terhadap persoalan-persoalan perempuan;
melaksanakan pendidikan politik dan pendidikan advokasi sosial terhadap pimpinan-pimpinan
Aisyiyah secara berjenjang; segera menggalang semua potensi organisasi perempuan untuk
menangani problem kemerosotan moral dan kekerasan terhadap perempuan; Aisyiyah segera
mempelopori terwujudnya masyarakat antikekerasan melalui pendidikan moral yang dimulai

dari keluarga dengan mencanangkan zero violence.
Kepada Muhammadiyah Aisyiyah mendesak untuk menjalankan sistem pendidikan
yang lebih otonom yang mengarah kepada peningkatan kualitas pendidikan moral (akhlak)
bagi peserta didik; melakukan penataan terhadap struktur kelembagaan persyarikatan;
Aisyiyah mendukung dan memperkuat keputusan-keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah
di Bali yang mendorong kader-kader terbaiknya untuk menjadi pimpinan nasional dengan
harapan dapat menjalankan amanah dan melanjutkan reformasi untuk kemajuan dan
kesejahteraan bangsa. (au)
Sumber: SM-14-2002