Resensi Buku "Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional" | Ratih | Populasi 12137 23849 1 PB
Reviu Buku
Populasi
Volume 20 Nomor 1 Desember 2011
Halaman 87 - 90
Reviu buku
Judul
: Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik
yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional
Editor
: Agus Pramusinto dan Wahyudi Kumorotomo
Penerbit
: Gava Media Bekerja sama dengan Magister Administrasi Publik UGM
Cetakan
: Pertama, 2009.
Tebal
: xxiii+409 hlm.
Seiring dengan perkembangan konsep serta
praktik governance di Indonesia maka bermunculan buku yang membahas persoalan tersebut.
Salah satu buku yang ikut berkontribusi
membahas tentang perkembangan konsep dan
praktik governance di Indonesia adalah:
Governance Reform di Indonesia : Mencari
Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan
Birokrasi yang Profesional. Buku editorial yang
diedit oleh Agus Pramusinto dan Wahyudi
Kumorotomo ini diterbitkan atas kerja sama
antara Magister Administrasi Publik Universitas
Gadjah Mada dengan Penerbit Gava Media,
Yogyakarta. Buku ini ditulis oleh para ahli yang
memiliki berbagai latar belakang ilmu dengan
kata pengantar ditulis oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono X.
Buku setebal 409 halaman ini dibagi menjadi
empat bagian dengan topik yang beragam.
Benang merah dari buku tersebut adalah
perkembangan reformasi governance di
Indonesia sebagai upaya untuk mewujudkan
bangun format sistem politik yang demokratis
dan didukung oleh sosok birokrasi yang
profesional. Untuk menjelaskan gagasan besar
tersebut, buku ini dibagi menjadi empat bagian.
Bagian I mendiskusikan topik-topik yang
berhubungan dengan penataan ulang demokrasi. Bagian II membahas topik-topik yang
Populasi, 20(1), 2011, ISSN 0853 - 0262
berhubungan dengan penguatan birokrasi.
Bagian III mendiskusikan topik-topik yang
berkaitan dengan pemberantasan korupsi.
Bagian terakhir memaparkan ide-ide mengenai
pembangunan budaya birokrasi.
Penataan ulang demokrasi yang merupakan
bagian pertama buku ini memaparkan beberapa
hal penting terkait dinamika demokrasi di
Indonesia. Dinamika demokrasi digambarkan
sebagai kemunculan beberapa partai sebagai
peserta pemilu. Hal ini menggambarkan sikap
akomodatif karakter budaya majemuk dari
bangsa ini. Selanjutnya kemajuan demokrasi
sangat berarti bagi bangsa Indonesia, yaitu
dengan adanya pemilihan secara langsung
anggota DPRD, DPR, kepala daerah, presiden,
dan wakil presiden. Namun dinamika demokrasi
tersebut dapat memungkinkan kondisi yang
kontraproduktif apabila demokrasi ini tidak ditata.
Bagian I buku ini menawarkan ide-ide kontemporer dalam menata ulang proses
demokrasi yang sedang mengalami euforia.
Ichlasul Amal, salah satu penulis yang memberikan kontribusi pemikiran pada bagian
pertama buku ini, menawarkan paradigma retroprospek. Paradigma retroprospektif ini didasarkan bahwa kita harus mengambil manfaat
dari sistem multipartai yang pernah ada pada
masa Orde Lama . Akan tetapi, pada saat yang
87
Dyah Ratih
sama harus dapat mengelola konflik dengan
penyederhanaan sistem kepartaian sebagaimana diuraikan oleh Amal di halaman 18 buku
ini: “…Sebagian wacana mengacu kepada
paradigma restropektif, agar kembali kepada
sistem multi-partai yang bebas seperti yang
pernah terjadi pada Pemilu 1955. Namun
sebagian yang lain mengacu pada paradigma
prospektif agar dilakukan penyederhanaan dan
pembatasan jumlah partai sehingga mengarah
kepada sistem dua partai seperti di Amerika
Serikat dan Inggris”. Kemudian Anas Urbaningrum mengemukakan gagasannya dengan
membuat kepartaian yang majemuk itu menjadi
sederhana. Selain sistem kepartaian yang
sederhana, dikatakan Anas bahwa penataan
demokrasi dimaksudkan untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesejahteraan rakyat. Sementara itu, Priyo Budi
Santoso menyampaikan gagasan tentang
sistem Pemilu yang baik harus memiliki prinsipprinsip sebagai berikut 1) akuntabilitas, 2)
keterwakilan, 3) keadilan, 4) persamaan hak
untuk setiap pemilih, 5) menciptakan pemerintahan yang efektif dan akomodatif, 6)
perkembangan partai-partai dan perwakilan
lokal yang kuat secara relatif, 7) sistem
menyediakan akses melalui kesederhanaan
dan refleksi pilihan warga negara yang relatif
tepat. Bagian penataan ulang demokrasi juga
dilengkapi dengan prinsip-prinsip membangun
peradaban demokrasi. Dwiyanto Indiahono
mengulas kilas balik prinsip-prinsip demokrasi
Athena. Berkaitan dengan itu, maka peradaban
demokrasi Indonesia harus dibangun kembali
melalui 1) suara partai harus suara rakyat , 2)
demokrasi perwakilan bukan voting. Kemudian
diakhir bagian I ini ditawarkan gagasan agar
demokrasi mendukung perwujudan good
governance oleh Bowo Asiatno.
Meskipun diakui bahwa buku ini memuat ideide segar dan komprehensif terkait dengan
dinamika demokrasi yang sedang berlangsung
di Indonesia, jika dibaca secara kritis berbagai
usulan yang disampaikan oleh para penulis
tersebut masih bersifat wacana dan belum
88
memberikan langkah konkret bagaimana
mewujudkan gagasan mereka. Wacana untuk
melakukan penyederhanaan partai politik di
Indonesia sudah sering disampaikan, tetapi
realitas politik di Indonesia masih sulit untuk
mengadopsi gagasan tersebut. Hal ini secara
lugas juga diakui oleh Amal yang memaparkan
bertapa tidak mudah untuk merealisasikan
gagasan yang ia pikirkan. Tentang gagasan
retroprospektif yang ia pikirkan, Amal
mengatakan: “Bagaimana caranya agar dapat
melakukan pendekatan “retroprospektif” ini?
Inilah yang tidak mudah untuk dilakukan”.
Bagian II buku ini memaparkan topik-topik
mengenai penguatan birokrasi. Birokrasi diakui
memiliki peran sentral dalam pelaksanaan
governance reform serta penentu keberhasilan
pembangunan suatu bangsa. Akan tetapi, isu
mengenai kapasitas birokrasi yang lemah
merupakan fenomena yang masih terjadi di
Indonesia. Topik-topik pada bagian II ini
meskipun telah sering didiskusikan dalam
berbagai kesempatan, tetapi topik ini masih tetap
relevan didiskusikan untuk memperbaiki kinerja
birokrasi. Jika ada yang beda dengan apa yang
sudah dilakukan oleh para ahli sebelumnya,
tema penguatan birokrasi yang disampaikan
pada bagian II buku ini adalah dari gagasangagasan segar yang disampaikan oleh para
pakar dengan menampilkan pendekatan yang
berbeda untuk memperbaiki birokrasi dari apa
yang sudah ada selama ini. Sofian Effendi,
misalnya, mengangkat persoalan mendasar,
yaitu civil service reform bidang SDM aparatur
negara. Kemudian Fadel Muhammad
menyampaikan ide inovatifnya yang telah
berhasil diterapkan di Provinsi Gorontalo. Melalui
tulisannya yang berjudul Energizing
Bureaucracy, Muhammad memberikan ide
untuk mengubah mindset dan budaya kerja agar
lebih entrepreneurship. Selain itu, ide energizing
bureaucracy juga memuat strategi agar
birokrasi lebih dinamis dan memiliki networking.
Keberhasilan untuk melakukan energizing
bureaucracy ini, menurut Muhammad, ada tiga
kunci, yaitu kemampuan manager publik
Populasi, 20(1), 2011, ISSN 0853 - 0262
Reviu Buku
memotivasi para pegawai, merekrut SDM yang
tepat, dan memberikan penghargaan atas dasar
kinerja (hlm.112). Sedangkan Agustinus Sulistyo
menawarkan strategi untuk memperbaiki
rendahnya profesionalisme, etos kerja, disiplin
dan gaji PNS. Strategi ini cukup menarik yaitu
competence-based human resource management. Strategi menerapkan competencebased human resource ini adalah: “[…] setelah
pola karier tersusun dengan baik, perlu didukung
dengan sistem pengembangan pegawai, sistem
penilaian kinerja dan sistem penggajian yang
menghargai kompetensi dan prestasi kerja”
(hlm.149).
Pemberantasan korupsi merupakan bagian
III buku Governance Reform ini. Berbagai diskusi
maupun aktivitas nyata telah banyak dilakukan
untuk pemberantasan korupsi. Akan tetapi, topiktopik pemberantasan korupsi selalu menjadi isu
menarik mengingat korupsi di Indonesia telah
mendarah daging. Lebih menarik lagi karena
buku ini menyajikan strategi baru dalam
pemberantasan korupsi. Strategi inovatif ini
menekankan bahwa masalah korupsi tidak saja
diatasi dengan peraturan perundangan. Agus
Dwiyanto menyarankan penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi untuk mengurangi
proses kerja birokrasi yang berbelit dan
memperpendek hierarki sehingga interaksi
pemberi layanan dan pengguna makin mudah.
Wahyudi Kumorotomo menyampaikan inovasiinovasi yang dikembangkan oleh pemerintah
daerah untuk mengatasi korupsi. Pada intinya
setiap penulis mencoba menawarkan hal baru
seperti juga Cut Sukmawati yang melibatkan
pendidikan tinggi dan Rosfiah Arsal membahas
penerapan manajemen kontrak untuk menanggulangi korupsi.
Bagian terakhir dari buku ini membahas isuisu yang berkaitan dengan budaya birokrasi.
Dalam bagian ini beberapa pakar mencoba
mencari akar persoalan mengapa begitu sulit
untuk melakukan reformasi di dalam tubuh
birokrasi di Indonesia. Salah satu penulis yang
memberikan sumbangan tulisan ini, Erwan Agus
Purwanto, melakukan analisis historis untuk
Populasi, 20(1), 2011, ISSN 0853 - 0262
melacak kembali sebab-sebab bercokolnya
budaya korupsi yang sulit dilepaskan dalam
tubuh birokrasi publik di Indonesia yang berakar
jauh di masa prakolonial. Budaya birokrasi
merupakan elemen penentu keberhasilan
reformasi, sayangnya budaya birokrasi tidak
dapat diimpor dari luar: “justru budaya birokrasi
inilah yang sulit diimpor dari luar” (hlm. 286).
Pandangan yang serupa juga disampaikan oleh
Miftah Thoha, Prijono Tjiptoherijanto, dan juga
Ferry Anggoro Suryokusumo.
Buku Governance Reform di Indonesia:
Mencari Arah Kelembagaan Politik yang
Demokratis dan Birokrasi yang Profesional
tentu saja sangat relevan untuk dijadikan acuan
dalam rangka perbaikan pelayanan publik.
Sebagai buku editorial, buku ini memiliki
keunggulan bahwa memuat ide kreatif dari
berbagai pakar. Hal ini tentu saja membawa nilai
lebih karena setiap pakar menyumbangkan ide
inovatifnya dari perspektifnya masing-masing.
Dengan demikian, ide-ide kreatif tersebut akan
memperkaya upaya governance reform di
Indonesia. Namun buku editorial juga memiliki
kelemahan, yaitu beberapa gagasan terfragmentasi sehingga belum menjadi kesatuan
gagasan secara utuh.
Manfaat lain apabila kita membaca buku ini
dengan seksama adalah memahami sejauhmana keberhasilan implementasi governance
reform di Indonesia. Meskipun governance
reform telah dilaksanakan sejak lama serta
mendapat momentum ketika desentralisasi,
kenyataannya belum membawa perubahan
yang berarti. Banyaknya permasalahan pada
pelayanan publik merupakan salah satu refleksi
belum berhasilnya governance reform sesuai
yang diharapkan. Rendahnya peringkat HDI
merupakan salah satu cermin rendahnya
kualitas pelayanan publik. Posisi Indonesia dalam
Human Development Index (HDI) tahun 2007
berada pada urutan 108, dengan nilai indeks
sebesar 0,728. Peringkat HDI Indonesia ini jauh
di bawah beberapa negara Asia Tenggara
lainnya, seperti Singapura yang berada pada
urutan ke-25 (0,916), Malaysia ke-61 (0,805),
89
Dyah Ratih
Thailand ke-74 (0,784), Filipina ke–84 (0,763)
dan Brunei Darrusalam ke-34 (0,871). Bahkan
tiga negara anggota Asean yaitu Singapura,
Malaysia, dan Brunei, telah termasuk dalam
kategori negara yang memiliki HDI tinggi. Apabila
keberhasilan pencapaian MDGs diukur dari HDI,
maka pencapaian MDGs di Indonesia masih
sangat memprihatinkan. Bahkan, menurut
Laporan “A Future Within Reach” maupun
Laporan MDGs Asia-Pasifik tahun 2006,
Indonesia termasuk dalam kategori terbawah
bersama Bangladesh, Laos, Mongolia,
Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina1.
Peringkat HDI Indonesia yang seperti itu
tentunya terkait dengan berbagai realita sosial
seperti kemiskinan dan peranan negara yang
belum optimal dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Melalui berbagai indikator yang
digunakan, HDI 2 merupakan ukuran keberhasilan pembangunan suatu negara dalam
bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Implikasinya, HDI yang tinggi menunjukkan
keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Sebaliknya, HDI yang
rendah menunjukkan ketidakberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi
suatu negara.
1
2
3
Masalah di bidang pendidikan adalah
Indonesia belum mencapai keberhasilan
program Wajib Belajar 9 tahun. Hal ini secara
tegas dapat dilihat bahwa rata-rata lama studi
nasional masih di bawah 9 tahun.3 Di bidang
kesehatan, masih banyak permasalahan yang
muncul seperti fenomena gizi buruk, angka
kematian ibu, dan biaya rumah sakit yang masih
mahal. Permasalahan-permasalahan tersebut
tentu saja tidak terlepas dari reformasi
governance yang belum berhasil seperti yang
dibahas dalam buku tersebut. Misalnya masalah
korupsi dan kapasitas birokrasi yang lemah
menyebabkan buruknya pelayanan publik.
Demikian juga, dinamika demokrasi yang belum
mencapai proses pendewasaan justru
menghambat penyelenggaraan pelayanan
publik. Oleh sebab itu, buku Governance Reform
di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik
yang Demokratis dan Birokrasi yang
Profesional tidak saja memberikan kontribusi
tentang bagaimana praktek governance bisa
dicapai. Namun buku tersebut juga sekaligus
memberikan wacana bagaimana pelayanan
publik dapat berhasil ketika praktik governance
sudah berhasil.
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0703/03/ln/3359249.htm
HDI adalah angka yang diolah berdasarkan tiga dimensi, yaitu panjang usia (longevity), pengetahuan (knowledge),
dan standar hidup (standard of living) suatu bangsa. Secara teknis ketiga dimensi ini dijabarkan menjadi beberapa
indikator,yaitu kesehatan dan kependudukan, pendidikan, serta ekonomi.
Indikator kesehatan menyangkut angka kematian bayi (infant mortality rate), angka kematian balita (under-five
mortality rate), dan angka kematian ibu serta kualitas gizi. Indikator kependudukan menyangkut usia harapan
hidup (life expectancy). Indikator pendidikan menyangkut angka melek huruf (literacy rate), anak yang berpendidikan
sampai kelas lima SD (children reaching grade 5), dan angka partisipasi pendidikan (enrolment ratio). Adapun
indikator ekonomi, antara lain, menyangkut indeks kemiskinan (poverty index).
Indikator Kesejahteraan Rakyat, 2005:100
90
Populasi, 20(1), 2011, ISSN 0853 - 0262
Populasi
Volume 20 Nomor 1 Desember 2011
Halaman 87 - 90
Reviu buku
Judul
: Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik
yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional
Editor
: Agus Pramusinto dan Wahyudi Kumorotomo
Penerbit
: Gava Media Bekerja sama dengan Magister Administrasi Publik UGM
Cetakan
: Pertama, 2009.
Tebal
: xxiii+409 hlm.
Seiring dengan perkembangan konsep serta
praktik governance di Indonesia maka bermunculan buku yang membahas persoalan tersebut.
Salah satu buku yang ikut berkontribusi
membahas tentang perkembangan konsep dan
praktik governance di Indonesia adalah:
Governance Reform di Indonesia : Mencari
Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan
Birokrasi yang Profesional. Buku editorial yang
diedit oleh Agus Pramusinto dan Wahyudi
Kumorotomo ini diterbitkan atas kerja sama
antara Magister Administrasi Publik Universitas
Gadjah Mada dengan Penerbit Gava Media,
Yogyakarta. Buku ini ditulis oleh para ahli yang
memiliki berbagai latar belakang ilmu dengan
kata pengantar ditulis oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono X.
Buku setebal 409 halaman ini dibagi menjadi
empat bagian dengan topik yang beragam.
Benang merah dari buku tersebut adalah
perkembangan reformasi governance di
Indonesia sebagai upaya untuk mewujudkan
bangun format sistem politik yang demokratis
dan didukung oleh sosok birokrasi yang
profesional. Untuk menjelaskan gagasan besar
tersebut, buku ini dibagi menjadi empat bagian.
Bagian I mendiskusikan topik-topik yang
berhubungan dengan penataan ulang demokrasi. Bagian II membahas topik-topik yang
Populasi, 20(1), 2011, ISSN 0853 - 0262
berhubungan dengan penguatan birokrasi.
Bagian III mendiskusikan topik-topik yang
berkaitan dengan pemberantasan korupsi.
Bagian terakhir memaparkan ide-ide mengenai
pembangunan budaya birokrasi.
Penataan ulang demokrasi yang merupakan
bagian pertama buku ini memaparkan beberapa
hal penting terkait dinamika demokrasi di
Indonesia. Dinamika demokrasi digambarkan
sebagai kemunculan beberapa partai sebagai
peserta pemilu. Hal ini menggambarkan sikap
akomodatif karakter budaya majemuk dari
bangsa ini. Selanjutnya kemajuan demokrasi
sangat berarti bagi bangsa Indonesia, yaitu
dengan adanya pemilihan secara langsung
anggota DPRD, DPR, kepala daerah, presiden,
dan wakil presiden. Namun dinamika demokrasi
tersebut dapat memungkinkan kondisi yang
kontraproduktif apabila demokrasi ini tidak ditata.
Bagian I buku ini menawarkan ide-ide kontemporer dalam menata ulang proses
demokrasi yang sedang mengalami euforia.
Ichlasul Amal, salah satu penulis yang memberikan kontribusi pemikiran pada bagian
pertama buku ini, menawarkan paradigma retroprospek. Paradigma retroprospektif ini didasarkan bahwa kita harus mengambil manfaat
dari sistem multipartai yang pernah ada pada
masa Orde Lama . Akan tetapi, pada saat yang
87
Dyah Ratih
sama harus dapat mengelola konflik dengan
penyederhanaan sistem kepartaian sebagaimana diuraikan oleh Amal di halaman 18 buku
ini: “…Sebagian wacana mengacu kepada
paradigma restropektif, agar kembali kepada
sistem multi-partai yang bebas seperti yang
pernah terjadi pada Pemilu 1955. Namun
sebagian yang lain mengacu pada paradigma
prospektif agar dilakukan penyederhanaan dan
pembatasan jumlah partai sehingga mengarah
kepada sistem dua partai seperti di Amerika
Serikat dan Inggris”. Kemudian Anas Urbaningrum mengemukakan gagasannya dengan
membuat kepartaian yang majemuk itu menjadi
sederhana. Selain sistem kepartaian yang
sederhana, dikatakan Anas bahwa penataan
demokrasi dimaksudkan untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesejahteraan rakyat. Sementara itu, Priyo Budi
Santoso menyampaikan gagasan tentang
sistem Pemilu yang baik harus memiliki prinsipprinsip sebagai berikut 1) akuntabilitas, 2)
keterwakilan, 3) keadilan, 4) persamaan hak
untuk setiap pemilih, 5) menciptakan pemerintahan yang efektif dan akomodatif, 6)
perkembangan partai-partai dan perwakilan
lokal yang kuat secara relatif, 7) sistem
menyediakan akses melalui kesederhanaan
dan refleksi pilihan warga negara yang relatif
tepat. Bagian penataan ulang demokrasi juga
dilengkapi dengan prinsip-prinsip membangun
peradaban demokrasi. Dwiyanto Indiahono
mengulas kilas balik prinsip-prinsip demokrasi
Athena. Berkaitan dengan itu, maka peradaban
demokrasi Indonesia harus dibangun kembali
melalui 1) suara partai harus suara rakyat , 2)
demokrasi perwakilan bukan voting. Kemudian
diakhir bagian I ini ditawarkan gagasan agar
demokrasi mendukung perwujudan good
governance oleh Bowo Asiatno.
Meskipun diakui bahwa buku ini memuat ideide segar dan komprehensif terkait dengan
dinamika demokrasi yang sedang berlangsung
di Indonesia, jika dibaca secara kritis berbagai
usulan yang disampaikan oleh para penulis
tersebut masih bersifat wacana dan belum
88
memberikan langkah konkret bagaimana
mewujudkan gagasan mereka. Wacana untuk
melakukan penyederhanaan partai politik di
Indonesia sudah sering disampaikan, tetapi
realitas politik di Indonesia masih sulit untuk
mengadopsi gagasan tersebut. Hal ini secara
lugas juga diakui oleh Amal yang memaparkan
bertapa tidak mudah untuk merealisasikan
gagasan yang ia pikirkan. Tentang gagasan
retroprospektif yang ia pikirkan, Amal
mengatakan: “Bagaimana caranya agar dapat
melakukan pendekatan “retroprospektif” ini?
Inilah yang tidak mudah untuk dilakukan”.
Bagian II buku ini memaparkan topik-topik
mengenai penguatan birokrasi. Birokrasi diakui
memiliki peran sentral dalam pelaksanaan
governance reform serta penentu keberhasilan
pembangunan suatu bangsa. Akan tetapi, isu
mengenai kapasitas birokrasi yang lemah
merupakan fenomena yang masih terjadi di
Indonesia. Topik-topik pada bagian II ini
meskipun telah sering didiskusikan dalam
berbagai kesempatan, tetapi topik ini masih tetap
relevan didiskusikan untuk memperbaiki kinerja
birokrasi. Jika ada yang beda dengan apa yang
sudah dilakukan oleh para ahli sebelumnya,
tema penguatan birokrasi yang disampaikan
pada bagian II buku ini adalah dari gagasangagasan segar yang disampaikan oleh para
pakar dengan menampilkan pendekatan yang
berbeda untuk memperbaiki birokrasi dari apa
yang sudah ada selama ini. Sofian Effendi,
misalnya, mengangkat persoalan mendasar,
yaitu civil service reform bidang SDM aparatur
negara. Kemudian Fadel Muhammad
menyampaikan ide inovatifnya yang telah
berhasil diterapkan di Provinsi Gorontalo. Melalui
tulisannya yang berjudul Energizing
Bureaucracy, Muhammad memberikan ide
untuk mengubah mindset dan budaya kerja agar
lebih entrepreneurship. Selain itu, ide energizing
bureaucracy juga memuat strategi agar
birokrasi lebih dinamis dan memiliki networking.
Keberhasilan untuk melakukan energizing
bureaucracy ini, menurut Muhammad, ada tiga
kunci, yaitu kemampuan manager publik
Populasi, 20(1), 2011, ISSN 0853 - 0262
Reviu Buku
memotivasi para pegawai, merekrut SDM yang
tepat, dan memberikan penghargaan atas dasar
kinerja (hlm.112). Sedangkan Agustinus Sulistyo
menawarkan strategi untuk memperbaiki
rendahnya profesionalisme, etos kerja, disiplin
dan gaji PNS. Strategi ini cukup menarik yaitu
competence-based human resource management. Strategi menerapkan competencebased human resource ini adalah: “[…] setelah
pola karier tersusun dengan baik, perlu didukung
dengan sistem pengembangan pegawai, sistem
penilaian kinerja dan sistem penggajian yang
menghargai kompetensi dan prestasi kerja”
(hlm.149).
Pemberantasan korupsi merupakan bagian
III buku Governance Reform ini. Berbagai diskusi
maupun aktivitas nyata telah banyak dilakukan
untuk pemberantasan korupsi. Akan tetapi, topiktopik pemberantasan korupsi selalu menjadi isu
menarik mengingat korupsi di Indonesia telah
mendarah daging. Lebih menarik lagi karena
buku ini menyajikan strategi baru dalam
pemberantasan korupsi. Strategi inovatif ini
menekankan bahwa masalah korupsi tidak saja
diatasi dengan peraturan perundangan. Agus
Dwiyanto menyarankan penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi untuk mengurangi
proses kerja birokrasi yang berbelit dan
memperpendek hierarki sehingga interaksi
pemberi layanan dan pengguna makin mudah.
Wahyudi Kumorotomo menyampaikan inovasiinovasi yang dikembangkan oleh pemerintah
daerah untuk mengatasi korupsi. Pada intinya
setiap penulis mencoba menawarkan hal baru
seperti juga Cut Sukmawati yang melibatkan
pendidikan tinggi dan Rosfiah Arsal membahas
penerapan manajemen kontrak untuk menanggulangi korupsi.
Bagian terakhir dari buku ini membahas isuisu yang berkaitan dengan budaya birokrasi.
Dalam bagian ini beberapa pakar mencoba
mencari akar persoalan mengapa begitu sulit
untuk melakukan reformasi di dalam tubuh
birokrasi di Indonesia. Salah satu penulis yang
memberikan sumbangan tulisan ini, Erwan Agus
Purwanto, melakukan analisis historis untuk
Populasi, 20(1), 2011, ISSN 0853 - 0262
melacak kembali sebab-sebab bercokolnya
budaya korupsi yang sulit dilepaskan dalam
tubuh birokrasi publik di Indonesia yang berakar
jauh di masa prakolonial. Budaya birokrasi
merupakan elemen penentu keberhasilan
reformasi, sayangnya budaya birokrasi tidak
dapat diimpor dari luar: “justru budaya birokrasi
inilah yang sulit diimpor dari luar” (hlm. 286).
Pandangan yang serupa juga disampaikan oleh
Miftah Thoha, Prijono Tjiptoherijanto, dan juga
Ferry Anggoro Suryokusumo.
Buku Governance Reform di Indonesia:
Mencari Arah Kelembagaan Politik yang
Demokratis dan Birokrasi yang Profesional
tentu saja sangat relevan untuk dijadikan acuan
dalam rangka perbaikan pelayanan publik.
Sebagai buku editorial, buku ini memiliki
keunggulan bahwa memuat ide kreatif dari
berbagai pakar. Hal ini tentu saja membawa nilai
lebih karena setiap pakar menyumbangkan ide
inovatifnya dari perspektifnya masing-masing.
Dengan demikian, ide-ide kreatif tersebut akan
memperkaya upaya governance reform di
Indonesia. Namun buku editorial juga memiliki
kelemahan, yaitu beberapa gagasan terfragmentasi sehingga belum menjadi kesatuan
gagasan secara utuh.
Manfaat lain apabila kita membaca buku ini
dengan seksama adalah memahami sejauhmana keberhasilan implementasi governance
reform di Indonesia. Meskipun governance
reform telah dilaksanakan sejak lama serta
mendapat momentum ketika desentralisasi,
kenyataannya belum membawa perubahan
yang berarti. Banyaknya permasalahan pada
pelayanan publik merupakan salah satu refleksi
belum berhasilnya governance reform sesuai
yang diharapkan. Rendahnya peringkat HDI
merupakan salah satu cermin rendahnya
kualitas pelayanan publik. Posisi Indonesia dalam
Human Development Index (HDI) tahun 2007
berada pada urutan 108, dengan nilai indeks
sebesar 0,728. Peringkat HDI Indonesia ini jauh
di bawah beberapa negara Asia Tenggara
lainnya, seperti Singapura yang berada pada
urutan ke-25 (0,916), Malaysia ke-61 (0,805),
89
Dyah Ratih
Thailand ke-74 (0,784), Filipina ke–84 (0,763)
dan Brunei Darrusalam ke-34 (0,871). Bahkan
tiga negara anggota Asean yaitu Singapura,
Malaysia, dan Brunei, telah termasuk dalam
kategori negara yang memiliki HDI tinggi. Apabila
keberhasilan pencapaian MDGs diukur dari HDI,
maka pencapaian MDGs di Indonesia masih
sangat memprihatinkan. Bahkan, menurut
Laporan “A Future Within Reach” maupun
Laporan MDGs Asia-Pasifik tahun 2006,
Indonesia termasuk dalam kategori terbawah
bersama Bangladesh, Laos, Mongolia,
Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina1.
Peringkat HDI Indonesia yang seperti itu
tentunya terkait dengan berbagai realita sosial
seperti kemiskinan dan peranan negara yang
belum optimal dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Melalui berbagai indikator yang
digunakan, HDI 2 merupakan ukuran keberhasilan pembangunan suatu negara dalam
bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Implikasinya, HDI yang tinggi menunjukkan
keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Sebaliknya, HDI yang
rendah menunjukkan ketidakberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi
suatu negara.
1
2
3
Masalah di bidang pendidikan adalah
Indonesia belum mencapai keberhasilan
program Wajib Belajar 9 tahun. Hal ini secara
tegas dapat dilihat bahwa rata-rata lama studi
nasional masih di bawah 9 tahun.3 Di bidang
kesehatan, masih banyak permasalahan yang
muncul seperti fenomena gizi buruk, angka
kematian ibu, dan biaya rumah sakit yang masih
mahal. Permasalahan-permasalahan tersebut
tentu saja tidak terlepas dari reformasi
governance yang belum berhasil seperti yang
dibahas dalam buku tersebut. Misalnya masalah
korupsi dan kapasitas birokrasi yang lemah
menyebabkan buruknya pelayanan publik.
Demikian juga, dinamika demokrasi yang belum
mencapai proses pendewasaan justru
menghambat penyelenggaraan pelayanan
publik. Oleh sebab itu, buku Governance Reform
di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik
yang Demokratis dan Birokrasi yang
Profesional tidak saja memberikan kontribusi
tentang bagaimana praktek governance bisa
dicapai. Namun buku tersebut juga sekaligus
memberikan wacana bagaimana pelayanan
publik dapat berhasil ketika praktik governance
sudah berhasil.
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0703/03/ln/3359249.htm
HDI adalah angka yang diolah berdasarkan tiga dimensi, yaitu panjang usia (longevity), pengetahuan (knowledge),
dan standar hidup (standard of living) suatu bangsa. Secara teknis ketiga dimensi ini dijabarkan menjadi beberapa
indikator,yaitu kesehatan dan kependudukan, pendidikan, serta ekonomi.
Indikator kesehatan menyangkut angka kematian bayi (infant mortality rate), angka kematian balita (under-five
mortality rate), dan angka kematian ibu serta kualitas gizi. Indikator kependudukan menyangkut usia harapan
hidup (life expectancy). Indikator pendidikan menyangkut angka melek huruf (literacy rate), anak yang berpendidikan
sampai kelas lima SD (children reaching grade 5), dan angka partisipasi pendidikan (enrolment ratio). Adapun
indikator ekonomi, antara lain, menyangkut indeks kemiskinan (poverty index).
Indikator Kesejahteraan Rakyat, 2005:100
90
Populasi, 20(1), 2011, ISSN 0853 - 0262