AKM | TEORI PIJAR akm persediaan jadi

(1)

MAKALAH AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH I PENILAIAN PERSEDIAAN (Inventory Valuation)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akuntansi Keuangan Menengah I Dosen Pengampu : Rr. Indah Mustikawati, M.Si dan Adeng Mustikawati, M.Si

Disusun Oleh :

Jatu Arifa Fahmi (09403241003) Pinesthy Putri Hartoyo (09403241013) Yuni Wijayanti (09403241024) Reny Ika Wulandari (09403241034)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI REGULER FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2010


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penyusun haturkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah Akuntansi Keuangan Menengah I dengan judul Penilaian Persediaan (Inventory Valuation). Makalah Akuntansi Keuangan Menengah I ini berisi prinsip penilaian persediaan dengan beberapa metode dan cara perhitungannya.

Makalah ini dapat diselesaikan berkat bantuan beberapa pihak, di antaranya Rr. Indah Mustikawati, M.Si dan Adeng Mustikawati, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Akuntansi Keuangan Menengah I serta teman-teman yang telah membantu, yang tidak dapat penyusun sebutkan satu per satu.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan pembuatan makalah di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca. Amin.

Yogyakarta, Desember 2010 Penyusun


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun-tahun terakhir ini penilaian persediaan mendapat perhatian lebih besar karena laju inflasi yang tinggi. Pemilihan prinsip atau metode penilaian persediaan mempunyai suatu pengaruh penting pada pendapatan yang dilaporkan dan posisi keuangan perusahaan tertentu. Oleh karena persediaan biasanya merupakan harta lancar yang terpenting, maka metode penilaian persediaan merupakan suatu faktor yang penting dalam menetapkan hasil operasi dan kondisi keuangan.

Salah satu tujuan dari akuntansi persediaan, termasuk penilaian persediaan adalah untuk menetapkan penghasilan yang wajar dengan membebankan biaya yang bersangkutan terhadap penghasilan perusahaan. Dalam proses penjualan dan pembelian dapat dilihat bahwa persediaan merupakan nilai yang tersisa setelah jumlah biaya telah dibebankan terhadap penjualan atau sebagai jumlah biaya yang tersisa untuk dibebankan terhadap penjualan di masa yang akan datang.

Tujuan dari penilaian persediaan adalah untuk menyajikan secara wajar posisi keuangan perusahaan sebagai suatu going concern dan bukan sebagai perusahaan yang sedang menuju pembubaran atau dalam kondisi likuidasi.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut ini. 1. Apa pengetian persediaan?

2. Bagaimanakah penilaian persediaan itu?

3. Bagaimana cara menghitung nilai persediaan akhir dengan sistem periodik dan perpetual?


(4)

C. Tujuan Penyususnan

Tujuan penyususnan makalah ini adalah sebagai berikut ini. 1. Menjelaskan pengertian persediaan.

2. Menjelaskan bagaimana persediaan dinilai.

3. Menghitung nilai persediaan akhir sistem periodik dan sistem perpetual dengan metode FIFO, LIFO dan rata-rata (average).

4. Menjelaskan perhitungan harga pokok penjualan dan laba kotor.

D. Manfaat Penyusunan

Adapun manfaat penyusunan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengerti dan memahami hal-hal yang berhubungan dengan persediaan dan penilaian persediaan barang dengan beberapa sistem dan berbagai metode.


(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Persediaan

1. Pengertian Umum

Persediaan (inventory), adalah meliputi semua barang yang dimiliki perusahaan pada saat tertentu, dengan tujuan untuk dijual atau dikonsumsi dalam siklus operasi normal perusahaan. Aktiva lain yang dimiliki perusahaan, tetapi tidak untuk dijual atau dikonsumsi tidak termasuk dalam klasifikasi persediaan. Persediaan merupakan aktiva perusahaan yang menempati posisi yang cukup penting dalam suatu perusahaan, baik itu perusahaan dagang maupun perusahaan industri (manufaktur), apalagi perusahaan yang bergerak dibidang konstruksi, hampir 50% dana perusahaan akan tertanam dalam persediaan yaitu untuk membeli bahan-bahan bangunan.

2. Inventory Perusahaan Dagang

Persediaan merupakan barang-barang yang dibeli oleh perusahaan dengan tujuan untuk dijual kembali dengan tanpa mengubah bentuk dan kualitas barang, atau dapat dikatakan tidak ada proses produksi sejak barang dibeli sampai dijual kembali oleh perusahaan.

3. Inventory Perusahaan Industri

Pengertian persediaan untuk perusahaan industri adalah barang-barang atau bahan yang dibeli oleh perusahaan dengan tujuan untuk diproses lebih lanjut menjadi barang jadi atau setengah jadi atau mungkin menjadi bahan baku bagi perusahaan lain, hal ini tergantung dari jenis dan proses usaha utama perusahaan.


(6)

Misalnya : Perusahaan industri permintaan kapas, bahan bakunya adalah kapas dari petani atau perkebunan, diolah menjadi benang, benang merupakan barang jadi baginya. Sedangkan perusahaan industri kain bahan bakunya adalah benang yang diolah menjadi kain sebagai barang jadi, dan perusahaan industri pakaian jadi membutuhkan bahan baku kain dan seterusnya.

Dengan gambaran diatas maka persediaan untuk perusahaan-perusahaan manufaktur pada umumnya mempunyai tiga jenis persediaan yaitu:

a. Bahan baku (direct material)

Barang persediaan milik perusahaan yang akan diolah lagi melalui proses produksi, sehingga akan menjadi barang setengah jadi atau barang jadi sesuai dengan kegiatan perusahaan. Besarnya persediaan bahan baku dipengaruhi oleh perkiraan produksi, sifat musiman produksi, dapat diandalkannya pihak pemasok serta tingkat efisiensi penjadwalan pembelian dan kegiatan produksi.

b. Barang dalam proses (work in proses)

Adalah barang yang masih memerlukan proses produksi untuk menjadi barang jadi, sehingga persediaan barang dalam proses sangat dipengaruhi oleh lamanya produksi, yaitu waktu yang dibutuhkan sejak saat bahan baku masuk keproses produksi sampai dengan saat penyelesaian barang jadi. Perputaran persediaan bisa ditingkatkan dengan jalan memperpendek lamanya produksi. Dalam rangka memperpendek waktu produksi salah satu cara adalah dengan menyempurnakan tekhnik-tekhnik rekayasa, sehingga dengan demikian proses pengolahan bisa dipercepat. Cara laian adalah dengan membeli bahan-bahan dan bukan membuatnya sendiri.


(7)

c. Barang jadi (finished goods)

Adalah barang hasil proses produksi dalam bentuk final sehingga dapat segera dijual, pada persediaan ini besar kecilnya persediaan barang jadi sebenarnya merupakan masalah koordinasi produksi dan penjualan. Manajer keuangan dapat merangsang peningkatan penjualan dengan cara mengubah persyaratan kredit atau dengan memberikan kredit untuk resiko yang kecil (marginal risk). Tetapi tidak peduli apakah barang-barang tercatat sebagai persediaan atau sebagai piutang dagang, manajer keuangan harus tetap membiayainya. Sebenarnya perusahaan lebih suka menjualnya (dan tercatat sebagai piutang dagang), karena dengan demikian untuk menuju realisasi kas tinggal satu langkah saja. Dan laba potensial dapat menutup tambahan resiko penagihan piutang.

B. Metode Pencatatan Persediaan Barang

Metode yang dapat digunakan dalam hubungannya dengan pencatatan persediaan ada dua, yaitu sebagai berikut ini.

1. Metode Stock Opname atau Metode Periodik (Fisik)

Persediaan yang merupakan komponen cost of goods sold (CGS) maka perhitungan kuantitas persediaan yang dilakukan dengan stock opname tergantung dari kelengkapan data atau catatan dan perhitungan barang. Dengan cara ini perhitungan persediaan yang dibebankan pada CGS ada kemungkinan overstatement, karena hanya membandingkan dan menghitung jumlah barang yang dimiliki dikurangi dengan persediaan akhir. Sehingga kalau terjadi adanya barang yang hilang, rusak, menguap, turun kualitasnya dsb, maka hal ini bila tidak terungkap akan menyebabkan laporan laba–rugi tidak atau kurang informatif.

Karena tidak ada catatan mutasi persediaan barang maka harga pokok penjualan juga tidak dapat diketahui sewaktu-waktu. Harga pokok penjualan baru dapat dihitung apabila persediaan akhir sudah dihitung. Di samping itu, karena adanya kerugian-kerugian yang seharusnya


(8)

diperlukan sebagai kerugian extraordinary item, kemudian dengan perhitungan stock opname secara berkala tidaklah cukup sebagai dasar pembuatan keputusan yang bersifat manajerial secara cepat.

Perhitungan harga pokok penjualan dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Persediaan barang awal Rp xxx

Pembelian xxx (+)

Brg tersedia untuk dijual Rp xxx

Persediaan barang akhir xxx (-)

Harga Pokok Penjualan Rp xxx

2. Metode Perpetual

Dalam metode perpetual ini terdapat kelemahan pada saat menentukan nilai dan jumlah barang, karena dengan metode pencatatan yang kontinyu ini berarti saldo persediaan setiap saat dapat diketahui, namun perlu diperhatikan bahwa dengan hanya menghitung jumlah barang bedasarkan catatan akan mengakibatkan nilai persediaan overstatement, karena adanya persediaan yang rusak dsb. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam menentukan jumlah persediaan adalah kalau menggunakan metode gabungan antara metode perpetual dengan stock opname (metode fisik). Perbedaan perhitungan atau pencatatn antara metode stock opname (metode fisik) dengan metode perpetual dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

TRANSAKSI METODE FISIK METODE PERPETUAL

Pada saat

pembelian barang dagangan

Pembelian xx Kas/Utang xx

Persediaan brg dgng xx Kas/ Utang xx Pada saat penjualan

barang dagangan

Kas/piutang xx Penjualan xx __

Kas/Piutang xx Penjualan xx Harga Perolehan xx Persediaan brg dgng xx


(9)

Retur Penjualan Retur Penjualan xx

Piutang xx

Retur penjualan xx

Piutang xx

Persediaan brg dgng xx

Harga perolehan xx

Retur Pembelian Utang Dgng xx

Retur Pemb xx

Utang Dagang xx

Retur Pembelian xx

Penyesuaian Ikhtisar L/R xx

Prsdiaan brg dgng xx

Persediaan brg dgng xx

Ikhtisar L/R xx

__

C. Masalah Pemilikan Persediaan Barang

1. Kepemilikan Persediaan dalam Perjalanan

Persediaan barang dalam perjalanan, meliputi pihak yang berhak menerima persediaan.

a. FOB (Free on Board) shipping point. Kepemilikan barang menjadi milik pembeli pada saat diserahkan penjual kepada penyelenggara transportasi atau pihak perusahaan pengirim barang yang independen. b. FOB (Free on Board) destination point. Kepemilikan barang masih


(10)

2. Barang-barang yang Dipisahkan (Segregated Goods)

Kadang-kadang terjadi suatu kontrak penjualan barang dalam jumlah besar hingga pengirimannya tidak dapat dikirim sekaligus. Barang-barang yang dipisahkan tersendiri dengan maksud untuk memenuhi kontrak-kontrak atau pesanan-pesanan walaupun belum dikirim, haknya sudah berpindah kepada pembeli. Oleh karena itu pada tanggal penyusunan laporan keuangan jika ada barang-barang dipisahkan, harus dikeluarkan dari jumlah persediaan penjual dan dicatat sebagai penjualan. Begitu pula pembeli dapat mencatat pembelian dan menambah persediaan barangnya. 3. Barang Konsinyasi (Consignment Goods)

Dalam cara penjualan titipan, barang-barang yang dititipkan untuk dijualkan (dikonsinyasikan) haknya masih tetap pada yang menitipkan sampai barang-barang tersebut dijual. Sebelum barang-barang tersebut dijual masih tetap menjadi persediaan pihak yang menitipkan (consignor). Pihak yang menerima titipan (consignee) tidak mempunyai hak atas barang-barang tersebut sehingga tidak mencatat barang-barang tersebut sebagai persediaannya. Apabila barang-barang itu sudah dijual maka yang menerima titipan membuat laporan pada yang menitipkan. Pada waktu menerima laporan, pihak yang menitipkan mencatat penjualan dan mengurangi persediaan barangnya.

4. Penjualan Angsuran (Installment Sales)

Dalam penjualan angsuran, hak atas barang tetap pada penjual sampai seluruh harga jualnya dilunasi. Penjual akan melaporkan barang-barang tersebut dalam persediaannya dikurangi jumla yang sudah dibayar. Pembeli akan melaporkan barang-barang tersebut dalam persediannya sejumlah yang sudah dibayarkannya.

Apabila dianggap bahwa kemungkinan pembatalan penjualan tersebut kecil maka penjual dapat mengakuinya sebagai penjualan biasa yang diangsur dan pembeli dapat mencatatnya sebagai pembelian biasa yang pembayarannya diangsur. Ada beberapa cara penjualan angsuran di mana masing-masing cara akan ditentukan cara mencatatnya.


(11)

Contoh kasus:

a. Dibeli mesin dengan harga RP20.000.000,00 yang pembayarannya akan diangsur selama 5 tahun, setiap tahun sebesar Rp4.000.000,00 ditambah bunga 10% pertahun. Jurnal yang dibuat oleh pembeli untuk mencatat pembelian mesin dan pembayaran angsuran adalah sebagai berikut:

Pembelian mesin:

Mesin Rp20.000.000,00

Hutang Rp20.000.000,00

Akhir tahun pertama:

Hutang Rp4.000.000,00

Biaya bunga 2.000.000,00

Kas Rp6.000.000,00

Bunga: 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00 Akhir tahun kedua:

Hutang Rp4.000.000,00

Biaya bunga 1.600.000,00

Kas Rp5.600.000,00

Bunga: 10% x Rp16.000.000,00 = Rp1.600.000,00 dan seterusnya.

b. Mesin dibeli dengan harga Rp30.000.000,00 diangsur lima tahun, setiap tahunnya Rp6.000.000,00 tanpa bunga. Jika dibeli tunai maka harga mesin itu Rp20.000.000,00.

(Dalam cara penjualan seperti ini bunga selama masa angsuran inklusif termasuk dalam harga mesin. Harga perolehan (cost) mesin adalah sebesar harga tunainya dan selisihnya dicatat sebagai biaya bunga)

Jurnal yang dibuat oleh pembeli untuk mencatat pembelian mesin dan angsuran setiap yahun sebagai berikut:


(12)

Pembelian mesin:

Mesin Rp20.000.000,00

Biaya bunga 10.000.000,00

Hutang Rp30.000.000,00

Akhir tahun pertama:

Hutang Rp6.000.000,00

Kas Rp6.000.000,00

Jurnal penyesuaian:

Cadangan bunga Rp8.000.000,00

Biaya bunga Rp8.000.000,00

Cadangan bunga dalam neraca dikurangkan pada jumlah utang pembelian mesin sehingga dpat menunjukkan nilai tunai utang pada tanggal neraca. Pada awal tahun berikutnya dibuat jurnal penyesuaian sebagai berikut:

Biaya bunga Rp8.000.000,00

Cadangan bunga Rp8.000.000,00

Akhir tahun kedua:

Hutang Rp6.000.000,00

Kas Rp6.000.000,00

Jurnal penyesuaian:

Cadangan bunga Rp6.000.000,00

Biaya bunga Rp6.000.000,00

Jurnal penyesuaian kembali;

Biaya bunga Rp6.000.000,00


(13)

D. Metode Penentuan Harga Pokok Penjualan

1. Penilaian dengan pendekatan arus harga pokok (cost basic flow approach) ini terdapat dua sistem pencatatan persediaan yaitu sistem periodik dan sistem perpetual yang masing-masing ada tiga cara penilaian persediaan, yaitu:

a. FIFO (First in First Out), masuk pertama keluar pertama (MPKP) Metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan awal (pertama) masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dengan nilai perolehan persediaan yang terakhir masuk (dibeli). Metode ini cenderung menghasilkan persediaan yang nilainya tinggi dan berdampak pada nilai aktiva perusahaan yang dibeli.

b. LIFO (Last In First Out), masuk terakhir keluar pertama (MTKP) Metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan terakhir masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dan dilaporkan berdasarkan nilai perolehan persediaan yang awal (pertama) masuk atau dibeli. Metode ini cenderung menghasilkan nilai persediaan akhir yang rendah dan berdampak pada nilai aktiva perusahaan yang rendah.

c. Metode Rata-rata (average method)

Dengan menggunakan metode ini nilai persediaan akhir akan menghasilkan nilai antara nilai persediaan metode FIFO dan nilai persediaan LIFO. Metode ini juga akan berdampak pada nilai harga pokok penjualan dan laba kotor.

2. Penilaian Persediaan Selain Arus Harga Pokok

Dalam pendekatan ini ada tiga metode yang digunakan, yaitu:

a. Lower Cost of Market

Yaitu metode harga terendah antara harga pokok dan harga pasar. Metode ini dapat diterapkan dalam kondisi persediaan tidak normal, misalnya cacat, rusak dan kadaluarsa. Pokok dari metode ini adalah membandingkan nilai yang lebih rendah antara nilai


(14)

pasar (replacement value) dan nilai perolehan (cost). Nilai pasar yang akan dipilih harus dibatasi, yaitu tidak boleh lebih rendah dari batas bawah (floor limit) dan tidak boleh lebih tinggi dari batas atas (ceiling limit).

b. Gross Profit Method

Metode laba kotor ini bersifat estimasi dalam penilaian persediaannya. Biasanya diterapkan karena keterbatasan dokumen yang terkait dengan persediaan, misalnya karena terjadi bencana kebakaran dan banjir. Dasar penilaian persediaannya adalah pada persentase laba kotor perusahaan tahun berjalan atau rata-rata selama beberapa tahun. Langkah-langkah yang dilakukan adalah: 1) mengestimasi nilai penjualan tahun berjalan,

2) menghitung nilai harga pokok penjualan berdasarkan pada persentase laba kotor yang telah diketahui, dan

3) menghitung estimasi nilai persediaan akhir dengan mengurangkan harga pokok penjualan terhadap penjualan.

c. Retail Method

Metode eceran ini menilai persediaan akhir dengan cara menghitung terlebih dahulu nilai persediaan akhir berdasarkan eceran. Nilai persediaan akhir dengan harga pokok akan diketahui dengan cara menghitung rasio antara nilai persediaan yang tersedia untuk dijual dengan pendekatan harga pokok dibandingkan dengan pendekatan ritel. Kemudian rasio yang diperoleh dikalikan dengan persediaan akhir yang dinilai dengan pendekatan eceran dapat dirumuskan sebagai berikut:

Persediaan akhir menurut harga

pokok

Persediaan akhir menurut

eceran Barang sedia dijual

menurut harga pokok

Barang sedia dijual menurut harga eceran


(15)

Contoh Kasus:

Tanggal Keterangan Kuantitas Harga 2 Jan 10 Maret 5 April 7 Mei 21 Sept 18 Nov 20 Nov 10 Des Persediaan awal Pembelian Penjualan Penjualan Pembelian Pembelian Penjualan Penjualan 200 unit 300 unit 200 unit 100 unit 400 unit 100 unit 200 unit 200 unit Rp9.000,00 Rp10.000,00 Rp15.000,00 Rp15.000,00 Rp11.000,00 Rp12.000,00 Rp17.000,00 Rp18.000,00

1) Hitunglah nilai persediaan akhir (per 31 Desember 2001) sistem periodik dan sistem perpetual dengan metode FIFO, LIFO dan rata-rata (average)!

2) Hitunglah harga pokok penjualan dan laba kotor! Jawaban :

Persediaan Akhir

1. Sistem Periodik

Persediaan awal (2 Jan 2001) 200 unit

Pembelian 800 unit

Barang tersedia untuk dijual 1.000 unit

Penjualan 700 unit

Persediaan akhir (31 Des 2001) 300 unit Barang tersedia untuk dijual:

Tanggal Keterangan Unit Harga/unit Total Harga (RP) 02/01 Persediaan awal 200 Rp9.000,00 1.800.000

10/03 Pembelian 300 Rp10.000,00 3.000.000

21/09 Pembelian 400 Rp11.000,00 4.400.000

18/11 Pembelian 100 Rp12.000,00 1.200.000


(16)

a. FIFO (masuk pertama keluar pertama) Persediaan akhir

Tanggal Unit Harga/unit Total Harga (RP) 21/09 200 Rp11.000,00 2.200.000 18/11 100 Rp12.000,00 1.200.000

Jumlah 300 3.400.000

b. LIFO (masuk terakhir keluar pertama) Persediaan akhir

Tanggal Unit Harga/unit Total Harga

01/02 200 Rp9.000,00 1.800.000

10/03 100 Rp10.000,00 1.000.000

Jumlah 300 2.800.000

c. Rata-rata (average)

Harga rata-rata per unit = Rp10.400.000,00 / 1.000 unit = Rp10.400,00

Persediaan akhir = 300 unit x Rp10.400,00 = Rp3.120.000,00

2. Sistem Perpetual

a. Metode FIFO (MPKP)

Tgl

Pembelian Harga PokokPembelian Persediaan

Unit Harga/ unit (Rp) Total Harga (Rp) Unit Harga/ unit (Rp) Total Harga (Rp) Unit Harga/ unit (Rp) Total Harga (Rp)

02/01 - - - 200 9000 1.800.000

10/03 300 10.000 3.000.000 - - - 200 9000 1.800.000

- - - 300 10.000 3.000.000

05/04 - - - 200 9000 1.800.000 300 10.000 3.000.000

07/05 - - - 100 10.000 1.000.000 200 10.000 2.000.000

21/09 400 11.000 4.4000.000 - - - 200 10.000 2.000.000

- - - 400 11.000 4.400.000


(17)

- - - 400 11.000 4.400.000

- - - 100 12.000 1.200.000

20/11 - - - 200 10.000 2.000.000 400 11.000 4.400.000

- - - 100 12.000 1.200.000

10/12 - - - 200 11.000 2.200.000 200 11.000 2.200.000

Total 800 - 8.600.000 700 - 7.000.000 300 - 3.400.000

b. Metode LIFO (MTKP)

Tgl

Pembelian Harga PokokPembelian Persediaan

Unit Harga/ unit (Rp) Total Harga (Rp) Unit Harga/ unit (Rp) Total Harga (Rp) Unit Harga/ unit (Rp) Total Harga (Rp)

02/01 - - - 200 9000 1.800.000

10/03 300 10.000 3.000.000 - - - 200 9000 1.800.000

- - - 300 10.000 3.000.000

05/04 - - - 200 9000 1.800.000 200 9.000 1.800.000

100 10.000 1.000.000

07/05 - - - 100 10.000 1.000.000 200 9.000 1.800.000

21/09 400 11.000 4.4000.000 - - - 200 9.000 1.800.000

- - - 400 11.000 4.400.000

18/11 100 12.000 1.200.000 - - - 200 9.000 1.800.000

- - - 400 11.000 4.400.000

- - - 100 12.000 1.200.000

20/11 - - - 200 10.000 2.000.000 200 9.000 1.800.000

- - - 300 11.000 3.300.000

10/12 - - - 200 11.000 2.200.000 200 9.000 1.800.000

100 11.000 1.100.000

Total 800 - 8.600.000 700 - 7.500.000 300 - 2.900.000

c. Metode Rata-rata (Average)

Tgl

Pembelian Harga PokokPembelian Persediaan

Unit Harga/ unit (Rp) Total Harga (Rp) Unit Harga/ unit (Rp) Total Harga (Rp) Unit Harga/ unit (Rp) Total Harga (Rp)

02/01 - - - 200 9.000 1.800.000

10/03 300 10.000 3.000.000 - - - 500 9.600 4.800.000


(18)

07/05 - - - 100 9.600 1.960.000 200 9.600 1.920.000

21/09 400 11.000 4.4000.000 - - - 600 10.530 6.320.000

18/11 100 12.000 1.200.000 - - - 700 10.740 7.520.000

20/11 - - - 200 10.740 2.148.000 500 10.740 5.372.000

10/12 - - - 200 10.740 2.148.000 300 10.740 3.224.000

Total 800 - 8.600.000 700 - 7.176.000 300 - 3.224.000

Harga Pokok Penjualan

1. Sistem Periodik Keterangan FIFO (Rp) LIFO (Rp) Rata-rata (Rp) Persediaan awal Pembelian

Barang tersedia utk dijual Persediaan akhir

Harga Pokok Penjualan

1.800.000 8.600.000 10.400.000 (3.400.000) 7.000.000 1.800.000 8.600.000 10.400.000 (2.800.000) 7.600.000 1.800.000 8.600.000 10.400.000 (3.120.000) 7.280.000

2. Sistem Perpetual Keterangan FIFO (Rp) LIFO (Rp) Rata-rata (Rp) Persediaan awal Pembelian

Barang tersedia utk dijual Persediaan akhir

Harga Pokok Penjualan

1.800.000 8.600.000 10.400.000 (3.400.000) 7.000.000 1.800.000 8.600.000 10.400.000 (2.900.000) 7.500.000 1.800.000 8.600.000 10.400.000 (3.224.000) 7.176.000 Penjualan

Tanggal Unit Harga/unit Total Harga

05/04 200 Rp15.000,00 Rp3.000.000,00


(19)

20/11 200 Rp17.000,00 Rp3.400.000,00

10/12 200 Rp18.000,00 Rp3.600.000,00

Total 700 - Rp11.500.000,00

Laba Kotor

1. Sistem Periodik

Keteranagan FIFO

(Rp) LIFO (Rp) Rata-rata (Rp) Penjualan

Harga Pokok Penjualan Laba Kotor 11.500.000 (7.000.000) 4.500.000 11.500.000 (7.600.000) 3.900.000 11.500.000 (7.280.000) 4.220.000

2. Sistem Perpetual

Keteranagan FIFO

(Rp) LIFO (Rp) Rata-rata (Rp) Penjualan

Harga Pokok Penjualan Laba Kotor 11.500.000 (7.000.000) 4.500.000 11.500.000 (7.500.000) 4.000.000 11.500.000 (7.176.000) 4.324.000 Jurnal

1. Periodik (FIFO) Mencatat Pembelian:

Mencatat Penjualan:

Pembelian Rp8.600.000,00

Utang usaha/Kas Rp8.600.000,00

Piutang Usaha/Kas Rp11.500.000,00


(20)

Penyesuaian untuk Persediaan:

2. Perpetual (FIFO) Mencatat Pembelian:

Mencatat Penjualan:

E. Penilaian Persediaan Barang

Yang dimaksud dengan penilaian persediaan barang dagang adalah menentukan nilai persediaan yang dicantumkan dalam neraca. Persediaan akhir bisa dihitung harga pokokny menggunakan beberapa cara penentuan harga pokok persediaan akhir, tetapi nilai ini tidak terlalu nampak dalam neraca, jumlah yang ditampilkan dalam neraca tergantung pada metode penilaian yang digunakan.

Ikhtisar Rugi Laba Rp1.800.000,00

Persediaan Rp1.800.000,00

Persediaan Rp3.400.000,00

Ikhtisar Rugi Laba Rp3.400.000,00

Persediaan Rp8.600.000,00

Utang Usaha/Kas Rp8.600.000,00

Piutang Usaha Rp11.500.000,00

Penjualan Rp11.500.000,00

Harga Pokok Penjualan Rp7.000.000,00


(21)

1. Metode Harga Pokok

Dalam metode ini harga pokok persediaan akhir akan dicantumkan dalam neraca. Di sini tidak ada perbedaan antara harga pokok persediaan dan nilai persediaan dalam neraca. Harga pokok persediaan barang dapat dilakukan dengan cara MPKP (FIFO), rata-rata tertimbang, MTKP (LIFO) atau yang lain dan hasilnya dicantumkan dalam neraca tanpa perubahan. PSAK N0. 14 tidak membenarkan digunakannya metode harga pokok untuk menentukan nilai persediaan dalam neraca.

2. Metode Harga Pokok atau Nilai Realisasi yang Lebih Rendah

Nilai realisasi bersih merupakan batas maksimum yang diperkenankan untuk mencantumkan persediaan dan disebut batas atas (ceiling). Nilai realisasi bersih dikurangi laba normal merupakan batas minimum di mana nilai persediaan barang tidak boleh lebih rendah.

Untuk menentukan dengan nilai berapakah persediaan barang yang akan dicantumkan dalam neraca, pertama kali dibandingkan antara harga pokok dengan nilai realisasi bersih, dipilih yang lebih rendah. Jumlah yang lebih rendah tersebut kemudian dibandingkan dengan batas atas dan batas bawahnya. Apabila jumlah yang lebih rendah tersebut masih dalam batas-batas atas dan bawah maka nilai persediaan dalam neraca adalah jumlah yang lebih rendah tersebut. Tetapi apabila jumlah yang lebih rendah tersebut di luar batas atas dan batas bawah, maka persediaan akan dinilai dengan batas atas atau batas bawah.

Biaya penjualan barang A per unit = Rp400,00 Laba normal per unit = 300,00


(22)

Contoh:

Keterangan:

1. Nilai realisasi bersih yang dipilih adalah batas atas (Rp1.100,00), karena harga pokok pengganti (Rp1.200,00) lebih tinggi dari batas atas. Nilai realisasi bersih yang dipilih ini (Rp1.100,00) dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp1.050,00), dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp1.050,00.

2. Harga pokok pengganti (Rp950,00) masih di dalam batas atas dan batas bawah, sehingga harga pokok pengganti ini (Rp950,00) dipilih sebagai nilai realisasi bersih. Nilai realisasi bersih ini (Rp950,00) dibandingkan dengan harga pokok (Rp1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp950,00.

3. Harga pokok pengganti (rp750,00) lebih rendah dari batas atas (Rp800,00) sehingga batas bawah (Rp800,00) dipilih sebagai nilai realisasi bersih. Nilai realisasi bersih yang dipilih ini dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp800,00.

4. Harga pokok pengganti (Rp1000,00) lebih tinggi dari batas atas (Rp950,00) sehingga yang dipilih adalah batas atas (Rp950,00). Nilai realisasi bersih yang dipilih ini kemudian dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp1.050,00) dan dipilih lebih rendah yaitu Rp950,00.

No Taksiran

Harga Jual Harga Pokok

Nilai Realisasi Bersih Harga Pokok

atau Nilai Realisasi Bersih yang Lebih Rendah Batas

Bawah Batas Atas

Harga Pokok Pengganti

1. Rp1.500,00 Rp1.050,00 Rp800,00 Rp1.100,00 Rp1200,00 Rp1.050,00 2. 1.500,00 1.050,00 800,00 1.100,00 950,00 950,00 3. 1.500,00 1.050,00 800,00 1.100,00 750,00 800,00 4. 1.350,00 1.050,00 650,00 950,00 1.000,00 950,00 5. 1.350,00 1.050,00 650,00 950,00 850,00 850,00 6. 1.350,00 1.050,00 650,00 950,00 600,00 650,00


(23)

5. Harga pokok pengganti (Rp850,00) masih berada diaantara batas bawah dan batas atas sehingga harga pokok pengganti ini yang dipilih (Rp850,00). Nilai realisasi bersih yang dipilih ini (Rp850,00) dibanding harga pokoknya (Rp1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp850,00.

6. Harga pokok pengganti (Rp600,00) lebih rendah dari batas bawah (Rp650,00) sehingga yang dipilih yaitu batasa bawah. Nilai realisasi bersih yang dipilih ini kemudian dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah yaitu Rp650,00.

Cara Penerapan Metode Harga Pokok atau Nilai Realisasi Bersih yang Lebih Rendah

Metode harga pokok atau nilai realisasi bersih yang lebih rendah bisa diterapkan kepada masing-masing jenis persediaan, masing-masing kelompok persediaan atau kepada jumlah keseluruhan persediaan. Dibawaah ini contoh penerapan untuk ketiga cara diatas. Misalnya toko Maju mempunyai persediaan barang pada tanggal 31 Desember 2005 dengan harga pokok dan nilai bersih sebagai berikut:

Jenis Barang Harga Pokok Harga Pasar Harga Pokok atau Harga Pasar yang Lebih rendah Masing-masing Jenis Persediaan Kelompok Persediaan Keseluruhan Persediaan Kelompok 1: Barang A Barang B Kelompok 2: Barang C Barang D

Rp 50.000,00 45.000,00 Rp 95.000,00

Rp105.000,00 70.000,00 Rp175.000,00

Rp 45.000,00 52.000,00 Rp 97.000,00

Rp110.000,00 60.000,00 Rp170.000,00

Rp 45.000,00 45.000,00

105.000,00 60.000,00

Rp 95.000,00


(24)

Jumlah Nilai Persediaan

Rp270.000,00 Rp267.000,00 Rp267.000,00

Rp255.000,00 Rp265.000,00 Rp267.000,00

Apabila metode harga pokok atau nilai realisasi bersih yang lebih rendah diterapkan kepada :

1) Masing-masing jenis persediaan barang, maka nilai persediaan barang yang dicantumkan dalam neraca pada tanggal 31 desember 2005 sebesar Rp255.000,00;

2) Kelompok-kelompok persediaan barang, maka nilai persediaan yang dicantumkan dalam neraca pada tanggal 31 Desember 2005 sebesar Rp265.000,00;

3) Keseluruhan persediaan barang, maka nilai persediaan ynag dicantumkan dalam neraca pada tanggal 31 Desember 2005 sebesar Rp267.000,00;

Dari perhitungan diatas nampak bahwa penerapan untuk masing-masing jenis persediaan akan menghasilkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan cara penerapan yang lain. Sedangkan penerapan untuk masing-masing kelompok atau keseluruhan persediaan menghasilkan nilai yang mendekatti keadaan, karena penurunan harga salah satu jenis barang dapat diimbangi dengan kenaikan harga yang lain. Masing-masing cara diatas dapat digunakan untuk menilai persediaan barang dengan batasan hendaknya diterapkan secara konsisten setiap periode.

3. Metode Laba Bruto (Laba Kotor)

Menentukan jumlah persediaan dengan metode laba bruto, biasanya dilakukan dalam keadaan-keadaan sebagai berikut ini.

a. Untuk menaksir jumlah persediaan barang yang diperlukan untuk menyusun laporan-laporan jangka pendek, di mana perhitungan fisik tidak mungkin dijalankan.


(25)

b. Untuk menaksir jumlah persediaan barang yang rusak karena terbakar dan menentukan jumlah barang sebelum terjadinya kebakaran. Perhitungan ini sering diperlukan untuk menentukan besarnya klaim terhadap perusahaan asuransi. Dalam keadaan seperti ini metode laba bruto dapat digunakan bila sebagian catatan-catatan yang diperlukan ada dan tidak musnah terbakar.

c. Untuk mengecek jumlah persediaan yang dihitung dengan cara-cara lain, disebut test laba bruto.

d. Untuk menyusun taksiran harga pokok penjualan, persediaan akhir dan laba bruto. Taksiran ini dihitung sesudah dibuat budget penjualan.

Dalam metode laba bruto, pertama kali harus ditentukan besarnya persentase laba bruto. Persentase ini bisa didasarkan pada penjualan atau harga pokok penjualan. Biasanya persentase laba bruto ditentukan dengan menggunakan data tahun-tahun lalu. Sesudah persentase laba bruto diketahui, kemudian dikalikan pada penjualan dan hasilnya dikurangkan pada penjualan, sehingga dapat ditentukan jumlah harga pokok penjualan selisih antara harga pokok penjualan dengan barang-barang yang tersedia untuk dijual merupakan persediaan akhir.

Contoh penggunaan metode laba bruto adalah sebagai berikut:

Persediaan barang awal Rp100.000,00

Pembelian (netto) 400.000,00

Penjualan (netto) 300.000,00

(1) Misalnya laba bruto sebesar 25% dari penjualan, maka:

Penjualan = 100%

Aba bruto = 25%


(26)

Persediaan barang akhir periode dihitung sebagai berikut:

Persediaan awal Rp100.000,00

Pembelian (netto) 400.000,00

Barang tersedia untuk dijual Rp500.000,00

Penjualan Rp300.000,00

Laba bruto (25% x Rp300.000,00) 75.000,00

Taksiran Harga Pokok Penjualan 225.000,00 Taksiran nilai persediaan akhir Rp275.000,00 (2) Misalnya laba bruto sebesar 40% dari harga pokok penjualan maka:

Harga Pokok Penjualan = 100%

Laba bruto = 40%

Penjualan = 140%

Persediaan barang akhir periode dihitung sebagai berikut:

Persediaan awal Rp100.000,00

Pembelian (netto) 400.000,00

Barang tersedia untuk dijual Rp500.000,00

Penjualan Rp300.000,00

Laba bruto:

40/140 x 100% x Rp300.000,00 85.7110,00

Taksiran Harga Pokok Penjualan 214.290,00 Taksiran nilai persediaan akhir Rp285.710,00 Apabila barang-barang yang dijual bermacam-macam dan persentase laba brutonya berbeda-beda, maka perhitungan taksiran nilai persediaan dilakukan untuk masing-masing kelompok barang yang persentase laba brutonya sama. Dengan demikian hasil perhitungan akan lebih mendekati kenyataan bila dibandingkan dengan perhitungan seluruh persediaan barang sekaligus.


(27)

Evaluasi atas Metode Laba Bruto (Laba Kotor)

Apa kelemahan utama metode laba kotor? Salah satu kelemahan utamanya adalah bahwa metode ini menghasilkan suatu estimasi. Akibatnya, perhitungan fisik persediaan harus dilakukan sekali setahun untuk memeriksa jumlah persediaan yang sebenarnya ada di tangan. Kedua, metode laba kotor menggunakan persentase masa lalu dalam menentukan markup. Walaupun masa lalu sering kali dapat memberikan jawaban atas masalah masa depan, namun persentase masa kini pasti lebih akurat. Di sini harus diperhatikan bahwa setiap kali fluktuasi yang signifikan terjadi, persentase ini harus disesuaikan. Ketiga, aplikasi persentase-laba-kotor-kelompok harus dilakukan secara hati-hati. Sering kali, sebuah toko atau departemen menangani barang dagang yang memiliki persentase laba kotor yang beragam. Dalam situasi ini, metode laba kotor mungkin harus diaplikasikan menurut subbagian, lini barang dagang, atau dasar serupa yang mengklasifikasikan barang dagang menurut persentase laba kotornya masing-masing.

Metode laba kotor biasanya tidak boleh dipakai bagi tujuan pelaporan keuangan karena hanya menyediakan suatu estimasi. Perhitungan fisik persediaan diharuskan oleh GAAP sebagai verifikasi tambahan bahwa persediaan yang ditunjukkan dalam catatan benar-benar ada di tangan. Meskipun demikian, metode laba kotor dibolehkan untuk menentukan persediaan akhir bagi tujuan pelaporan interim (biasanya kuartalan) dan pemakaian metode ini harus diungkapkan dalam catatan kaki. Perhatikan bahwa metode laba kotor akan menyerupai metode persediaan yang dipakai (FIFO, LIFO, biaya rata-rata) karena metode itu didasarkan atas catatan historis.

4. Metode Harga Eceran (Retail Inventory Method)

Metode harga eceran biasanya digunakan dalam toko-toko yang menjual bermacam-macam barang secara eceran, termasuk toko serba ada. Dalam perusahaan-perusahaan seperti itu biasanya digunakan metode fisik untuk pencatatan persediaan karena metode buku akan menimbulkan banyak


(28)

pekerjaan. Metode harga eceran ini memungkinkan dihitungnya jumlah persediaan tanpa mengadakan perhitungan fisik. Metode ini bisa digunakan untuk :

a. Menaksir jumlah persediaan barang untuk penyusunan laporan keuangan jangka pendek

b. Mempercepat perhitungan fisik, karena jumlah yang dihitung itu dicantumkan dengan harga jualnya, maka untuk mengubahnya ke harga pokok ialah dengan mengalikannya dengan presentase harga pokok tanpa perlu memperhatikan masing-masing fakturnya.

c. Mutasi barang dapat diawasi yaitu dengan membandingkan hasil perhitungan fisik yang dinilai dengan harga jual dengan hasil perhitungan dari metode harga eceran.

Metode persediaan eceran (retail inventory method), mensyaratkan bahwa pencatatan dilakukan atas dasar:

a. Total biaya dan nilai eceran dari barang yang dibeli

b. Total biaya dan nilai eceran barang yang tersedia untuk dijual. c. Penjualan periode berjalan

Ada beberapa versi metode persediaan eceran yaitu:

a. Metode Konvensional, yaitu nilai terendah antara biaya rata-rata dan harga pasar.

b. Metode Biaya

c. Metode Eceran LIFO

d. Metode Eceran LIFO nilai-dolar

Tanpa memperhatikan versi mana yang dipakai, metode persediaan eceran didukung oleh IRS, berbagai asosiasi perusahaan eceran, dan profesi Akuntansi. Salah satu keunggulannya adalah saldo persediaan dapat diestimasi tanpa perhitungan fisik. Namun untuk menghindari kemungkinan lebih-saji persediaan, Perhitungan persediaan periodikharus dilakukan terutama dalam bisnis eceran dimana kerugian akibat pencurian dan kerusakan sering terjadi.


(29)

Metode persediaan eceran sangat berguna bagi setiap jenis laporan Interim, karena pengukuran nilai persediaan yang handal dan cepat biasanya dibutuhkan. Para penaksir Asuransi biasanya memakai metode ini untuk mengestimasi kerugian akibat kebakaran, banjir atau bencana lainnya. Metode ini juga berfungsi sebagai perangkat pengendalian (control device) karena setiap penyimpangan dari hasil fisik pada akhir tahun harus dijelaskan. Selain itu, metode eceran juga mempercepat perhitungan fisik persediaan pada akhir tahun. Petugas yang melakukan perhitungan fisik persediaan hanya perlu mencatat harga eceran setiap barang tidak perlu melihat biaya faktur setiap barang sehingga bisa menghemat waktu dan uang.

1) Konsep Metode Harga Eceran

Dalam praktek, harga jual sering kali di-markup atau di-markdown. Bagi peritel, istilah di markup berarti markup tambahan atas harga eceran awal. Sedangkan pembatalan markup (markup cancellations) adalah penurunan harga barang dagang yang sebelumnya telah di markup di atas harga eceran awal.

Dalam pasar kompetitif, peritel seringkali perlu menggunakan markdown yakni penurunan harga jual awal. Hal ini mungkin diperlukan karena adanya penurunan tingkat harga umum, penjualan khusus, kerusakan barang, kelebihan persediaan, dan persaingan. Sedangkan Pembatalan markdown (markdown cancellation) terjadi apabila markdown kemudian di offset oleh kenaikan harga barang yang sebelumnya sudah di markdown seperti setelah penjualan satu hari.

2) Metode Persediaan Eceran dengan Markup dan Markdown – Metode Konvensional

Metode ini dirancang untuk memperkirakan nilai terendah antara biaya rata-rata dan harga pasar.


(30)

Metode persediaan eceran menjadi lebih rumit apabila pos-pos seperti transportasi masuk, retur pembelian dan pengurangan harga, dan diskon pembelian terlibat. Dalam metode eceran, kita memperlakukan pos-pos semacam itu sebagai berikut:

a) Biaya pengangkutan (freight cost) diperlakukan sebagai bagian dari biaya pembelian.

b) Retur Pembelian (purchase return) biasanya dipandang sebagai pengurang baik pada biaya maupun harga eceran.

c) Diskon pembelian dan pengurangan harga (purchase discount and allowances) biasanya dipandang sebagai pengurang biaya pembelian.

Perlu diingat bahwa retur penjualan dan pengurangan harga (sales return and allowance) dipandang sebagai penyesuaian terhadap penjualan kotor, namun diskon penjualan (sales discount) tidak diakui apabila penjualan dicatat sebagai penjualan kotor.

Selain itu, sejumlah pos-pos khusus juga memperlukan analisis yang seksama, diantaranya :

a) Transfer-masuk (transfer-in) dari departemen lain, misalnya harus dilaporkan dengan cra yang sama seperti pada pembelian dari perusahaan lain.

b) Kekurangan normal (normal shortages) bisa disebabkan pecah, rusak, hilang, atau aus. Biaya semacam ini harus dicerminkan dalam harga jual karena kekurangan dalam jumlah tertentu dipandang normal dalam perusahaan eceran. Akibatnya, jumlah ini tidak diperhitungkan dalam menghitung rasio biaya terhadap harga eceran. Hal ini akan ditunjukkan sebagai pengurangan terhadap penjualan yang sama untuk mendapatkan persediaan akhir menurut harga eceran.

c) Kekurangan abnormal (abnormal shortages) d) Diskon untuk karyawan (employee discount)

Penggunaan Metode persediaan eceran untuk menghitung persediaan karena alasan sebagai berikut


(31)

a) Agar laba bersih dapat dihitung tanpa harus melakukan perhitungan fisik persediaan

b) Sebagai ukuran pengendalian dalam menentukan kekurangan persediaan

c) Dalam pengaturan kuantitas barang dagang ditangan d) Untuk informasi asuransi

Salah satu karakteristik dari metode persediaan eceran adalah bahwa metode itu memiliki pengaruh rata-rata terhadap berbagai tingkat laba kotor. Jika diaplikasikan kepada perusahaan secara keseluruhan, dimana tingkat laba kotor bervariasi di antardepartemen, maka tidak ada penyisihan yang dibuat untuk menutupi distorsi hasil akibat perbedaan seperti itu.

Contoh perhitungan persediaan akhir dengan metode harga eceran.

Harga eceran Harga pokok Persediaan barang awal Rp 100.000,00 Rp 60.000,00 Pembelian (netto) 1.100.000,00 780.000,00 Barang tersedia untuk dijual Rp1.200.000,00 Rp 840.000,00

Penjualan 1.040.000,00

Persediaan barang akhir Rp 160.000,00 Persentase harga pokok:

(Rp 840.000,00 : Rp1.200.000,00) x 100% = 70% Persediaan barang akhir dengan harga pokok: 70% x Rp160.000,00 = Rp112.000,00


(32)

BAB III PENUTUP

Simpulan

Persediaan (inventory), adalah meliputi semua barang yang dimiliki perusahaan pada saat tertentu, dengan tujuan untuk dijual atau dikonsumsi dalam siklus operasi normal perusahaan. Aktiva lain yang dimiliki perusahaan, tetapi tidak untuk dijual atau dikonsumsi tidak termasuk dalam klasifikasi persediaan. Persediaan merupakan aktiva perusahaan yang menempati posisi yang cukup penting dalam suatu perusahaan.

Dengan gambaran tersebut maka persediaan untuk perusahaan-perusahaan manufaktur pada umumnya mempunyai tiga jenis persediaan yaitu:

1. Bahan baku (direct material)

2. Barang dalam proses (work in proses) 3. Barang jadi (finished goods).

Metode yang dapat digunakan dalam hubungannya dengan pencatatan persediaan ada dua, yaitu:

1. Metode Stock Opname atau Metode Periodik (Fisik) 2. Metode Perpetual.

Masalah kepemilikan barang dalam perjalanan (Goods in transit) sangat tergantung dari perjanjian yang disepakati oleh penjual dan pembeli. 2 syarat tersebut adalah (1) Fob Shipping Point dan (2) Fob Destination. Tidak semua barang yang berada di gudang/toko bisa diakui menjadi milik perusahaan, misalnya barang titipan (barang konsinyasi) dari pihak lain dengan tujuan akan dijual untuk dan atas nama pihak lain tersebut dengan mendapatkan sejumlah komisi (consignment in) tidak dapat diakui sebagai milik perusahaan. Sebaliknya untuk barang yang sifatnya consigment out, yang sampai dengan tanggal neraca belum terjual harus dicantumkan di Neraca.

Sistem pencatatan (administrasi) persediaan ada dua, yang pertama sistem fisik/periodik (periodic inventory system), berdasarkan sistem ini persediaan ditentukan dengan melakukan menghitung fisik terhadap persediaan.


(33)

Penghitungan fisik persediaan dilakukan secara periodik. Dalam sistem ini pencatatan terhadap mutasi persediaan tidak selalu diikuti. Oleh karena itu prosedur penghitungan fisik persediaan pada akhir periode harus dilakukan (mandatory procedure) untuk dapat menentukan fisik persediaan yang akan dilaporkan dalam laporan keuangan. Hasil perhitungan fisik ini dipakai sebagai dasar penentuan nilai persediaan. Yang kedua, sistem perpetual (perpetua l inventory system), Pencatatan terhadap mutasi persediaan selalu diikuti secara konsisten, dengan mencatat semua transaksi yang menyebabkan berkurang atau bertambahnya persediaan.

Penilaian dengan pendekatan arus harga pokok (cost basic flow approa ch) terdapat dua sistem pencatatan persediaan yaitu sistem periodik dan sistem perpetual yang masing-masing ada tiga cara penilaian persediaan, yaitu:

1. FIFO (First in First Out), masuk pertama keluar pertama (MPKP), metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan awal (pertama) masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dengan nilai perolehan persediaan yang terakhir masuk (dibeli).

2. LIFO (Last In First Out), masuk terakhir keluar pertama (MTKP), metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan terakhir masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dan dilaporkan berdasarkan nilai perolehan persediaan yang awal (pertama) masuk atau dibeli. Metode ini cenderung menghasilkan nilai persediaan akhir yang rendah dan berdampak pada nilai aktiva perusahaan yang rendah.

3. Metode Rata-rata (average method), dengan menggunakan metode ini nilai persediaan akhir akan menghasilkan nilai antara nilai persediaan metode FIFO dan nilai persediaan LIFO. Metode ini juga akan berdampak pada nilai harga pokok penjualan dan laba kotor.

Dalam penilaian persediaan selain arus harga pokok ada tiga metode yang digunakan, yaitu:

1. Lower Cost of Market, yaitu metode harga terendah antara harga pokok dan harga pasar. Metode ini dapat diterapkan dalam kondisi persediaan tidak normal, misalnya cacat, rusak dan kadaluarsa.


(34)

2. Gross Profit Method, metode laba kotor ini bersifat estimasi dalam penilaian persediaannya. Biasanya diterapkan karena keterbatasan dokumen yang terkait dengan persediaan, misalnya karena terjadi bencana kebakaran dan banjir.

3. Retail Method, metode eceran ini menilai persediaan akhir dengan cara menghitung terlebih dahulu nilai persediaan akhir berdasarkan eceran.


(35)

DAFTAR PUSTAKA

Kieso, Donald E, dkk. Akuntansi Intermediate.2007. Jakarta: Erlangga Zaki Baridwan. Intermediate Accounting. 2004. Yogyakarta: BPPE


(1)

Metode persediaan eceran menjadi lebih rumit apabila pos-pos seperti transportasi masuk, retur pembelian dan pengurangan harga, dan diskon pembelian terlibat. Dalam metode eceran, kita memperlakukan pos-pos semacam itu sebagai berikut:

a) Biaya pengangkutan (freight cost) diperlakukan sebagai bagian dari biaya pembelian.

b) Retur Pembelian (purchase return) biasanya dipandang sebagai pengurang baik pada biaya maupun harga eceran.

c) Diskon pembelian dan pengurangan harga (purchase discount and allowances) biasanya dipandang sebagai pengurang biaya pembelian.

Perlu diingat bahwa retur penjualan dan pengurangan harga (sales return and allowance) dipandang sebagai penyesuaian terhadap penjualan kotor, namun diskon penjualan (sales discount) tidak diakui apabila penjualan dicatat sebagai penjualan kotor.

Selain itu, sejumlah pos-pos khusus juga memperlukan analisis yang seksama, diantaranya :

a) Transfer-masuk (transfer-in) dari departemen lain, misalnya harus dilaporkan dengan cra yang sama seperti pada pembelian dari perusahaan lain.

b) Kekurangan normal (normal shortages) bisa disebabkan pecah, rusak, hilang, atau aus. Biaya semacam ini harus dicerminkan dalam harga jual karena kekurangan dalam jumlah tertentu dipandang normal dalam perusahaan eceran. Akibatnya, jumlah ini tidak diperhitungkan dalam menghitung rasio biaya terhadap harga eceran. Hal ini akan ditunjukkan sebagai pengurangan terhadap penjualan yang sama untuk mendapatkan persediaan akhir menurut harga eceran.

c) Kekurangan abnormal (abnormal shortages) d) Diskon untuk karyawan (employee discount)

Penggunaan Metode persediaan eceran untuk menghitung persediaan karena alasan sebagai berikut


(2)

a) Agar laba bersih dapat dihitung tanpa harus melakukan perhitungan fisik persediaan

b) Sebagai ukuran pengendalian dalam menentukan kekurangan persediaan

c) Dalam pengaturan kuantitas barang dagang ditangan d) Untuk informasi asuransi

Salah satu karakteristik dari metode persediaan eceran adalah bahwa metode itu memiliki pengaruh rata-rata terhadap berbagai tingkat laba kotor. Jika diaplikasikan kepada perusahaan secara keseluruhan, dimana tingkat laba kotor bervariasi di antardepartemen, maka tidak ada penyisihan yang dibuat untuk menutupi distorsi hasil akibat perbedaan seperti itu.

Contoh perhitungan persediaan akhir dengan metode harga eceran.

Harga eceran Harga pokok Persediaan barang awal Rp 100.000,00 Rp 60.000,00 Pembelian (netto) 1.100.000,00 780.000,00 Barang tersedia untuk dijual Rp1.200.000,00 Rp 840.000,00

Penjualan 1.040.000,00

Persediaan barang akhir Rp 160.000,00 Persentase harga pokok:

(Rp 840.000,00 : Rp1.200.000,00) x 100% = 70% Persediaan barang akhir dengan harga pokok: 70% x Rp160.000,00 = Rp112.000,00


(3)

BAB III PENUTUP

Simpulan

Persediaan (inventory), adalah meliputi semua barang yang dimiliki perusahaan pada saat tertentu, dengan tujuan untuk dijual atau dikonsumsi dalam siklus operasi normal perusahaan. Aktiva lain yang dimiliki perusahaan, tetapi tidak untuk dijual atau dikonsumsi tidak termasuk dalam klasifikasi persediaan. Persediaan merupakan aktiva perusahaan yang menempati posisi yang cukup penting dalam suatu perusahaan.

Dengan gambaran tersebut maka persediaan untuk perusahaan-perusahaan manufaktur pada umumnya mempunyai tiga jenis persediaan yaitu:

1. Bahan baku (direct material)

2. Barang dalam proses (work in proses) 3. Barang jadi (finished goods).

Metode yang dapat digunakan dalam hubungannya dengan pencatatan persediaan ada dua, yaitu:

1. Metode Stock Opname atau Metode Periodik (Fisik) 2. Metode Perpetual.

Masalah kepemilikan barang dalam perjalanan (Goods in transit) sangat tergantung dari perjanjian yang disepakati oleh penjual dan pembeli. 2 syarat tersebut adalah (1) Fob Shipping Point dan (2) Fob Destination. Tidak semua barang yang berada di gudang/toko bisa diakui menjadi milik perusahaan, misalnya barang titipan (barang konsinyasi) dari pihak lain dengan tujuan akan dijual untuk dan atas nama pihak lain tersebut dengan mendapatkan sejumlah komisi (consignment in) tidak dapat diakui sebagai milik perusahaan. Sebaliknya untuk barang yang sifatnya consigment out, yang sampai dengan tanggal neraca belum terjual harus dicantumkan di Neraca.

Sistem pencatatan (administrasi) persediaan ada dua, yang pertama sistem fisik/periodik (periodic inventory system), berdasarkan sistem ini persediaan ditentukan dengan melakukan menghitung fisik terhadap persediaan.


(4)

Penghitungan fisik persediaan dilakukan secara periodik. Dalam sistem ini pencatatan terhadap mutasi persediaan tidak selalu diikuti. Oleh karena itu prosedur penghitungan fisik persediaan pada akhir periode harus dilakukan (mandatory procedure) untuk dapat menentukan fisik persediaan yang akan dilaporkan dalam laporan keuangan. Hasil perhitungan fisik ini dipakai sebagai dasar penentuan nilai persediaan. Yang kedua, sistem perpetual (perpetua l inventory system), Pencatatan terhadap mutasi persediaan selalu diikuti secara konsisten, dengan mencatat semua transaksi yang menyebabkan berkurang atau bertambahnya persediaan.

Penilaian dengan pendekatan arus harga pokok (cost basic flow approa ch) terdapat dua sistem pencatatan persediaan yaitu sistem periodik dan sistem perpetual yang masing-masing ada tiga cara penilaian persediaan, yaitu:

1. FIFO (First in First Out), masuk pertama keluar pertama (MPKP), metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan awal (pertama) masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dengan nilai perolehan persediaan yang terakhir masuk (dibeli).

2. LIFO (Last In First Out), masuk terakhir keluar pertama (MTKP), metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan terakhir masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dan dilaporkan berdasarkan nilai perolehan persediaan yang awal (pertama) masuk atau dibeli. Metode ini cenderung menghasilkan nilai persediaan akhir yang rendah dan berdampak pada nilai aktiva perusahaan yang rendah.

3. Metode Rata-rata (average method), dengan menggunakan metode ini nilai persediaan akhir akan menghasilkan nilai antara nilai persediaan metode FIFO dan nilai persediaan LIFO. Metode ini juga akan berdampak pada nilai harga pokok penjualan dan laba kotor.

Dalam penilaian persediaan selain arus harga pokok ada tiga metode yang digunakan, yaitu:

1. Lower Cost of Market, yaitu metode harga terendah antara harga pokok dan harga pasar. Metode ini dapat diterapkan dalam kondisi persediaan tidak normal, misalnya cacat, rusak dan kadaluarsa.


(5)

2. Gross Profit Method, metode laba kotor ini bersifat estimasi dalam penilaian persediaannya. Biasanya diterapkan karena keterbatasan dokumen yang terkait dengan persediaan, misalnya karena terjadi bencana kebakaran dan banjir.

3. Retail Method, metode eceran ini menilai persediaan akhir dengan cara menghitung terlebih dahulu nilai persediaan akhir berdasarkan eceran.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Kieso, Donald E, dkk. Akuntansi Intermediate.2007. Jakarta: Erlangga Zaki Baridwan. Intermediate Accounting. 2004. Yogyakarta: BPPE