Resensi Buku 007

NAMA : NOVIANTI NUR KHABIBAH
NIM : 111-14-339

Judul buku: STUDI ISLAM PENDEKATAN DAN METODE
Penulis: Zakiyyudin Baidhawy
Penerbit: Insan Madani
Tahun terbit: Cetakan pertama, Juli 2011
Tempat: Yogyakarta
Tebal/ Jumlah halaman: 317

Metodologi studi islam adalah salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh oleh
mahasiswa UIN, IAIN, STAIN, dan PTS yang menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu
agama islam di lingkungan kementrian Agama RI. Metodologi studi islam berhubungan erat
dengan mata kuliah yang lain seperti mata kuliah ulumul qur’an, tafsir, ulumul hadits, hadits,
tauhid, fiqih,akhlaq, tasawuf, filsafat islam dan pembaharuan pemikiran islam.
Dengan urgensi mempelajari Metodologi studi islam tersebut, maka Zakiyyudin
Baidhawy menyusun buku SIPM sebagai jawaban atas permasalahan-permasalahan yang
muncul pada era kontemporer ini.
Buku ini memiliki 317 halaman dengan tersusun oleh empat belas bab, diantaranya
dalam pembahasan pertama, dijelaskan tentang pengertian studi islamdan metodologi studi
islam dalam dimensi keilmuan dan keagamaan. Istilah’’islamic Studies’’ yakni seluruh yang

memiliki dimensi ‘’islam’’ dan keterkaitan dengannya.1 Kita dapat mengemukakan dua
pendekatan mendasar mengenai definisi islamic Studies, yaitu definisi sempit dan definisi
1 Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode, Cet. I (yogyakarta:
Insan Madani, 2011), hlm. 1.

1

yang lebih lua ( Sulaiman & Shihadeh, 2007: 6-7 ). Pendekatan pertama melihat islamic
Studies sebagai suatu disiplin dengan metodologi , materi dan teks-teks kuncinya sendiri,
bidang studi ini dapat didefinisikan sebagai studi islam tentang tradisi teks-teks keagamaan
klasik dan ilmu-ilmu keagamaan lkasik, memeperluas ruang lingkupnya berarti akan
mengurangi kualitas kajiannya .
Menurut definisi ini, Islamic Studies mengimplikasikan: pertama, studi tentang
disiplin dan tradisi intelektual keagamaan klasik menjadi inti dari Islamic Studies, karena ada
di jantung kebudayaan yang dipelajari dalam peradaban islam dan agama islam, dan karena
banyak muslim terpelajar masih memandangnya sebagai persoalan penting.
Kedua, Islamic Studies adalah suatu bidang upaya –upaya memperluas bidang
kajiannya dapat mengakibatkan berkurangnya kualitas kajian .Ketiga, pendidikan berbasis
keimanan bagi muslim mengenai islam, dan studi lintas disiplin tentang islam yang bersandar
kepada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu0ilmu sosial, keduanya memberikan tujuan yang

bermanfaat. Pendekatan kedua mendefinisikan Islamic Studies berdasarkan pada pernyataan
bahwa islam perlu dikaji dalam konteks evolusi islam modern yanag penuh teka-teki.2
Berikut ini adalah beberapa perdebatan seputar metodologi dalam Islamic Studies.
M.Izzi Dien (2003:243-255) secara gamblang menggambarkan perdebatan metodologi
tersebut mencakup kritik akademisi muslim atas metodologi barat, pendekatan apologetik
muslim terhadap metodologi penelitian, pendekatan radikal muslim terhadap metodologi
barat, dan kritik metodologu muslim dari dalam.
Kritik atas Metodologi Barat
Kritik akademisi muslim atas metodologi Barat muncul baik dalam bentuk kritik
seimbang maupun kritik radikal. Pendekatan intelektual Barat terhadap pengetahuan
dan pembelajaran ditegakkan atas hukum pertentangan antara dua hal yang
bersebranga yang bertabrakan dengan filsafat islam tentang kehidupan yang
berdasarkan pada apa yang disebut fusi dua hal yang bersebrangan. Suatu teori yang
juga disebut sebagai teori wasathiyyah ( teori jalan tengah ). Teori ini didasarkan atal
Al-Quran surat al-Baqarrah[2]:143 yang berbicara tentang ‘’ummah wasath’’, yang
mampu merekonsiliasi dua hal yang bertentangan dengan tujuan untuk meraih
harmoni sosial.3
Pendekatan Apologetik Insider

2 Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode, hlm. 2-3.

3 Ibid., hlm. 7-8.

2

Pendekatan Apologetik menyatakan bahwa islam mengadopsi pencarian pengetahuan
dan tidak membatasi pada sumber pengetahuan hanya pada pemahaman dunia materi
manusia.4
Dalam pembahasan kedua, menjelaskan tentang ruang lingkup objek kajian studi
islam, pengalaman keagamaan dan Ekspresinya, dimensi-dimensi agama, cara beragama.
Joachim Wach ( 1958 ) menjelaskan beberapa kriteria mengenai pengalaman kegamaa.
Pertama, pengalaman keagamaan merupakan suatu respon terhadap apa yang dialami sebagai
Realitas Ultim (the Ultimate Reality). R ealitas Ultim di sini artinya sesuatu yang ‘’
mengesankan dan menantang kita’’. Pengalaman ini melibatkan empat hal, yaitu asumsi
tentang adanya kesadaran, yakni pemahaman dan konsepsi, respon dipandang sebagai bagian
dari perjumpaan, pengalaman tentang Realitas Ultim mengimplikasikan relasi dinamis antara
yang mengalami dan yang dialami dan memahami karakter situasional dari pengalaman
keagamaan itu sendiri dalam suatu konteks tertentu.
Kedua, pengalaman keagamaan itu harus dipahami sebagai suatu respon menyeluruh
terhadap Realitas Ultim, yaitu pribadi yang utuh yang melibatkan jiwa, emosi dan kehendak
sekaligus. Ketiga suatu , pengalaman keagamaan menghendaki intensitas, yaitu suatu

pengalaman yang sangat kuat, komprehensif, dan mendalam. Keempat, pengalaman
keagamaan sejati selalu berujung pada tindakan. Ia melibatkan imperatif, sumber motivasi
dan tindakan yang kuat. Praktik-praktik dan tindakan –tindakan kita dalam keseharian bukti
nyata bahwa kita seorang yang beragama sejati.5
Ekspresi pengalaman keagamaan dalam pikiran ialah ungkapan kapan intelektual
orang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhannya. Ekspresi teoretis dari pengalaman
keagamaan dapat disampaikan secara oral maupun tertulis. Firman-firman suci,hadishadis,karya-karya tafsir agama, dan bentuk-bentuk lirik, epik, dan karya-karya lainnya, kredo
keagamaan, dan kesaksian imani, juga merupakan ekspresi pengalaman keagamaan dalam
bentuk pikiran. Pemikiran keagamaan yang utama meliputi teologi, kosmologi, dan
antropologi.6 Dimensi praktik dan ritual keagamaan berupa rukun islam yang lima:syahadat,
shalat, puasa, zakat, haji. Lima rukin islam menjadi kategori utama ritual islam dan peristiwaperistiwa yanf lebih kurang tersusun di bawahnya dalam bentuk yang teratur.7

4
5
6
7

Ibid., hlm. 10
Ibid., hlm. 23-24
Ibid., hlm. 25

Ibid., hlm. 29

3

Dimensi material ialah segala manifestasi agama yang bersifat kebendaan, seperti
bangunan-bangunan peribadatan, tempat-tempat suci, seni keagamaan, dan kreasi-kreasi
material lainnya. 8
Dale Cannon (2002) menjelaskan tentang enam cara beragama yang dapat dijumpai
hampir di semua agama-agama yang hidup di dunia, tak terkecuali islam. Pertama, jalan
menuju Tuhan melalui pelaksanaan kewajiban tanpa pamrih, termasuk sejumlah ritual dan
perbuatan baik. Cara beragama ini disebut juga cara perbuatan benar ( way of right action ).
Tujuannya ialah memenuhi peran dalam hidup ini sebagai sebuah kemestian Ilahi,
menunaikan semuanya dengan kesadaran bahwa peran seseorang telah ditetapkan oleh Tuhan
sejak zaman azali. Cara beragama ini dalam konteks islam memusatkan perhatian pada
perbuatan dan tingkah laku yang benar. Kedua, jalan menuju Tuhan melalui pemujaan dan
ketaatan. Ini biasa disebut cara ketaatan ( way of devotion ). Tujuan ketaatan adalah
menjadikan perasaan seseorang terbakar oleh cinta kepada Tuhan ( mahabbah ) semata,
meniadakan semua perasaan yang lain dalam merespon karunia-Nya yang penuh kasig dan
sayang.
Ketiga, jalan menuju Tuhan melalui disiplin ruhani dan asketik yang dirancang untuk

menarik keluar seseorang dari kesadaran duniawi ( isolasi diri dari dunia ) yang berpusat pada
ego, menuju ke subjek dalam jiwa yang tak terbatas dan Ilahi. Inilah yang disebut sebagai
cara pencarian mistik ( way of mystical quest ). Tujuan dari cara beragama ini ialah kesatuan
mistik antara Tuhan dan hamba-Nya. 9
Dalam islam, cara pencarian mistik dikenal dengan tradisi tasawuf dan tarekat. Para
mistikus atau sufi berupaya melalui disiplin mujahadah melalui maqam-maqam zuhud dan
zikir untuk meraih dan merasakan hakikat Yang Maha Mutlak, Allah swt. Untuk mencapai ini
para pencari ( salik ) biasanya membutuhkan bimbingan spiritual dari guru, ali, mursyid atau
qutub. Keempat, jalan menuju Tuhan melalui kegiatan rasional, argumentatif, dan
pemahaman intelektual. Cara beragama ini bertujuan untuk meraih perubahan pandangan
hidup menuju dasar mutlak segala sesuatu, supaya masuk akal manusia mencapai perspektif
dan pengetahuan’’akal absolut’’. Cara beragama ini disebut cara penelitian akal ( way of
reasoned inquiry ). Kelima, jalan menuju Tuhan melalui partisipasi dalam pelaksanaan ritualritual yang telah ditetapkan ( ibadah mahdah ), yang menjanjikan tata tertib dan vitalitas
dengan mengantarkan seseorang masuk ke dalam pola-pola Ilahiah yang orisinal dari

8 Ibid., hlm. 35
9 Ibid., hlm. 36

4


kehidupan yang penuh makna melalui sakramen. Ini disebut sebagai cara ritus suci ( way of
sacred rite ).10
Ritus suci dalam islam adalah semua bentuk ibadah mahdah yang telah ditetapkan
cara-caranya, waktu0waktunya, maupun tempat-tempatnya. Dalam ritus suci ini juga
termasuk ritus peralihan ( rites de passage ) seperti upacara kelahiran, akikah, pernikahan,
dan kematian, upacara-upacara peneguhan dan pembatalan, seperti pernikahan , peerceraian,
adopsi, kontrak, persetujuan, dan ritual-ritual suci yang mengakui hal-hal yang suci dan
menjaganya agar terpisah dari profan.
Keenam, jalan menuju Tuhan dengan membuka hubungan ke sumber-sumber
supranatural dari imajinasi dan kekuatan, seperti peminjaman kekuatan ilahiah ( kesurupan ),
lupa daratan, meracau, dan pengembaraan spiritual. Ini disebut sebagai cara mediasi samanik
( way of shamanic mediation ). Dalam konteks islam, kita bisa menyaksikan bagaimana
sebagian orang memanfaatkan perantara orang-orang suci ( shaman: wali, mursyid, dukun,
guru ) untuk menyampaikan hajatnya kepada Tuhan. Ini yang dikenal dengan tawasul.
Termasuk dalam tradisi ini pula ialah orang-orang yang mempergunakan kekuatan
supranatural ( melalui mantra, aji-aji, jimat, doa-doa tertentu ) untuk meraih tujuan-tujuan
yang sifatnya natural.11
Dalam pembahasan ketiga, menjelaskan tentang sejarah perkembangan studi islam,
studi islam dan orientalisme, studi islam sebagai disiplin mandiri, studi islam dan
oksidentalisme. Studi Islam mulai muncul pada abad ke-9 di Irak, ketika ilmu-ilmu agama

islam mulai memperoleh bentuknya dan berkembang di dalam sekolah-sekolah hingga
terbentuknya tradisi lileter di kawasan Arab masa pertengahan. Studi Islam bukan hanya
berjalan di dalam peradaban islam itu sendiri bahkan juga menjadi fokus diskusi di negaranegara Barat. Bahkan, sebelum kemunculan islam pada abad ke-7, orang-orang Arab sudah
dikenal oleh bangsa Israel dan Yunani Kuno serta para pendiri gereja. Pandangan orang-orang
Eropa tentang islam sepanjang masa pertengahan diambil dari konstruk Injili dan teologis.12
Richard C. Martin dengan gamblang menjelaskan fase-fase perkembangan Studi
Islam, antara lain sebagai berikut:
Fase pertama ( 800-1100 ), masa di mana banyak bermunculan polemik teologis
antara Muslim, Kristen dan Yahudi. Mitos dan legenda Yahudi dan Kristen pada abad ke-7.
Polemik teologis sering terjadi dalam ruang publik atau dalam audensi Khalifah atau pejabat
resmi negara, yang dilakukan oleh para mutakallimun. Kaum Yahudi dan Kristen sebagai
10 Ibid., hlm. 37
11 Ibid., hlm. 38
12 Ibid., hlm. 39

5

kelompok atau ahlu zimmi berparisipasi dalam ritual-ritual sosial diskursus dan perdebatan
publik dengan kaum Muslim.13
Fase perang salib dan kesarjanaan Cluny ( 1100-1500 ). Studi Islam utuk tujuantujuan misionaris mulai pada abad ke-12 pada masa peter Agung ( 1094-1156 ), seorang

biarawan Cluny di Perancis. Ini adalah masa awal perang salib sekaligus reformasi besar
kehidupan biara, yang kemudian menjadi lembaga utama pendidikan kristen. Fase Reformasi
( 1500-1650 ). Sejalan dengan Eropa memasuki periode perubahan keagamaan, politik dan
intelektual pada abad ke-16, pengetahuan dan Stusi Islam juga terpengaruh. Pada abad ke-14
dan 15, Eropa Timur mengganti Spanyol dan Palestina sebagai front utama antara kerajaan
kristen Romawi Barat dan Islam. Fase penemuan dan pencerahan ( 1650-1900 ). Kesarjanaan
Eropa yang baru dan orisinal tentang islam berkembang pada akhir abad ke-16 dan 17 karena
beberapa alasan. Ancaman Ottoman terhadap Eropa tidak berkurang hingga abad ke-18,
ketika kerajaan Ottoman mengalami kemunduran dan keseimbangan kekuasaan bergerak ke
Eropa.14
Tugas menemukan tradisi literer Islam kuno yang menghasilkan penerbitanpenerbitan teks-teks kuno yang masih dalam bentuk manuskrip merupakan capaian penting
abad ke-19, abad orientalis. Pendidikan kesarjanaan di dunia Muslim sekaligus di Eropa dan
Amerika Utara telah menghasilkan karya penting yang secara keseluruhan masih berkembang
hingga pertengahan terakhir abad ke-20. Sebagaimana dalam kritik injil dan karya sejarah
tentang asal-usul dan periode awal agama yahudi dan kristen, kaum orientalis telah mencoba
merekonstruksi pandangan kritis mengenai asal-usul dan kebangkitan islam.15
Selanjutnya pembahasan pada bab IV penulis menjelaskan tentang model pendekatan
kajian teks-teks islam Studi Al Qur’an. Studi Islam dalam pengertiannya yang sempit,
sebagaimana telah dijelaskan dalam bab I, adalah suatu disiplin imtelektual dan keagamaan
tradisional. Mengikuti pengertian ini, maka kajian-kajian atas teks-teks keislaman

membentuk ruang lingkup inti dari Studi Islam. Kajian-kajian berbasis pa dan hadis, juga da
teks-teks, sebagaimana dikenal dalam tradisi bayani, menekankan prisma teks sebagai cara
untuk memahami hakikat Islam. Karena itu, kajian semacam ini menekankan perhatian pada
teks-teks suci keislaman utamanya Al Qur’an dan hadis, juga karya-karya intelektual klasik
yang berhubungan erat dengan dua sumber ajaran tersebut.16

13
14
15
16

Ibid., hlm. 40
Ibid., hlm. 41-43
Ibid., hlm. 47
Ibid., hlm. 67

6

Dalam bab ini pun menjelaskan pendekatan I’jaz klasik, pendekatan sastra modern,
pendekatan tajdid, pendekatan tahlili, pendekatan sematik, pendekatan tematik. Selantutnya

dalam bab V dibahas tentang model kajian teks-teks keislaman Studi Hadis yaitu kajian
orientalis tentang hadis, perbedaan metodologi kajian hadis: sarjana barat dan sarjana
muslim, kajian sarjana muslim modern, pendekatan revolusioner:al-Albani.
Di antara metodologi baru yang berkembang dalam Studi Hadis adalah dua
pendekatan yang dapat dibedakan: pertama, analisis isnad terhadap hadis-hadis ahad,
demikian Harald Motzki ( 1992 ) menyebutnya, yang terbukti menjadi alat penelitian yang
sangat kuat. Metodologi ini secara luas telah diterapkan oleh sarjana Belanda GHA. Juynboll
( 1989 ). Kedua,pendekatan yang fokus pada analisis teks ( matn ) hadis yang dikembangkan
melalui penyeledikan varian teks-teks hadis, dan kombinasi pendekatan analisis teks dan
analisis isnad. Beberapa di antara yang menggunakan pendekatan ini ialah Gregor Schoeler
dan Motzki (1992).17
Kajian orientalis tentang hadis dapat dilihat pada studi yang dilakukan oleh Ignaz
Goldziher. Pandangan-pandangannya banyak diikuti oleh kebanyakan kaum orientalis seperti
Leone Caetani, T. W. Juynboll, Gaston Wiet, Joseph Schacht, N. J. Coulson, Alfred
Guillaume, dan H. A. R. Gibb. Dalam karyanya Muslim Studies dana dalam sebuah bab
berjudul’’ Reaksi terhadap Pemalsuan Hadis’’, Goldziher membahas bagaimana metode kritik
dari sarjana Muslim terhadap fenomena pemalsuan hadis. Ia menyimpulkan tanda-tanda dan
ungkapan-ungkapan dalam reaksi ini ke dalam tiga cara berbeda dan menyimpulkan bahwa
ada bahaya yang sanga nyata dari tindakan penyelundupan hadis. Bahaya itu mengancam
seluruh bidang Sunnah dalam agama dan kehidupan publik.18
Perbedaan antara pendekatan sarjana hadis Muslim dan sarjana hadis Barat bersandar
pada perbedaan fundamental pendekatan terhadap tradisi islam secara keseluruhan. Sikap
muslim tradisional terhadap hadis dapat dilihat sebagai berikut:
‘’... Sunnah, atau Hadis Nabi.... merupakan sumber utama kedua dalam hukum islam,
benar selamanya, dan kehidupan nabi merupakan teladan yang harus diikuti oleh Muslim
tanpa memandang waktu dan ruang. Untuk alasan ini, para sahabat, bahkan yang hidup pada
masa nabi, mulai mengembangkan pengetahuan tentang sunnah dan hal ini dianjurkan oleh
nabi sendiri.’’ ( Azami, 1977: 46).19
Rashid Ridha ( 1865-1935 ) membahas kritik matan. Ia mempersoalkan beberapa
hadis yang tercantum dalam kitab Bukhari dan Muslim. Menurutnya , para ahli hadis jarang
17 Ibid., hlm. 100
18 Ibid., hlm. 101
19 Ibid., hlm. 102-103

7

meneliti dan mencermati matan hadis dengan melihat maknanya. Mereka lebih memfokuskan
diri pada isnad dan konteks dari matan. Ia mengatakan bahwa banyak hadis yang tampak
kokoh isnadnya mesti dikritik dari segi muatannya. Berdasarkan pandangan ini, ia menolak
hadis-hadis jika hadis-hadis itu banginya tidak dapat diterima secara rasional maupun
teologis, atau jika hadis-hadis itu bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yang lebih luas
( Ridha, 1928: 40).20
Syekh Muhammad Nasir ad-Din al-Albani dikenal sebagai muhadis kontemporer. Ia
memperkenalkan pendekatan revolusioner dalam studi hadis, dan jalannya ini diikuti oleh
para pengikutnya . Al-Albani menunjukkan kontradiksi fundamental dengan tradisi Wahhabi
yang menjadi pembela eksklusif Al-Quran, Sunnah dan ijma’as-salih-utamanya mereka
bersandar kepada mazhab fikih Hanbali bagi fatwa-fatwa mereka. Menurut al-Albani, hal
serupa berlaku bagi Muhammad bin Abdul Wahhab yang disebut sebagai’’salafi dalam
kredo,namun bukan salafi dalam fikih.’’
Bagi al-Albani , menjadi’’salafi yang layak di bidah fikih’’ mengimplikasikan
penempatan hadis sebagai pilar utama dalam prosese yuridis, karena hadis menyediakan
jawaban atas persoalan-persoalan yang tidak ditemukan dalam Al-Quran tanpa bersandar
kepada mazhab fikih yang ada. Karenaitu, ibu kandung seluruh ilmu keagamaan adalah ilmu
hadis, yang bertujuan untuk mengevaluasi kembali oetntisitas hadis-hadis yang diketahui.
Menurutnya, penalaran secara independen harus dikeluarkan dari proses ini: kritik matan
harus benar-benar menjadi ilmu formal, maksudnya ilmu gramatika atau linguistik, hanyaa
sanad yang yang layak dipertanyakan. Akibatnya, fokus utama ilmu hadis adalah padailm alrijal yang juga dikenal dengan sebutan ‘ilm al-jarh wa al-ta’dil, yang menilai moralitas sanad.
Pada saat yang sama dan ini bertentangan dengan yang pertama, al-Albani menyatakan
bahwa ruang lingkup penilaian kembali hadis harus mencakup semua hadis yang ada
meskipun hadis itu sudah termaktub dalam buku-buku hadis Bukhari dan Muslim, yang
menurut al-Albani sebagian dari hadis-hadis dalam dua kitab ini dinyatakan lemah ( Lacroix,
2008: 6).21
Dalam pembahasan bab VI menjelaskan tentang model kajian Ilmu Kalam yaitu
kemunculan Ilmu Kalam, definisi dan bhasan Ilmu Kalam, metotologi Ilmu Kalam, mazhabmazhab Ilmu Kalam, metodologi kalam syi’ah. Kemunculan Ilmu Kalam adalah akibat dari
bnyak kontroversi yang telah memecah belah komunitas muslim pada masa-masa awal.
Meskipun kemunculan ditandai dengan polemik dengan kaum musyrik dan pengikut wahyu20 Ibid., hlm. 110
21 Ibid., hlm. 115-116

8

wahyu terdahulu, kontroversi tentang persoalan-persoalan keagamaan fundamentall tidak
disukai oleh kaum muslim awal, khususnya selama masa hidup Nabi. Namun, perselisihan,
utamanya dalam masalah politik, pecah segera setelah wafatnya Nabi, dan diikuti dengan
tragedi yang membawa pada pembunuhan khalifah Usman pada tahun 656, masa di mana
perpecahan dalam sistem politik terjadi setelah kematian Nabi.22
Ilmu Kalam adalah suatu ilmu yang mengkaji ajaran-ajaran dasar keimanan islam
(usuludin ). Ilmu ini mengidentifikasi ajaran-ajaran dasar dan berupaya membuktikan
validitasnya dan menjawab setiap keraguan terhadapnya. Kalam pada umumnya berkaitan
dengan upaya untuk menjustifikasi kepercayaan keagamaan melalui akal, atau dengan
mempergunakan akal guna menghasilkan kesimpulan dan akibat-akibat baru dari
kepercayaan-kepercayaan tersebut. Doktrin –doktrin kalam meliputi tiga komponen besar:
artikulasi tentang apa yang dipandang oleh suatu mazhab pemikiran sebagai kepercayaankepercayaan fundamental, konstruksi kerangka spekulatif di mana kepercayaan- kepercayaan
tersebut harus dipahami, dan upaya merasionalisasi pandangan-pandangan ini di dalam
kerangka spekulatif yang diterima.23
Selanjutnya pembahasan pada bab VII menjelaskan tentang model kajian tasafuw
antara lain mistisisme fenomena universal. Tasawuf atau dikenal sebagai mistisisme islam
adalah fenomena universal yang menggambarkan upaya manusia untuk meraih kebenaran.
Tasawuf juga dikenal sebagai pengetahuan intuitif tentang Tuhan atau Realitas Ultim yang
diraih melalui pengalaman keagamaan personal. Yakni kesadaran akan realitas transende atau
Tuhan melalui meditasi atau kontemplasi batin. Atau disebut juga sebagai sesuatu yang
memiliki makna tersembunyi atau makna simbolik yang mengilhami pencarian atas sesuatu
yang misteri dan dahsyat. Sedangkan sufi ialah orang yang berusaha mencapai kesatuan
dengan Tuhan melalui kontemplasi spiritual.
Dalam buku Sufism: An Account of the Mystics of islam, A. J. Arberry (1950: 11)
menyatakan bahwa kaum orientalis dan sejarawan agama melihat tasawuf dengan cara
seragam. Tasawuf dipandang sebagai fenomena dunia yang permanen dan tunggal. Arberry
menegaskan bahwa pengamatan atas fenomena tasawuf atau mistisisme sebagai tunggal dan
serupa, apa pun agama yang dianut oleh seorang sufi/ mistikus, adalah suatu pemahaman
yang banal.24 Bab ini pun menjelaskan spirit: domain ketiga ajaran islam, perspektif
memahami tasawuf, tasawuf dan modernitas: pendekatan fathullah Gulen. Seperti kita
ketahui bersama, islam mengemukakan tiga domain utama kepedulian manusia. Tiga domain
22 Ibid., hlm. 120
23 Ibid., hlm 125
24 Ibid., hlm. 139-140

9

tersebut yaitu tubuh, pikiran, dan jiwa, atau perbuatan, pengetahuan , dan wujud. Tubuh
merupakan realitas aktivitas, ketaatan ritual, dan hubungan sosial ; pikiran adalah realitas
persepsi, kepercayaan, pengetahuan, dan pemahaman, dan; jiwa adalah wilayah kesadaran
terdalam tentang diri dan komunikasi langsung dengan Realitas Ultim yang disebut Tuhan,
wujud yang sesungguhnya dan nyata.25
Gerakan Gulen berusaha berintegrasi dengan dunia modern dengan mendamaikan
nilai-nilai tradisional dan modern. Gerakan ini mencoba menciptakan sintesis gagasan yang
melukiskan upaya-upaya para pemikir nasionalis di kerajaan Ottoman terakhir. Misalnya,
Ziya Gokalp menekankan keharusan menciptakan sintesis berdasarkan kombinasi unsurunsur yang berasal dari kebudayaan Turki dan dari peradaban dan teknologi Barat. Gulen dan
para pengikutnya melangkah lebih jauh menerima peradaban Barat sebagai fondasi yang
cocok untuk kehidupan material sementara peradaban islam cocok untuk kehidupan spiritual.
Patut dicatat bahewa karena gerakan ini berkarakter konservatif ia berhasil mengundang
mereka yang melihat sistem politik Turki sebagai sistem yang terlalu menekankan
sekularisme dan modernisasi ( Bulent aras and Omer Caha, 2000).26
Selanjutnya pembahsasan pada bab VIII menjelaskan tentang model kajian ushul fikih
dan fikih,definisi dan ruang lingkup, dua pendekatan: teoreti -rasional dan deduktif. Usul
fikih merupakan ilmu mengenai sumber-sumber dan medologi hukum yang akurat dalam arti
bahwa Al-Qura’an dan Sunnah merupakan sumber sekaligus materi bahasan di mana
metodologi usul fikih diterapkan. Fikih merupakan hasil atau produk dari usul fikih, dan
keduanya merupakan disiplin yang terpisah meskipun saling berkaitan. Perbedaan utama
antara fikih dan usul fikih ialah bahwa fikih berkaitan dengan pengetahuan tentang aturanaturan rinci dalam hukum islam dalam berbagai percabangannya, dan usul fikih berkaitan
dengan metode-metode yang diterapkan dalam mendeduksi aturan-aturan itu dari
sumbernya.27
Seiring dengan lahirnya mazhab-mazhab fikih, berbagai ulama dari mazahab-mazhab
itu mengadopsi dua pendekatan berbeda dalam mengkaji usul fikih, yakni pendekatan teoretis
dan pendekatan deduktif. Pendekatan teoretis atau rasional hanya digunakan oleh penduduk
Hijaz. Pendekatan deduktif atau tradisional digunakan oleh penduduk Irak yang melukiskan
kebudayaan Persia, yang menekankan penalaran rasional.28

25
26
27
28

Ibid.,
Ibid.,
Ibid.,
Ibid.,

hlm.
hlm.
hlm.
hlm.

141
150
156
159-160

10

Selanjutnya pada bab IX dibahas tentang model kajian hermeneutika: studi
hermeneutika pembebasan Farid Esack, metode hermeneutika pembebasan, Al-Qur’an bicara:
kunci hermeneutika pembebasan. Sejak kecil Farid Esack sudah bersentuhan dengan
tetangganya plural secara agama. Ketika masih kecil, 11 telah menjadi sekretaris masyarakat
yang bertugas mengatur masjid dan sebagai guru madrasah. Ia adalah orang yang sangat
beragama dengan perhatian besar pada penderitaan yang ia alami dan saksikan di
sekitarnya.29
Jadi, hermeneutika pembebbasan Al-Qur’an berbeda dari teologi tradisional dan
modern dalam tiga aspek: 1) Teologi pembebasan berada dalam dan dialamatkan pada dunia
marjinal; 2) Teologi pembebasan hidup dalam dunia kekerasan dan harapan, refleksi dan
tindakan, spiritualitas dan politik; dan 3) Kenenaran bagi penafsir yang terlibat, tidak pernah
dapat menjadi mutlak.30
Selanjutnya dalam pembahasan bab sepuluh menjelaskan tentang model kajian
filsafat: studi hibrida filsafat fondasionalisme dan hermeneutika, gagap paradigma
fondasionalisme, pendekatan hermeneutika: pintu keragaman dan relativisme, menuju hibrida
paradigmatik, tafsir multikultural, sebuah alternatif. Tantangan-tantangan kontemporer
pascamodernisme telah mengejutkan konvensi-konvensi sosial dan kultural, sistem-sistem
kepercayaan, statisme dan fondasionalisme dalam pemikiran, kebudayaan dan pandanganpandangan yang selama ini dianggap suci oleh masyarakat Muslim. Tafsir multikultural
adalah upaya mempertahankan kontinuitas sejarah pemikiran dan kritisisme di mana sejarah
gagasan, atau dalam istilah Kuntowijoyo periode ilmu, menyediakan batu loncatan bagi ideide dan gerakan kultur batu. 31
Selanjtnya pada bab sebelas menjelaskan tentang model kajian pendidikan:
pendekatan multikultural terhadap pendidikan agama, pendidikan agama sebagai aparatus
ideologis, basis teologi pendidikan multikultural, pendidikan agama untuk perdamaian dan
harmoni. Pendidikan agama berbasis teologi multikultural harus terus diupayakan secara
kolaboratif dengan institusi-institusi pendidikan dan para pengambil kebijakan serta
organisasi-organisasi pemerintah maupun non-pemerintah lain yang berkaitan, untuk
menciptakan suatu visi baru bagi peran pendidikan agama dalam masyarakat. Peran
pendidikan agama didesain untuk menawarkan nila-nilai saling pengertian, interdependensi,
dan perdamaian.32
29
30
31
32

Ibid.,
Ibid.,
Ibid.,
Ibid.,

hlm.
hlm.
hlm.
hlm.

169
183
203-204
224

11

Selanjutnya dalam pembahasan bab duabelas menjelaskan model kajian pemikiran
islam: kajian tentang islam liberal, beberapa pendekatan mengkaji islam liberal, latar sosial
islam liberal, tantangan islam liberal. Islam liberal berakar pada Syah Waliyullah (1703-1762)
di India dan muncul di antara gerakan-gerakan pemurnian islam ala Wahabi pada abad ke18.33
Kajian-kajian tentang islam liberal membawa pada suatu pemahaman bahwa
kelompok ini datang sebagai protes dan perlawanan terhadap dominasi islam ortodoks. Islam
liberal yang dimaksud adalah kecenderungan pemikiran islam modern yang kritis, progresid
dan dinamis. Dalam pengertian ini, islam liberal bukan suatu yang baru, akarnya sudah ada
sejak abad 19. Tema dan tesis yang dikampanyekan meminjam kategorisasi isu yang
dikemukakan oleh Charles Kurzman.34
Selanjutnya pembahasan pada bab tigabelas menjelaskan model kajian politik,
pendekatan keamanan (security), pendekatan demokrasi, pendekatan globalisasi. Dalam bab
empatbelas menjelaskan tentang metodologi ilmiah modern dan studi islam, pendekatan ilmu
sejarah, pendekatan sosiologis, pendekatan antropologi dan etnografi, pendekatan
fenomenologi, pendekatan arkeologi. Pendekatan sosiologis memang penting untuk mengkaji
agama-agama, namun juga salah jika kita memandang bahwa pendekatan ini dapat
menyajikan kunci universal untuk memahami fenomena keagamaan. 35 Antropologi adalah
suatu cabang keilmuan yang peduli dengan upaya mendokumentasikan organisasi hubunganhubungan sosial dan pola-pola praktik kebudayaan di tempat-tempat tertentu, dan
mengembangkan lebih kurang teori-teori berkenaan dengan keserupaan-keserupaan dan
perbedaan-perbedaan dalam kehidupan manusia.36
Adapun kelebihan dalam buku ini, diantaranya struktural pembahasan yang
sistematis-korelasi, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami pembahasan secara
korelatif pula. Kemudian buku ini memberi bekal terhadap pembaca sebagai pengantar studi
agar memiliki pemahaman terhadap islam secara komprehesif dari berbagai aspeknya,
mengetahui beberapa metode dan pendekatan dalam mempelajari islam, dan mengupayakan
pembaca agar memiliki gambaran umum mengenai islam secara efektif dan efisien dalam
waktu yang relatif singkat.
Disamping memiliki kelebihan, buku ini pun tidak terlepas dari kekurangannya, yaitu
memiliki beberapa pembahasan yang kurang mudah untuk terfahami bagi pemula khususnya,
33
34
35
36

Ibid.,
Ibid.,
Ibid.,
Ibid.,

hlm.
hlm.
hlm.
hlm.

229
245
264
271

12

kemudian editing belum sempurna, dan glosarium yang kurang lengkap sehingga masih
banyak bahasa yang tidak terdefinisi.

DAFTAR PUSTAKA
13

Baidhawy, Zakiyuddin. 2011. STUDI ISLAM Pendekatan dan Metode. Yogyakarta:
Insan Madani.

14