Sabung Ayam (Tajen) di Bali : di antara Ranah Budaya dan Hukum.

LLOl ウョセVGQ@
msoduaa

'''P'8"'Pl"SOS 4m1's11!tWOJUJ"l'll'I

・セーョァ@

eueuf
"

JNANA BUDAYA
VOLUME 16 NOMER 2 BULAN AGUSTUS TAHUN 2011
No. Akreditasi: 32/Akred-LIPl/P2MBI/04/2011
Jnana Budaya merupakan seri penerbitan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Ditjen
Nilai Budaya Seni dan Film, Kementerian Budpar. Diterbitkan secara berkala dua kali dalam
setahun. Jnana Budaya merupakan sebuah wadah untuk memberikan ruang dalam menyampaikan
gagasan atau pun bersifat informasi berkaitan dengan bidang sejarah, sosial dan 'budaya. Fokus
dari jumal Jnana Budaya merupakan basil pemikiran yang original dan aktual baik dalam
tataran konsep ataupun dalam wujud yang sifatnya praktisi. Kata "Jnana" berasal dari Bahasa
Jawa Kuna yang berarti pengetahuan. Sedangkan "" budaya " merupakan konstruksi dari pola
kehidupan masyarakat. Secara harfiah Jnana Budaya berarti pengetahuan tentang kebudayaan

yang terdapat di dalam masyarakat.
Ketua Dewan Redaksi

Ors. I Wayan Rupa, M.Si (Agama dan Kebudayaan)

Dewan Penyunting

Prof. Dr. I Made Suastika, SU (Kajian Budaya)
Prof. Dr. I Nengah Sudipa, MA. (Sosiolinguistik)
Prof. Dr.Emiliana Mariyah, M.S. (Antropologi)
Dr. I Gede Mudana, M.Si. (Kajian Budaya)
Ferry Sadikin, ST., M.E. (Bahasa Inggris)

Mitra I3estari

Prof. Dr. I Gde Parimartha, MA. (llmu Sejarah)
Prof. Dr. Ida Bagus Gunadha, M.Si. (Teologi)

Sekretaris Dewan Redaksi


I Gusti Ngurahlayanti, S.Sos.,M.Si. (Antropologi)

Redaksi Pelaksana

I Made Dharma Suteja, S.S., M.Si (Antropologi)
Ora. I Gst. Ayu Annini (Bahasa Indonesia)
Ors. I Made Satyananda (Bahasa Indonesia)
Nuryahman, S.S (Ilmu Sejarah)

Desai Cover

Hartono, S.S., I Wayan Suca Sumadi, SH.

Distirbutor

I Made Sedana, BA, I Kadek Dwikayana

Diterbitkan Oleh

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional

Bali, NTB clan NIT Tahun anggaran 2011

Dicetak

PT. Percetakan Bali
Anggota IKAPI
JI. Gajah Mada Ill Denpasar, Telp. (0361) 234 723
.

Alamat Redaksi

.

-

Kantor: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali,
NTB dan NIT, Jalan Raya Dalung-Abian Base No. 107.
Faks. (0361) 439547 I Tip. (0361) 439546.
Website : www.bpsntbali.com .
E-mail: info@bpsntbali.com, Ngurah_jayen@yahoo.com


L

PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur dipanjatbn kepada T!.lhan Yang Maha Esa, karena berkatNya, Jumal Joana Budaya dapat dipublikasikan. Penerbitan kali ini adalah
volume yang ke-16 Nomer 2 Agustus 2011. Publikasi ini merupakan wadah untuk
memberikan ruang menyampaikan gagasan original yang bersifat informatif
berkaitan dengan bidang Sejarah, Sosial, dan, Budaya.
Tulisan ini diawali oleh penulis J Nyoman Sukartha dengan judul: "
Konsepsi Nilai Budaya Bali Dalam Sastra Kakawin dan Geguritan". Dijelaskan
bahwa kakawin da!l geguritan di dalamnya terdapat berbagai konsepsi tentang
nilai. Konsepsi nilai-nilai itu di antaranya: nilai etika berbahasa, nilai bertingkah
laku yang baik atau morulitas, konsepsi hidup sederhana/bersahaja dan konsepsi
belajar seumnr hidup. Aplikasi ni!ai-nilai akan merujuk dari sastra kakawin
dan geguritan di antaranya : Kakawin Sutasoma, Kakawin Niti Sastra, Arjuna
Wiwaha dan Geguritan Selampah Laku. Pengetahuan tentang logam, Tjokorda
Udiana Nindhia Pemayun, dan Tjokorde Gde Tirta Nindhia akan membahas
" Teknik Membedakan Perunggu dan Kuningan Pada Karya Seni Logam".
Dijelaskan bahwa pengetahuan tentang logam berpengaruh terhadap kebudayaan
umat manusia. Hal ini dibuktikan dengan penamaan jaman dengan nama-nama

logam seperti jaman perunggu dan juga jaman besi. Identifikasi bahan-bahan
logam untuk keperluan pembuatan karya seni logam seperti patung, area,
gambelan, hiasan baik hiasan meja ataupun pintu bahkan untuk cinderamata
tidaklah mudah dilakukan karena tidak bisa diidentifikasi tanpa menggunakan
teknik atau peralatan uji yang tentu saja membutuhkan biaya yang tinggi dan
waktu yang cukup lama. Dengan teknologi ini maka identifikasi jenis perunggu
dan kuningan, dengan cepat dapat dilakukan sehingga para seniman logam di
Indonesia dapat mempersiapkan karya mereka dengan menggunakan bahan
logam yang terjamin komposisinya.
Masih kaitannya tentang penelitian logam, Cokorda Istri Surynwati
akan mengangkat judul: "Uang Kepeng (Pis Bolong) Sebagai Sarana Upakara
Bagi Umat Hindu". Dalam tulisannya dijelaskan bahwa uang kepeng termasuk
salah satu jenis uang logam (coins) yang pemah digunakan sebagai alat
pembayaran yang sah dalam kegiatan transaksi pada jaman kerajaan-kerajaan di
Indonesia, termasuk Bali sejak beberapa abad yang lalu sampai menjelangjaman
kemerdekaan. Pemakaian pis bolong (Uang Kepeng) sebagai sarana upakara
umat Hindu di Bali merupakan bukti terhadap meresapnya-budaya Cina sejak
berabad-abad yang lalu. Pis Bolong diperkirakan masuk ke Bali abad ke-14 dan
masih dipakai sebagai alat tukar di Bali sampai tahun 1950.Keunikan lain dari
uang kepeng adalah dipakai bahan pada area pemujaan Rambut Sedana. Hasil


penelitian menunjukkan sebelum masuknya uang kepeng ke Bali area ini dibuat
dari perunggu atau perak. Sehingga sejak saat itu banyak pis bolong tiruan yang
beiwama hitam atau kuning dan kualitasnya rendah. Walaupun tiruan, fungsinya
sebagai sarana upakara tidak dipermasalahkan.
'
Selanjutnya, l Wayan Rupa akan melengkapi tulisan ini dengan judul :
"Sistem Pelapisan.Sosial dan Assigned Status Pada Masyarakat Desa Tenganan
Pegringsingan". Dijelaskan bahwa penduduk Desa Tenganaa Pegringsingan
terdiri atas dua golongan yaitu orang Tenganan asli dan penduduk pendatang
yang disebut dengan wong angendok. Selain sistem pelapisan itu, juga dikenal
dengan adanya assigned status yaitu kedudukan yang dibl!rikan. Assigned
status memiliki kedudukan yang horisontal clan vertikal dan diberikan kepada
klan tertentu untuk melengkapi struktur desa. Sistem pelapisan ini mewujudkan
adanya sejumlah hak dan kewajiban tertentu terhadap orang-orang yang
menempati kedudukan tersebut. Masih kaitannya dengan tradisi, I Wayan
Sudanna dengan tulisan berjudul : "Upacara Tradisional Taur Agung di Pura
Tri Kahyangan Desa Pakraman Bajera". D!jelaskan bahwa Upacara Taur
Agung Ngenteg Linggih di Desa Pakraman Bajera Kabupaten Tabanan tersirat
makna-makna spiritual yang diyakini oleh masyarakatnya. Upacara Taur

Agung, Padudusan Agung, Memungkah, Ngenteg Linggih, Ngusaha Desa Lan
Ngusaba Nini secara umum memiliki makna penyucian secara spiritual alam
makrokosmos dan mikrokosmos. Secara makrokosmos (buana agung) adalah
pembersihan atau penyucian terhadap tempat-tempat suci di khayangan dan
w ilayah desa sehingga terciptanya suatu keseimbangan. Sedangkan secara
mikrokosmos (buana alit) adalah membersihkan atau menyucikan jiwa dan raga
manusia sebagai penghuninya sehingga dapat mewujudkan hubungan yang
harmonis antar sesama, alam, dan Ida Hyang Widhi. Kemudian Ni Luh Ariani
akan melengkapi jumal ini dengan tulisan berjudul : "Perang Timbung Tradisi
Lokal Masyarakat Sasak" di Desa Pejanggik Praya Tengah Lombok Tengah.
Dijelaskan bahwa tradisi Perang Timbung di dalamnya tersirat nilai-nilai yang
menjadi panutan atau tuntunan dalam menjalani kehidupan yang perlu diteladani
dan dihayati sebagai pegangan hidup lahir bathin Nilai-nilai kehidupan itu di
antaranya: nilai religius, nilai etika, nilai solidaritas, dan yang lainnya. Nilainilai luhur yang terdapat dalam rangkaian tradisi upacara Perang Timbung ini
perlu diperkenalkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Sasak dan
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Tulisan· selanjutnya adalah mengenai aspek kepemimpinan dalam
demokrasi akan disajikan oleh Ida Bagus Sugianto dengan judul : "Sosok
Pemimpin Dalam Demokrasi". Dijelaskan bahwa sosok kepemimpinan dalam
kehidupan demokrasi yang ideal dan sesuai dengan karakter bangsa, haruslah


I

I
I

I

J

seseorang ataupun kelompok orang yang mengenal secara penuh kondisi
bangsanya. Bangsa Indonesia yang dikenal majemuk masyarakatnya harus
mempunyai pemimpin yang sanggup menjaga integritas bangsa dan di sisi
lain mampu memberikan ruang atau saluran bagi masyarakat yang majemuk
sesuai dengan platform dari landasan demokrasi itu sendiri. Sosok ini dapat
dibentuk dengan melihat kembali perjalanan sejarah bangsa ini dari awal hingga
terbentuknya negara bangsa. Demokrasi lahir dari sejarah perjuangan bangsa
Indonesia. Tulisan ini akan disajikan oleh Ni Luh Ariani dan I Made Suma1ja
dengan judul : "Sumbawa Pada Masa Belanda Sampai Revolusi Fisik 18751950". Dijelaskan bahwa, masuknya kekuasaan Barat ke Indonesia membawa
perubahan kehidupan rakyat. Sejak abad ke-19. Belanda mulai mengadakan

pembaharuan politik kolonealnya, mempraktekkan sistem ekonomi baru, hakhak yang diberikan oleh adat dihapus, upacara dan tatacara yang berlaku di
istana kerajaan juga disederhanakan, sehingga ikatan tradisi dalam kehidupan
pribumi menjadi lemah. Puncak kekuasaan Belanda di Sumbawa pada masa
pemerintahan Sultan Amrullah II, yakni dengan ditandatanganinya pengakuan
kekuasaan Belr.nda atas Sumbawa pada tahun 1875. Kedatangan Jepang yang
sangat ditunggu-tunggu oleh rakyat dengan harapan berakhirnya penindasan
Belanda, temyata tidak menjadi kenyataan. Pendudukan Jepang yang singkat tapi
maha ganas memperkuat tekad rakyat Sumbawa untuk merebut kemerdekaan
agar keadilan sesungguhnya dapat dilaksanakan. Setelah Jepang menyerah dan di
proklamirkannya kemerdekaan Indonesia, temyata Belanda kembali melakukan
agresi mihtemya di bawah naungan Sekutu. Perjuangan setelah kemerdekaan ini
di kenal dengan revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Tradisi lisan yang berkembang pada kehidupan masyarakat Indonesia
adalah salah salah satu khazanah budaya bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan
keberadaannya, kaitannya dengan tradisi ini Yufiza akan mengkaji dari aspek:
"Mitos dan Kesehatan: Memahami Konsep Sehat Melalui Foklor". Dijelaskan
bahwa, kesehatan merupakan unsur dari kehidupan setiap manusia, sehingga
apabila ada ·sedikit gangguan dari sistem kesehatan dalam tubuh manusia
maka berbagai macam cara dilakukan untuk dapat sembuh dari gangguan
tersebut. Sehat dan sakit, merupakan konsep dari sistem kesehatan yang tidak

dapat dilepaskan satu sama lainnya. Sehat-sakit tidak hanya tejadi dalam
sistem biologis seseorang namun dapat terjadi dalam sistem sosial dan budaya
seseorang. Kesehatan seseorang sangat dipengaruhi oleh budaya yang ada dalam
diri, keluarga serta lingkungannya. Sehingga seseorang dapat d.ikatakan sehat
apabila kondisi biologis dan lingkungannya berimbang menurut budaya yang
dilakoninya selama hidup. Budaya pada diri seseorang tidaklah sama dengan
budaya yang ada pada orang lain. Sehingga konsep sehat dan cara menanggulangi

sakit juga berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lainnya.
AA. Gdc Rai Gria, akan melengkapi dengan tulisan berjudul : "Catatan
Sasana Sang Sulinggih dan Ekajati". Dijelaskan bahwa Sulinggih (Dwijati) dan
Ekajati (Pemangku) mempunyai tugas dan fungsi seperti y'ang telah digariskan
dalam Sasana. Sulinggih dan Ekajati juga berkewajiban memberikan tuntunan
rokhani, bimbingan, dan muput (menyelesaikan) upacara yadnya atas permintaan
masyarakat.
Bali dengan segala aspek kebudayaan tradisionalnya kini hidup dan
berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakatnya keberadaannya tengah
dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya, satu di antaranya adalah kesenian
tradisional Wayang Lemah. Bentuk Apresiasi dan Ekpresi Kesenian ini akan
dibahas oleh I Gusti Ayu Agung Sumarheni dengan judul tulisan "Wayang

Lemah Bentuk.Apresiasi dan Ekpresi Kesenian Bali". Dijelaskan bahwa kesenian
Wayang Lemah oleh masyarakat Bali difungsikan sebagai sarana ritual dalam
upacara keagamaan. Wayang Lemah dipentaskan pada siang hari menyesuaikan
dengan puncak upacara keagamaan. Di dalam tema cerita banyak tersirat
petuah-petuah dan nilai-nilai pendidikan bagi masyarakat pendukungnya.
Nilai yang terdapat dalam ajaran agama penting untuk diayati dan
diaktualisasikan ke dalam kehidupan. Akan sangat ironi bila apa yang dipahami
tidak mencerminkan sikap hidup dan tidak dijadikan tuntunan sebagai pola bagi
kelakuan. Banyak hal yang dapat diamati seperti halnya tabuh rah di Bali. "Tabuh
rah" merupakan rangkaian upacara yadnya yang umum di Bali. Namun dalam
kenyataanya "tabuh rah " perlahan berkembang menjadi perjudiaan sambung
ayam. Kasus-kasus tersebut banyak terjadi di berbagai tempat di Bali. Mengenai
sabung ayam akan dikaji lebih mendalam oleh I Gusti Ketut Gde Arsana dengan
judul tulisan "Sabung Ayam (Tajen) di Bali: di Antara Ranah Budaya dan
Hukum. Dalam pembahasannya dijelaskan bahwa dalam sudut pandang hukum,
sabung ayam dapat dikatagorikan sebagai salah satu bentuk "judi", dan oleh
karenanya, penegakan hukum terhadapnya tidaklah semestinya menghadapi
problematikanya. Namun demikian, realitasnya tidaklah selalu demikian.
Hukum dalam perkara semacam itu, dengan demikian sering menjadi gamang.
Secara budaya sambung ayam menjadi sangat kompleks dalam penafsirannya.
Hal ini dikaitkan dalam rar.ah religi dan budaya. Dalam ranah religi dikaitkan
dengan ritual keagamaan seperti "tabuh rah" sedangkan dalam kontek budaya
ditafsirkan ke dalam pola pemahaman simbolik, secara sistemik memandang
bahwa esensi tajen memiliki hubungart erat dengan praktik ritual keagamaan
Hindu, di Bali. Tajen adalah sintesa dari "tabuh rah"; karena dalam pertarungan
ayam itu akan selalu terjadi pertumpahan darah, apalagi ayam yang bertarung
itu juga dilengkapi dengan "taji". Selain itu, ayam jantan Uago) kemudian

dihubungkan secara simbolik dengan logika dalam membayangkan watak dari
kekuatan makhluk yang secara kosmologi Hindu di Bali disebut "bhuta kala'',
yang dipersonifikasi menyerupai sifat-sifat dari ayam jantan itu. Sedangkan
yang lainnya, mengokohkan logika interpretatifnya dengan mengaitkan tajen
tersebut sebagai pengungkapan simbolik yang merefleksikan tentang hakikat
hidup ini adalah beroposisi biner seperti hidup/ mati, kalah/menang, baik/buruk,
dan seterusnya; yang semua itu memang terdapat dalam teosofi Hindu, terutama
dalam ajaran tentang "rwa bhineda"-nya.
Tulisan selanjutnya berjudul "Persoalan Pariwisata serta Ruang Ekologi
dan Budaya Masyarakat Bali. Tulisan ini dibuat secara berkelompok oleh
I Gede Mudana dan Ni Wayan Ardini. Dalam pembahasan dijelaskan bahwa
pembangunan pariwisata berdampak terhadap ekologi. Hal ini sangat terkait
dengan hegemoni pemerintah. Hegemoni tampak dari Perlawanan masyarakat
dalam pcmbangunan pariwisata. Hubungan yang tercipta adalah hubungan
politik, mempengaruhi hubungan antara masyarakat dan pengusaha (hubungan
ekonomi), hubungan antara masyarakat dan lingkungan (hubungan ekologi), dan
hubungan antara masyarakat dan adat dan agama (hubungan budaya). Dengan
cara yang sama, makna politik, yang lahir dari hubungan politik dalam hubungan
antara masyarakat dan pemerintah, memengaruhi makna ekonomi (makna dalam
hubungan antara masyarakat dan pengusaha), makna ekologi (makna dalam
hubungan antara masyarakat dan ekologi), dan makna budaya (makna dalam
hubungan antara masyarakat dan adat dan agama). Semua pengaruh tersebut, baik
dalam hal hubungan maupun makna, mengandung hegemoni yang berlangsung
dari pihak pemerintah kepada pihak masyarakat. Lebih lanjut dalam pembahasan
juga dikemukakan bahwa telah terjadi komodifikasi dalam pernbangunan
pariwisata di Bali. Daerah tujuan wisata Bali mengalami proses komodifikasi,
yaitu secara sengaja dipikirkan dan diniatkan untuk diproduksi, didistribusi, dan
dikonsumsi untuk pemenuhan kebutuhan bisnis pariwisata yang dilakukannya.
Proses komodifikasi di kawasan-kawasan wisata di Bali tidak menjadi dominasi
pengusaha (pengembang pariwisata) karena pada dasamya masyarakat setempat
pun, atau lebih tepat siapa pun yang mengais rejeki berkenaan dengan keindahan
pemandangan pura, sebenarnya telah melakukan proses yang sama, meskipun
dengan kadar dan tanggung jawab yang berbeda.
Tulisan selanjutnya terkait dengan persoalan konftik Adat di Bali.
Konflik sering terjadi dalam tataran kehidupan masyarakat. Konflik
merupakan hal yang tumbuh dan berkembang sebagai syarat adanya
dinamika dalam masyarakat. Namun konflik harus dikelola dengan baik
agar menjadi sesuatu perubahan yang positip. Mengenai kajian konflik
ini akan dibahas secara mendalam oleh I Gede Suartika dalam judul :

l

l

"Aspek-aspek Konflik Adat di Desa Palframan Pengosekan, Desa Mas,
Kecamatan Ubud, Gianyar". Dalam pembahasan dijelaskan bahwa,
konflik banyak ragamnya salah satunya adalah konflik adat yang terjadi
di Desa Pakraman Pengosekan, Des a_ Mas, Ubud, Gianyar ( 1997-2007)
menarik untuk diteliti. Konflik adat yang awalnya memiliki permasalahan
yang sederhana bila tidak bisa diselesaikan dengan baik juga dalam
waktu singkat membawa ketegangan tinggi, dan mencekam rasa aman
bagi penduduk di sekitarnya. Konflik yang terjadi pada komunitas adat
desa pekeraman pangosekan merupakan salah satu contoh yang dapat
dijadikan kajian. Awalnya, konflik itu muncul karena persoalan yang
relatif sederhana, tetapi ketika unsur-unsur kedinasan terlibat di dalamnya,
konflik itu tampak sulit disele8aikan, bahkan sampai membawa akibat
pengerusakan sarana umum pedesaan. Atas dasar situasi yang rumit dan
kompleks itu, konflik adat di Desa Pakraman Pengosekan yang melibatkan
warga yang dikenal sebagai Warga Desa Kaja, berhadapan dengan Desa
Pakraman Pengosekan menarik diteliti. Hal ini karena juga melibatkan
pihak pemerintahan dinas (Desa Mas, Kelurahan Ubud).
Sebagai sebuah persyaratan Jumal ilmiah, volume ini menghadirkan
Resensi buku tentang" Ekonomi Uma Penerapan Adat dalam Dinamika Ekonomi
Berbasis Kekerabatan akan dibahas oleh I Gusti Ayu Annini. Dijeiaskan
bahwa keberadaan uma (rumah, dalam arti luas) pada masyarakat Etnis Sumba
menunjukkan adanya peran sosial, ekonomi, dan budaya di dalamnya. Posisi
uma tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan hubungan kekerabatan atau
keanggotaan klen yang disebut kabihu. Kabihu mempakan ciri khas masyarakat
Sumba yang mengatur kekerabatan berdasarkan -garis keturunan laki-laki.
Seorang laki-laki yang sudah menikah berupaya mendirikan uma sebagai tempat
tinggal seluruh anggota kelu&rga. Di sini uma berfungsi sebagai rumah tempat
tinggal dan seluruh aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya keluarga. Uma pun
di bangun berdasarkan konsep-konsep budaya guna mengakomodir seluruh
aktivitas baik aktivitas sosial maupun ekomomi.
Berbagai pembahasan telah disajikan oleh para penulis pada volume
16 Nomor 2 Agustus 2011 ini, tentu masih banyak kekurangan dan perlu
dibenahi sebagai penyempumaan sehingga mohon kritik dan sarannya guna
penyempumaan pada penerbitan edisi berikutnya. At_as sumbangsih pemikirannya
kami ucapkan terima kasih.

I
I

セ@
,1

l
.\
I

I

Dewan Redaksi

セゥ@

/1.1\ft::UllU:S/: :JL'I!AKrea-LJf'llf'2MBl/0412011

fiセᄋNO@

@}£

Media lnformasl Sejarah, Sosial dan Budaya

DAFTARISI
Konsepsi Nilai Budaya Bali dalam Sastra Kakawin dan Geguritan
I Nyornan Sukartha ... .. .... ... ... .... ..... .. ........... .. ... . ... ...... ........ ..... ........

161 - 170

Teknik Membedakan Perunggu dan Kuningan Pada Karya Seni
Logam
T]okorda Udiana Nindhia Pemayun Dan
Tjokorda Gde Tirta Nindhia ...............................................................

171 - 176

Uang Kepeng (Pis Bolong) Sebagai Sarana Upakara Bagi Umat
U1nrln

.&..l..IJ.J.UU.

Cokorda Istri Suryawati ..... ... .............. ... ...... ... ... ..... ...... .. ......... ..........

177 - 184

Sistem Pelapisan Sosial dan Assigned Status. pada Masyarakat Desa
··
Tenganan Pegringsingan
I Wayan Rupa .................................................................................... 185 - 196
Upacara Tradisional Taur Agung, Di Pura Tri Kahyangan Desa
Pakraman Bajera
I Wayan Sudarma ... ............ .......... ........... .. ............ ..... .... .... ... ........ ... .. 197 - 208
"Perang Timbung" Tradisi Lokal Masyarakat Sasak Di Desa
Pejanggik, Praya Tengah, Lombok Tengah
Ni Luh Ariani .. .. .. ..... ..... .. .. ................. .. .. ..... .. ...................... ....... .. ... .. . 209 - 218
Sosok Pemimpin Dalam Demokrasi
Ida Bagus Sugianto .. .... .. ......... .... ............... .. ......... ...... .. ..... ... .. .. .. ... .. . 219 - 226
Sumbawa Pada Masa Belanda Sampai Revolusi F isik 1875 - 1950
Ni luh Ariani Dan I Made Sumarja ................................................... 227 - 242

;;;J::·.

Mitos Dan Kesehatan: Memahami·Konsep Sehat Melalui Foklor
Yufiza .................................................................................................

243 - 252

Sekilas Catatan Tentang Sasana Sang Sulinggih Dan Ekajati
A. A. Gde Rai Gria ...........................................................................

253 - 260

Wayang Lemah Bentuk Apresiasi Dan Ekspresi Kesenian Di Bali
I Gusti Ayu Agung Sumarheni .. .... .... ... .. .... .. ...... .. .. .. ..... ... .. ..... .. .. .. ......

261 - 270

Sabung A.yam (Tajen) di Bali: di Antara Ranah Budaya dan Hukum
I Gusti Ke tut Arsana ..... ... ... .... .. ............... ................. ..... .. ....... .. ..... ....

271 - 284

Persoalan Pariwisata Serta Ruang Ekologi dan Budaya Masyarakat
Bali
I Gede Mudana dan Ni Wayan Ardini ........... .......... ........ ......... ...... .. . 285 - 298
Aspek - aspek konflik Adat di desa Pakraman Pengosekan, Desa
Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar
I Gede Suartika .. .. . .. ....... ...... ........ ..... .. .. ......... .. .. .. ........ .. .. .. ... ..... ........ 299 - 316
Ekonomi Uma Dan Pemikiran Lokal Masyarakat Sumba
I Gusti Ayu Armini ............................................................................. 317 - 328
Lembar Abstrak ................................................................................ .

I - IX

lndeks Subjek ..................................................................................... .

XI - XVI

Indeks Penulis..................................................................................... xvii - xvii
Ucapan Terima Kasih .........................................................................

XIX - XIX

;J

•Juu'"'/5 n.yum ! 1u1e"J

ui

vuu .-

u1

.11.mara .ouaaya aan Nutrum (I Cius ti Ketut Gde Arsana)

SABUNG AYAM (TAJEN) DI BALI:
DI ANTARA RANAH BUDAYA DAN HUKUM
I Gusti Ketut Gde Arsana
Universitas Udayana

Naskah diterima, 3 Maret 2011, diterima setelah perbaikan 28 April 2011
disetujui untuk dicetak, 9 Juni 2011

ABSTRAK
Sabung ayam (tajen) di Bali telah lama menjadi persoalan hukwn yang tampaknya
terus berlanjut, sampai sekarang. Hal itu terjadi disebabkan terutama oieh adanya
pengaburan batas-batas antara fungsinya sebagai tabuh rah yang terkait dengan
ritus keagamaan, dan ataupun adat. Pengaburan batas-batas fungsinya seperti
itu mengakibaL1retation of Cultures : ,S_elected nEssays, _l 974. London,
Hutchinson & CO Publisher LTD, Bab l,
2, 3, 7, 13, 14 dan 15; Basic Books Inc,
oleh Francisco Budi Hardiman.
2 Pendekatannya itu dikenal dengan istilah
"thick description" yang meminjam dari

{.I VU.)U

fit::JUJ

VUC::: .J"lfolUflUj

mencoba mendalami pemahamannya
tentang sabung ayam untuk mencapai
pengertian tentang "Orang Bali",
semiotika,
tersebut. Seperti セイ。、ゥウ@
Geetz dalam mengulas tentang
sabung ayam di Bali dengan
membentangkannya ke dalam suatu
"teks", yang demikian mendetail.
Walaupun begitu, di sini hanya akan
ditampilkan beberapa saja isi (content)
teks itu, sesuai dengan kebutuhan
analisis,
selanjutnya,
seperti
diantaranya mengenai : analogi kata
Jago, bentuk pulau Bali, hubungan
intim antara orang Bali dengan ayam
jagonya, serta aspek-aspek hubungan
fungsional antara sabung ayam dengan
karakteristik komunitas orang Bali.
Kata "Jago" menurut Geetz
adalah simbol part excellence yang
biasanya dihubungkan dengan sifatsifat ke_jantanan; dan jika dikaitkan
dengan sabung ayam maka secara
metaforis dipakai untuk mengartikan
: pahlawan, serdadu, pemenang, man
ofparts, calon politis,jejaka, pesolek,
pembunuh perempuan atau orang ォオセエ@
(Geertz, 1992 : 212). Dalam tulisan
lainnya kata "Jago" analog dengan
"orang yang memiliki kekuatan
fisik dan magis dan sering dikaitkan
dengan dunia kriminal (Nordholf,
dalam : Okamoto Masaaki dan Abdur
Rozaki, 2006 : xi). 3
Oleh karena kata "jago" secara
metaforis analog dengan sifat-sifat
kejantanan tersebut maka, berbagai
gゥャ「セイエ@

3

Ryle.
Di desa-desa di Jawa menurut Nordholf
pada masa kolonial Belanda selalu ditemui adanyajago-jago seperti itu; dan apabila tidak memilikinya, terasa ada yang
kurang.

275

Jnana Budaya Volume Keenambetas

peristiwa yang berlangsung di dalam
kehidupan
masyarakat,
seperti
misalnya : perkara pengadilan,
peperangan, kontes politik, sengketa
waris, dan debat-debat lainnya,
seringkali
dihubungkan
dengan
analogi "sambung ayam". Bahkan
menurut Geertz ( 1992 : 212) analogianalogi semacam itu juga sering
dipakai untuk memberi dorongan
keberanian terhadap calon mempelai
yang masih malu-malu manakala
menghadapi pasangannya.
Walaupun Geertz tidak secara
eksplisit menyebut kata (bahasa
Bali), barangkali kata "jago" dalam
sabung ayam yang dimaksudkan
dalam contoh-contoh tersebut di atas
adalah "Mruput ". 4 Artinya, tidak ada
"kata mengalah"/pantang menyerah,
sebelum hal itu diselesaikan dengan
cara-cara kejantanan. Orang Bali
dengan demikian, memiliki sifat-sifat
seperti itu (Pen).
Untuk
memperkuat
interpretasinya, Geertz (1992 : 212)
menghubungkan pula dengan gambar
pet a pulau Bali yang ia lukiskan sebagai
sebuah pulau kecil yang menyerupai
gambar seekor ayamjantan kecil yang
berperangai angkuh, tenang, berleher
panjang, berpunggung rapi, berekor
tegak, yang seolah-olah tidak pernah
gentar menghadapi tantangan yang
datang dari pulau Jawa yang besar
tapi kacau dan tanpa bentuk itu. 5
4 · :· "Mruput" artinya bertarung sampai darah penghabisan di dalam sebuah kurungan/sangkar. ·
·
·
5 Geertz, ketika menganalogikan pulau Bali
bagaikan seekor ayam jantan yang kecil
itu terinspirasi dari legenda yang pemah
·· ditulis sebelumnya oleh C. Hooykas yang
dimuat dalam bukunya : Agama Tirtha

276

l"IUfflUf

.&.I

r" .1.1...f. I

セ@

V.£ ..

ᄋセ@

Ketika Geertz menyaksikan
orang-orang Bali begitu "menikmati"
bagaimana
mereka
memberikan
perhatiannya terhadap ayam-ayam
jagonya. Tiap ia mengunjungi desa
di Bali, ia selalu menemukan para
lelaki sedang duduk-duduk santai di
bangsal-bangsal sambil membawa
ayam-ayam kesayangannya. Sambil
mengelus-elus, memijit-mijit, meniup
mata ayamnya, 6 dan sebagainya;
Geertz membayangkan bahwa orang
Bali itu sudah demikian intimnya
dengan ayam (Geertz, 1992 : 213).
Ayam dan orang Bali, dimata Geertz,
seolah-olah tidak bisa dipisabkan
lagi; ayam (ayam jago) tidak seakan
menjadi ikonik penandaan yang
dianggap dapat menentukan derajat
atau martabat seseorang di masyarakat.
Atau dengan kata lain, melalui ayam,
martabat itu bisa dipertaruhkan, dan
karenanya, sabung ayam adalah sebuah ·
"entitas sosiologis" (Geertz, 1992:
219). Karena pada hakikatnya juga,
pertaruhan (toh) dalam sabung ayam
memiliki arti untuk menampilkan sifat
kedermawanan dalam menyumbang
kepada desa/atau organisasi komunal
lainnya. Realitasnya, penyelenggaraan
sambung
ayarn
seringkali
berkontribusi dan menjadi salah satu
sumber pembiyaan pembangunan
(1964 : 184). Dalam legenda itu diceritakan bahwa pemisahan kedua pulau itu
(Bali dan Jawa) bennula dari adanya ーセイᆳ
bedaan pandangan religius dari seorang
tokoh Jawa dengan penguasa di Bali yang
dilukiskan sebagai penjudi sabung ayam
yang bemafsu untuk menyerang pulau
Jawa.
6
Dalam bahasa Balinya hal itu sering
disebut "Magecel" dan atau "Ma-obongobong".

"'
\,

I
セ@

E
セ@

I
;]

ti

Sabung Ayam (Tajen) di Bali: Di Antara Budaya dan Hukum (!Gusti Ketut Gde Arsana)

·. .c:14)>:
..... . - ···. .

·.·

·.····
••.. ᄋセ@

Mセᄋ@



-.

-··.

セ@

'

c:セ@ .. /• '((,. セD[QZᄋ@ ゥャMGセᄋ@

;; Lセ[サヲ⦅イェゥ@

f.

1t!

.

i

-. ...

__,:

._,, .

.· ·. .• ;,

t\ ᄋセ@ ·. セLᄋ@ セ@ ..セL@ ··
.. (/.:'..'., .[Zセᄋ@
^セᄋ@

- GNセア@

- ᄋZセ@

.

. '-'

-

Lセ@

"j

i

Nセ@

'"}

.

セ@

セM

'!I'

• • • l'.i .

GクZᄋセMN@

ZセN@

.,-/

••

..· "
;t':,"'·

.

ᄋセ@

....

'

·.:·"·. . . セ@

. GMNᄋ[セ@

..

セMGN@

·'

. . ·••
·.
....
·

-· 'I.

berbagai hprastruktur, vang amat
penting artinya di pedesaan (Geertz,
1992 : 220). Berdasarkan studi itu,
Geertz dapat mengerti bagaimana
arti pentingnya sabung ayam dalam
· kehidupan masyarakat Bali. Pajak
dari pungutan sabung ayam terkadang
bisa n1elampaui penghasilan dF:sa da.ri
sumber lainnya. Melalui pungutan
pajak taruhan yang terutama diambil
dari setiap partai (saet) sekitar 45%
dari toh ke tengah. Dapat dibayangkan
berapa jumlah uang yang bisa
terkumpulkan dalam sehari apabila
ayam yang diadu terdiridari puluhan
pasang. Geertz juga membandingkan
dengan pendapatan harian dari
pekerjaan berburuh pada masa itu
yang hanya sekitar 3 ringgit dalam
seharinya (Geertz, 1992: 221-222).
· Ada hal yang juga am at pen ting
selain fungsiflya sebagai sumber dana
pembiayaan · infrastruktur, taruhari
dalam sabung ayam merupakan arena
bagi pertarungan martabat, kehormatan
·dan atau status (Geertz, 1992 : 228).
Geertz dengan mengutip Goffman,

menganalogikan hal itu ibaratkan
"mandi darah status". Dia juga
adalah ungkapan representasi ikatan
komunal, yakni sebagai momen untuk
membela martabat (apakah keluarga,
dan atau komunitasnya). Permainan
pertarungan status semacam itu
biasanya nampak dalam pertandinganpertandingan sepak bola, misalnya.
Dapat
dibayangkan
bagaimana
antosiasnya para pendukung (sporter)
dari
masing-masing
kesebelasan
menunjukkan pembelaannya terhadap
tim yang dijagokannya (Pen).
Sedangkan Geertz (I 992:216220)
melukiskannya
bagai
pertarungan tinju di atas ring.
Sorak gemuruh para pendukungnya,
serta semangat para pelatihnya,
dihubungkannya dengan hal itu dalam
suasana pertarungan ayam jago di
dalam arena yang biasanya di Bali
disebut "kalangan tajen ".
Keterlibatan
seseorang
di
dalam peristiwa sabung ayam di
Bali yang dilukiskan Geertz sebagai
"mandi darah status" atau kalau
diharfiahkan menjadi
"mendarah
daging" yang selanjutnya dipakai
untuk memahami bagaimana orang
Bali membentuk dan menemukan
wataknya dan sekaligus perangai
masyarakatnya, lewat sabung ayam.
Geertz telah dengan tepat melalui
interpretasinya melukiskan secara
metaforis sabung ayam yang telah
begitu melekat dalam tradisi di Bali
dapat dipergunakan untuk ュ・。セゥ@
bagaimana
proses
pembentukan
kepribadian bagi kalangan tertentu di
daerah ini. Dia telah menjadi bagian
dari aspek yang bersifat psikologis
yang dianut oleh orang-orang tertentu

277

Nomor 21Vlll12011

Jnana Budaya Volume Keenambelas

yang sering d isebut "kecanduan",
kegandrungan" atau sebutan lainnya,
seperti "memotoh" (b.b). Sebagai
suatu kegemaran (hobby s), orang yang
disebut "memotoh" (atau Bebotoh,"
untuk sabung ayam), memang sulit
untuk
dipahami,
terlebih-lebih
apabila hat itu dipandang dari sudut
orang lain yang tidak memiliki
kegemaran semacam itu. Hal ini
adalah fenomenologis sifatnya. Ketika
hat itu diperdebatkan, kedua belah
pihak pasti memiliki argumentasinya
masing-rnasing. Di sinilah problem
yang dihadapi,. manakala praktik
sabung a yarn atau praktik judi lainnya
ingin dihapuskan.
Argumen yang cukup beralasan
dan
barangkali
banyak
yang
rnenyetujui; bahwa, sabung ayarn
(tajen) di B.ali adalah hasil dari proses
rekonstruksi yang dianggap sebagai
bagian integral dari ritual agama. Dan
oleh karenanya, menghapuskannya
dibayangkan
sama
dengan
rnelccehkan agarn:i itu. Argumen
sernacam itu hanyalah imajiner
sifatnya clan kemudian dikernbangkan
sebagai sebuah strategi kultural.
Berdasarkan strategi inilah keinginan
untuk menjaga kelestarian budaya
rnenjadi"bias"). 7
Barangkali
tidak
perlu
rnenariknya terlalu jauh semisal ke
dalam tataran kitab suci (seperti
Wedha) ; hanya dengan memeriksa
catatan-catatan dari para ahli saja,
narnpaknya cukup · tersedia alasan
7

Uraian lengkap tentang strategi kultural
semacam itu telah mendapat uraian lengkap dalam buku karya C.A. Van Peursen
: Strategi Kebudayaan, 1988. Penerbit
Kanisius.

278

untuk menyatakan bahwa "tajen" itu
tidak lain adalah hasil rekonstruksi
penafsiran manusia. Dr. R. Goris
misalnya, rnenyebut "tajen" di Bali
itu adalah hasil dari pengembangan
kegiatan ritus pada masa yang lampau
(pra Hindu) yang dinarnakan "sabuhan
ta/uh". 8 Dari studinya di Jawa, Goris
mengemukakan
bahwa,
sabuhan
ta/uh adalah bagian dari suatu ritual
yang biasanya dilaksanakan dalam
mentahbiskan tapal batas wilayahwilayah kerajaan, terutama wilayahwilayah baru yang dikuasai dari hasil
pertempuran. Di bagian lain dari ritual
tersebut juga ditemukan pula ritual
serupa yang disebut "rnbeh rah" dan
atau di Bali disebut "tab uh rah".
eャ・ュセョ@
utama dalam ritual ini adalah
penyemblihan hewan/unggas seperti
: kerbau, kambing, _babi, dan ayam.
Di sini yang dipentingkan terutarna
adalah darah dari binatang-binatang
tersebut (Goris, tt. : 33).
Kemudian, dalarn perkembangan
selanjutnya, di Bali di samping ritual
seperti itu juga rnasih dilakukan
(sabuhan ta/uh dan tabuh rah/
penyamblehan), juga diikuti pula
dengan sabung ayam (tajen) yang
diselenggarakan di luar jeroan pura,
yakni di arena di bagian halaman
depan pura yang disebut "kalangan
tajen ".Berdasarkan hal itu, dengan
mudah rasanya untuk menyatakan
: bukankah "sabuhan ta/uh" dan
"tabuh
rah"/penyemblihan
itu
adalah bagian pelengkap terpenting
dalam ritual keagamaan Hindu. Latu
8

Elemen utama dalam sabukan taluh itu
terdiri dari : telor, kelapa, dan buah kemiri
yang dipertaruhkan secara simbolik melalui "pipis bolong" (uang kepeng).



;::,a/Jung Ayam ( 1a1en) ai l:Jall : u1Amara1:1uaaya aan nuKum (1 l.TUSll Aerur uae Arsana;

kalau demikian halnya, bukankah
akan menjadi bias kalau dilengkapi
(ditambah) lagi dengan tajen. Di
sinilah letak dari problemutiknya,
ketika agama itu yang secara esoterik
memiliki fungsinya sebagai penuntun
moral (dharma), lalu kemudian di
dalam praktiknya secara eksoterik
dipergunakan untuk melegalitaskan
kepentingan-kepentingan berasaskan
nafsu libido yang bertentangan dengan
azas dari ajaran agama itu sendiri.
Apabila hal itu dibiarkan berkembang
menurut Syamsul Arifin, (2005 :
3) mengindikasikan bahwa agama
semakin tidak dapat lagi menjalankan
fungsi
pokoknya
(functional
imperative). Karena fungsi pokoknya
dikorbankan
untuk
kepentingan
institusi sosial lainnya yang memiliki
fungsi pokok yangj auh sangat berbeda.
Dalam keterjebakan seperti itu, agama
semakin tidak lagi menjadi apa yang
disebut sebagai institusionalizing
force yang kemudian secara sistematis
dan sistemik diinterpretasikan dengan
aka! kecerdasan manusia (Veger,
dalam Syamsul Arifin, 2005 : 3).
Melihat perkembangannya seperti
itu, tajen yang seakan-akan mendapat
legitimasi agama atau meminjam
istilah Iim Ammidudin, menjadi
Sacred Canopy (Iim Ammidudin,
2000 : 6), selanjutnya oleh sebagian
masyarakat di Bali memandangnya
sebagai bagian dari tugas suci

( "ngayah").



Realitas menunjukkan misalnya
bagaimana masyarakat di desa Kesiman
pernah memaknai ·tradisi keagamaan
tatkala menjelang penyelenggaraan
upacara local yang cukup terkenal
yakni "Ngrebong". Dalam upacara

itu senantiasa ditemukan adanya
penyelenggaraan tajen yang dianggap
sebagai bagian integral dari upacara
tersebut. Berdasarkanrekonstruksin_ya,
masyarakat
pernah
menganggap
bahwa penyelenggaraan tajen sebagai
rangkaian upacara Ngrebong telah
mentradisi dilakukan selama 3 sampai
6 hari secara berturut-turut. Dalam
upaya untuk mengokohkan pandangan
itu pergelaran tajen terscbut selalu
diawali dengan prosesi keagamaan
yakni dengan menghadirkan pratimapratima (semacam area) di tengahtengah kalangan tajen. Lalu sesudah
ritual itu selesai dilaksanakan barulah
sabung ayam (tajen) itu mulai
digelar selama kurun waktu itu.
Untuk melegitimasi kebenarannya,
penyelenggaraan tajen selama 3 atau
bahkan 6 hari kemudian diidentikan
melalui interpretasi berlandaskan
bilangan biner. Artinya, 3 atau 6
diasoiasikan sama maknanya dengan
telung perahatan (telung saet) ;dan
atau tiga pasang "a.yam adalah sama
dengan 3x2=6. Angka 3 ataupun
angka 6 inilah kemudian memperoleh
pertandaan sacral yang mendasari
keyakinan yang sesungguhnya lebih
personal sifatnya (subyektif) yakni
utamnya bagi kalangan penggemar

(bebotoh).
Sabung Ayam (tajen) di Ranah
Hokum
Pengertian judi dapat disimak
dalam pasal 303 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut:
Dipidana dengan penjara selamalamanya sepuluh tahun atau denda
sebanyak-banyaknya dua puluh lima
juta rupiah barang siapa dengan tidak

279