Periode Empty-Nest | Karya Tulis Ilmiah Periode Empty Nest

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:46:24 2017 / +0000 GMT

Periode Empty-Nest
LINK DOWNLOAD [46.50 KB]
Menjadi orang tua membawa berbagai perasaan yang campur aduk baik pada perempuan maupun laki-laki. Bersamaan dengan
kegembiraan, individu mungkin merasa cemas tentang tanggung jawab merawat anak dan komitmen waktu serta tenaga yang
membuntutinya (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Namun seiring berjalannya waktu, menjadi orang tua juga berarti adanya proses
untuk melepaskan. Menurut Marks, et. al. (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) proses ini biasanya mendekati atau mencapai
puncaknya selama orang tua berusia dewasa madya. Kebanyakan orang tua pada masa dewasa madya harus mengatasi rangkaian
persoalan yang muncul ketika anak-anak mereka telah tumbuh dewasa dan meninggalkan rumah. Tahap transisi orang tua yang
mengiringi kepergian anak terakhir dari rumah orang tua mereka disebut dengan istilah empty nest. Menurut Hurlock (1980) masa
empty nest ini disebut juga sebagai masa sepi, yaitu masa ketika anak-anak tidak lagi tinggal bersama orang tua, yang berakibat pada
munculnya perasaan kesepian dan kehilangan.
Dalam masa ini tidak jarang orang tua merasakan kesepian, kesedihan, dan perasaan kosong akan rumah mereka yang terasa menjadi
semakin sepi (Shakya, 2009). Peralihan ini merupakan sebuah peralihan yang cukup sulit, terutama bagi perempuan (ibu). Hal itu
disebabkan antara lain karena para ibu, terutama yang menjadi ibu rumah tangga, merupakan orang tua yang meluangkan waktu
yang lebih banyak untuk mengasuh anak-anak semenjak mereka kecil, bahkan selama di kandungan. Kondisi semacam ini
mengakibatkan wanita merasa kehilangan peranan intinya sebagai ibu dari anak-anaknya. Ia harus melepaskan anak-anak yang ia
cintai, dan juga kehilangan rasa dibutuhkan oleh orang lain karena masing-masing telah mempunyai kesibukan sendiri (Andriyani,
2007). Hal itu dapat membuat beberapa dari mereka memiliki masalah dalam melakukan penyesuaian dengan kondisi empty nest,

meskipun ada pula yang dapat merasa rela melepaskan anak mereka membangun kehidupannya sendiri (Papalia, Olds, & Feldman,
2009).
Periode empty nest ini juga dapat membawa dampak pada pernikahan. Tetapi dampak empty nest pada pernikahan bergantung pada
kualitas dan lamanya pernikahan. Robinson & Blanton menyatakan bahwa dalam pernikahan yang kuat, kepergian anak-anak yang
sudah dewasa dapat memberikan peluang adanya ?bulan madu kedua'. Namun empty nest mungkin akan lebih sulit bagi pasangan
yang identitasnya bergantung pada peran sebagai orang tua. Banyak orang tua yang beranggapan bahwa tugas mereka sebagai orang
tua berakhir sesaat setelah anak-anak pergi meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupan mereka masing-masing (dalam Papalia,
Olds, & Feldman, 2009). Anggapan ini membuat banyak orang tua menjadi stres dan meningkatkan emosi negatif ketika masa itu
hampir tiba. Akibatnya masa tua menjadi masa yang tampaknya tidak menyenangkan, terutama bagi para ibu, yang merasa
kehilangan arti atau makna hidup setelah selama bertahun-tahun, dirinya memiliki peran sentral dalam kehidupan anak-anak.
Dalam menghadapi transisi ini, kerjasama antara suami dengan istri akan sangat diperlukan dan dapat membuat keadaan rumah
tangga menjadi lebih baik. Ketika anak-anak telah pergi dari rumah dan membina kehidupannya sendiri, orang tua akan memiliki
waktu yang lebih banyak dan dapat melakukan aktivitas-aktivitas bersama dan juga mereka dapat saling menopang untuk melakukan
penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi, serta mengatasi kesepian yang kerap kali muncul pada periode ini. Hal ini dapat
membuat para ibu menjadi lebih mudah merelakan kepergian anak-anaknya dan menikmati keberhasilan menjadi orang tua.
Namun, tidak semua wanita memiliki pasangan yang dapat bersama-sama menghadapi periode ini. Tidak sedikit wanita yang
menjadi orang tua tunggal (single parent) dalam mengasuh anak-anaknya. Perceraian maupun kematian pasangan merupakan
penyebab mereka menjadi orang tua tunggal dalam membesarkan anak-anaknya. Kehilangan pasangan hidup karena kematian juga
dapat menjadi suatu kejadian yang traumatis bagi individu. Wanita yang kehilangan suaminya tidak hanya kehilangan sahabat, tetapi
juga kehilangan peran yang penting, yang terkadang merupakan peran sentral (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Perasaan ini

semakin diperkuat lagi oleh frustrasi dari dorongan seksualnya yang tidak dapat dipenuhi dan masalah ekonomi karena mata
pencaharian keluarga tidak mencukupi lagi untuk menghidupi keluarga (Hurlock, dalam Andiyani, 2007). Selain itu mereka juga
harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kini adalah orang tua tunggal dalam mengasuh anak-anaknya. Apabila masa sulit itu
telah dilalui, wanita single parent pada saatnya akan menghadapi masa ketika anak-anak harus pergi meninggalkan rumah sehingga
kekosongan dalam rumah pun akan menjadi lebih terasa (Andiyani, 2007).
Respon dan perasaan terhadap masa empty nest tentu menjadi berbeda ketika hanya salah satu dari orang tua yang harus
menghadapinya. Penelitian yang dilakukan oleh Willicox (dalam Kotwal & Prabhakar, 2009) menunjukkan bahwa wanita yang
menjadi orang tua tunggal memiliki kecenderungan yang tinggi untuk mengalami depressed mood, fungsi sosial yang lemah, dan
kesehatan mental yang rendah. Selain itu wanita yang menjadi single parent biasanya mengalami kesepian yang sangat dalam
(Andriyani, 2007). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lopata (dalam Perlman & Peplau, 1981)
menunjukkan bahwa 48 % dari sampel yang diambil secara acak pada janda/duda menunjukkan bahwa kesepian merupakan masalah

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 1/3 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:46:24 2017 / +0000 GMT

utama dalam widowhood.

Kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif yang individu rasakan pada saat hubungan sosialnya kehilangan ciri-ciri penting
(Sears, Freedman, & Peplau, 1985). Menurut Sears, Freedman & Peplau (1985) kadang-kadang kesepian ditimbulkan oleh
perubahan hidup yang menjauhkan kita dari teman dan hubungan yang akrab. Hal serupa juga diungkapkan oleh Korkow (dalam
Setyowanti, 2009), yaitu salah satu penyebab dari kesepian adalah transisi kehidupan. Setiap perubahan yang dibuat seseorang
dalam kehidupannya kemungkinan besar akan menyebabkan kesepian. Perlman & Peplau (1981) menyatakan bahwa akhir dari
hubungan emosional yang dekat merupakan penyebab umum dari kesepian. Kesepian dapat berlangsung ketika seseorang
mengalami hubungan yang memuaskan sampai perubahan tertentu terjadi dalam hidupnya. Situasi yang biasanya menimbulkan
kesepian adalah perpindahan ke kota yang baru, terpisah dari teman dan orang yang dicintai, atau mengakhiri hubungan yang
penting karena kematian, perceraian atau perpisahan. Perpisahan dengan orang-orang terdekat, seperti keluarga atau teman karib,
juga merupakan salah satu penyebab dari kesepian. Perpisahan dapat mengurangi frekuensi interaksi dan membuat kepuasan
terhadap hubungan menjadi kurang, serta dapat menimbulkan ketakutan bahwa hubungan tersebut akan semakin melemah
karenanya.
Rasa kesepian umumnya akan merambat pada kecemasan, depresi, dan tertekan (Sriwijawa Post, 16 September 2007 dalam
Setyowanti, 2009). Kesepian juga dapat berdampak secara afektif (emosi), kognitif, dan juga motivasi. Fitri (dalam Setyowanti,
2009) mengemukakan bahwa secara afektif, orang yang kesepian akan merasa kurang bahagia, kurang puas, lebih pesimistis dan
lebih depresif, cemas, gelisah, tegang, tidak nyaman, jemu, marah, menutup diri, hampa, dan canggung. Sedangkan secara kognitif
orang yang kesepian cenderung kurang mampu untuk berkonsentrasi dalam bekerja atau melakukan tugasnya. Dari segi motivasi,
orang yang kesepian juga menjadi kurang memiliki motivasi atau semangat dalam menjalankan kehidupan dan merasa tidak
berdaya. Lebih lanjut, Sears, Freedman, & Peplau (1985) mengemukakan bahwa pengalaman kesepian dalam jangka waktu lama
bisa menyebabkan seseorang memandang dirinya sebagai orang yang telah mengalami kegagalan sosial dan kemudian menimbulkan

kemerosotan harga dirinya.
Dengan demikian, pengalaman kesepian merupakan pengalaman emosi yang sering ditemui pada wanita single parent yang
menghadapi periode empty nest. Peristiwa kehilangan pasangan hidup baik melalui perceraian maupun kematian serta perpisahan
dengan anak-anaknya yang telah dewasa merupakan kejadian yang dapat memicu timbulnya perasaan kesepian. Namun, individu
tidak hanya dapat mengalami perasaan kesepian saja, tetapi juga kemampuan untuk mengatasi perasaan kesepian yang ia rasakan.
Dalam mengatasi perasaan tersebut, setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda-beda. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Rokach & Brook (1998) menyatakan terdapat enam jenis strategi koping yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi
kesepian. Faktor-faktor tersebut adalah reflection and acceptance, self-development and understanding, social support network,
distancing and denial, religion and faith, dan increased activity (Rokach, Orzeck, & Neto, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Andriyani, Elisabet W. (2007). Tingkat Kecemasan Menghadapi Periode Empty Nest pada Wanita Single Parent. Skripsi (tidak
diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana.
Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga
Kotwal, Nidhi. & Prabhakar, Bharti. (2009). Problem Faced by Single Mothers. Post Graduate Department Community Resource
Management and Extension.
Lacey, Anne & Luff, Donna. (2005). Qualitative Data Analysis. Yorkshire : The NIHR RDS.
Moleong, L. J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Papalia, Olds & Feldman. (2009). Perkembangan Manusia. Edisi 10. Jilid 2. Jakarta : Penerbit Salemba Humanika.
Perlman, Daniel & Peplau, Letitia A. (1981). Toward a Social Psychology of Loneliness. In S. Duck & R. Gilmour (eds.), Personal
Relationships in Disorder (Pp 31-56). London : Academic Press.

Perlman, Daniel & Peplau, Letitia A. (1979). Blueprint for a Social Psychological Theory of Loneliness. In M. Cook & G. Wilson

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 2/3 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:46:24 2017 / +0000 GMT

(Eds.), Love and Attraction (Pp. 99-108). Oxford, England: Pergamon.
Rokach, Ami., Orzeck, Tricia., & Neto, Felix. (2004). Coping with Loneliness in Old Age : A Cross Cultural Comparison. Journal
Current Psychology: Development, Learning, Personality, Social, 23 (2), 124-137.
Sears, David O., Freedman, Jonathan L. & Peplau, Letitia A. (1985). Psikologi Sosial Jilid 1. Edisi 5. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Setyowanti. (2009). Perbedaan Tingkat Kesepian pada Pensiunan Ditinjau dari Jabatan Sebelum Pensiun (Manager dan
Non-Manager). Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana.

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 3/3 |