Penelitian Dan Pendataan Penyebaran Merkuri Padawilayah Peti Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Di Palu, Provinsi Sulawesi Tengah

PENELITIAN DAN PENDATAAN PENYEBARAN MERKURI
PADAWILAYAH PETI DAN DAMPAKNYA TERHADAP LINGKUNGAN
DI PALU, PROVINSI SULAWESI TENGAH
Rudy Gunradi
Kelompok Penyelidikan Konservasi dan Unsur Tanah Jarang
SARI
Daerah Poboya dan sekitarnya merupakan daerah konsesi pertambangan PT. Citra Palu
Mineral. yang saat ini ditambang oleh penambang tanpa izin (PETI) tanpa mengindahkan
kaidah penambangan dan pengolahan yang baik
Penambangan emas rakyat secara ilegal disamping berpotensi merusak lingkungan berupa
kerusakan bentang alam, erosi dan pendangkalan juga merkuri yang digunakan dalam proses
pengolahan emas dapat terlepas ke alam dan mengakibatkan terjadinya pencemaran.
Beban pencemaran terbesar akan mencemari S. Poboya dimana hampir sebagian besar
aktifitas pertambangan terdapat di sekitar daerah aliran sungai tersebut dan selanjutnya akan
mengakibatkan tercemarnya Teluk Palu.
Proses penambangan dan yang dilakukan rakyat menyebabkan banyak bahan galian emas
yang terbuang, diakibatkan oleh tidak sistimatisnya proses penambangan. dan pada proses
pengolahan, penanganan tailing dan pembakaran bulion di ruang terbuka yang menyebabkan
terjadinya pencemaran merkuri.
Kandungan emas yang tinggi dalam tailing berkisar antara 5.821 – 25.913 ppb
menunjukan tingkat recovery pengolahan secara amalgamasi yang dilakukan masih sangat

rendah. Proses pengolahan lanjutan berupa proses sianidasi untuk mengolah sisa tailing tersebut
meningkatkan recovery pengolahan/perolehan emas, sehingga emas yang terbuang ke alam
dapat diperkecil.
Tailing sisa pengolahan amalgamasi menunjukan kandungan merkuri sangat tinggi
berkisar antara 5.821 – 25.913 ppb akibat proses amalgamasi yang tidak sempurna. Kondisi ini
perlu dicermati dan dilakukan pemantauan khusus mengingat tailing diproses lagi dengan cara
sianidasi dan tailing selanjutnya tidak dikelola dengan baik dan terbuang ke badan air.
Merkuri dalam endapan sungai aktif di bagian hilir daerah penambangan menunjukan
kandungan yang tinggi > 1.000 ppb yang berpotensi menyebabkan percemaran merkuri pada air
sungai, karena pada kondisi tertentu merkuri tersebut dapat larut di air.
Proses penggarangan bullion dilakukan di ruang terbuka menyebabkan terjadinya
pencemaran merkuri ke dalam tanah, hasil analisis menunjukkan kandungan merkuri dalam
tanah > 1.000 ppb yang dapat menyebabkan pencemaran merkuri ke dalam air sumur, sungai
dan tumbuhan.
Kandungan unsur merkuri dan logam berat lainnya dalam air di S. Poboya pada
umumnya di bawah Kriteria mutu air yang ditentukan dalam PP 82/2001, tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, hanya untuk unsur Pb sedikit di atas kriteria
bakumutu untuk kelas I s/d kelas III, tetapi masih lebih rendah dari bakumutu untuk kelas IV.
PENDAHULUAN
Salah satu bentuk kerusakan yang

ditimbulkan akibat penambangan emas oleh
rakyat adalah pencemaran merkuri hasil
proses
pengolahan
emas
secara
amalgamasi, disamping kerusakan alam
lain seperti kerusakan bentang alam, erosi
dan pendangkalan sungai.

Pada proses amalgamasi merkuri
dapat terlepas ke lingkungan pada tahap
pencucian dan penggarangan. Pada proses
pencucian, limbah yang umumnya masih
mengandung merkuri dibuang langsung ke
badan
air,
merkuri
tersebut
tercampur/terpecah menjadi butiran-butiran

halus yang sifatnya sukar dipisahkan pada
proses penggilingan yang dilakukan
1

bersamaan dengan proses amalgamasi,
sehingga pada proses pencucian merkuri
dalam ampas terbawa masuk ke sungai.
Di dalam air merkuri dapat berubah
menjadi senyawa organik metil merkuri
atau
fenil
merkuri
akibat
proses
dekomposisi oleh bakteri, selanjutnya
senyawa organik tersebut akan terserap oleh
jasad renik yang selanjutnya akan masuk
dalam rantai makanan dan akhirnya akan
terjadi akumulasi dan biomagnifikasi dalam
tubuh hewan air seperti ikan dan kerang

yang akhirnya dapat masuk ke dalam tubuh
manusia yang mengkonsumsinya.
Merkuri juga dapat masuk ke dalam
tubuh pada proses penggarangan. Pada
proses penggarangan amalgam yang
berbentuk bulion emas akan terbentuk uap
merkuri dengan kosentrasi yang tinggi
karena pada umumnya para penambang
membakar amalgam pada ruang terbuka.
Uap merkuri dapat terhisap dan di dalam
tubuh uap tersebut akan terdifusi melalui
paru-paru, yang selanjutnya menyebar
melalui darah dan diakumulasikan di dalam
ginjal, hati dan otak yang akhirnya dapat
merusak sistem pusat saraf otak.
Sebagai
upaya
mengetahui
penyebaran merkuri pada wilayah PETI
dan dampaknya terhadap lingkungan maka

perlu dilakukan Penelitian dan Pendataan
Penyebaran Merkuri Pada Wilayah PETI
dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Di
Daerah Palu, Provinsi Sulawesi Tengah.
Penelitian ini dibiayai dari dana Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) - Pusat
Sumber Daya Geologi Tahun Anggaran
2010.
Daerah Poboya dan sekitarnya
merupakan daerah konsesi PT. Citra Palu
Mineral. PT. Citra Palu Minerals adalah
perusahaan kontrak pertambangan generasi
ke enam yang berlokasi di Palu, Sulawesi
Tengah. Setelah di relinquish, wilayah
kontrak kerja ini terdiri atas enam blok. Di
tahun 2005 Bumi Resources (Grup Bakrie)
membeli 99,99% saham PT.Citra Palu
Minerals
dari
Newcrest

Mining
Group/Newcrest
Mining
Ltd
yang
sebelumnya juga membeli dari PT. Rio
Tinto.
Prospek Poboya, Blok 1, merupakan
blok dengan tahap eksplorasi yang paling

maju dari seluruh KP eksplorasi PT. Citra
Palu Mineral, dengan telah menyelesaikan
program pemboran tahap pertama. Dari
hasil eksplorasi ini teridentifikasi adanya
kandungan emas sebesar 2 juta ons.
(informasi PT. Bumi Resources kepada
pemegang saham, 2008). Kandungan emas
yang cukup besar mengundang masyarakat
setempat untuk menambang potensi emas
tersebut secara liar. Penambangan emas

rakyat dilakukan secara tradisional dengan
cara membuat lubang-lubang sederhana
untuk menggali bijih emas. Pengolahan
emas dilakukan secara amalgamasi
menggunakan merkuri untuk menangkap
butir emas.
Penambangan emas rakyat ilegal ini,
disamping berpotensi merusak lingkungan
berupa kerusakan bentang alam, erosi dan
pendangkalan juga merkuri yang digunakan
dalam proses pengolahan emas dapat
terlepas ke alam dan mengakibatkan
terjadinya pencemaran.
Saat ini aktivitas penambangan di
Poboya kian tak terkendali, terlebih lagi
dengan kedatangan penambang dari luar
Palu. Hingga tahun 2008 hanya ada
puluhan tenda yang berdiri di sana. Saat ini
jumlahnya diperkirakan lebih dari 300
tenda. Daerah Poboya adalah salah satu

hutan di Kota Palu dengan luas 200 Ha.
Kawasan ini merupakan daerah penyangga
air untuk Palu dan sekitarnya. Karena
alasan ini, Pemerintah Kota Palu
mengeluarkan rekomendasi untuk menutup
tambang ini. Pemerintah Provinsi Sulteng
menanggapinya dengan berbagai langkah,
termasuk mengundang tokoh masyarakat
agar
aktivitas
penambangan
dihentikan(sumber : www.kompas.com).
Kondisi lain saat ini di lapangan,
masyarakat Poboya sudah mulai resah
kembali dengan rencana akan beroperasi
tambang emas Poboya di desa mereka yang
sudah pasti akan menerima dampak
langsung dari pencemaran sumber air
bersih mereka. Karena lokasi penambangan
ini terletak di hulu DAS Poboya yang

merupakan pusat aliran beberapa anak
sungai yang bermuara di Teluk Palu.
Keterancamannya bukan hanya pencemaran
di Teluk Palu, tapi juga sumber air minum
masyarakat Kota Palu serta sumber air bagi
2

lahan pertanian milik petani bawang dan
jagung yang merupakan komoditi unggulan
Kota Palu.
Badan
Pengendalian
Dampak
Lingkungan Daerah Kota Palu, Sulawesi
Tengah, menguji contoh air di sejumlah
titik di areal penambangan emas Poboya.
Langkah itu menyusul temuan dinas
kesehatan mengenai kandungan merkuri
0,05 ppm pada sumur warga sekitar areal
tambang. Batas toleransi merkuri 0,01 ppm

(Kompas, 1 September 2009).
Maksud dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui sejauh mana limbah
merkuri akibat usaha pertambangan emas
terdistribusi pada lingkungan sekitar dan
untuk memantau sejauh mana penurunan
kualitas lingkungan yang terjadi akibat
penambangan dan pengolahan emas.
Dari hasil pendataan ini diharapkan
dapat memberikan gambaran yang akurat
mengenai sebaran unsur merkuri dan logam
berat lainnya di daerah penelitian sebagai
data/bahan kajian untuk instansi terkait
lainnya dalam upaya penanggulangan
pencemaran merkuri yang terjadi di daerah
penelitian.
Lokasi penelitian terletak di daerah
Poboya, secara geografis terletak antara
119o 53’ 48” – 119o 58’ 5” BT dan 0o 50’
21” - 0o 54’ 18” LS. Daerah penelitian

secara administratif termasuk ke dalam
Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Peta
lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar
1.
Pencapaian daerah penelitian dapat
dilakukan
dengan
cara
perjalanan
menggunakan pesawat terbang dari Jakarta
– Palu selanjutnya menggunakan kendaraan
roda empat sampai ke lokasi penelitian.
GEOLOGI DAN PERTAMBANGAN

Formasi Latimojong (Kls), terdiri dari
perselingan batusabak, filit, greywak,
batugamping, argilit dan batulanau dengan
sisipan konglomerat, rijang dan batuan
gunungapi berumur Kapur-Eosen.
Di atas batuan Pra Tersier tersebut
diendapkan batuan Tersier yaitu Formasi
Tinombo Ahlburg (Tt), terdiri dari serpih,
batupasir, konglomerat, batuan gunungapi,
batugamping dan rijang, termasuk filit,
sabak dan kuarsit dekat intrusi (terutama
batuan gunungapi), berumur Eosen dan
diatasnya diendapkan Formasi Pakuli (Qp),
terdiri dari konglomerat dan batupasir,
setempat batulempung karbonan berumur
Plistosen.
Endapan Molasa Celebes Sarasin &
Sarasin (QTms) berumur Plio-Plistosen
diendapkan di bagian timur dan barat yang
terdiri
dari
konglomerat,
batupasir,
batulumpur, batugamping koral dan napal;
sebagian mengeras lemah (terutama
batugamping).
Endapan yang paling muda berupa
Aluvium dan Endapan Pantai (Qap), terdiri
dari kerikil, pasir, lumpur dan batugamping
koral, yang proses pengendapannya masih
berlangsung sampai sekarang.
Disamping batuan sedimen, di
beberapa
tempat
tersingkap
batuan
terobosan yaitu Granit dan Granodiorit (gr)
berumur Pra Tersier – Miosen yang
tersingkap di bagian barat Kota Palu dan
Batuan Terobosan (Tmpi-g), terdiri dari
diorit, andesit, granit dan granodiorit yang
pelamparannya cukup luas yang menempati
bagian tenggara daerah penelitian.
Struktur geologi yang terjadi di
daerah penelitian berarah baratlaut –
tenggara, searah dengan sesar Palu-Koro
yang memotong secara regional daerah ini.
Peta geologi regional daerah penelitian
dapat dilihat pada Gambar 2.

Geologi Daerah Palu
Tatanan geologi daerah penelitian
dan sekitarnya disusun oleh batuan Pra
Tersier-Tersier. Batuan tertua di daerah
penelitian yaitu Kompleks Batuan Malihan
(km), terdiri dari sekis mika, sekis
amfibolit, genes dan marmer berumur Pra
Tersier yang menempati bagian timur
daerah penelitian. Di bagian barat terdapat

Geologi Daerah Poboya
Menurut laporan hasil eksplorasi PT.
Citra Palu Mineral, batuan dasar prospek
Poboya terdiri dari gneis yang berumur
Kapur dan tertutup oleh endapan muda
berupa molase dan aluvial. Sebagian gneis
yang tersingkap di lapangan teralterasi.
Dari hasil pemboran teridentifikasi batuan
sekis dan intrusi profir.
3

Mineralisasi emas yang terjadi
berhubungan erat dengan kalsedon – kalsit
dengan tekstur yang masif. Cebakan emas
berupa urat-urat halus, stockwork dan pada
zona breksiasi. Bentuk tubuh mineralsasi
emas di daerah ini sangat kompleks dan
diperkirakan berkembang pada bagian atas
dari suatu sistem zona sesar utama. Secara
lokal mineralisasi dikontrol oleh struktur
minor, seperti pengisian rekahan dengan
arah yang beragam. Mineralisasi juga erat
hubungannya dengan kontak litologi
terutama kontak batuan gneis dengan
monzonit di bagian atas dan dengan sekis
biotit di bagian bawah. Secara kasat mata
selain silika dan karbonat, mineral pirit dan
klorit dapat teridentifikasi. Emas berukuran
sangat halus berada dalam sulfida pirit.
kalkopirit dan arsenopirit.
Hasil
eksplorasi
geologi
dan
pemboran di daerah ini teridentifikasi
adanya kandungan emas sebesar 2 juta ons
(informasi PT. Bumi Resources kepada
pemegang saham, 2008).
Pertambangan
Seperti yang telah disebutkan dalam
bab pendahuluan, di lokasi Prospek
Poboya, merupakan wilayah konsesi PT.
Citra Palu Mineral saat mulai tahun 2008
telah berlangsung penambangan emas
rakyat secara tradisional.
Aktifitas penambangan emas terletak
di 2 titik lokasi yaitu di Tambang Lama di
hulu S. Poboya dan di Lokasi Watu Tempa.
Pada saat dilakukan penelitian di lapangan
sedang dilakukan pendataan dari jumlah
penambang yang ada di wilayah Poboya.
Aktifitas penambang cenderung meningkat
dari tahun sebelumnya.
Kegiatan penambangan emas di
daerah ini merupakan penambangan rakyat
bersekala kecil dengan sistem tambang
dalam yang dilakukan oleh rakyat setempat
dengan membentuk kelompok-kelompok
kerja penambang yang bekerja sama dengan
aturan bagi hasil tertentu.
Pengolahan emas dilakukan secara
tradisional dengan menggunakan merkuri
untuk menangkap butir emas. Disamping
aktifitas penambangan aktifitas pengolahan
juga meningkat cukup drastis, di lapangan

terlihat sedang dilakukan pembangunan
unit-unit tromol.
Aktifitas pengolahan lain yang saat
ini lagi berkembang yaitu pengolahan
tailing sisa proses amalgamasi untuk diolah
dengan proses sianidasi. Di lapangan
terlihat beberapa unit pengolahan sianidasi
sedang dibangun dengan sekala cukup
besar. Lokasi pengolahan yang semula
berada di sepanjang bantaran S. Poboya
telah dipindahkan di lereng bukit yang
mengapit S. Poboya. Pemindahan ini
diharapkan dapat memperkecil dampak
pencemaran merkuri kedalam badan air S.
Poboya.
Sedangkan
unit
intalasi
pengolahan sianidasi dibangun lebih
banyak di bagian hilir terutama di bagian
utara dari S. Poboya. Peta lokasi
penambangan dan pengolahan dapat dilihat
pada Gambar 3.
Kerusakan Lingkungan
Kerusakan
lingkungan
yang
diakibatkan
oleh
adanya
aktifitas
penambangan emas rakyat di Poboya terdiri
dari kerusakan bentang alam, pendangkalan
sungai dan pencemaran lingkungan.
Kerusakan bentang alam terjadi
akibat proses penambangan tidak dilakukan
secara sistematis, banyak bukaan tambang
yang dilakukan secara coba-coba sehingga
menyisakan lubang galian yang tersebar
disamping itu material buangan tambang
tidak dikelola secara baik dibuang begitu
saja
dan
akhirnya
menyebabkan
pendangkalan di S. Poboya.
Pencemaran terjadi karena para
penambang
dalam
pengolahannya
menggunakan merkuri pada proses
amalgamasi
yang
bertujuan
untuk
memisahkan
emas
dari
batuannya.
Pencemaran merkuri dapat terjadi pada :
tahap penggilingan; tahap pencucian; tahap
penggarangan dan saat penanganan tailing.
Pada tahap penggilingan yang dilakukan
bersamaan dengan proses amalgamasi,
merkuri dapat terpecah menjadi butiranbutiran halus yang sifatnya sukar
dipisahkan, sehingga merkuri dapat lepas
dari dalam tromol. Pada tahap pencucian,
limbah yang masih mengandung merkuri
ditampung di bak pengendap sederhana,
sedangkan pada tahap penggarangan
4

amalgam merkuri akan berubah wujud
menjadi uap merkuri konsentrasi tinggi dan
dapat terhisap langsung oleh manusia atau
dapat pula mengendap di tanah dan
tumbuhan disekitarnya. Seluruh beban
pencemaran merkuri dan logam berat
lainnya akan mencemari sungai-sungai
yang ada di daerah penelitian.
Beban pencemaran terbesar akan
mencemari S. Poboya dimana hampir
sebagian besar aktifitas pertambangan
terdapat di sekitar daerah aliran sungai
tersebut. Pencemaran yang terjadi di S.
Poboya akan mengakibatkan Teluk Palu
terancam tercemar juga mengingat S.
Poboya mengalir kedalam teluk tersebut.
Bahaya pencemaran lain yang
mengancam
disamping
pencemaran
lingkungan akibat pencemaran merkuri juga
pencemaran limbah domestik berupa
limbah MCK dari sejumlah penambang
yang berada di lokasi kegiatan yang
jumlahnya mencapai ribuan orang. Limbah
domestik ini sangat membebani badan air
S. Poboya dimana seluruh aktifitas MCK
dari penambang menggunakan badan air S.
Poboya. Sarana MCK yang tidak tersedia di
lokasi penambangan dan pengolahan
menyebabkan beban limbah domestik
menjadi cukup besar.
PEMBAHASAN
Merkuri dan Pencemarannya
Merkuri adalah unsur dalam sistem
periodik dengan nomor atom 80 dan
merupakan satu-satunya logam yang
berwujud cair pada suhu kamar. Merkuri
mempunyai beberapa sifat unik, seperti :
cenderung untuk membentuk alloys (logam
paduan) dengan logam lain; mempunyai
daya muai yang merata (uniform);
mempunyai berat jenis dan tekanan uap
yang tinggi.
Merkuri memegang peranan ganda
dalam kehidupan, di satu sisi merkuri
dengan
senyawa-senyawanya
sangat
berguna, misalnya dalam bidang pertanian,
industri,
laboratorium,
farmasi,

pertambangan dan sebagainya. Tetapi di sisi
lain, penyebaran merkuri harus dipantau
karena dalam jumlah dan kondisi tertentu
dapat memberikan akibat yang merugikan,
misalnya pencemaran merkuri yang terjadi
di Jepang pada tahun lima puluhan yang
menyebabkan penyakit minamata.
Merkuri
dengan
senyawa-senyawanya telah lama diketahui
sebagai bahan yang sangat beracun,
sehingga keberadaannya di alam ini dapat
merugikan pada manusia atau mahluk
hidup lainnya. Terdapatnya merkuri di alam
disebabkan oleh 2 hal, yaitu : kegiatan alam
sendiri dan hasil kegiatan manusia terutama
pada kegiatan perindustrian (pabrik cat,
peralatan listrik, proses amalgamasi dan
lain sebagainya).
Merkuri di alam terdapat dalam
bentuk mineral sinabar (HgS), umumnya
berasosiasi dengan Au, Ag, Cu, Pb, Zn As,
Sb dan Cd dalam ikatan sulfida. Di daerahdaerah yang berpotensi emas kandungan
merkuri dan unsur logam berat lainnya di
sekitarnya cukup tinggi.
Menurut
Kenasveta
(1979),
pencemaran merkuri yang disebabkan oleh
kegiatan alam terhadap biologi dan
ekosistem adalah sangat kecil sekali.
Merkuri termasuk dalam kelompok
sangat beracun, sehingga perlu mendapat
sorotan yang serius. Pemerintah Indonesia
melalui peraturan-peraturan lingkungan
hidup, salah satunya Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 202 Tahun
2004 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi
Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau Tembaga telah
menetapkan bahwa merkuri dan logam
berat termasuk kedalam kelompok bahan
berbahaya
dan
beracun
yang
pencemarannya dipantau secara ketat.
Dari segi pencemaran dan sifat
racunnya, logam dapat dikelompokkan
menjadi 4 golongan yaitu: sangat beracun,
sedang, kurang beracun dan tidak beracun.
Jenis-jenis logam yang termasuk dalam
kelompok-kelompok tersebut dapat dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengelompokkan Logam Berdasarkan Sifat Racunnya
5

No

Sifat Racun

Jenis Logam

Keterangan

1. Sangat beracun

Pb, Hg, Cd, Cr,
Sb, Ti, U, Be.

As,

2. Sedang

Ba,
Se,
Hn.
Bi,
Ni,
Al,

Bo, Cu, Au,
Te, Va, Ge,

Li,
Rb,

Co, Fe, Ga,
K, Ag, Ti,
Na, Sr, Ca

Mg,
Sn

3. Kurang beracun
4. Tidak beracun

Dapat menyebabkan kematian atau
gangguan kesehatan yang tidak pulih
dalam waktu singkat.
Menyebabkan gangguan kesehatan
baik yang dapat pulih maupun tidak
dalam jangka waktu relatif lama.
Dalam jumlah besar menyebabkan
gangguan kesehatan.
Tidak menimbulkan gangguan.

Sumber = Diamant, 1974

Kegiatan-kegiatan
yang
memungkinan bentuk senyawa merkuri
mencemari lingkungan adalah :
1. logam dan senyawanya, melalui
kegiatan
perindustrian
dan
pertambangan.
2. senyawa anorganik, melalui hujan,
air larian atau aliran sungai.
3. senyawa organik seperti phenil
merkuri, metil merkuri, dan
sebagainya
misalnya
melalui
pemakaian pestisida pada kegiatan
pertanian.
4. terikat
dalam
bentuk
padat
tersuspensi.
Di dalam air, merkuri dapat berubah
menjadi senyawa organik metil merkuri
atau
fenil
merkuri
akibat
proses
dekomposisi oleh bakteri. Selanjutnya
senyawa organik tersebut akan terserap oleh
jasad renik yang selanjutnya akan masuk
dalam rantai makanan dan akhirnya akan
terjadi akumulasi dan biomagnifikasi dalam
tubuh hewan air seperti ikan dan kerang,
yang akhirnya dapat masuk kedalam tubuh
manusia
yang
mengkonsumsinya.
Kandungan merkuri dalam bahan makanan
dapat menjadi sangat tinggi karena
terjadinya
akumulasi
dalam
rantai
makanan.
Selain itu merkuri yang berwujud uap
dapat terhisap, di dalam tubuh uap tersebut
akan terdifusi melalui paru-paru, yang
selanjutnya menyebar melalui darah dan
diakumulasikan di ginjal, hati dan otak
yang akhirnya dapat merusak sistem pusat
saraf otak.

Perkiraan Pencemaran Merkuri
Berdasarkan hasil pengamatan dan
wawancara dengan para penambang
umumnya merkuri yang dimasukkan ke
dalam tromol berkurang sampai 10 -15 %
pada saat akhir proses, hal ini disebabkan
karena pada tahap pencucian terbuang
menjadi tailing. Jumlah merkuri yang
berkurang ini berpotensi untuk mencemari
lingkungan.
Pada unit pengolahan di dalam
tromol, material yang tercecer pada saat
penggilingan ditampung dalam bak
penampung
untuk
diolah
kembali,
selanjutnya apabila diperkirakan material
tersebut tidak mengandung emas lagi maka
material tersebut dikemas ke dalam karung
plastik dan ditumpuk begitu saja atau dijual
kepada pemilik pengolah sianidasi untuk
diolah kembali. Pencemaran dapat terjadi
karena adanya ceceran tailing yang
terbuang ke permukaan tanah dan
selanjutnya terbawa air hujan meresap
kedalam tanah dan saluran air. Disamping
itu tailing yang selanjutnya diproses dengan
cara sianidasi memperluas pencemaran
merkuri karena umumnya unit pengolahan
sianidasi letaknya tidak bersamaan dengan
unit proses amalgamasi. Penanganan tailing
sisa proses sianidasi jauh lebih buruk
dibanding pada proses amalgamasi dimana
tailing yang berupa lumpur yang masih
mengandung merkuri dan logam berat
lainya dibuang langsung kedalam kolamkolam tanah sederhana dan selanjutnya
terbuang ke badan air.
Pada
tahap
pencucian
yakni
pemerasan atau penyaringan dilakukan
dengan kain parasut banyak merkuri yang
tercecer jatuh ke tanah dan mencemari
6

lingkungan. Demikian pula pada tahap
penggarangan yang dilakukan di pondokpondok atau di ruang terbuka yang
menyebabkan merkuri menguap ke udara
terbuka.
Diagram alir proses pengolaan secara
amalgamasi dapat dilihat pada Gambar 4.
Penyontoan Geokimia
Berdasarkan perkiraan pencemaran
unsur merkuri maka dilakukan sistematika
penyontoan geokimia untuk menentukan
sebaran
merkuri
pada
wilayah
pertambangan. Conto geokimia yang
diambil berupa batuan, tailing, endapan
sungai aktif, tanah, dan air.
Penyontoan batuan dilakukan di
lokasi tambang, conto yang diambil berupa
bijih emas yang biasa diambil dan diolah
oleh para penambang. Analisis unsur
merkuri dan logam lainnya dimaksudkan
untuk mengetahui rona awal kandungan
logam tersebut pada batuan yang
termineralisasi.
Conto tailing diambil dari lokasi
pembuangan tailing yang umumnya berupa
bak
pengendap
sederhana
untuk
mengetahui kandungan merkuri dan logam
berat lainnya dalam tailing serta kandungan
emas dan perak untuk memperkirakan
efektifitas teknik pengolahan dengan cara
amalgamasi.
Conto endapan sungai aktif dan air
diambil di sepanjang S. Poboya menyebar
ke arah hilir mengikuti aliran sungai yang
mengalir dari arah sumber pencemaran
tersebut. Selain pengambilan conto pada
daerah yang diperkirakan merupakan areal
berpotensi untuk terlewati dispersi merkuri
dari daerah pertambangan, diambil juga
pada hulu sungai dimana pencemaran
merkuri diperkirakan tidak terjadi. Hal ini
untuk penentuan rona awal dari wilayah
pertambangan.
Conto tanah diambil pada lokasi
dekat
pembakaran
amalgam
dan

pembuangan taling serta pada daerah
dataran banjir yang diperkirakan akan
terendapkan
tailing
dari
kegiatan
pengolahan di bagian hulu sungai.
Pemilihan unsur pencemar yang
dianalisis berdasarkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 202 tahun
2002 tentang Standar Baku Mutu Air
Limbah Bagi Kegiatan Penambangan Bijih
Emas dan atau Tembaga. Seluruh conto
dianalisis di Laboratorium Pengujian
Mineral dan Batubara di Pusat Sumber
Daya Geologi.
Peta lokasi conto dan hasil analisis
laboratorium batuan, tailing, sedimen
sungai aktif, tanah dan air dapat dilihat
pada Gambar 5 s/d Gambar 9.
Merkuri dan Logam Berat Dalam
Batuan
Merkuri sangat jarang dijumpai
sebagai logam murni di alam dan biasanya
membentuk mineral sinabar, yaitu merkuri
sulfida (HgS) berwarna merah terang.
Merkuri sulfida terbentuk dari larutan
hidrothermal pada temperatur rendah
dengan cara pengisian rongga dan
penggantian (replacement). Merkuri sering
berasosiasi dengan endapan logam sulfida
lainnya, diantaranya Au, Ag, Cu, Pb, Zn, As
dan Sb sehingga di daerah-daerah
mineralisasi emas tipe urat biasanya
kandungan merkuri dan beberapa logam
berat lainnya cukup tinggi.
Hasil analisis kimia 3 conto batuan
termineralisasi yang diolah oleh para
penambang, berkisar antara 1.150 ppb 2.190 ppb. Nilai tersebut relatif tinggi
apabila dibandingkan dengan kandungan
rata-rata unsur Hg dalam batu serpih yang
merupakan lingkungan batuan di daerah
Poboya (Tabel 2). Kandungan unsur logam
berat lainnya dalam batuan tidak
menunjukan kandungan yang tinggi.
Kandungan rata-rata setiap unsur pada
kerak bumi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Rata-Rata Setiap Unsur Pada Kerak Bumi
Untuk Penyelidikan Geokimia Regional
7

Unsur
Hg
Cu
Pb
Zn
Cd

Kerak
Bumi
0.08
55
12.5
70
0.2

Ultra
Mafik
10
0.1
50
-

Basal
0.08
100
5
100
0.2

Granodiorit
0.08
30
15
60
0.2

Granit

Serpih

Tanah

0.08
10
20
40
0.2

0.5
50
20
100
0.2

0.03
2 – 100
2 – 200
10 – 300
1

Air
Sungai
0.007
7
3
20
-

Sumber : Levinson, 1974
*) Satuan dalam ppm, kecuali air dalam ppb

Dari hasil analisis kimia tersebut
di atas menunjukkan bahwa kandungan
merkuri dalam batuan termineralisasi
cukup tinggi, sehingga apabila batuan
tersebut ditambang dan diolah dengan
cara
amalgamasi,
maka
akan
memberikan dampak lingkungan yang
signifikan karena merkuri dan logam
dasar lainnya akan terbuang bersamasama tailing.
Merkuri Dalam Tailing
Kandungan merkuri yang tinggi
dalam conto tailing pada umumnya
disebabkan oleh proses amalgamasi yang
tidak sempurna. Dari beberapa penelitian,
diperoleh data yang menunjukkan merkuri
yang hilang setelah amalgamasi dapat
mencapai 5% - 10%.
Tailing limbah pengolahan ini
termasuk dalam Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3) seperti yang diatur dalam PP
no. 18 Tahun 1999. Dalam penelitian ini
tidak dilakukan uji Toxicity Characteristic
Leaching Procedure (TCLP) dan/atau uji
karakteristik
sehingga
tidak
bisa
dibandingkan langsung bakumutu TCLP
yang ada dengan kandungan merkuri dan
logam berat lainnya dalam tailing. Data
tailing yang diperoleh merupakan gambaran
tentang kandungan merkuri dan logam
berat lainya yang berpotensi mencemari
lingkungan.
Dari hasil analisis sebanyak 16 conto
tailing yang tersebar di unit-unit
pengolahan emas yang ada terlihat
kandungan merkuri sangat tinggi berkisar
antara 11.500 – 23.700 ppb, sedangkan
kandungan logam berat tidak menunjukkan
kandungan kenaikan yng cukup berarti.
Kandungan unsur merkuri yang sangat
tinggi tersebut >10.000 ppb berasal dari

proses amalgamasi yang tidak sempurna,
dimana merkuri terbawa dalam tailing
selama proses amalgamasi dalam tromol
dan pada waktu penyaringan. Kondisi ini
perlu dicermati dan dilakukan pemantauan
khusus mengingat tailing diproses lagi
dengan cara sianidasi dan tailing
selanjutnya tidak dikelola dengan baik dan
terbuang ke badan air.
Hasil
analisis
tailing
juga
menunjukkan masih tersisanya kandungan
unsur Au yang tinggi berkisar antara 5.821
– 25.913 ppb, hal ini menunjukan tingkat
recovery pengolahan secara amalgamasi
yang dilakukan masih sangat rendah.
Kandungan Au yang tinggi dalam tailing
tersebut selanjutnya diproses dengan proses
sianidasi, sehingga emas yang terbuang di
akhir proses sianidasi sebelum dibuang ke
badan air bisa diperkecil, sehingga recovery
pengolahan emas optimal.
Merkuri Dalam Endapan Sungai Aktif
Kontaminasi merkuri (Hg) dalam
sedimen sungai dapat terjadi akibat proses
alamiah (pelapukan batuan termineralisasi),
proses pengolahan emas secara tradisional
(amalgamasi), maupun proses industri yang
menggunakan
bahan
baku
yang
mengandung merkuri.
Parameter baku mutu untuk endapan
sungai aktif tidak ditetapkan, tetapi sebagai
gambaran dalam eksplorasi mineral logam
untuk mengetahui daerah termineralisasi,
referensi yang sering digunakan adalah data
kelimpahan rata-rata atau dispersi unsur
logam berat (Tabel 3). Kandungan unsur
merkuri dalam sedimen sungai aktif
berkisar antara < 10 ppb - 100 ppb, hal ini
mengindikasikan bila kandungan unsur
merkuri di atas 100 ppb menunjukkan
adanya mineralisasi sulfida terutama pada
endapan tipe epithermal. Sedangkan pada
8

daerah dimana terdapat lokasi pengolahan
emas (amalgamasi), nilai anomali unsur Hg
dalam sedimen sungai aktif harus
dievaluasi
kembali
mengingat

kemungkinan terjadinya pencemaran dari
aktifitas pengolahan tersebut.

Tabel 3. Kelimpahan Beberapa Unsur Logam Berat
Unsur
Au
Ag
Hg
As
Cu
Pb
Zn
Cd

Tanah
< 10 - 50
< 0,1 - 1
< 10 - 30
1.000 – 50.000
5.000 – 10.0000
5.000 – 50.000
10.000 – 300.000
< 1.000 – 1.000

Kelimpahan (dalam pbb)
Air
0,002
0,01 – 0.7
0,01 – 0,05
1 – 30
8
3
1 – 20
0,2

Sedimen Sungai
< 10 - 100
1.000 – 50.000
5.000 – 80.000
5.000 – 80.000
10.000 – 20.0000
-

Sumber : Techniques in Mineral Exploration

Dari hasil analisis kandungan unsur
merkuri dan logam berat lainnya di endapan
sungai aktif di sepanjang S. Poboya, terlihat
seluruh conto menunjukan kandungan
unsur merkuri relatif tinggi di atas 100 pb,
sementara kandungan logam berat lainya
tidak menunjukan peninggian. Kandungan
unsur merkuri dalam endapan sungai aktif
berasal dari batuan yang termineralisasi dan
adanya
pencemaran
dari
aktifitas
pengolahan PETI di sepanjang aliran sungai
tersebut.
Hasil analisis endapan sungai aktif di
sepanjang
S.
Poboya
menunjukan
kandungan merkuri dalam endapan sungai
aktif berkisar antara 128 – 7.770 ppb.
Kandungan merkuri dalam endapan sungai
aktif di hulu S. Poboya dimana tidak
terdapat
aktifitas
pertambangan
menunjukan kandungan yang cukup rendah
antara 128-172 ppb ( Lokasi PL 01 SS s/d
PL 03 SS). Nilai kandungan unsur Hg yang
tinggi > 1.000 ppb terditeksi di 9 lokasi
sepanjang S. Poboya di bagian hilir lokasi
pertambangan; kandungan unsur merkuri
yang tinggi ini akibat pencemaran aktifitas
pengolahan PETI. Kandungan merkuri
dalam endapan sungai aktif ini berpotensi
menyebabkan percemaran pada air sungai,
karena pada kondisi tertentu merkuri
tersebut dapat larut kedalam air.
Merkuri Dalam Tanah
Kontaminasi merkuri (Hg) dalam
tanah dapat terjadi akibat proses alamiah

(pelapukan batuan termineralisasi), proses
pengolahan emas secara tradisional
(amalgamasi), maupun proses industri yang
menggunakan
bahan
baku
yang
mengandung merkuri. Dalam aktifitas
pengolahan emas di Poboya kontaminasi
merkuri dan logam berat lannya berat
lainnya berasal dari ceceran tailing dan uap
merkuri dari proses penggarangan.
Dari hasil analisis conto tanah di
sekitar unit pengolahan amalgamasi rakyat
apabila dibandingkan dengan kelimpahan
rata-rata logam berat (Tabel 3) terditeksi
dari 18 lokasi penyontohan menunjukan
kandungan merkuri yang cukup tinggi
dibandingkan dengan angka kelimpahan
rata-rata unsur merkuri dalam tanah,
sementara nilai unsur logam berat lainnya
masih di dalam kisaran rata-rata
kelimpahan unsur dalam tanah pada
umumnya. Dari 18 lokasi penyontohan
tanah tersebut umumnya mengandung
kandungan merkuri > 1.000 ppb, hanya 1
lokasi yang menunjukan kandungan
merkuri < 1.000 ppb yaitu di lokasi PL 02
T. Lokasi tersebut merupakan lokasi bekas
pengolahan yang telah ditingggalkan.
Penurunan kandungan merkuri dalam tanah
di lokasi tersebut diperkirakan karena
adanya proses degradasi dari merkuri akibat
penguapan dan erosi/pencucian oleh air
permukaan.
Dari hasil pemantaaan di lapangan
diperkirakan kontaminasi unsur merkuri
paling banyak berasal dari proses
9

pembakaran bullion yang menghasilkan uap
merkuri dan jatuh disekitar pengolahan dan
mencemari
tanah
di
sekelilingnya.
Tingginya kandungan merkuri dalam tanah
ini berpotensi menyebabkan percemaran
pada air sumur, air sungai dan dapat
terserap oleh tumbuhan.
Merkuri Dalam Air Permukaan
Kandungan merkuri dalam air
permukaan dapat disebabkan oleh partikel
halus yang terbawa bersama limbah akibat
proses amalgamasi dan pelarutan dari
sedimen sungai yang mengandung merkuri.
Dalam jangka waktu yang cukup lama
logam merkuri dapat teroksidasi dan
terlarut dalam air permukaan.
Dari 5 conto air, hasil analisis unsur
Cu, Zn dan Cd menunjukan kandungan
dibawah kriteria mutu air yang ditentukan
dalam PP 82/2001, tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air untuk unsur Cu, Zn dan Cd.
Unsur Pb dalam air permukaan
menunjukan konsentrasi antara 0,07-0,09
ppm, apabila disebandingkan dengan
kriteria mutu air yang ditentukan dalam PP
82/2001, menunjukan konsentrasi Pb dalam
air permukaan yang lebih tinggi, dimana
baku mutu unsur Pb adalah 0,03 ppm untuk
kelas I s/d kelas III, tetapi masih lebih
rendah dari bakumutu untuk kelas IV
sebesar 1 ppm.
Hasil analisis unsur As dalam air
permukaan menunjukan kandungan < 2
ppm. Kandungan tersebut merupakan
detection limit alat ukur yang digunakan
sehingga hasil analisis tersebut tidak bisa
disebandingkan dengan baku mutu air
permukaan yang ada, dimana baku mutu
menunjukan kandungan As sebesar 0,05
ppm untuk kelas I dan 1 ppm untuk kelas II
s/d kelas IV.
Unsur Hg dalam air permukaan
menunjukan kandungan antara 0,18 – 0,55
ppb. Kriteria mutu air yang ditentukan
dalam PP 82/2001, tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air untuk unsur Hg adalah 0,001 ppm
(kelas I), 0,002 ppm (kelas II dan kelas III),
dan 0,005 ppm (kelas IV). Hal ini
menunjukan unsur Hg yang terlarut di
dalam air permukaan masih dibawah baku

mutu yang ditentukan. Kandungan Hg yang
cukup tinggi dalam sedimen sungai aktif >
1.000 ppb tidak/belum terlarut dalam air
permukaan. Kondisi ini memerlukan
pemantauan mengingat unsur Hg yang
sangat tinggi pada kondisi tertentu dapat
terlarut dalam air yang akan menyebabkan
kandungan unsur Hg dalam air permukaan
naik dan akan membahayakan.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil kegiatan
penelitian dan pendataan penyebaran
merkuri pada wilayah PETI dan dampaknya
terhadap lingkungan di Palu yang dilakukan
pada bulan Maret sampai dengan
pertengahan bulan April 2010 adalah
sebagai berikut :
1. Penambangan dan pengolahan emas
rakyat di daerah penelitian secara
tradisional tanpa mengindahkan kaidah
penambangan dan pengolahan yang
baik menyebabkan kerusakan bentang
alam dan terjadinya pencemaran.
2. Pada proses penambangan banyak
bahan
galian
yang
terbuang,
diakibatkan oleh tidak sistimatisnya
proses penambangan.
3. Pengolahan emas rakyat di Poboya
menggunakan cara amalgamasi secara
tradisional, penanganan tailing sisa
proses amalgamasi masih sangat
sederhana dan pembakaran bulion di
ruang terbuka yang menyebabkan
terjadinya pencemaran merkuri.
4. Beban pencemaran terbesar akan
mencemari S. Poboya dimana hampir
sebagian besar aktifitas pertambangan
terdapat di sekitar daerah aliran sungai
tersebut. Pencemaran yang terjadi di S.
Poboya akan mengakibatkan Teluk
Palu terancam tercemar juga mengingat
S. Poboya mengalir kedalam teluk
tersebut.
5. Hasil analisis tailing sisa pengolahan
amalgamasi menunjukan kandungan
merkuri sangat tinggi berkisar antara
5.821 – 25.913 ppb. Pencemaran
merkuri tersebut berasal dari proses
amalgamasi yang tidak sempurna.
Kondisi
ini perlu dicermati dan
dilakukan
pemantauan
khusus
10

mengingat tailing diproses lagi dengan
cara sianidasi dan tailing selanjutnya
tidak dikelola dengan baik dan
terbuang ke badan air.
6. Kandungan emas yang tinggi dalam
tailing berkisar antara 5.821 – 25.913
ppb menunjukan tingkat recovery
pengolahan secara amalgamasi yang
dilakukan masih sangat rendah. Proses
pengolahan lanjutan berupa proses
sianinasi untuk mengolah sisa tailing
tersebut
meningkatkan
recovery
pengolahan/perolehan emas, sehingga
emas yang terbuang dapat diperkecil.
7. Kandungan merkuri dalam endapan
sungai aktif berkisar antara 128 – 7.770
ppb. Kandungan merkuri di hulu S.
Poboya dimana tidak terdapat aktifitas
pertambangan menunjukan kandungan
yang cukup rendah antara 128-172 ppb.
Nilai kandungan unsur Hg yang tinggi
> 1.000 ppb terditeksi di 9 lokasi
sepanjang S. Poboya di bagian hilir
lokasi
pertambangan
akibat
pencemaran aktifitas pengolahan PETI.
Kandungan merkuri yang tinggi ini
berpotensi menyebabkan terjadinya
percemaran pada air sungai, karena
pada kondisi tertentu merkuri tersebut
dapat larut ke dalam air.

8. Proses penggarangan bullion dilakukan
di ruang terbuka menyebabkan
terjadinya pencemaran merkuri ke
dalam
tanah,
hasil
analisis
menunjukkan kandungan merkuri
dalam tanah > 1.000 ppb. Tingginya
kandungan merkuri dalam tanah ini
berpotensi menyebabkan percemaran
pada air sumur, air sungai dan
tumbuhan.
9. Kandungan unsur merkuri dan logam
berat lainnya dalam air di S. Poboya
pada umumnya dibawah kriteria mutu
air yang ditentukan dalam PP 82/2001,
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air, hanya
untuk unsur Pb sedikit di atas kriteria
bakumutu untuk kelas I s/d kelas III,
tetapi masih lebih rendah dari baku
mutu untuk kelas IV.
10. Pencemaran lain yang mengancam
disamping pencemaran lingkungan
akibat merkuri juga terjadi pencemaran
limbah domestik berupa limbah MCK
akibat tidak tersedianya sarana MCK
yang memadai di lokasi penambangan
dan pengolahan.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2000, Penanggulangan Masalah Pertambangan
Tanpa Izin (PETI), Jakarta.
Departemen Pertambangan dan Energi, 1996, Pedoman Teknis Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Untuk Kegiatan Pertambangan dan Energi.
Gunradi R., Sukmana, Ta’in, Z. dan Nixon, 2000. Laporan Penyelidikan Pemantauan Unsur
Hg (Merkuri) Akibat Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) di Daerah Pongkor, Jawa
Barat dengan Pemetaan Geokimia. Koordinator Urusan Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat.
Levinson, A, 1974, Introduction to Exploration Geochemistry.
Selinawati dan Sobandi, 1994. Distribusi Pencemaran Air Raksa Pada Tambang Rakyat
Cineam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral, Bandung.
Suhandi, Sabtanto, 2005, Pendataan Sebaran Unsur Merkuri Pada Wilayah Pertambangan
Gunung Pani dan Sekitarnya, Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, Direktorat
Inventarisasi Sumber Daya Mineral
Sukamto RAB, 1973, Peta Geologi Tinjau Lembar Palu, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi.
Suratmo, F. Gunawan, 1990, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gajah Mada University
Press.
Stwertka, A., 1998. Guide To The Elements. Oxford University Press, New York, 240 hal.
11

Widhiyatna, D, dkk, 2004, Laporan Pendataan Penyebaran Merkuri Akibat Usaha
Pertambangan Emas Di Daerah Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat, Direktorat
Inventarisasi Sumber Daya Mineral.
http://www.zeromercury.org/fact_sheet/index.html
http://www.kompas.com

Gambar 1. Peta Lokasi Daerah Penelitian

12

Gambar 2. Peta Geologi Regional Daerah Palu dan Sekitarnya
(Sumber : Sukamto RAB, 1973, Peta Geologi Tinjau Lembar Palu)

Gambar 3. Peta Lokasi Penambangan dan Pengolahan

13

Gambar 4. Bagan Alir Proses Pengolahan Emas Cara Amalgamasi dan
Proses Pengolahan Tailing dengan Cara Sianidasi

Gambar 5. Peta Kandungan Unsur Dalam Batuan

14

Gambar 6. Peta Kandungan Unsur Dalam Tailing

Gambar 7. Peta Kandungan Unsur Dalam Endapan Sungai Aktif

15

Gambar 8. Peta Kandungan Unsur Dalam Tanah

Gambar 9. Peta Kandungan Unsur Dalam Air

16