Periode Empty-Nest | Karya Tulis Ilmiah

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menjadi orang tua membawa berbagai perasaan yang campur aduk baik pada
perempuan maupun laki-laki. Bersamaan dengan kegembiraan, individu mungkin merasa
cemas tentang tanggung jawab merawat anak dan komitmen waktu serta tenaga yang
membuntutinya (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Namun seiring berjalannya waktu,
menjadi orang tua juga berarti adanya proses untuk melepaskan. Menurut Marks, et. al.
(dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) proses ini biasanya mendekati atau mencapai
puncaknya selama orang tua berusia dewasa madya. Kebanyakan orang tua pada masa
dewasa madya harus mengatasi rangkaian persoalan yang muncul ketika anak-anak mereka
telah tumbuh dewasa dan meninggalkan rumah. Tahap transisi orang tua yang mengiringi
kepergian anak terakhir dari rumah orang tua mereka disebut dengan istilah empty nest.
Menurut Hurlock (1980) masa empty nest ini disebut juga sebagai masa sepi, yaitu masa
ketika anak-anak tidak lagi tinggal bersama orang tua, yang berakibat pada munculnya
perasaan kesepian dan kehilangan.
Dalam masa ini tidak jarang orang tua merasakan kesepian, kesedihan, dan perasaan
kosong akan rumah mereka yang terasa menjadi semakin sepi (Shakya, 2009). Peralihan ini
merupakan sebuah peralihan yang cukup sulit, terutama bagi perempuan (ibu). Hal itu
disebabkan antara lain karena para ibu, terutama yang menjadi ibu rumah tangga, merupakan
orang tua yang meluangkan waktu yang lebih banyak untuk mengasuh anak-anak semenjak
mereka kecil, bahkan selama di kandungan. Kondisi semacam ini mengakibatkan wanita

merasa kehilangan peranan intinya sebagai ibu dari anak-anaknya. Ia harus melepaskan anakanak yang ia cintai, dan juga kehilangan rasa dibutuhkan oleh orang lain karena masingmasing telah mempunyai kesibukan sendiri (Andriyani, 2007). Hal itu dapat membuat
beberapa dari mereka memiliki masalah dalam melakukan penyesuaian dengan kondisi empty
nest, meskipun ada pula yang dapat merasa rela melepaskan anak mereka membangun
kehidupannya sendiri (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
Periode empty nest ini juga dapat membawa dampak pada pernikahan. Tetapi dampak
empty nest pada pernikahan bergantung pada kualitas dan lamanya pernikahan. Robinson &
Blanton menyatakan bahwa dalam pernikahan yang kuat, kepergian anak-anak yang sudah
dewasa dapat memberikan peluang adanya ‘bulan madu kedua’. Namun empty nest mungkin
akan lebih sulit bagi pasangan yang identitasnya bergantung pada peran sebagai orang tua.
Banyak orang tua yang beranggapan bahwa tugas mereka sebagai orang tua berakhir sesaat
setelah anak-anak pergi meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupan mereka masingmasing (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Anggapan ini membuat banyak orang tua

menjadi stres dan meningkatkan emosi negatif ketika masa itu hampir tiba. Akibatnya masa
tua menjadi masa yang tampaknya tidak menyenangkan, terutama bagi para ibu, yang merasa
kehilangan arti atau makna hidup setelah selama bertahun-tahun, dirinya memiliki peran
sentral dalam kehidupan anak-anak.
Dalam menghadapi transisi ini, kerjasama antara suami dengan istri akan sangat
diperlukan dan dapat membuat keadaan rumah tangga menjadi lebih baik. Ketika anak-anak
telah pergi dari rumah dan membina kehidupannya sendiri, orang tua akan memiliki waktu
yang lebih banyak dan dapat melakukan aktivitas-aktivitas bersama dan juga mereka dapat

saling menopang untuk melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi, serta
mengatasi kesepian yang kerap kali muncul pada periode ini. Hal ini dapat membuat para ibu
menjadi lebih mudah merelakan kepergian anak-anaknya dan menikmati keberhasilan
menjadi orang tua.
Namun, tidak semua wanita memiliki pasangan yang dapat bersama-sama
menghadapi periode ini. Tidak sedikit wanita yang menjadi orang tua tunggal (single parent)
dalam mengasuh anak-anaknya. Perceraian maupun kematian pasangan merupakan penyebab
mereka menjadi orang tua tunggal dalam membesarkan anak-anaknya. Kehilangan pasangan
hidup karena kematian juga dapat menjadi suatu kejadian yang traumatis bagi individu.
Wanita yang kehilangan suaminya tidak hanya kehilangan sahabat, tetapi juga kehilangan
peran yang penting, yang terkadang merupakan peran sentral (Papalia, Olds, & Feldman,
2009). Perasaan ini semakin diperkuat lagi oleh frustrasi dari dorongan seksualnya yang tidak
dapat dipenuhi dan masalah ekonomi karena mata pencaharian keluarga tidak mencukupi lagi
untuk menghidupi keluarga (Hurlock, dalam Andiyani, 2007). Selain itu mereka juga harus
menghadapi kenyataan bahwa mereka kini adalah orang tua tunggal dalam mengasuh anakanaknya. Apabila masa sulit itu telah dilalui, wanita single parent pada saatnya akan
menghadapi masa ketika anak-anak harus pergi meninggalkan rumah sehingga kekosongan
dalam rumah pun akan menjadi lebih terasa (Andiyani, 2007).
Respon dan perasaan terhadap masa empty nest tentu menjadi berbeda ketika hanya
salah satu dari orang tua yang harus menghadapinya. Penelitian yang dilakukan oleh Willicox
(dalam Kotwal & Prabhakar, 2009) menunjukkan bahwa wanita yang menjadi orang tua

tunggal memiliki kecenderungan yang tinggi untuk mengalami depressed mood, fungsi sosial
yang lemah, dan kesehatan mental yang rendah. Selain itu wanita yang menjadi single parent
biasanya mengalami kesepian yang sangat dalam (Andriyani, 2007). Hal ini diperkuat oleh
hasil penelitian yang dilakukan oleh Lopata (dalam Perlman & Peplau, 1981) menunjukkan
bahwa 48 % dari sampel yang diambil secara acak pada janda/duda menunjukkan bahwa
kesepian merupakan masalah utama dalam widowhood.

Kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif yang individu rasakan pada saat
hubungan sosialnya kehilangan ciri-ciri penting (Sears, Freedman, & Peplau, 1985). Menurut
Sears, Freedman & Peplau (1985) kadang-kadang kesepian ditimbulkan oleh perubahan
hidup yang menjauhkan kita dari teman dan hubungan yang akrab. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Korkow (dalam Setyowanti, 2009), yaitu salah satu penyebab dari kesepian
adalah transisi kehidupan. Setiap perubahan yang dibuat seseorang dalam kehidupannya
kemungkinan besar akan menyebabkan kesepian. Perlman & Peplau (1981) menyatakan
bahwa akhir dari hubungan emosional yang dekat merupakan penyebab umum dari kesepian.
Kesepian dapat berlangsung ketika seseorang mengalami hubungan yang memuaskan sampai
perubahan tertentu terjadi dalam hidupnya. Situasi yang biasanya menimbulkan kesepian
adalah perpindahan ke kota yang baru, terpisah dari teman dan orang yang dicintai, atau
mengakhiri hubungan yang penting karena kematian, perceraian atau perpisahan. Perpisahan
dengan orang-orang terdekat, seperti keluarga atau teman karib, juga merupakan salah satu

penyebab dari kesepian. Perpisahan dapat mengurangi frekuensi interaksi dan membuat
kepuasan terhadap hubungan menjadi kurang, serta dapat menimbulkan ketakutan bahwa
hubungan tersebut akan semakin melemah karenanya.
Rasa kesepian umumnya akan merambat pada kecemasan, depresi, dan tertekan
(Sriwijawa Post, 16 September 2007 dalam Setyowanti, 2009). Kesepian juga dapat
berdampak secara afektif (emosi), kognitif, dan juga motivasi. Fitri (dalam Setyowanti, 2009)
mengemukakan bahwa secara afektif, orang yang kesepian akan merasa kurang bahagia,
kurang puas, lebih pesimistis dan lebih depresif, cemas, gelisah, tegang, tidak nyaman, jemu,
marah, menutup diri, hampa, dan canggung. Sedangkan secara kognitif orang yang kesepian
cenderung kurang mampu untuk berkonsentrasi dalam bekerja atau melakukan tugasnya. Dari
segi motivasi, orang yang kesepian juga menjadi kurang memiliki motivasi atau semangat
dalam menjalankan kehidupan dan merasa tidak berdaya. Lebih lanjut, Sears, Freedman, &
Peplau (1985) mengemukakan bahwa pengalaman kesepian dalam jangka waktu lama bisa
menyebabkan seseorang memandang dirinya sebagai orang yang telah mengalami kegagalan
sosial dan kemudian menimbulkan kemerosotan harga dirinya.
Dengan demikian, pengalaman kesepian merupakan pengalaman emosi yang sering
ditemui pada wanita single parent yang menghadapi periode empty nest. Peristiwa kehilangan
pasangan hidup baik melalui perceraian maupun kematian serta perpisahan dengan anakanaknya yang telah dewasa merupakan kejadian yang dapat memicu timbulnya perasaan
kesepian. Namun, individu tidak hanya dapat mengalami perasaan kesepian saja, tetapi juga
kemampuan untuk mengatasi perasaan kesepian yang ia rasakan. Dalam mengatasi perasaan


tersebut, setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda-beda. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Rokach & Brook (1998) menyatakan terdapat enam jenis strategi koping yang
dilakukan oleh individu dalam mengatasi kesepian. Faktor-faktor tersebut adalah reflection
and acceptance, self-development and understanding, social support network, distancing and
denial, religion and faith, dan increased activity (Rokach, Orzeck, & Neto, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Andriyani, Elisabet W. (2007). Tingkat Kecemasan Menghadapi Periode Empty Nest pada
Wanita Single Parent. Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi,
Universitas Kristen Satya Wacana.
Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga
Kotwal, Nidhi. & Prabhakar, Bharti. (2009). Problem Faced by Single Mothers. Post
Graduate Department Community Resource Management and Extension.
Lacey, Anne & Luff, Donna. (2005). Qualitative Data Analysis. Yorkshire : The NIHR RDS.
Moleong, L. J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Papalia, Olds & Feldman. (2009). Perkembangan Manusia. Edisi 10. Jilid 2. Jakarta :
Penerbit Salemba Humanika.
Perlman, Daniel & Peplau, Letitia A. (1981). Toward a Social Psychology of Loneliness. In S.
Duck & R. Gilmour (eds.), Personal Relationships in Disorder (Pp 31-56). London :
Academic Press.

Perlman, Daniel & Peplau, Letitia A. (1979). Blueprint for a Social Psychological Theory of
Loneliness. In M. Cook & G. Wilson (Eds.), Love and Attraction (Pp. 99-108). Oxford,
England: Pergamon.
Rokach, Ami., Orzeck, Tricia., & Neto, Felix. (2004). Coping with Loneliness in Old Age : A
Cross Cultural Comparison. Journal Current Psychology: Development, Learning,
Personality, Social, 23 (2), 124-137.
Sears, David O., Freedman, Jonathan L. & Peplau, Letitia A. (1985). Psikologi Sosial Jilid 1.
Edisi 5. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Setyowanti. (2009). Perbedaan Tingkat Kesepian pada Pensiunan Ditinjau dari Jabatan
Sebelum Pensiun (Manager dan Non-Manager). Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga:
Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana.