Interaksi Antar Budaya dalam Ranah Intel

Interaksi Antar Budaya dalam Ranah Intelektual
dan Proyek Kreatif: Refleksi Terhadap Dinamika Budaya Melayu
dalam Menjawab tantangan Globalisasi
Oleh: Dasril Guntara

Kebanggaan pada identitas budaya dalam konteks pergaulan gobal memiliki makna
yang sangat berarti. Istilah kebanggaan biasanya diidentikkan dengan kesombongan, namun
dalam konteks interaksi masyarakat, kebanggaan pada identitas menjadi ukuran kecintaan dan
harga diri sebagai sebuah kelompok masyarakat yang berdaulat. Globalisasi nyatanya telah
membuat pergaulan sosial tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis (borderless). Dengan
kata lain, globalisasi telah menciptakan dimensi pergaulan sosial yang jauh lebih luas,
kompleks dan sangat dinamis. Kondisi ini kemudian memaksa setiap entitas kelompok
masyarakat mengalami proses perubahan sosial yang cepat akibat pertemuan-pertemuan antar
budaya yang berbeda di setiap momentum interaksi sosial.
Sadar atau tidak kita acap kali meligitimasi seseorang atau kelompok dengan
melekatkan budaya sebagai elemen penyebut atas identitas dan perilaku mereka. Itu semua
karena setiap perilaku manusia adalah representasi dari ide, gagasan, serta pengetahuan
tentang suatu realitas yang dikonsepsikan. Menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya mengandung pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat (Michelli, 2007:2-3). Demikian halnya kita menyebut

orang Melayu bagi mereka yang mewujudkan perilaku kehidupannya berdasarkan nilai dan
falsafah budaya Melayu.
Melayu sebagai sebuah entitas budaya tentu tidak lepas dari interaksi dengan entitas
budaya yang lain. Orang Melayu sendiri pun merupakan satu kolompok masyarakat yang
secara sosio-historis telah menjadi bagian dari interaksi antar bangsa selama berabad-abad.
Seiring berjalannya waktu, era globalisasi kian membawa interaksi antar budaya ke dalam
ranah yang lebih rumit, cepat dan kompleks. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
membuat arena interaksi budaya semakin luas dan tidak lagi hanya terpaku pada ruang fisik.
Di satu sisi budaya Melayu sebagai salah satu referensi kelompok etnis di belahan timur
dituntut mampu menunjukkan eksistensinya, khususnya dalam interseksi dengan budaya
Barat.

1

Dinamika Budaya Melayu dalam Interaksi Antar Budaya
Memotret hubungan dinamis antara Melayu sebagai sebuah entitas budaya dengan
budaya lain di arena global tidaklah sesederhana lazimnya melihat proses akulturasi atau
asimilasi antara budaya pendatang dengan budaya lokal. Hal ini dikarenakan, budaya Melayu
merupakan satu referensi kebudayaan yang mendominasi sebagain besar wilayah Asia
Tenggara. Dengan cakupan wilayah kekuasaan yang luas serta populasi masyarakat

pendukung yang banyak, budaya Melayu layak menjadi satu dari wakil budaya timur yang di
segani. Kini dalam sistem geopolitik Internasional berbasis nation-state, masyarakat Melayu
tersebar di tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Sebagai kebudayaan
dominan di kawasan tenggara Asia, tak heran jika budaya Melayu juga memiliki pengaruh
yang kuat dalam menentukan suhu politik dan ekonomi regional.
Interaksi sebagai hubungan dinamis antara elemen (budaya) lazimnya berproses
diantara dua kutub ”ekstrim”, yaitu konflik dan integrasi. Secara teoritis konflik umumnya
melahirkan penolakan sementara integrasi berimplikasi pada penyesuaian meski pada
realitasnya tidak selalu demikian. Oleh karena itu, baik konflik yang dapat melahirkan
penolakan maupun integrasi sebagai sebuah proses sesuai-menyesuaikan tidak selamanya
berjalan secara sempurna. Dalam pertemuan dua budaya yang berbeda tidak semua unsur
budaya yang masuk tertolak secara keseluruhan dan juga tidak dapat terintegrasi secara penuh.
Di antara dua kutub tersebut dapat terjadi proses tarik menarik yang dapat mendorong
terjadinya kompromitas, yaitu adaptasi/akomodasi maupun asimilasi (Akbar, 2010). Sebuah
unsur kebudayaan tertolak dalam sebuah proses interaksi bila terjadi pertentangan yang sangat
menyolok dengan nilai-nilai lokal. Namun, unsur-unsur tersebut dapat saja terakomodasi
apabila unsur-unsur yang bertentangan tersebut dimodifikasi sesuai dengan budaya yang
berlaku, atau unsur-unsur baru tersebut dapat diterima dengan jalan melakukan reinterpretasi
dalam rentang waktu tertentu.
Manusia bagaimanapun juga adalah makhluk sosial yang unik, kompeks, dan

unpredictable. Oleh karena itu, kompromitas sebagai sebuah pilihan kelompok masyarakat
sebagai jawaban atas realitas perubahan sosial adalah suatu yang wajar. Setiap kebudayaan
memiliki kemampuan untuk bertahan dan menyeleksi pengaruh budaya luar yang diwujudkan
dengan penolakan atau mendiamkan, begitu pula kemampuan mengakomodasi serta
kemampuan mengintegrasikan budaya luar kedalam budaya asli. Dengan demikian, pada
konteks Interaksi budaya Melayu (Sebut saja sebagai budaya asli) dengan budaya global atau
budaya barat (budaya luar), rumusan yang tepat untuk menjelaskan proses interaksi yang ada
adalah sebagai berikut;
2

KONFLIK

ADAPTASI/
AKOMODASI

ASIMILASI

INTEGRASI

Proses adaptasi dan asimilasi yang terjadi di antara konflik dan integrasi pada akhirnya

bermuara pada perpaduan antara masing-masing nilai budaya untuk mencapai satu budaya
khas dan bercitra lokal. Perpaduan ini merupakan konsekuensi logis dari proses interaksi.
Dalam dinamika pertemuan antara dua budaya, manusia membentuk, memanfaatkan, dan
mengubah hal-hal yang paling sesuai dengan kebutuhan. Berangkat dari titik inilah kerangka
kebudayaan khususnya dalam proses akulturasi lahir konsep local genius, yaitu kemampuan
menyerap dan mengolah secara aktif pengaruh kebudayaan yang datang sesuai dengan watak
dan kemampuan sendiri (Ayatroehaedi, 1986:18-19), sehingga tercipta modifikasi baru pada
sisi tertentu dari kebudayaan Melayu

Barat dan Timur di Arena Intelektual: Sebuah Refleksi
Dampak globalisasi secara ontologis tidak selalu tertuju pada impliksasi negatif. Hal
ini tergantung bagaimana budaya yang berkontestasi di arena tersebut mendefinisikannya.
Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu implikasi globalisasi ialah
munculnya pola-pola baru dari suatu kebudayaan dalam beragam bentuk dan tatanannya.
Kebudayaan dengan corak baru ini kerap kita sebut sebagai kebudayaan pascaindustri atau
postmodern. Keadaan masyarakat di milenium kelima tersebut memiliki konsekuensi logis
pada situasi yang akan menggiring kita, sebagai “warga dunia”, untuk berpikir, berkeputusan,
hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat. Dari kenyataan itu, tidak bisa dipungkiri
bahwa realita sosial semacam ini sesungguhnya lahir karena transformasi yang signifikan pada
core kebudayaan itu sendiri, yakni pola atau cara berpikir dan cara memandang dunia (Al

Mudra, 2007a dan 2008a).
Sayangnya pada konteks budaya Melayu, implikasi lain munculnya bentuk-bentuk
baru dari peradaban dan kebudayaan postmodern di atas ialah mulai ditinggalkannya produkproduk kebudayaan lokal (seni, bahasa, pola-pola perilaku, maupun benda budaya lainnya)
oleh masyarakat melayu sendiri. Produk-produk nilai maupun material terdarulu dari budaya
Melayu mulai ditinggalkan lantaran dianggap ketinggalan zaman, tidak up to date, kuno, dan
semacamnya. Oleh karenanya, generasi muda masyarakat melayu kini lebih memilih untuk
mengadopsi budaya baru atau budaya kekinian (hybrid culture) yang telah berasimilasi dengan
budaya Barat.

3

Hibridisasi yang terjadi pada masyarakat Melayu sebagai betnuk integrasi terhadap
perubahan sosial, nyatanya mengundang pro dan kontra kehususnya dikalangan cendekiawan,
budayawan, hingga seniman. Sebagian kalangan ada yang menganggap bahwa hibridisasi
adalah bentuk “penjajahan” budaya Barat terhadap kedaulatan budaya-budaya di belahan
Timur. Argumentasi mereka bukanlah tidak beralasan. Kegelisahan mereka tidak hanya
sebatas pada boleh tidaknya diterima dan dipraktikkannya budaya hybrid tersebut, melainkan
terletak pada sikap penafian budaya lama (peninggalan warisan leluhur) oleh generasi masa
kini. Ketika warisan budaya tiada lagi diindahkan, maka yang akan terjadi ialah sebuah krisis
identitas (jatidiri).

Kegelisahan ini merupakan satu isu penting yang harus diperhatikan. Wacana konflik
antara Barat dan Timur memang mengisahkan kisah panjang sejarah perjalanan peradaban. Di
sejarah millenium ke-tiga ini setidaknya telah mencatat sederetan kemenangan Barat atas
Timur, sekaligus pertanda bahwa zaman telah berubah. Dahulu boleh jadi Timur menjadi
adidaya dengan kebudayan Eufrat, Tigris, Babylon, India, China, dan Timur tengah dengan
Islam-nya. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa pendulum waktu terus beputar
menempatkan setiap entitas pada kejayaan di satu masa lalu terpuruk di masa berikutnya.
Realitas dunia senantiasa berputar pada garis logika manusia dalam prosesnya mewujudkan
peradaban yang lebih baik
Setiap masa memiliki kisahnya sendiri, itulah uniknya manusia yang selalu menghiasi
wajah sejarah dunia dengan aneka warna dialektika peradaban. Kredibilitas budaya
dipertaruhkan seperti layaknya kursi kepresidenan yang menjadi aksi berebut antara kubukubu politik yang ingin berkuasa. Siapa yang berhasil menduduki kursi tersebut maka ia yang
layak dan berhak memberi perintah melalui jika mampu dan mau. Dalam putaran sejarah
peradaban, aktor (kelompok) yang telah berhasil menguasai akses kredibilitas global dengan
serta merta ia juga memaksakan prinsip-prinsip maupun nilai-nilai kelompoknya kepada
kelompok lain yang di taklukan. Upaya ini dilakukan dalam rangka mewujudkan kepentingan
sekaligus mempertahankan kekuasaannya selama mungkin.

Interaksi Timur-Barat secara epistimologi
Munculnya cara pandang bahwa kebudayaan Barat adalah superior dan Timur

(khususnya bagi budaya Melayu) adalah inferior, ada baiknya kita melihat Edward Said
(1978), dalam bukunya yang berjudul Orientalism i . Melalui pendekatan relasi kuasa Foucault,
Said dalam karya monumental ini menyoroti ketidak-seimbangan relasi sejarah antara dunia
Islam, Timur Tengah, dan “Timur” di satu sisi, dengan imperialisme Eropa dan Amerika di
4

sisi lain. “Orientalism” menggali pemahaman yang belum diangkat sebelumnya, yakni
penjajahan (imperialisme/kolonialisme) sebagai perilaku kultural dan bahkan epistemologis
(keilmuan) yang menyertai nafsu untuk mendominasi dan menguasai wilayah-wilayah yang
jauh (hegemoni). Orientalisme juga menciptakan streotipe dan ideologi tentang the Orient
yang diidentikan dengan the Other, dari the Occident (Self). Dengan demikian, Timur dan
Barat merupakan hasil konstruksi (representasi) ide atau gagasan berkaitan dengan realitas
sosial budaya. Imaji Barat tentang Timur, kuasa dan pengetahuan saling kait-mengait studi
kaum Orientalis.
Merujuk Hassan Hanafi (2000), istilah Timur (orient) dan ketimuran (orientalism)
memiliki pengertian yang berbeda. Pertama, istilah ‘orientalisme’ sebagai studi wilayah, yaitu
studi tentang bahasa, sastra, antropologi, dan sosiologi mengenai dunia Timur. Saat
kolonialisme tumbuh subur, dunia Timur umumnya berada pada posisi negara yang dijajah,
sedangkan negara seperti Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol, Portugis, dan lain-lain, sebagai
representasi Barat, adalah negara penjajah. Karena itu hampir semua teks-tks sosial-budaya

dan agama mengenai dunia Timur yang dihasilkan ilmuwan pada waktu itu disebut kajian
ketimuran atau Oriental(is). Kedua, mengacu pada model atau gaya berpikir. Yaitu, gaya
berpikir orang Barat dengan gaya berpikir dunia Timur yang berbeda secara ontologis dan
epistemologis.
Perbedaan cara berpikir antara Timur dan Barat dapat ditemukan bukan saja pada masa
kolonialisme, tapi sampai sekarang, bahkan mungkin terus berlangsung dalam sejarah bangsabangsa di dunia. Tulsi B. Saral (2004), misalnya, mengemukakan beberapa kelemahan
komunikasi antarbudaya yang bersifat analitik-reduksionis dan kuantitafif antara lain:
1. Budaya Barat terlalu banyak indra visual dan auditif: ada kemungkinan perbedaan
dalam mengindra stimulasi yang sama dari bangsa yang berbeda;
2. Fokusnya hampir terbatas pada penelitian yang obyektif-empiris, sehingga
menghilangkan cara berpikir mistis.
3. Terlalu bertumpu pada kebenaran obyektif (objective truth), pandangan dunia yang
tunggal serta tidak memahami asumsi-asumsi paradigma yang digunakan.
4. Pandangan dualistik: memilah secara tegas antara tubuh-jiwa, individu-lingkungan,
kesadaran individu-kesadaran kosmis.
5. Kebanyakan penelitian (studi) didasarkan pada model linier yang mekanistik. Model
ini dianggap tidak tepat untuk menjelaskan dan memahami komunikasi antarbudaya
yang holistik.

5


Dari cara pandang superior dan dikotomik di atas, Joe Biden, juga ingin menghadirkan
suasana bahwa dia, anak bangsa Amerika adalah pusat segalanya. Melalui kuasa bahasanya,
Amerika (terutama AS) telah menjadi simbol “kedigdayaan” suatu ruang dan waktu.
“Kedigdayaan” ini tentunya dibangun melalui konstruksi ideologi, terutama melalui
penciptaan opini publik media massa dan teks-teks pelajaran, lengkap dengan simbol-simbol
kemegahannya, seperti infrastruktur/bangunan yang megah, pusat sosial dan kebudayaan dan
peradaban yang “demokratis”, dan sebagainya. Tidak hanya itu, “kedigdayaan” tersebut, yang
kemudian menjadi hegemoni (Bonvillain, 1993).
Sebagaimana dikatakan Henry Levebre, Filsuf Prancis pascamodern, bahwa
hegemoni ii dalam bentuk yang lebih detail lagi, adalah proses penguasaan ruang hidup
(lebensraum) oleh kekuatan dominan, dengan tujuan menciptakan kelanggengan. Hegemoni
dalam ruang ditujukan untuk melanggengkan sistem kekuasaan yang lebih maju dari sekedar
masalah pemerintahan. Hegemoni dalam ruang publik adalah politik penguasaan ruang konkrit
itu sendiri. Ruang hidup tidak mungkin bebas nilai, ia merupakan medan dialog kekuatankekuatan dominan. Di mana penguasaan ruang dilakukan dengan menciptakan tanda-tanda
(simbol) keberhasilan sebuah ideologi dalam wujud bangunan megah, pertanian, dan pabrikpabrik adalah wujud keberhasilan suatu ideologi terhadap ideologi lainnya. Penguasaan ruang
sebagai media dikemudian waktu akan menjadi medan pertarungan penciptaan opini dan
legitimasi publik.
Pandangan ini, tentunya mengacu pada empunya Hegemoni, Antonio Gramsci.
Gramsci memberikan argumentasinya bahwa hegemoni sebenarnya adalah praktik dominasi

kekuatan pemerintah (state) terhadap publik (people/civic) dengan cara “halus”. Dalam praktik
dominasi ini, kelas dominan tidak secara kentara menyusun aturan permainan, memaksa,
mengajak atau mengontrol kelas terdominasi. Demikian pula kelas terdominasi yang tanpa
sadar (unconciusness) dan tanpa paksa (unforceness) mengikuti permainan tadi.
Konflik, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan satu dari
kenyataan globalisasi terhadap budaya Melayu. Konflik antara budaya Barat dengan budaya
Melayu telah menempatkan budaya Melayu kini sebagai satu entitas yang terdominasi oleh
hegemoni dan kedigdayaan budaya Barat. Secara tegas bahkan ada yang mengatakan sebagai
bentuk kekalahan budaya Melayu dalam menghadapi ekspansi budaya Barat di ranah
intelektual. Namun perlu difahami bersama bahwa konflik hanya awal dari sebuah proses.
Baik Barat dan Timur pada prinsipnya akan memasuki tahap adaptasi, hanya saja porsi
adaptasi bagi yang terdominasi lebih besar ketimbang yang mendominasi. Adaptasi ini pun
diikuti dengan Asimilasi sebelum akhirnya ia teringrasi pada perubahan sosial yang ada.
6

Apakah kondisi yang demikian adalah sebuah kekalahan? Nyatanya dalam fenomena
interaksi, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Mendominasi atau terhegemoni hanyalah
sebuah realitas sosial yang terus berputar dalam pendulum sejarah. Bagi sebuah kebudayaan
harusnya hal ini bukanlah sebuah beban yang harus dipusingkan, sebab yang lebih penting
adalah bagaimana bertahan dan menyesuaikan diri dengan segala perubahan lingkungan.

Demikian halnya, seperti yang terjadi dalam budaya Melayu. Tidak semua elemen budaya
mengalami degradasi nilai, justru pergeseran yang terjadi perlu mendapat apresiasi sebagai
bentuk rekonstruksi positif bagi budaya Melayu dalam menjawab perubahan zaman.
Rekonstruksi budaya tidak selamanya mengindikasikan kekalahan akibat hegemoni
budaya lain. Justru sebaliknya, rekonstruksi harusnya dipahami sebagai upaya proyek kreatif
bagi sebuah budaya dalam menjawab tantangan perubahan sosial. Budaya sebagai pandangan
hidup tidaklah statis sebab manusia sebagai subjek yang menentukan warna budaya memiliki
sifat dinamis. Rekontruksi budaya Melayu sebagai jawaban terhadap globalisasi adalah upaya
dialektika internal akan nilai-nilai transendental maupun material budaya untuk di
konseptualisasikan (diterjemahkan) kembali dan disesuaikan dengan logika berfikir
masyarakat global kini. Tentu tidak semua harus di sesuaikan, dan besar kecilnya perubahan
sang-budaya tergantung sejauh apa budaya tersebut mampu berdialog dengan habitus dan
modal dalam ranah interaksi di lingkup internal.

Peran Habitus, Modal dan Ranah dalam Rekonstruksi Budaya Melayu
Kompromitas sebagai pilihan bagi tindakan praktis budaya Melayu menjawab
tantangan global dapat dilihat dari bagaimana unsur-unsur pembentuk tindakan social itu
bekerja. Dalam hal ini budaya Melayu dilihat dari bagiamana masyarakatnya bertindak dilevel
interaksi antar mereka dengan panduan nilai-nilai budaya Melayu maupun dengan masyarakat
lain dimana mereka bertoleransi dengan nilai-nilai di luar budaya melayu. Salah satu logika
yang paling mudah dalam menjelaskan proses ini adalah dengan merujuk pada teori tindakan
sosial yang di kemukakan oleh seorang sosiolog Prancis, Pierre Felix Bordieu.
Menurut Bourdieu (1989:101), praktik sosial tidak dapat begitu saja dijelaskan sebagai
produk dari struktur (global) atau agensi sebagai subjek (budaya Melayu). Penjelasan
relasional yang menunjukkan dinamika hubungan antara agensi dan struktur diperlukan untuk
menemukan hubungan saling mempengaruhi yang tidak linier diantara keduanya dimana
saling saling terkait dan saling mempengaruhi dalam satu proses kompleks untuk
menghasilkan praktik sosial. ‘Praktik’ merupakan hasil dari hubungan agensi dan struktur
yang bersifat non-linear, sebagai sebuah produk relasi antara habitus dan ranah (field).
7

Secara sederhana, habitus diindikasikan sebagai skema-skema yang merupakan
perwakilan konseptual dari objek-objek dalam realitas sosial (Harker, 1990: xviii). Melalui
skema dari struktur kognitif tersebut, agen kemudian merasakan, memahami, menyadari dan
menilai realitas sosial. Dan melalui pola-pola tersebut, agen memproduksi tindakan mereka,
dan juga menilainya (Ritzer, 2004: 522). Habitus inilah yang memberikan pengetahuan dan
pemahaman agen terhadap dunia, yang memberikan kontribusi makna tersendiri pada realitas
dunia itu (Harker, 1990: 14). Perwujudan bahasa, seni, tarian, gurindam, puisi, pantun, serta
seluruh nilai dan

prinsip-prinsip hidup adalah bentuk dari habitus masyarakat Melayu

terhadap budayanya. Mereka menggunakan pengetahuan ini sebagai pedoman berinteraksi
satu sama lain dan terus diwariskan dari generasi ke generasi
Secara dialektis, habitus dari budaya Melayu juga merupakan produk internalisasi dari
struktur dunia sosial dan juga sebagai struktur sosial yang diinternalisasikan dan diwujudkan
dalam realitas sosial. Karenanya, habitus akan muncul berbeda-beda, yang bergantung pada
wujud posisi agen dalam realitas sosialnya masing-masing. Di sini, habitus menghasilkan dan
dihasilkan oleh kehidupan sosial. Pada satu sisi, habitus merupakan struktur yang mencitpakan
struktur kehidupan sosial (structuring structure) (Ritzer, 2004: 522-523). Di sisi lain, habitus
adalah struktur yang diciptakan oleh struktur kehidupan sosial (structured structure). Dalam
definisi lain, habitus adalah dialektika internalisasi dari eksternalitas dan juga eksternalisasi
dari internalitas (Bourdieu, 1977: 72).
Habitus juga dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural, yakni pengaruh historis
yang secara tidak sadar dianggap alamiah. Habitus bukan-lah pengetahuan ataupun ide-ide
bawaan. Habitus muncul melalui proses internalisasi yang sangat halus, sehingga tidak
disadari dan dianggap muncul sebagai hal yang wajar, sehingga seakan-akan sebagai sesuatu
yang alamiah, sesuatu yang sudah ada dari sana-nya (Harker, 1990: xviii). Begitu pun, habitus
berfungsi di bawah tingkat kesadaran dan bahasa, di luar jangkauan pengamatan dan
pengendalian oleh kemauan agen (Bourdieu, 1984: 466). Meski tidak disadari, habitus
mewujudkan eksistensinya sendiri dalam praktik tindakan yang nyata dalam sejumlah
kebiasaan sebagai sebuah struktur tindakan (Ritzer, 2004: 524). Kebiasaan tersebut menjadi
panduan kognitif dan emosional bagi agen untuk menyikapi realitas sosial yang mereka
hadapi.
Sementara itu, Ranah merupakan jaring relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu
tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individual. Ranah bukan ikatan intersubjektif
antar agen, namun semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisiposisi agen dalam struktur sosial yang terbentuk secara spontan, yang terlepas dari kesadaran
8

dan kemauan agen (Ritzer, 2004: 525). Habitus memungkinkan agen hidup dalam realitas
sosial mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar dirinya.
Dalam proses interaksi dengan pihak luar tersebut, terbentuklah ranah (Harker, 1990).
Bourdieu pun juga merujuk ranah pada ranah kekuatan (Harker, 1990: 9-10). Suatu
ranah dimana beragam potensi mampu eksis. Di dalam ranah trersebut berlangsung perjuangan
posisi-posisi dari para agen (Ritzer, 2004: 525). Posisi tersebut ditentukan oleh kepemilikan
modal dari masyarakat Melayu sebagai agen yang berada di dalam ranah tersebut. Ranah juga
didefinisikan sebagai sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat di antara posisi-posisi
sosial yang berkaitan dengan modal. Perjuangan di sini merupakan upaya mentransformasikan
atau mempertahankan kekuatan. Karenanya, ranah di sini memiliki karakter yang sangat
dinamis sebagai efek perjuangan-perjuangan agend (individu) tersebut di dalamnya
Dalam rentang sejarah masyarakat yang kemudian bersepakat terikat dalam habitus keMelayu-an, telah terjadi sekian ribuan atau jutaan proses penyesuaian diantara mereka secara
individu. Semua terjadi dalam perilaku anggota masyarakat (orang Melayu) dalam ranah
interaksi antar mereka dan bahakn kemudian terlambaga secara sah dalam wujud
pemerintahan bersama yang tersistematis dan lebih mengikat kepada anggota-anggotanya
(agen). Secara historis kita ketahui bersama bahwa pada abad k-7 kerajaan Melayu merupakan
benteng kedaulatan Asia tenggara yang yang kokoh dan sangat berpengaruh bagi wilayaheilayah disekitarnya. Pada masa kegemilangannya ranah bagi masyarakat Melayu telah
sedemikian kompleks dengan sistem perundangan, struktur permerintahan, modal ekonomi,
dan angkatan perang yang keseluruhannya adalah wujud habitus

orang Melayu dalam

aktivitas kehidupan sosial.
Seperti yang digambarkan dalam definisi ranah, bahwa pada konteks interaksi antar
budaya disini merupakan sebuah ruang kontestasi dari kebudayaan-kebudayaan yang berada di
dalamnya. Semua bentuk dinamika di dalam ranah tersebut mengidikasikan adanya kontestasi
modal. Karenanya, logika dalam ranah tersebut adalah logika modal (Harker, 1990: 16).
Tetapi, bagi Bourdieu (1986), definisi modal ini sangat luas bukan sekedar modal dalam
definisi material, yang memiliki nilai ekonomis. Namun, modal juga meliputi berbagai atribut
‘yang tak tersentuh’, namun memiliki signifikansi secara kultural, seperti prestise, status, dan
otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik).
Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang
beroperasi di dalam ranah. Modal juga dipandang Bourdieu sebagai basis dominasi, meskipun
tidak selamanya diakui oleh para agen yang berada dalam ranah tersebut (Harker, 1990: 16).
Beragam jenis modal dapat ditukar, dan pertukaran modal yang paling hebat adalah pertukaran
9

pada modal simbolik. Sebab, dalam bentuk inilah bentuk-bentuk modal yang berbeda
dipersepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang legitimit. Agar dapat dipandang sebagai agen
(budaya) yang bersatatus dan memiliki prestise, berarti ia harus diterima sebagai sesuatu yang
legitimit, dan terkadang, sebagai otoritas yang juga legitimit. Posisi semacam ini, membawa
serta ‘kekuasaan untuk memberi nama, kekuasaan untuk mewakili pendapat umum (common
sense), dan yang terpenting, kekuasaan untuk menciptakan ‘versi dunia sosial yang resmi’.

Rekonstruksi hibryd
Secara ringkas, Bordieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial
dengan persamaan:
(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Bordieu, 1984:101)
Rumus ini mengganti setiap relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal.
Pemahaman terhadap rumusan ini kemudian mengantarkan pada penjelasan Bordieu tentang
Doxa. ‘Doxa’ adalah sejenis tatanan sosial dalam diri subjek (budaya melayu) yang stabil dan
terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak
dipertanyakan oleh masyarakat pendukungnya. Dalam praktiknya, Doxa tampil melalui
pengetahuan-pengetahuan yang begitu saja diterima sesuai dengan habitus dan ranah individu
tanpa dipikir atau ditimbang terlebih dahulu. Misalnya seperti tradisi silaturahmi bagi
masyarakat Melayu merupakan suatu praktik sosial yang tidak perlu lagi dipertanyakan
alasannya.
Lebih jauh lagi Bordieu menemukan adanya semacam aturan yang bekerja sebagai
modus dari apa yang ia sebut sebagai kekerasan simbolik (Symbolic Violence). ‘Kekerasan
simbolik’ adalah kekerasan dalam bentuk halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen
sosial tanpa mengundang resistensi, sebaliknya malah mengundang konformitas sebab sudah
mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat halus. Pada konteks ranah interaksi
global, budaya Melayu bukanlah kontestan baru yang tidak tahu apa-apa. Sebaliknya, orang
Melayu telah menjadi bagian dalam “diplomasi budaya” sejak milineum pertama berputar.
Oleh karena itu, pengalaman dan kedewasaan masyarakat Melayu dalam berinteraksi dengan
peradaban dunia menuntun mereka untuk bersikap akomodatif. Dengan local genius yang
mereka miliki, wujud habitus yang telah “usang” direfleksikan kembali, direkonstruksi lalu
diwujudkan kembali sebagai identitas yang telah temodifikasi. Secara sedehana, kita bisa
menyaksikan bagaimana kini generasi masyarakat Melayu kini dengan kreatifitasnya
mengemas bentuk-betuk material budaya dalam kemasan selera konsumsi masayrakat global.
Inilah salah satu bentuk hibridasi budaya yang terjadi pada budaya Melayu.
10

Hibriditas: Kreatifitas Menghadapi Dominasi
Ide tentang ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam globalisasi membawa kita
kepada pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan pertemuan dan
percampuran berbagai kebudayan dan identitas yang berbeda-beda. Inilah yang disebut
hibriditas kebudayaan dan identitas. Batas-batas kebudayaan yang mapan dikaburkan dan
dibuat tidak stabil oleh hibridasi.
Pada tahap ini menjadi penting untuk berbicara tentang kreolisasi. Dalam kreolisasi
elemen-elemen kebudayaan lain diserap, tetapi dipraktekkan dengan tidak mempertimbangkan
makna aslinya. Subkultur rasta di Jamaika memakai rantai di sabuk celana, panjang, menjuntai
ke bawah, menyapu lantai. Mereka memakainya sebagai bentuk solidaritas kepada temantemanya yang dipenjara. Tetapi di Indonesia, rantai semacam itu dipakai untuk pengikat
dompet, selain sebagai asesori fesyen, juga agar tak mudah kecopetan.
Konsep kreolisasi sekaligus memberikan cara berpikir alternatif, yang berbeda dengan
konsep imperialisme kultural (Tomlinson 1991), yang menganggap Barat telah berhasil
melakukan dominasi budaya atas Timur dengan menciptakan “kesadaran palsu” lewat budaya
massa, benda-benda konsumen dll. Karena kenyataannya konsumen tidaklah pasif, melainkan
menciptakan makna-makna baru bagi benda-benda dan simbol-simbol yang mereka konsumsi.
Homi Bhabha (1994) mengajukan konsep mimikri untuk menggambarkan proses
peniruan/peminjaman

berbagai

elemen

kebudayaan.

Menurutnya

mimikri

tidaklah

menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, ketergantungan kulit
berwarna kepada kulit putih, tetapi peniru menikmati/bermain dengan ambivalensi yang
terjadi dalam proses imitasi. Ini terjadi karena mimikri selalu mengindikasikan makna yang
“tidak tepat” dan “salah tempat”, ia imitasi sekaligus subversi. Dengan begitu mimikri bisa
dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen,
melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Inilah dasar sebuah identitas
hibrida.

Merumuskan Jati Diri Ke-Melayu-an yang Elegan: Sebuah Simpulan
Ben Anderson, dalam bukunya Imagined Communities: Reflections on the Origins and
Spread of Nationalism (1983), menyatakan bahwa “bangsa” adalah sebuah “komunitas
imajiner” dan identitas adalah sebuah konstruksi yang diciptakan lewat simbol-simbol dan
ritual-ritual dalam hubungannya dengan kategori administratif dan teritori. Menurutnya,

11

bahasa, kesadaran waktu, dan kesadaran ruang, merupakan konstruksi yang diciptakan lewat
fasilitas-fasilitas komunikasi dalam ranah interaksi.
Kritik yang bisa dikemukan atas pemikiran Anderson ini adalah bahwa ia menganggap
bahasa bersifat statis. Anderson terlalu memkasakan aspek homogen, kesatuan, dan kekuatan
perasaan kebangsaan yang mengatasi perbedaan klas, gender, etnisitas dsb, dan tidak melihat
bahwa perbedaan konteks dan lapangan-lapangan interaksi ternyata menciptakan identitas
yang khusus dan berbeda-beda. Seolah-olah sebuah bangsa hanya hidup dalam kotak (ranah)
budayanya (habitus), padahal setiap bangsa saling terjalin ikatan relasi dalam ranah yang lebih
luas. Dari sinilah kemusian istia ketidak stabilan budaya mengemuka. Ketidakstabilan serperti
yang terjadi pada bahasa, menurut Homi Bhabha (1994), memaksa kita untuk tidak
memikirkan kebudayaan dan identitas sebagai entitas yang bersifat tetap, tetapi selalu berubah.
Pemikiran Anderson jelas tidak memadai untuk melihat konteks kebudayaan dan
identitas terbentuk dan berdinamika dalam globalisasi. Globalisasi menyediakan sebuah
tempat yang lapang bagi konstruksi identitas; pertukaran benda-benda/simbol-simbol dan
pergerakan antartempat yang semakin mudah, yang dikombinasikan dengan perkembangan
teknologi komunikasi, membuat percampuran dan pertemuan kebudayaan juga semakin
mudah.
Dalam globalisasi, kebudayan dan identitas bersifat translokal (Pieterse 1995).
Kebudayaan dan identitas tidak lagi mencukupi jika dipahami dalam term tempat, tetapi akan
lebih baik jika dikonseptualisasikan dalam term perjalanan. Dalam konsep ini tercakup budaya
dan orang yang selalu dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, juga kebudayaan
sebagai sites of criss-crossing travellers (Clifford 1992). Oleh krena itu, globalisasi pada
hakikatnya telah membawa perubahan besar bagi sebuah entitas kebudayaan. Serangkaian
penjabaran dinamika budaya Melayu di atas ingin membwa pada

pemahaman akan

pentingnya upaya-upaya pelestarian tinggalan budaya Melayu di tengah derasnya arus
globalisasi. Penggalian, pendokumentasian dan perawatan, pelestarian, hingga pada akhirnya
penyajian —kalau tidak ingin disebut “penjualan”— kepada dunia merupakan langkah yang
harus ditempuh demi lestarinya budaya Melayu. Namun, sebagai bagian dari ranah interaksi
bduaya global, kebudayaan Melayu tealh mencerminkan sikap akomodatif yang elegan dalam
waktu yang singkat. Hidbridisasi sebagai wujud rekonstuksi identitas ke-melayu-an di ranah
pergaulan internasional menjadi satu keharusan agar Kebudayaan ini tetap menempati
martabatnya sebagai budaya bangsa yang berdaulat.
Hibridisasi budaya merupakan salah satu implikasi logis terhadap perkembangan
budaya Melayu dalam konteks kekinian. Proses ini merupakan sebuah upaya dialektika yang
12

tidak sebentar. Dalam perjalanannya budaya Melayu melalui masyarakat pendukungnya
mencoba menafsirkan kembali niali-nilai falsafah dan norma-norma adiluhung dari budaya
melayu itu sendiri (self reflection). Kemudian dengan seiring jalannya waktu, pergaulan antar
budaya dalam dinamika globalisasi mendorong masyakat Melayu untuk bertoleransi dengan
budaya lain khususnya Barat, untuk diadopsi pada fragmen-fragmen tertentu dalam “tubuh”
budaya Melayu. Alhasil beberapa perwujudan dari bentuk material budaya Melayu kini
terkesan lebih metropolis dan modern (dalam presepektif umum bahwa modern merupakan
representasi budaya barat)
Tradisi atau gagasan pelestarian dan komodifikasi produk-produk budaya yang muncul
dari Barat tampaknya adalah satu hal pelajaran tersendiri bagi eksitensi budaya Melayu ke
depan. Masyarakat melayu sebagai salah satu representasi masyarakat Timur, barangkali kerap
bersikap skeptis terhadap hal ini. Namun, perlu di ingat bahwa tidak semua yang datang dari
Barat itu buruk dan harus dihindari, nyataannya justru mampu mendorong kreatifitas bagi
konsruksi budaya dan membawa keuntungan bagi pelestarian serta pengembangan
kebudayaan Melayu modern. Selain itu dalam ranah intelektual global, budaya yang bekerja
pada basis ide, gagasan, maupun pengetahuan dapat menjadikan ranah interaksi ini sebagai
bentuk perlawanan terhadap dominasi budaya Barat melalui peruwujudan budaya hybrid.

i

Istilah ini dipakai Edward W. Said. Untuk lebih jauh lihat bukunya, Orientalism:Western Representations of the
Orient, London: Routledge and Kegan Paul, 1978.
ii
Istilah hegemoni berasal dari kata Yunani yaitu hegeisthai (to lead atau shidouken). Kata ini banyak dipakai
oleh para ahli sosiologi untuk menggambarkan suatu usaha mempertahankan kekuasaan. Artinya, bagaimana
kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai
moral, politik, dan budaya dari kelompok berkuasa. Tokoh hegemoni yang terkenal adalah Antonio Gramsci
(1891-1937). Analisis hegemoninya merupakan usaha improvisasi terhadap konsep determinasi ekonomi dan
kritik terhadap kaum kapitalis. Meskipun analisis hegemoni Gramsci berkisar pada kekuasaan ekonomi, namun
konsep hegemoni dapat diperluas ke wilayah sosial dan regional

Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2004. Warisan Budaya. Dalam “Jejak Masa Lalu: Sejuta Warisan
Budaya”, Arwan Tuti Artha. Yogyakarta: Kunci Ilmu.
Ayatroehaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local genius). Jakarta:Pustaka Jaya
Akbar, Taufik . 2010. Islam dan budaya lokal. Radar lampung, 22 Mei 2010.
Al Mudra, Mahyudin. 2007a. MelayuOnline.com Sebagai Sara¬na Merekonstruksi Peradaban
Melayu di era Gelom¬bang Ketiga. http://melayuonline.com/article
Anderson, B. 2001. Western Nationalism and Eastern Nationalism. New Left Review 9. hal :
31-42.

13

Anderson, B. 2002. Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang. Terj. Omi
Intan Naomi dari buku Imagined Communities: Reflections on the origin and Spread
of Nationalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajara & Insist Press.
Benedict R O’G Anderson, dalam Komunitas-komunitas Imajiner: Nasionalisme (terj: Omi
Intan Naomi), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction: a Social Critique of the Judgment of Taste, dalam
Jonathan H Turner (1998) The Structure of Sociological Theory. New York:
Wadsworth Publishing Company. h: 515.
Bourdieu, Pierre. 1990. In Other Words: Essays Towards a Reflexive Sociology. California:
Stanford University Press. h: 60-1.
Bourdieu, Pierre. 1990. The Field of Cultural Production of the Economic World, dalam
Richard Harker dkk. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. h: 10.
Friedman, Jonathan. 1994. Cultural Identity and Global Process. London: Sage Publications.
Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture, London and New York: Routledge.
Hasan Hanafi. 2000. “Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat”. Bandung: Penerbit
Paramadina.
Suparlan, Parsudi, 2001b, “Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme”. Harian
Media Indonesia, 10 Desember 2001.
Takwin, Bagus. Proyek Intelektual Pierre Bourdieu, Pengantar dalam Richard Harker dkk.
(1990) An Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory (Edisi
terjemahan). Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. h: xvii.

14