Sabung ayam Tabuh Rah dan Judi Tajen di Bali ( Perspektif hukum islam dan hukum positif)

(1)

Oleh

RAHMATUL HIDAYAT (106045103546)

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

Oleh: Rahmatul Hidayat NIM : 106045103546

Di bawah Bimbingan:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Yunasril Ali, MA Dedy Nursyamsi, SH. M.Hum

NIP 150223823 NIP 196111011993031002

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 M / 1432 H


(3)

(PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam.

Jakarta, 21 Maret 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.

Nip: 195505051982031012

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag. (..…....…….………)

NIP. 197210101997031008

2. Sekretaris : Afwan Faizin,MA (..…....…….………)

NIP: 197210262003121001

3. Pembimbing I : Prof. Dr. H. Yunasril Ali, MA (..…....……….…………) NIP. 150223823

4. Pembimbing II: Dedy Nursyamsyi, SH, M.Hum (..…....……….…………)

NIP. 196111011993031002

5. Penguji I : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag (..…...…….…………) NIP. 150326893

6. Penguji II : Afwan Faizin, MA (..…....…….………) : NIP. 197210262003121001


(4)

i

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN DI BALI (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)” yang merupakan kewajiban bagi Program sarjana (S-1) Program Studi Jinayah Siyasah

Konsentrasi Kepidanaan Islam pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi salah satu persyaratan dan merupakan tugas akhir untuk memperoleh Gelar sarjana (S1).Dalam penulisan Skripsi ini, sudah tentu Penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan Skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asmawi, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Afwan Faizin, MA selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Prof. Dr. Yunasril Ali, MA, selaku dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sekaligus dosen pembimbing I.


(5)

ii

6. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Kepala dan Seluruh Staff/Karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan Skripsi ini.

8. Lebih khusus lagi adalah ucapan terima kasih kepada :

a. Kepada Ayahanda dan Ibunda (Abdurrohim dan Misenik) dan juga Alm. H. Abdul Ghafar dan Almrh. H. Siti Nariyah, yang berkat do’a mereka ananda mendapatkan semangat untuk menyelesaikan Penulisan Skripsi ini.

b. Kepada kakak dan Istri (Holil Ashari dan Fifin Yusfiana), yang selalu memberikan bantuan moril maupun materil sehingga kiranya ananda dapat menyelesaikan masa studi kuliah di UIN Syarih Hidayatullah jakarta serta menyelesaikan penulisan Skripsi ini, walaupun banyak kelakuan buruk yang ananda buat.

c. Kepada seluruh kakak beserta istrinya, yang selalu memberikan dorongan serta semangat kepada ananda untuk menyelesaikan studi ini.

9. Teman-teman PI angkatan 2006 seperti, Mahpudin, Fandi, Safrowi, Faris, Fitrah, Isa Shaleh, Amir Syarifudin, Nuruzzaman, H. Buldan Fahmi, Muchsin, Husen, Eril,

Sumirat, Kholid, U’2, Ibro, P-men, Bonar, Chandra, Rangga, Cucun, Yuswandi, Wismoyo, Nisa, Wahyuni dsb. Kebersamaan dan kesolidan kita bersama perkuliahan dan pergaulan yang terkadang diselingi dengan aktivitas canda tawa memberikan arti pentingnya sebuah persahabatan yang tek terlupakan dan menjadi catatan sejarah bagi kita semua. “Aku mengenal kalian tanpa sengaja mencoba akrab dengan kalian


(6)

iii

masing semoga ikatan ini tidak akan putus dan bangga punya teman seperti kalian”.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang sempat membacanya, serta menambah wawasan keilmuan bagi yang berkepentingan dengan masalah ini. Amin

Jakarta, 08 Maret 2011


(7)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Review Pustaka ... 10

E. Metode Penelitian... 12

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN A. Gambaran Umum Masyarakat Bali ... 15

1. Letak Geografis ... 15

2. Profil Kependudukan ... 16

3. Sistem Kemasyarakatan ... 17

B. Sejarah dan Latar Belakang Tabuh Rah dan Tajen ... 19

C. Cara pelaksanaan ... 30

1. Tabuh Rah ... 30


(8)

v

Masyarakat ... 42 1. Tabuh Rah ... 42 2. Tajen ... 43

BAB III SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen ... 47 B. Dasar Hukum Tentang Larangan Perjudian Sabung Ayam ... 54

BAB IV SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen ... 75 B. Dasar Hukum Tentang Larangan Perjudian Sabung Ayam ... 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 89 B. Saran-saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara kepulauan yang berarti Indonesia terdiri dari pulau-pulau. Hal ini juga memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia itu terdiri dari banyak suku bangsa yang mempunyai bahasa yang berbeda-beda, kebiasaan dan adat-istiadat yang berbeda, kepercayaan yang berbeda, kesenian, ilmu pengetahuan, mata pencaharian dan cara berfikir yang berbeda-beda. Berkat kekuasaan Majapahit dan penjajahan Belanda, Indonesia mulai bersatu untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Indonesia harus mempunyai wilayah, penduduk dan pemerintahan.

Begitu juga terdapat agama yang berkembang dan diakui oleh Negara Indonesia, salah satunya agama Hindu, yang berpusat di Bali. Agama Hindu Dharma disebut juga agama Hindu Bali, karena mengingat lahirnya agama tersebut di Bali dan mayoritas pemeluknya adalah masyarakat Bali. Sebelumnya masyarakat Bali menyebut agamanya adalah agama Tirta, keyakinan ini merupakan hasil pencampuran dari agama Hindu Jawa dengan religi Bali asli. Pada tahun 1958 agama Hindu-Bali diakui oleh Departemen Agama RI. Sesudah Agama Hindu-Bali mendapat tempat di Kementrian Agama dibentuklah suatu Dewan Agama Hindu-Bali, yang sesudah kongres tahun 1959 disebut Parisada Dharma Hindu Bali; kemudian pada tahun 1964 namanya diganti dengan Parisada


(10)

Hindu Dharma hingga sekarang ini, pada tahun 1969 Parisada Hindu Dharma memiliki 11 cabang, yaitu 8 di Bali dan 3 di Jawa. Sesudah G-30-S perkembangannya sangat pesat, terlebih-lebih di Jawa. Demikianlah agama Hindu Dharma lahir dan berkembang sampai sekarang.1

Sedangkan agama sendiri berkaitan dengan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan kehadiran alam semesta. Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam hati sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga telah didirikan di alam tersebut. Bagi orang-orang yang hidup dalam masyarakat macam apa pun konsepsi tentang agama merupakan bagian tak terpisahkan dari pandangan hidup dan sangat diwarnai oleh perasaan mereka yang khas terhadap apa yang dianggap sakral (suci).2 Tiap-tiap manusia yang lahir ke muka bumi membawa suatu akibat dalam jiwanya, yaitu tabiat ingin mengabdi dan menyembah kepada sesuatu yang dianggapnya Maha Kuasa. Dan pembawaan ini memang telah terwujud fitrah3 kejadian manusia, yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dalam diri mereka.

Di dalam masyarakat Bali, sabung ayam memiliki makna religius. Makna religius tersebut adalah sebagai persembahan korban suci yang ditujukan pada

bhuta dan kala, yaitu makhluk-makhluk halus yang jahat dan makhluk-makhluk

1

Parisada Hindu Dharma, Sejarah Agama Hindu Dharna Hindu Bali,

http://faridfann.wordpress.com/2008/05/07/sejarah-agama-hindu-dharma-hindu-bali/.

2

Elizabeth K. Nothinghem, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Cet-

8.(Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h. 3-4.

3

Agus Salim, Perbandingan Agama Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan


(11)

halus perwujudan dewa-dewa yang bersifat merusak. Upacara penyembahan melalui korban suci ini disebut “caru” atau “mecaru”. Upacara mecaru ini biasanya berupa tumpahnya darah yang tercecer di tanah akibat dari sebuah pertarungan atau penyembelihan hewan korban, yang disebut dengan Tabuh Rah

atau Labuh Getih. Salah satu cara agar terjadi tumpahnya darah dengan cara melakukan sabung ayam (Perang Satha).

Untuk memahami agama pada umumnya secara sosiologis, ibadat atau upacara keagamaan barangkali lebih penting. Ritus (ibadat) adalah bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati. Ritus ini tentu saja mencakup semua jenis tingkah laku seperti; memakai pakaian khusus, mengorbankan nyawa dan harta benda, mengucapkan ucapan-ucapan formal tertentu. Dan ritus akan efektif apabila orang-orang berkumpul bersama-sama, karena mereka saling mendorong satu sama lain. Jadi, salah satu fungsi penting ritus adalah keyakinan masyarakat terhadap adanya dunia yang gaib dan memberikan cara-cara pengungkapan emosi keyakinan secara simbolik.

Dalam agama Hindu terdapat banyak upacara yang senantiasa dilakukan oleh masyarakat di sana sebagai penggambaran serta penghambaan kepada Tuhan mereka, yakni Sang Hyang Widhi sehingga akan terjalin sebuah hubungan yang baik antara hamba dan Tuhannya. Segala ritual atau upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat Hindu digunakan sebagai perwujudan tingkah laku


(12)

umat yang dilandasi oleh 3 (tiga) unsur kerangka dasar yaitu; 4 Tatwa (filsafat),

Susila (etika), dan Upacara (ritual). Sehingga jika ketiga kerangka dasar yang di atas telah terpenuhi maka akan tercapainya suatu tujuan (dharma) bagi umatnya, yang disebutkan dalam Wedha, “Mokshartam Jagadhita Ya ca Iti dharma”.5

Acara Tajen di Bali sudah ada sejak jaman Majapahit. Konon, Tajen

sangat lekat dengan tradisi Tabuh Rah, yaitu salah satu upacara dalam masyarakat Hindu Bali. Upacara Tabuh Rah, ini tak ubahnya sebuah upacara persembahan dengan mengorbankan ternak seperti ayam, babi, kerbau, atau hewan peliharaan lain. Persembahan ini dilakukan ada yang dengan cara menyembelih bagian leher hewan tersebut, namun ada juga dengan cara (Perang Satha) yaitu pertarungan ayam dalam rangkaian korban suci yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Masyarakat Bali percaya bahwa perang

Satha merupakan simbol perjuangan hidup. 6

Tradisi Tabuh Rah di Bali sering diselenggarakan dalam rangkaian upacara buthayajna, yaitu upacara suci yang ditujukan untuk menyelaraskan unsur-unsur alam dengan kehidupan manusia. Salah satu upacara buthayajna

adalah acara tawur yang diadakan sehari sebelum Nyepi. Dalam acara ini

4

Parisada Hindu Dharma,

http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/darma070102008.pdf.

5

Suatu cita-cita manusia dalam kehidupan manusia, baik kebahagiaan lahir dan bathin di dunia dan di akhirat, yang berlandaskan dharma. Di mana kebahagiaan lahir akan terwujud dengan terpenuhinya kebutuhan artha dan kama, dan kebahagiaan bathin adalah kedamaian.

6

Matatia.com, Tales from The Road: Tajen sabung Ayam di Bali, http://


(13)

biasanya diadakan pertarungan ayam. Selain itu dalam Prasasti Batur Abang tahun 933 Saka dan Prasasti Batuan tahun 944 Saka juga disebutkan bahwa sabung ayam untuk upacara Tabuh Rah diperbolehkan, namun bukan untuk berjudi.

Dalam perkembangannya, ritual suci Tabuh Rah mengalami pergeseran makna. Seni pertarungan ayam yang seru dan mengasyikkan kemudian sering dijadikan ajang berjudi. Kini, banyak banjar (desa) yang menggelar Tajen yang biasa disebut Tajen terang untuk kepentingan menggalang dana dan dilakukan hanya dua atau tiga hari setelah diadakannya Tabuh Rah. Setiap desa di Bali memiliki tatacara tersendiri untuk mengatur Tajen terang ini, para pecalang pun dilibatkan untuk menjaga keamanan. Dalam tajen terang ini yang diutamakan adalah hiburan, bukan menang atau kalah. Meski demikian, sebelum diadakan acara Tajen terang, desa adat terlebih dahulu juga menyelenggarakan upacara kepada Dewa Tajen agar tidak terjadi perselisihan selama acara berlangsung.

Dan yang lebih ditanyakan lagi dalam masalah sosial dimana perjudian ini adalah tingkah laku penyimpangan (devian behaviour) yang gampang meluas dan menjamurnya dalam masyarakat kita. Maka berlangsunglah apa yang dinamakan devisiasi situasional komulatif yaitu suatu bentuk penyimpangan dari norma-norma sosial atau hukum sebagai produk transportasi psikologis yang dipaksakan oleh situasi dan kondisi lingkungan sosialnya.7

7


(14)

Untuk meregulasi perjudian dan tidak menjadikannya sebagai perbuatan kriminal (dekriminalisasi) di Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan terbesar adalah munculnya resistensi masyarakat karena kondisi social budaya, kepercayaan/agama, dan kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya memahami tentang pluralisme hukum.8

Masalah perjudian umum nya dalam aspek hukum pidana KUHP telah memberikan batasan tentang pengertian perjudian dalam pasal 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi;

“Tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya”.

Meskipun masalah perjudian di Indonesia telah banyak diberantas, namun masalah perjudian ini merupakan masalah sosial. Apalagi dalam masyarakat Bali

Tajen merupakan sebuah pertaruhan nama baik serta kebanggaan bagi sang pemilik ayam aduan tersebut. Apalagi jika ayam aduan miliknya dapat dan mampu mengalahkan ayam aduan milik orang lain atau musuhnya. Dan juga

8

Aziz Syamsuddin, Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian: Menuju Pembangunan


(15)

ayam menjadi bagian yang terpisahkan dari kaum pria dan juga sebagai simbol kemaskulinan mereka.

Namun, jika kita lihat dan kita tinjau asal-muasal terbentuknya tradisi budaya Bali, yakni bertujuan menyuburkan berkembangnya kehidupan beragama. Tanpa disadari amat disayangkan kesadaran masyarakat sekarang jurusannya melenceng dari sasaran semula mengingat dahulu seni budaya semata-mata wujud daya hidup sembah bhakti mereka kehadapan Hyang maha kuasa.9

Untuk itu, berdasarkan pemikiran tersebut penulis tertarik untuk menggali masalah yang berkaitan dengan perjudian sabung ayam yang berkedok budaya. Oleh karena itu skripsi ini penulis tuangkan dalam karya ilmiah yang berjudul

“SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN DI BALI (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)”

B. Pembatasan dan Perumusan masalah

Dalam skripsi ini, penulis ingin mengemukakan suatu fenomena masyarakat yang terjadi di Bali, yang dalam kehidupan beragama sebuah upacara,

Tabuh Rah merupakan sebuah alat untuk mendekatkan kepada tuhannya yakni Sang Hyang Widhi. Akan tetapi, disalahgunakan oleh oknum sebagai perjudian.

Dari uraian di atas kiranya dapat ditemukan suatu permasalahan yang cukup penting untuk dikaji lebih mendalam sehingga dapat ditemukan titik terang

9

I Nyoman Suarka, Ketuhanan Bali (kajian empiris dan Era baru empu Kuturan), (Surabaya:


(16)

mengenai permasalahan yang akan dikaji maka, penulis akan membatasi dalam beberapa hal, yakni sebagai berikut;

1. Sabung ayam yang dimaksud oleh penulis adalah sebuah ritual upacara dalam agama Hindu di Bali yang dinamakan dengan Tabuh Rah yang ditujukan untuk Sang Hyang Widhi sebagai perwujudan sembah bhakti kepadanya, serta dalam pelaksanaannya tanpa ada unsur taruhan.

2. Tajen yang dimaksud penulis adalah menyabungkan ayam yang dilakukan di

luar dari sebuah ritual upacara agama Hindu di Bali dan disertai dengan taruhan.

Dari pembatasan masalah di atas, kemudian penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tradisi dan fungsi sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen

menurut pandangan masyarakat Bali ?

2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen

pada masyarakat Bali?

3. Bagaimana perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Positif terhadap sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(17)

1. Untuk mengetahui bagaimana tradisi dan fungsi sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen menurut pandangan masyarakat Bali.

2. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan sabung ayam Tabuh Rah dan judi

Tajen pada masyarakat Bali.

3. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum Positif terhadap sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen.

4. Untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang budaya Tabuh Rah dan judi

Tajen di Bali

Sedangkan untuk manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang budaya Tabuh Rah dan judi

Tajen di Bali

2. Penelitian ini setidaknya diharapkan bermanfaat menjadi sumbangan ilmiah penulis terhadap masyarakat yang ini mengetahui budaya upacara Tabuh Rah

dan judi Tajen di Bali.

3. Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sabung ayam

Tabuh Rah dan judi Tajen, baik dari segi hukum Islam dan hukum Positif, serta kaitannya dengan legalisasi perjudian berkedok budaya. Sehingga mampu untuk membedakan dan menempatkan mana dengan benar mana yang

Tabuh Rah dan judi Tajen.


(18)

D. Review Pustaka

Penulis menggunakan beberapa literatur yang mempunyai keterkaitan dengan judul ini yang diantaranya adalah:

Pertama karya mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah dan Hukum yang ditulis oleh Rahmat Hidayat yang berjudul “Peranan Kepolisian Resort Purwakarta dalam Penanganan Tindak Pidana Perjudian”, Skripsi, yang didalamnya dijabarkan beberapa tindak pidana perjudian seperti judi Sepak Bola dan Judi sabung Ayam. dalam skripsi ini memiliki kesamaan yakni tentang perjudian sabung ayam yang terjadi di Bali dan Purwakarta.

Kedua karya ilmiah mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah dan Hukum yang ditulis oleh Nasori yang berjudul “Perjudian Pandangan Hukum Islam dan KUHP (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)”, Skripsi, yang di dalamnya dijabarkan mulai dari pengertian, sejarah, macam-macam perjudian serta dampaknya, bagaimana pendapat Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap perjudian serta menganalisis sebuah putusan pengadilan.

Ketiga Aziz Syamsuddin yang berjudul “Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian: Menuju Pembangunan Hukum Masyarakat Adil dan makmur, 2007, Jakarta. Yang secara garis besar dalam buku ini menjelaskan tentang sejarah dan praktik perjudian di dunia, psikologi judi, potret perjudian di Indonesia, kriminalisasi perjudian.

Keempat Kartono Kartini yang berjudul “Patologi Sosial”, Rajawali, 1993, Jakarta, jadi dalam buku ini masalah perjudian merupakan sebuah masalah social


(19)

dimana perjudian adalah suatu tingkah laku penyimpangan (depian behaviour) yang merupakan suatu bentuk penyimpangan dari norma-norma social atau hukum sebagai produk dari transportasi psikologis yang dipaksakan oleh situasi dan kondisi lingkungan sosialnya.

Kelima Ida Pedanda Putra Pidada Kniten dan Pinandita I Nyoman Gunanta “Tinjauan Tabuh Rah dan Judi”, Paramitha 2005, Surabaya, yang membahas tentang bagaimana tabuh rah serta tajen yang memiliki keterkaitan dengan ritual Tabuh Rah pada masyarakat Hindu di Bali.

Keenam Karya Ilmiah (Tesis) Mahasiswa Universita Indonesia yang ditulis oleh Hendrik Andriyanto “Perjudian Sabung Ayam di Bali”, Jakarta, 2003, yang dijelaskan secara detail di dalam masyarakat Bali tentang Tabuh Rah dan

Tajen dan juga adanya pengecukan atau pengambilan duit keamanan pada setiap

acara tajen yang berlangsung baik di pura maupun tempat yang memang sengaja disediakan oleh masyarakat yang senang berjudi.

KetujuhKetut Upedhana, yang berjudul “Fraksi Partai Golkar dukung judi Sabung ayam, Analisis Surat kabar, TEMPO Interaktif, Denpasar, 2005, yang isinya aktivitas sabung ayam (tajen) yang selalu diikuti kegiatan perjudian harus dilihat sebagai warisan budaya, yang erat kaitannya dengan pelaksanaan keagamaan Hindu di Bali.


(20)

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang data-datanya diungkapkan melalui kata-kata, norma atau aturan-aturan, dengan kata lain, penelitian ini memanfaatkan data kualitatif10.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative doktriner, yaitu penelitian yang mengkaji asas-asas dan norma-norma hukum. Penulis mencoba menelaah dan menjelaskan aspek-aspek yang berkenaan dengan permasalahan ini. Dan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni penelitian yang bertujuan menjelaskan satu variable.

Adapun sumber data yang dipergunakan penulis adalah;

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari perundang-undangan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta dalil-dalil yang terdapat pada Al-Qur’an dan al-Hadits, sarta ketentuan-ketentuan Fiqh yang mengatur masalah perjudian.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan dalam mengkaji data primer, yaitu data-data yang diperoleh dari buku-buku yang masih memiliki keterkaitan dengan pokok masalah yang akan diteliti.

10

Lexi J. Moelang, Penelitian Kualitaif, Cet ke- 5. (Bandung: Remaja Kosda Karya, 2005), hal. 6.


(21)

c. Bahan Hukum Tersier, bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti penduduk Bali, pelaku sabung ayam maupun sampel yang diperlukan untuk penunjang kelengkapan data.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Dokumentasi, alat ini dipergunakan untuk melengkapi data yang penulis perlukan, yaitu dengan cara melihat buku-buku yang terkait dengan pokok masalah yang akan diteliti.

3. Teknik Analisis data

Penelitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif, yaitu pendekatan isi (content analisis) yang menekankan pada pengambilan kesimpulan dan analisis yang bersifat deduktif, yaitu penelaran berawal dari hal yang umum untuk menentukan hal yang khusus sehingga mencapai suatu kesimpulan.11

Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan skripsi, cetakan ke-1 yang diterbitkan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari sub-sub Bab sebagai berikut :

11


(22)

Bab I Merupakan Bab pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodelogi Penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Merupakan Tradisi Sabung ayam Tabuh rah dan judi Tajen, yang di dalamnya membahas tentang gambaran umum masyarakat Bali yang meliputi (letak geografis, profil kependudukan, dan sistem kemasyarakatan), sejarah dan latar belakang tradisi Tabuh Rah dan Tajen, cara pelaksanaan, fungsi dilaksanakan, serta implikasinya.

Bab III Merupakan pembahasan sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen

dalam perspektif Hukum Islam yang meliputi bagaimana Tradisi dan fungsi pelaksanaan Tabuh Rah dan judi Tajen, serta dasar hukum tentang larangan perjudian Sabung Ayam.

Bab IV Merupakan pembahasan sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen

dalam perspektif Hukum Positif yang meliputi tentang Tradisi dan fungsi pelaksanaan Tabuh Rah dan judi Tajen, serta dasar hukum tentang larangan perjudian Sabung Ayam.

Bab V Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.


(23)

15

DAN JUDI TAJEN

A. Gambaran Umum Masyarakat Bali 1. Letak Geografis

Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8°3'40" - 8°50'48" Lintang Selatan dan 114°25'53" - 115°42'40" Bujur Timur. Relief dan topografi Pulau Bali di tengah-tengah terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur. Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Batas fisiknya adalah sebagai berikut. Sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Samudra Indonesia, sebelah barat dengan Selat Bali atau Provinsi Jawa Timur, dan sebelah timur dengan Selat Lombok atau Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga merupakan ibukota provinsi. Selain itu, pulau Bali terdiri dari pulau-pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar, dan Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km.


(24)

Tabel Luas Wilayah Tiap Kabupaten di Provinsi Bali1

Kabupaten/Kota Ibukota

Luas (km²)

Persentase (%)

Jembrana Negara 841,80 14,94

Tabanan Tabanan 839,30 14,90

Badung Badung 420,09 7,43

Denpasar Denpasar 123,98 2,20

Gianyar Gianyar 368,00 6,53

Klungkung Semarapura 315,00 5,59

Bangli Bangli 520,81 9,25

Karangasem Amlapura 839,54 14,90

Buleleng Singaraja 1.365,88 24,25

Jumlah 5.634,40 100,00

Sumber: Master Plan Penunjang Investasi Provinsi Bali Tahun 2006-2010

2. Profil Kependudukan

Wilayah Bali secara umum beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin musim. Terdapat musim kemarau dan musim hujan yang diselingi oleh musim pancaroba, dengan curah hujan berkisar antara 0,0 – 425,4 milimeter. Rata-rata

1

Departemen Kebudayaan Provinsi Bali, Geografis, dematografi dan sistem kemasyarakatn

Hindu Bali, http://www.baliprov.go.id/index.php?page=geo_grafi (Artikel ini diakses pada 11 Agustus 2010).


(25)

suhu maksimum antara 29,8 – 33,4 derajat Celcius dan rata-rata suhu minimum antara 21,9 – 32,5 derajat Celcius. Temperatur tertinggi terjadi sekitar November dan terendah sekitar Juli dan kelembaban udara antara 73,3 hingga 82,1 %. Penduduk Bali sebagaian besar memeluk agama Hindu. Khusus untuk Kota Denpasar persentase pemeluk Agama Hindu 67,94 %, Islam 23,03 %, Kristen 2,24 %, Protestan dan 4,87 Budha 1,91 %. Sejalan dengan mayoritas penduduk yang beragama Hindu, demikian halnya ketersediaan fasilitas peribadatan didominasi oleh Pura, dengan jumlah keseluruhan mencapai 457 buah Pura. Dari sejumlah tersebut 105 buah diantaranya merupakan Kahyangan Tiga , 3 buah merupakan Sad Dang Kahyangan fasilitas peribadatan lainnya berupa Mesjid 28 buah, Langgar 0 buah, Musholla 77 buah serta Gereja 73 buah. Vihara dan Kelenteng juga 9 buah.2

3. Sistem Kemasyarakatan

Masyarakat Bali menganut sistem sosial yang mengikat yang terdiri atas empat sistem sosial, yaitu sistem klan (dadia), sistem tingkatan (kasta), sistem kemasyarakatan (banjar), dan sistem kelompok dalam minat dan pekerjaan

(seka). Sistem dadia meliputi gabungan keluarga besar dari leluhur yang sama. Dalam hubungan ini, anggota keluarga secara berkala bertemu bersama pada suatu tempat untuk menyembah tuhan, di tempat sembahyangan di rumah

2

Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Denpasar, Kondisi Sosial Budaya Bali,


(26)

(sanggah/pamarajan) untuk keluarga dekat atau di pura untuk keluarga besar

(pura dadia atau paibon/pamarajan agung).

Pembagian kasta, asalnya dari Hindu didasarkan atas fungsinya di masayarakat, yakni Brahmana merupakan kasta tertinggi (meliputi Pedanda) bertanggung jawab atas upacara agama. Ksatriya (meliputi raja, pejabat dan keluraganya, termasuk pemimpin irigasi atau kepala desa). Vaisya terlibat dalam wirausaha dan kegiatan kesejahteraan masyarakat, dan Sudra adalah para petani dan yang melaksanakan tugas (buruh) bagi kasta lainnya.

Sistem sosial yang ketiga yang mengikat orang Bali adalah sistem banjar. Banjar sering dibedakan menjadi dua jenis yakni banjar adat dan banjar dinas. Banjar adat sering disebut banjar patus (mempunyai tugas dan kewajiban khusus dalam kaitannya dengan upacara agama Hindu) atau banjar suka-duka, sedangkan banjar dinas merupakan perpanjangan tangan dari organisasi pemerintahan negara di bawa desa dinas. Banjar adat merupakan organisasi di bawah pemerintahan desa adat yang kini berdasarkan Peraturan Daerah Bali (Perda) No.3 Tahun 2001 pasal 1 ayat 4, disebut dengan desa pakraman, yakni batasannya disebutkan sebagai berikut.

“Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali, yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyrakat umat Hindu secara turun-temurun, dalam ikatan kahyangan tiga, kahyanga desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.


(27)

Tiap-tiap masyarakat terbentuk oleh banyak kelompok, setiap kelompok terdiri atas individu-individu yang datang bersama-sama untuk kegiatan kerja sama dengan minat khusus. Kelompok ini disebut seka. Nama seka sesuai dengan kegiatan khususnya. Ada kelompok kerja, seperti: seka manyi untuk menanam padi, seka semal untuk menghalau tupai yang merusak buah kelapa, seka membeg

untuk mengolah tanah, di samping ada kelompok yang berminat pada seni, misalnya seka gong gamelan, seka drama, seka barong yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan tarian barong, seka kecak (kelompok penari kecak), malah ada kelompok peminum tuak atau seka tuak. Para pemuda, misalnya remaja yang belum menikah, juga merupakan anggota masyarakat khusus yang disebut seka taruna-taruni. Persamaan dan kerja sama anggota merupakan peraturan pertama kelompok itu.

B. Sejarah dan Latar Belakang Tradisi Tabuh Rah dan Tajen

Sebelum kedatangan Agama Hindu di Nusantara3, masyarakat masih memeluk keyakinan primitif, yaitu Animisme dan Dinamisme. Pengaruh agama Hindu yang paling besar terdapat di pulau Jawa, khususnya diantara suku Jawa. Agama Hindu masuk di Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Namun dibeberapa daerah ditemukan adanya bukti-bukti sejarah seperti patung, candi, prasasti dan yang lainnya.

3

Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Sejarah Perkembangan Hindu Agama Hindu,

http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=506&Itemid=29&limit=1&li mitstart=2 (Artikel di akses pada 13 Juni 2010).


(28)

Prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-5 SM hingga abad ke-7 M, terdapat di kutai (Kalimantan Timur) dan Jawa Barat, dari prasasti-prasasti tersebut, kita dapat mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja yang memiliki nama yang berasal dari India. Seperti Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di Jawa Barat. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa raja-raja itu adalah orang India. Mungkin mereka orang Indonesia asli, yang sudah memeluk agama yang datang dari India. Sumber-sumber pengetahuan kita tentang agama Hindu agak terbatas dibandingkan dengan sumber-sumber agama Budha.

Maka dari sini untuk memudahkan para pembaca kami bagi menjadi 3 periode tentang sejarah Hindu yang ada di Jawa Timur :

1. Zaman Mpu Sendok hingga akhir pemerintahan Erlangga (1929-1092 M). Pada zaman ini agama yang berkembang adalah agama Siwa dan agama Buddha, kedua agama ini sebelumnya sudah berkembang di Jawa Tengah, yaitu pertumbuhan agama Siwa dan agama Budha menjadi satu, kemudian menjadi nyata di Jawa Timur, dengan adanya keyakinan yang dipadukan antara agama Siwa dengan agama Budha, serta menyebutnya Siwa-Buddha, bukan lagi Siwa dan Budha, melainkan Siwa-Budha menjadi satu Tuhan. Pada masa ini juga telah didapati kepustakaan terkuno yang terdiri dari ayat-ayat dalam sansekerta, yang diikuti oleh keterangan bebas didalam bahasa Jawa kuno. Hal ini menunjukkan bahwa ayat-ayat itu berasal dari India.


(29)

2. Zaman kerajaan Kediri dan Singosari (1042-1292 M)

Agama yang berkembang Pada zaman ini adalah agama Wisnu, para raja dianggap sebagai titisan Wisnu. Pada zaman ini kepustakaan Jawa Kuno yang tidak bersifat keagamaan secara khas sangat berkembang sekali. Ada banyak syair kepahlawanan yaitu kepustakaan kakawin.

3. Zaman kerajaan Majapahit (1293-1528 M)

Pada zaman ini agama yang berkembang adalah sinkretisme dari tiga agama, yaitu agama Siwa, Wisnu dan Budha Mahayana. Segala macam upacara keagamaan dalam tiga agama tersebut bisa berjalan secara berdampingan, hal ini menandakan bahwa proses sinkretisme yang menjadikan agama Hindu dan Budha yang dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam yang ditampakkan oleh satu kebenaran. Proses sinkretisme ini sudah dimulai pada zaman Jawa Tengah, serta dikembangkan pada zaman Empu Sendok, Kediri dan Singosari, kemudian mencapai puncaknya pada zaman Majapahit. Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan di Bali di mulai dengan kedatangan orang-orang Majapahit di Bali. Menurut orang-orang Bali zaman–zaman terdahulu dianggap atau dipandang sebagai zaman yang gelap dan dikuasai oleh roh-roh jahat, serta makhluk-makhluk yang ghaib.

Berbagai upacara keagamaan hampir setiap hari dapat disaksikan di pulau Bali. Umat Hindu selalu melakukan upacara pancayajna, yakni lima macam upacara yang masing-masing disebut (1) devayajna ditujukan kepada Tuhan Yang


(30)

Maha Esa, para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha esa, dan roh suci para leluhur yang dipuja melalui pura atau tempat yang dipandang suci lainnya; (2)

pitrayajna ditujukan kepada para leluhur sejak yang bersangkutan meninggal sampai rohnya disucikan dan di-shata-kan pada pura keluarga; (3) rsiyajna

ditujukan kepada para rsi atau pandita sejak upacara inisiasi sampai yang bersangkutan meninggal dunia; (4) manusayajna ditujukan kepada manusia sejak bayi dalam kandungan sampai upacara penyucian diri (pawintenan); dan (5)

bhutayajna ditujukan kepada makhluk rendahan dan kekuatan-kekuatan negatif.

Bhutayajna juga disebut sebagai upacara penyucian alam semesta dari gangguan kekuatan bhutakala, yakni roh-roh jahat yang menimbulkan masalah bagi umat manusia, baik dalam skala besar maupun kecil.4

Kata “Tabuh Rah” adalah suatu kata majemuk yang terdiri dari kata tabuh dan rah. Kata tabuh sama dengan kata tabur, tawur atau kata taur yang berarti bayar. Sedangkan kata rah, berasal dari kata darah. Jadi dari uraian di atas, maka kata tabuh rah berarti tawur darah, yaitu pembayaran dengan darah.

Tradisi adalah merupakan faktor penting dalam tata cara pergaulan hidup di masyarakat dan lebih-lebih di dalam hubungannya dengan tata cara pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Peranan tradisi demikian kuatnya di dalam kehidupan agama Hindu di Bali, sehingga dengan demikian setiap individu yang taat beragama merasakan pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang

4

I Made Titib, Persepsi Umat Hindu Di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Moksa Dalam


(31)

mereka warisi dari leluhurnya. Demikian pula halnya Tabuh Rah di Bali yang sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun dimasyarakat dari sejak dahulu hingga kini, di samping juga secara filosofis mengadung arti yang penting bagi upacara-upacara di dalam agama Hindu.

Namun, dari beberapa istilah mengenai Tabuh Rah yang biasa dilakukan di Bali. Sampai saat kini belum ada kesamaan pendapat atau pengertian mengenai

Tabuh Rah itu. Ketidaksamaan itu juga didapati pada beberapa prasasti dan lontar-lontar, yang ditemukan di Bali.5

1. Di dalam prasasti Bali kuno dan terutama pada prasasti Sukawan A.I. yangberangka tahun 804 Saka (882 A.D), ada terdapat kata : “Blindarah”, Dr. R.Goris mengartikan kata blindarahitu sebagai “blodoffer voor velerlei godsd

verrichtingen yaitu: korban darah untuk berbagai tindakan keagamaan.

2. Di dalam prasasti Batur Abang A. Yang berangka tahun 933 Saka (1011 A. D) disebutkan sebagai berikut:

“... mwang yan pakaryyakarya, msanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan, i thaniya, yan pamwita, tan pawwata ring nayaka saksi...”

Artinya “... lagi pula bila mengadakan upacara-upacara tawur kesanga, patutlah mengadakan sabungan ayam tiga ronde (leban) di desanya, tidaklah minta izin, tidaklah membawa (memberitahukan) kepada pemerintah...”.

5

Tabuh Rah, keputusan seminar tafsir agama Hindu ke III tahun 1976, (Diterbitkan Oleh


(32)

3. Di dalam prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Saka (1022 A.D.), ada kalimat sebagi berikut:

“... kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlun parahatan, tan pamwita ring nyaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli...”

Artinya “... adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan tiga ronde (leban) tidak meminta izin kepada pemerintah dan juga kepada pengawas sabungan, tidak dikenakan pajak...”.

4. Di dalam lontar Ciwatatwapurana, disebutkan sebagai berikut:

“mwah ri tileming ke sanga, hulun megawe yoga, teka wnang wang ing madyapada megae taur kasowangan, denhana pranging satha, wnang nyepi sadina ika labain sang kala daca bhumi, yanora samangkana rug ikang wanging madyapada...”

Artinya “lagi pada tilem kesanga aku (dewa Siwa) mengadakan yoga, berkewajibanlah orang bumi ini membuat persembahan masing-masing, lalu adakan pertarungan ayam, dan Nyepi sehari, (ketika) itu beri hidangan sang kala dacabhumi, jika tidak rusaklah manusia di bumi...”.

5. Di dalam lontar Sandharigama, disebutkan bahwa di dalam rangkaian melakukan tawur atau bhutayajna disertai dengan “tetabuhan”.

Dari beberapa kutipan tersebut di atas, jelaslah adanya perbedaan istilah yang dipergunakan di dalam korban darah yang berhubungan dengan upacara keagamaan. Diantara istilah-istilah itu maka istilah blindarah ada persesuaiannya dengan makna pembayaran dengan darah atau penebusan dengan darah.


(33)

Sedangkan istilah perang Satha dan Manawung sudah mengandung kekaburan mengenai makna Tabuh Rah. Kekaburannya disebabkan karena bukan dititik beratkan kepada korban darah, melainkan ditekankan kepada pertarungan ayam, sehingga dengan demikian sering timbul anggapan bahwa Tabuh Rah itu adalah sabungan ayam.

Jika kita perhatikan dengan seksama seluruh kegiatan keupacaraan yang dilakukan umat Hindu di Bali, ada sesuatu yang dipahami, yang sangat dihormati, yang diperlakukan sebagai tamu agung, yang dipandang maha suci, yakni Sang Hyang Widhi wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai penguasa alam semesta beserta seluruh isinya, yang dimohon hadir untuk menganugerahkan kasih sayang, perlindungan, keselamatan, kesejahteraan hidup lahir serta bathin. Begitu juga pada pelaksanaan Tabuh Rah sendiri.

Tradisi adalah merupakan faktor penting dalam tata cara pergaulan hidup di masyarakat dan lebih-lebih didalam hubungannya dengan tata cara pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Peranan tradisi demikian kuatnya di dalam kehidupan agama Hindu di Bali, sehingga dengan demikian setiap individu yang taat beragama merasakan pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang mereka warisi dari leluhurnya.

Pelaksanaan agama dipandang kurang mantap dan dirasakan seolah-olah tidak akan mendatangkan suatu pahala yang baik, jika dilakukan tidak mengikuti cara yang tradisional di masyarakat. Tetapi hal yang demikian itu tidak lah berarti umat Hindu di Bali mempertahankan tradisinya secara konservatif melainkan


(34)

menempuh kehidupan yang fleksibel, elastis yang demikian itulah dijumpai pada umat Hindu di Bali yang mempunyai pandangan, bahwa apa yang diwarisi dari leluhurnya merupakan suatu pusaka suci, baik warisan itu berupa benda atau berupa pandangan hidup. Disebabkan oleh adanya rasa bhakti dan hormat terhadap leluhur inilah mengapa tradisi dapat dipelihara dengan baik oleh generasi-generasi berikutnya.

Demikian pula halnya Tabuh Rah di Bali yang sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun di masyarakat dari sejak dahulu hingga kini, disamping juga secara filosofis mengandung arti yang penting bagi upacara-upacara di dalam agama Hindu.

Tentang munculnya Tabuh Rah dalam hubungannya dengan upacara

bhutayajna di Bali, rupa-rupanya berpangkal pada bentuk upacara berkorban sejak zaman purba. Kadang-kadang berkurban itu ada hubungannya dengan kaul dan berhubungan dengan keharmonisan antar bhuanagung dan bhuanaalit dimana hal ini terdapat adanya hubungan yang erat antara para roh leluhur dengan dunia gaib.6

Dalam agama Hindu mitos memiliki peranan yang penting. Karena dalam mitos tersebut diyakini, diikuti, dan bahkan menjadi pedoman serta berguna meskipun tidak rasional bagi kita. Begitu juga dengan masalah Tabuh Rah sendiri. Banyaknya cerita yang menggambarkan ritual tersebut yang harus dilaksanakan

6

Utarayana, Pengayam-ayaman, (Denpasar-Bali, Percetakan Offset dan Toko Buku RIA,


(35)

oleh umat agama Hindu berdasarkan lontar-lontar. Meskipun banyak yang belum atau tidak dapat dijelaskan dengan akal (rasio). Dan hingga sekarang sebagian masyarakat Bali (umat Hindunya) masih memahami serta menghayatai mythology, yang ternyata masih besar faedahnya itu.

Tabuh Rah biasanya dilaksanakan dalam beberapa cara dan selalu berhubungan dengan bhutayajna atau lazim di Bali disebut dengan mecaru

(membuat upacara korban). Bhutayajna itu sering dilakukan dengan mecaru

karena makna dari bhutayajna itu adalah mengharmoniskan hubungan unsur-unsur Panca Mahabhuta di bhuanaagung dan bhuanaalit.

Berkorban atau bersaji adalah suatu usaha untuk berhubungan dengan dunia gaib dalam artian memberi barang sesuatu kepada dunia gaib dengan pengaharapan untuk mendapatkan penggantiannya. Hal ini sering terlihat dengan jelas pada beberapa agama di Indonesia sekarang dan dapat dibandingkan dengan adanya janji atau kaul pada kepercayaan sekarang, bahwa akan mengadakan keselamatan sesudah maksud tercapai. Selain itu juga ada juga korban yang berupa makanan-makanan yang juga oleh manusia dipandang lezat, sehingga di dalam pikiran manusia ada anggapan bahwa apa yang dipandang oleh enak dirinya, juga akan digemari oleh dunia gaib atau roh-roh. Makan bersama-sama dengan para roh-roh leluhur atau dunia gaib adalah untuk mengeratkan hubungan manusia dengan dunia gaib atau roh-roh.

Tabuh Rah pada mulanya mempergunakan darah manusia, darah manusia


(36)

yang dianggap sebagai roh, selain bermaksud penebusan dosa manusia, namun juga dianggap sebagai sarana demi eratnya hubungan manusia dengan dunia gaib atau roh-roh itu. Di samping dijadikan korban seperti itu darah manusia juga dimakan bersama-sama sebagai pernyataan tanda bergembira, demi eratnya persahabatan antara sesamanya dan pula merupakan tanda turut berduka cita sebagai pernyataan solider terhadap sesamanya yang ditimpa mala petaka.

Lalu penggunaan korban manusia diganti dengan darah binatang karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perikemanusiaan. Binatang korban itu yang dipakai pengganti korban manusia adalah binatang peliharaan yang dianggap sebagai anggota dari masyarakat, sehingga dengan demikian yang dipakai korban adalah darah salah satu dari anggota masyarakat juga. Sehingga di dalam setiap jenis korban di Bali dipakailah ayam sebagai binatang korban pokok, sedangkan binatang-binatang korban lainnya adalah merupakan perubahan menurut besar kecilnya tingkatan korban itu.

Darah pada banyak bangsa-bangsa dianggap suatu zat yang mengandung kekuatan magis. Pada beberapa suku Dayak, tiang-tiang rumah yang baru didirikan, dipoles dengan darah untuk memberikan kekuatan secara spiritual kepada rumah itu. Hal itu dapat dibandingkan dengan di Bali, bilamana orang mendirikan rumah baru, maka pada saat upacara peresmiannya (melaspas), tiang-tiang (pilar) dari bangunan itu dipoles dengan darah ayam hitam, yang disebut

pengurip-urip, guna memberikan kekuatan spiritual dalam artian suasana baik kepada bangunan itu. Dengan anggapan bahwa darah itu mengandung kekuatan


(37)

magis, sakti, paralel dengan kepercayaan bangsa purba mengenai adanya kekuatan sakti di dalam segala hal yang luar biasa yang disebut dinamisme, maka dari itulah manusia purba menggunakan darah sebagai sarana yang paling urgen di dalam berkorban. Selanjutnya di dalam filsafat Hindu yang berkembang lebih demikian, maka anggapan seperti itu lalu menjadi suatu faham yang mengandung perlu adanya sarana-sarana untuk memelihara keseimbangan antara bhuana agung dan bhuana alit.

Acara Tajen di Bali sudah ada sejak jaman Majapahit. Konon, Tajen

sangat lekat dengan tradisi Tabuh Rah, yaitu salah satu upacara dalam masyarakat Hindu Bali. Upacara Tabuh Rah, ini tak ubahnya sebuah upacara persembahan dengan mengorbankan ternak seperti ayam, babi, kerbau, atau hewan peliharaan lain. Persembahan ini dilakukan ada yang dengan cara menyembelih bagian leher hewan tersebut, namun ada juga dengan cara (Perang Satha) yaitu pertarungan ayam dalam rangkaian korban suci yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Masyarakat Bali percaya bahwa perang sata merupakan simbol perjuangan hidup. 7

Kemudian setelah masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia yang selanjutnya berkembang dan akulturasi dengan kebudayaan asli Indonesia, bentuk dari pada korban darah itu berbeda-beda dilakukan dibeberapa daerah di Indonesia khususnya di Bali korban darah itu telah banyak mengalami

7 Matatia.com, Tales from The Road: Tajen sabung Ayam di Bali,


(38)

bentuk perkembangan disertai variasi-variasi, sehingga hal itu disebutlah dengan berbagai istilah yang berlain-lainan seperti yang diuraikan dibeberapa prasasti dan lontar-lontar.8

Kendatipun demikian, namun prinsip yang dikandungnya tidaklah jauh menyimpang dari pada prinsipnya yang semula perubahan bentuk, dan istilah korban darah itu adalah logis terjadi sebagai akibat adanya perkembangan kebudayaan Indonesia dan meningkatnya kemampuan daya pikir bangsa Indonesia di dalam menganalisa suatu persoalan.

C. Cara Pelaksanaan 1. Tabuh Rah

Tabuh Rah pada mulanya mempergunakan darah manusia lalu diganti

dengan darah binatang. Binatang yang dijadikan korban adalah jenis binatang yang erat hubungannya dengan kehidupan manusia, yaitu: ayam, itik, angsa, babi dll. Oleh sebab itu maka binatang dijadikan korban, karena binatang adalah sebagai wakil dari anggota kelompok manusia. Maka dalam setiap jenis caru di dipilah ayam sebagai saran yang terutama di dalam caru. Dalam lontar Kandhapat yang dihubungkan dengan mantra-mantar tentang caru, maka terdapat kesesuaian. Karena, ayam memiliki bermacam-macam warna, baik memiliki satu warna dan juga ada yang berwarna campuran. Begitu juga

8

Tabuh Rah, keputusan seminar tafsir agama Hindu ke III tahun 1976, (Diterbitkan Oleh


(39)

dengan bhuta yang memiliki warna yang dapat disimbolkan dengan warna ayam yang bermacam-macam yang juga dapat mencapai keharmonisan, karena memiliki persesuaian warna dengan bhuta itu, misal: bhuta putih diberi caru ayam putih, bhuta abang diberi caru ayam biying, bhuta hitam diberi caru ayam brumbun.

Pelaksanaan upacara Tabuh Rah memerlukan waktu (dewasa). Yang umumnya dilaksanakan oleh masyarakat Bali yaitu pada pukul 12 siang pada saat hari tilem (bulan tidak kelihatan sama sekali) atau bisa juga pada saat sore hari pada pukul 5 sore. Prosesi Tabuh Rah adalah prosesi yang sakral, prosesi yang suci. Ada tata cara keagamaan dan larangan-larangan atau persyaratan-persyaratan di dalamnya. Salah satu persyaratan-persyaratan adalah harus ada ayam yang kalah dan menang, karena kalau dari hasil pertarungan ayam hasilnya seri maka pertarungan tersebut akan diulang dan pendeta akan menaburkan arak dilokasi hingga dalam pertarungan berikutnya tidak ada hasil yang seri lagi.

Dalam penaburah darah ada beberapa macam dan disertai variasi tertentu yakni sebagai berikut:

a. Daerah Buleleng bagian barat yaitu daerah Ngenjung, pada waktu mengadakan yajna besar (karya agung), binatang yang dijadikan caru terlebih dahulu dikelilingkan tiga kali ditempat upacara (mapadhapa) dan pada tiap penjuru tempat upacara (pura), binatang korban itu ditombak-tombak sehingga darahnya berceceran ditempat upacara. Menurut istilah disana disebut mabayang-bayang


(40)

b. Di Pura Penatran Agung di desa Pangotan Daerah Tk. II Bangli, tiap-tiap lima tahun sekali yaitu hari purnama kedasa, orang desa disana mengadakan karya

Ngasaba setelah bhatara-bhatara dalam wujud pratima-pratima atau arca-arca dikelilingkan berjajar di balai panjang dijaba tengah, lalu seekor kerbau hitam yang akan dijadikan korban atau caru diikatkan pada pohon yang ada di depan balai panjang itu. Setelah kerbau itu terlebih dahulu diupacarai, lalu ditikam dengan keris khusus untuk itu oleh seorang petugas tertentu (Jero Bahu), sehingga darahnya membasahi tanah tempat upacara yang akan diadakan lebih lanjut.

c. Di desa Cemagi Daerah Tk. II Badung dan juga desa-desa lainnya umumnya Bali, setiap mengadakan pecaruan atau karya (upacara-upacara) dipura atau di dalam perumahan, maka disaat mengakhiri pecaruan atau upacara, lalu dilakukan penyembelihan yaitu: seekor ayam kecil atau babi butuhan dipotong lehernya dengan keris lalu darahnya ditaburkan ditempat upacara tersebut. Hal ini ada persesuaiannya dengan keadaan di jaman Majapahit dahulu, dimana juga dilakukan pemotongan kepala ayam sebagai upacara berkorban.

d. Hampir diseluruh Bali orang beranggapan bahwa tabuh rah itu adalah sabungan ayam. Secara sepintas anggapan hal ini nampaknya beralasan juga seperti di dalam prasasti Batur Agung A (933 Saka), prasasti Batuan (944 Saka) dengan istilah: “manawung” dan lontar Ciwatattwa purana menyebut dengangan istilah: “perang Satha”.


(41)

Jadi dapat disimpulkan dalam membuat caru atau korban binatang kepada bhuta kala terdapat berbagai variasi menurut tradisi dan kondisi setempat, karena masing-masing desa adat di Bali, mempunyai corak kekhususan tersendiri, sehingga sulitlah menemukan suatu bentuk upakara dan upacara yang persis sama. Sehingga Tabuh Rah dalam bhutayajna adalah perlu bukan merupakan suatu saran yang prinsipil karena mengandung makna mengharmoniskan hubungan Panca Mahabhuta di bhuana agung dengan Panca Mahabhuta di

bhuana alit.

Prosesi pelaksanaan Tabuh Rah di Pura daerah Denpasar,9 bahwa setiap pelaksanaan upacara tersebut diwajibkan menggunakan pakaian adat, dengan membawa banten (sesaji) dan perlengkapannya yang di dalamnya terdapat “kelapa, telor, canang sari (dupa, beras, uang kepeng), dan kelapa tadi dililit dengan benang warna (merah, putih dan hitam), kemudian banten tersebut diberikan kepada pemangku atau orang yang dianggap suci, barulah binatang tersebut dikelilingkan atau dilepaskan dalam pura tempat yang akan diadakan

Tabuh Rah yang dilaksanakan dengan perang Satha hingga binatang tersebut mengeluarkan darah pada tempat pelaksanaan Tabuh Rah (pura) tersebut, baru setelah itu dilanjutkan dengan adu kelapa dan telur dengan disertakan ucapan mantra-mantra oleh pemangku tersebut sebagai akhir dari sebuah ritual upacara. Jadi dalam hal ini yang bisa dikatakan Tabuh Rah hanya ronde pertama saja.

9

Hasil pengamatan yang dilakukan penulis pada pelaksanaan ritual tabuh rah di pura Padang


(42)

2. Tajen

Tajen berasal dari kata taji yang artinya susuh pada kaki ayam. Kata tajen

kadang didwi purnakan menjadi tatajen. Pengertian taji itu ada hubungannya dengan tajam dalam bahasa Indonesia yang bermakna sesuatu yang runcing. Adanya anggapan umum di Bali yang menyebut sabungan ayam itu adalah tajen, dikaitkan pada taji yang dipakai oleh ayam yang akan diadu. Sehingga ada ucapan pada masyarakat Bali dengan “metajen”.

Perang satha yang sebenarnya untuk sebuah acara bhutayajna, lama kelamaan senang digemari oleh orang karena mengandung nila-nilai hiburan bagi para penggemarnya. Yang menurut mereka gerak-gerik ayam pada saat bertarung mereka anggap seni. Jadi wajar jika perang Satha tersebut digemari oleh banyak orang jadi tidak menutup kemungkinan acara tersebut dijadikan untuk berjudi. Jadi di sini terlah terjadi pergeseran atau erosi nilai-nilai kesakralan Tabuh Rah.

Tabuh Rah yang tadinya adalah prosesi yang sakral, oleh para penjudi dijadikan ajang untuk bertaruh, dijadikan mata pencaharian kehidupan sehari-hari dengan mengadakan perjudian sabung ayam yaitu sesuatu yang duniawi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Menurut antropholog John Roberts yang melakukan penelitian terhadap permainan-permainan atau games (tidak selalu pemainan judi) yang dimainkan oleh bebagai suku bangsa, menunjukkan bahwa di dalam kebudayaan-kebudayaan yang menganut permainan yang hanya mendasarkan pada untung-untungan saja (games of chance) biasanya memiliki keperrcayaan-kepercayaan religius terhadap


(43)

tuhan atau roh-roh yang penuh kebaikan dan dapat memaksa, atau dengan kata lain, permainan untung-untungan tersebut dikaitkan dengan kekuasaan supranatual.10

Identifikasi psikologi yang mendalam tentang kaum pria di Bali dengan ayam mereka tidak dapat dipisahkan. Bateson dan Mead mengatakan jika dikaitkan dengan konsepsi masyarakat Bali tentang tubuh sebagai satu bagian terpisah dari kehidupan, maka ayam di gambarkan sebagai bagian terpisah alat ambulant genital dengan kehidupan mereka sendiri. Pada kenyataannya ayam-ayam tersebut merupakan simbol dari kemaskulinan mereka.11

Sedang pelaksanaan Tajen sendiri, tidak menggunakan ritual upacara layaknya tabuh. Biasanya tajen dilakukan pada tempat yang telah disediakan oleh pura, dan pasti setiap pura memiliki wantilan dan hampir dimiliki setiap desa adat yang berukuran 50 x 50 meter. Dibuat berundak-undak menurun ke tengah. Tetapi persis di tengah itu dibuat meninggi lagi, inilah arena pekelahian ayam. Arena ini bentuknya bujur sangkar dengan sisi sepuluh langkah kaki orang dewasa. Di tengah-tengah arena, ada lagi bujur sangkar kecil bersisi satu langkah, ditandai dengan garis.

10

Hendrik Andrianto, Perjudian Sabung Ayam di Bali,Tesis Pasca Sarjana Universitas

Indonesia,(Jakarta: 2003, Perpustakaan Umum UI) h. 18.

11 Clifford Geertz, Notes On The Balinese Cookfight,

http://itha.wordpress.com/2008/01/06/Catatan-sabung-ayam-pada-masyarakat-bali/ (tulisan diakses pada tanggal 19 Oktober 2010).


(44)

Ayam yang siap dengan taji dibawa oleh “pakembar”.12 Bagi pakembar

yang fanatik, ia pasti ke tengah arena lebih awal, untuk kemudian memilih dari arah mana ia akan melepas ayamnya. Kalau pakembar pertama berada di timur, mau-mau tak mau pakembar yang kedua harus berada di barat.

Langkah awal adalah memperkenalkan kedua ayam kepada petarung yang mengelilingi arena. Caranya, kedua pakembar membawa ayamnya ke tengah bujur sangkar kecil, dihadap-hadapkan, diadu, tetapi tidak dilepas (bongbongan). Akan kelihatan bagaimana kedua jago ini berdiri tegak dengan leher menjulang. Atau ketika diadu perkenalan ketika sudah cukup perkenalan itu, dan pakembar berdiri, penjudi di luar arena mulai bertaruh. Pakembar itu pun mengacung-acungkan tangannya yang memegang ayam. Tak jarang, dia juga mencari lawan taruhan lagi, mungkin tidak puas bertaruh dengan pakembar lawannya, apalagi kalau ayamnya itu unggulan.

Pada setiap pertarungan, selalu ada ayam unggulan. Begitu pakembar mengadakan perkenalan singkat berhadap-hadapan di bujur sangkar kecil, seseorang berteriak: bihing... bihing...13 . Kalau sampai pakembar berdiri tidak ada teriakan yang lain, berarti ayam bihing itulah ayam unggulan. Suara petaruh

12

Salah satu diantara yang mempunyai tugas dalam sebuah sabung ayam, sebagai pemegang ayam sebelum ayam diadu dan juga harus memiliki keahlihan dalam membaca situasi apabila ingin mengadu dan memenagkan setiap sabung ayam.

13

Penyebutan ayam dalam bahasa Bali, yang memiliki warna merah polos. Seperti ayam yang berwarna merah bercampur warna lain disebut; Brumbun, buik, kedas, wangkas dll.


(45)

selanjutnya tidak lagi bihing atau menyebut nama ayam tetapi sebutan yang mengarah ke sistem taruhan: cok, gasal, dapang, tindo, apit, satu teng.14

Seorang petaruh cukup meneriakkan sistem taruhan, dan yang berminat melawannya tinggal mengangkat tangan, tanpa berteriak apa-apa. Jadi, petaruh yang berpihak ke ayam bukan unggulan saja yang berteriak-teriak, karena ia berkepentingan mengajukan penawaran sistem taruhan. Kecuali kalau dua ayam yang bertarung itu “padu baret”.15 Dalam situasi seperti ini, nama ayam masih sering disebut-sebut.

Dalam tajen ini ada juga posisi yang sangat vital yakni; “Saya”16, dia memiliki peran sebagai penengah yang menentukan menang-kalah dalam kegiatan tersebut dan keputusannya tidak memihak salah satu diantara mereka, sehingga sabung ayam dapat terlaksana dengan aman dan tertib. Kejujuran serta keadilan harus dimiliki oleh “Saya”, karena dengan modal tersebut segala keputusannya membuat para bobotoh puas dan menerima kemenangannya, serta yang kalah menerima dengan lapang dada.

Para penjudi bisa melakukan transaksi taruhan dari jarak jauh. Tanpa harus berhadap-hadapan. Para penjudi itu memakai kode jari tangannya,

14System taruhan yang digunakan pada tajen. “

ngelimin 5:2, apit 2:1, telewin 5:3, teludo 3:2, cok 4:3, gasal 5:4, dapang 10:9.

15

Padu baret dalam istilah sabung ayam menyebut antara kedua ayam yang akan diadu seimbang atau kelihatan seimbang.

16

Saya, disini bukan dalam arti aku, melainkan juri dalam acara ritual Tabuh Rah maupun

dalam Tajen. Saya disini memiliki peranan penting dalam menentukan arah kebijakan dalam sebuah

pertarungan ayam tersebut, yang dalam pemberian keputusan tidak memihak antara pemilik ayam yang satu dengan yang lain (adil).


(46)

sementara uang taruhan tetap di saku atau dompet masing-masing. Kalau pertandingan usai, justru yang kalah yang datang ketempat yang menang. Atau kalau jarak cukup dekat, uang digulung dan dilemparkan. Dan uang yang dilemparkan tidak akan disabet oleh orang lain yang tak berhak. Mereka masih mengenal etika, apalagi jika kalah mereka tidak akan buru-buru kabur atau bahkan menyelinap dan pergi. Karena mereka yakin suatu saat pasti akan bertemu lagi ditempat lain.

Dengan melihat tabel mungkin dapat memberikan penjelasan secara singkat perbedaan antara tabuh rah dan tajen :

NO Tabuh Rah Tajen

1 Sabungan ayam dilaksanakan hanya 3 set (telung parahatan)

Sabungan ayam dilaksanakan lebih dari 3 set (telung parahatan)

2 Sabungan ayam dilengkapi dengan adu kemiri, telur, kelapa.

Tidak dilengkapi dengan adua-aduan kemiri, telur, kelapa.

3 Disertai upakara yajna, untuk upacara pada suatu tempat.

Tidak disertai upakara yajna.

4 Ada toh dedamping tidak bermotif judi sebagai perwujudan ikhlas berkurban untuk upacara

Ada taruhan, dengan harapa untuk menang.


(47)

D. Fungsi pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen

Tabuh Rah di Bali yang sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun dimasyarakat dari sejak dahulu hingga kini, di samping juga secara filosofis mengadung arti yang penting bagi upacara-upacara di dalam agama Hindu. Tabuh Rah erat kaitannya denga bhutayajna. Bhutayajna berarti suatu korban suci kepada bhuta dan kala yang dalam pengertiannya adalah sesuatu kekuatan negatif yang timbul akibat terjadi ketidak harmonisan antara macrocosmos (bhuana agung) dengan microcosmos (bhuana alit) yang dapat dikatakan seperti makhluk halus yang selalu menggangu ketentraman hidup manusia.

Bhuana agung dan bhuana alit yang terdiri dari lima unsur yaitu: pritiwi

(unsur zat padat), apah (unsur zat cair), teja (sinar atau panas), wayu (udara), dan

akasa (ether). Jadi antara Panca Mahabhuta di dalam bhuana agung hendaknya senantiasa harmonis dengan Panca Mahabhuta di bhuana alit.

Selanjutnya mengenai kala, lontar Kalatattwa menyebutkan, bahwa kala itu adalah putra Dewa Siwa yang lahir di laut. Karenanya Dewa Siwa itu disebut Mahakala yaitu, sebutan terhadap kekuatan Dewa Siwa yang maha hebat yang pada waktu melakukan pralina. Mahakala juga berarti energi yang maha besar. Di dalam lontar Kalatattwa itu juga disebutkan bahwa bhuta kala apabila diaci, ia tidak akan menggangu manusia melainkan membantunya di dalam kehidupan, sebab bhuta kala itu bukan hanya bersifat negatif saja melainkan juga bersifat positif.


(48)

Jadi dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa perlulah dijaga keharmonisan Panca Mahabhuta itu dengan salah satu cara mengadakan aci atau

yajna. Jadi makna dari pada bhutayajna itu adalah usaha untuk

mengharmoniskan perhubungan Panca Mahabhuta di bhuana agung dengan Panca Mahabhuta di bhuana alit.

Dalam kitab Agastya Parwa menyatakan Bhutayajna itu sebagai berikut:

Bhuta yajna ngarania tawur muang sang kapujan ring tuwuh

Bhutayajna itu adalah mengembalikan (Unsur-unsur alam) dan melestarikan tumbuh-tumbuhan”.

Itulah sesungguhnya inti dari bhutayajna menurut Agastya Parwa. Betapun besar atau kecilnya upacara bhutayajna hendaknya jangan sampai tidak memuat nilai universal dari bhutayajna tersebut. Dalam Sataphata Brahmana bagian dari Rgveda bhutayajna itu adalah persembahan pada bhuta. Sembah dalam Jawa kuna artinya menyayangi, menghormati/memuji, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri. 17

Dalam agama Hindu, tubuh manusia itu dibentuk oleh zat yang sama dengan alam semesta, karena itu dikenal dengan istilah bhuana agung dan bhuana alit. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (sang atma). Maka, tubuh itu tak ubahnya sebagai benda rongsokan. Ibarat sampah, ia

17

I Ketut Wiana, M.Ag, Tri Hita karana menurut Konsep Hindu , (Surabaya: Paramitha,


(49)

harus segera dihanguskan, supaya berbaur dengan alam semeseta. Unsur-unsur di dalam tubuh (bhuana alit) sama seperti yang ada di jagat raya (bhuana agung).18

Pengharmonisan antara bhuana agung dan bhuana alit sebagai pencapaian ketentraman hidup lahir dan bathin. Menurut keterangan para “sulinggih”19 yang mengatakan bahwa bhuana agung dan bhuana alit terdapat beberapa unsur yang dipersamakan misalnya:

1. Panca giri (bhuana agung) di India yaitu: Gunung Maliawan (timur), Gunung Gandhamedhana (selatan), Gunung Kailsa (barat), Gunung Udaya (Utara), Gunung Hilmawan (tengah).

2. Panca giri (bhuana agung) di Bali yaitu: Gunung Lempuyang (timur), Gunung Uluwatu (selatan), Gunung Watukaru (barat), Gunung Beratan (utara), Gunung Agung (tengah).

3. Panca giri (bhuana alit) ialah: jantung (timur), hati (selatan), limpa (barat), empedu (utara), dan kumpulan hati (tengah).

4. Surya chandra atau matahari dan bulan di bhuana agung sedangkan di bhuana alit ialah mata kanan (surya) dan mata kiri (chandra).

Bhuta kala itu ada dimana-mana dan tidak pernah tidak ada. Bhuta kala yang riel ialah unsur-unsur yang menjadi alam semesta ini. Bhuta kala yang tidak riel misalnya nafsu, marah, pikiran jahat dan sebagainya termasuk pula

18

Putu setia, Menggugat Bali Menelusuri Perjalanan Budaya, Cet ke- 2. (Jakarta: 1987,

Pustaka Utama), h. 35.

19

Sulinggih atau juga biasa disebut sebagai Pedanda, yang berasal dari kata “Su”yang

artinya; Baik dan “linggih” yang artinya; tempat/posisi/ketrunan/duduk. Jadi sulinggih adalah posisi


(50)

akibat yang ditimbulkan oleh bhuta kala yang riel, dan tidak riel. Karena itulah perlu diadakan pabyakala, yakni suatu korban suci kepada bhuta kala dengan maksud menjinakkan dan akhirnya “mempralina”20 bhuta kala itu supaya menjadi dewa, dalam artian dari pengaruh negatif supaya berubah menjadi positif. Itulah sebabnya setiap mengadakan yajna, didahului oleh pabyakala atau

bhutayajna diadakan lebih dahulu dengan maksud supaya tidak ada unsur-unsur negatif yang menggangu yajna itu sehingga tidak ada rintangan untuk menuju kesucian.

E. Implikasi sabung ayam Tabuh Rah dan Tajen terhadap masyarakat 1. Tabuh Rah

Dari segi sosiologis

Masyarakat di Bali mempunyai corak yang spesifik yang erat pertaliannya dengan hukum adat dan juga merupakan masyarakat agraris religius, di samping memiliki seni budaya yang bermutu tinggi. Beberapa unsur dari adat di Bali tetap terpelihara, karena telah dirasa manfaatnya untuk memelihara keutuhan persatuan dan kesatuan masyrakat itu sendiri yang sangat penting artinya dan mutlak diperlukan sebagai landasan fundamentil

20

Peleburan, lenyap kembali, Dikatakan bahwa seluruh alam mengalami proses, dan jalannya proses itu berputar-putar seperti putaran roda, atau jantra, atau cakra. Relatif dengan kehadiran kita, maka proses itu nampaknya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Kemunculan, penciptaan (Utpatti)

2. Kehadiran, menetapnya kehadiran (Sthiti)

3. Peleburan, lenyap kembali (Pralina),

Jadi tiga rangkaian proses ini merupakan sifat kehadiran ( eksistensi) alam semesta ini, bahwa tidak ada sesuatu yang kekal dialam ini.


(51)

guna mensukseskan pembangunan dimasyarakat, seperti; desa, banjar, subak,

seka dan sebagainya yang diwarisi sejak dahulu, dan masih terpelihara serta dibina hingga sekarang.

Kebiasaan yang berlaku turun-temurun dimasyarakat dan kalau dilanggar akan dapat menimbulkan akibat hukum, merupakan salah satu faktor yang menguatkan tradisi-tradisi adat yang ada dimasyarakat. Begitu pula halnya dengan sabung ayam di Bali, yang merupakan tradisi turun-temurun dari sejak dahulu sehingga, masih banyak pendapat yang merasa enggan untuk meninggalkannya, karena mungkin telah mendarah daging dimasyarakat.

Dalam upacara Tabuh Rah penggunaan ayam sebagai persembahan hanya menggunakan 6 ekor ayam. Namun, jika dalam pelaksanaan upacara tersebut ayam yang diadu pada salah satunya sudah ada yang menang maka pelaksanaan aduan ayam Tabuh Rah tersebut dihentikan karena sudah dianggap telah menaburkan darah sebagai wujud persembahan korban bagi sang bhuta kala.

2. Tajen

a. Dari segi sosiologis

Sedangkan sabung ayam pada Tajen tersebut dimasukkan ke dalam peraturan (awig-awig)21 pada sebuah banjar sehingga tradisi tersebut

21

Suatu peraturan desa atau banjar yang mengatur hak dan kewajiban warga masyarkat disertai suatu upaya pemaksa yang tegas dan nyata. Di dalam keyakinan masyarakat adat apabila awig-awig dilanggar maka kehidupan masyarakat akan terganggu dan terusik kedamaiannya.


(52)

enggan untuk ditinggalkan. Misal: ada banjar yang mengadakan sabungan ayam yang biasanya memakai alasan Tabuh Rah maka anggota banjar dikenakan satu ekor ayam aduan yang disebut “uran”. Dan bilamana jika tidak mengeluarkan uran maka akan dikenakan denda. Sehingga dengan demikian secara tidak langsung berarti mengharuskan anggotanya mengadu ayam atau main sabungan ayam. Dan juga terdapat lontar yang digunakan dalam sabungan ayam dari bagaimana memilih lawan, kapan hari baik untuk mengadu ayam, pantangan yang tidak boleh dilakukan sebelum mengadu ayam semuanya terdapat pada lontar “ pengayam-ayaman”, sehingga tidak menutup kemungkinan acara Tajen ikut atau mengikuti cara yang telah dipaparkan dalam lontar tersebut.

b. Dari segi ekonomis

Dari segi ini sabungan ayam lebih banyak mengandung atau menunjukkan ekses negatif. Menghambur-hamburkan harta benda semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu untuk berjudi. Jarang ada orang terlihat akan jadi kaya karena menang main sabungan ayam apalagi dengan Tajen, malahan sebaliknya. Dan juga dapat menyebabkan seseorang yang baik dapat menjadi jahat, seseorang yang taat dan giat dapat menjadi jahil, malas bekerja, seakan-akan dia hanya berangan-angan bagaimana caranya dia menang, menjadi kaya hanya dengan berjudi. Dan jika dia menang dalam permainan tidak mungkin dia akan berhenti, karena merasa menang dia akan main terus hingga dia puas. Namun, jika kalah


(53)

maka akan berimbas kepada orang lain, teman sepermainan akan jadi musuh dan juga keluarga akan kena imbas jika dia kalah. Dalam sejarah perjudian, tidak ada orang yang kaya karena berjudi, malah sebaliknya yang terjadi, banyak orang yang jatuh miskin karena berjudi.22

Bahkan masalah perjudian agama Hindu juga melarang masalah tersebut. Pemerintah berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati sebagaimana ditulis dalam Manawa Dharmasastra.IX.221:

Dyutam samahwayam caiwa, raja ratranniwarayet, rajanta karana wetau dwau, dosau prithiwiksitam”

“Perjudian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah Pemerintahannya karena kedua hal itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota”.

Pada tempat sabung ayam yang pernah saya kunjungi, ada tulisan yang terpampang yang bunyinya sebagai berikut:

Tiang matur piuning ring ide dane sane seneng ngibur sane nenten saye mangde melinggih ring kursi mangde hiburan duene memargi antar suksme.

Artinya “Saya beritahukan kepada semuanya, bagi yang senang silahkan melihat bagi yang tidak suka saya persilahkan untuk duduk dikursi, karena hiburan akan segera dimulai terima kasih”.

22

Zaini Dahlan, dkk, UII, Al-Quran dan Tafsinya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,


(54)

Awig-awig yang telah dibuat oleh banjar disalah artikan, atau juga bisa dibengkokkan.23 Seperti Tajen, yang pada mulanya sebagai prosesi yang sakaral serta suci mengalami pergeseran. Sabungan ayam sebagai manisfestasi judi, ternyata jalan terus. Anehnya lagi bukan hanya jalan. Artinya ada masyarakat justru malah mengawig-awig sabungan ayam tersebut. Jika ada upacara satu orang membawa satu ekor ayam pada hari yang telah ditentukan untuk disabung, jika melanggar tentu akan kena denda, padahal acara tersebut telah jelas memenuhi unsur judi. Karena ayam yang diadu bukan hanya satu ekor. Namun, dengan dalih untuk upacara Tabuh Rah padahal sebenarnya, tidak. Itulah mengapa masyarakat Bali terutama orang laki-laki gemar berjudi karena menurut mereka sabung ayam adalah hiburan.

23


(55)

47

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen

Tradisi (kebiasaan) adalah salah satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya transformasi hukum syar’i. Di atas kebiasaan ini, banyak terbangun hukum-hukum fiqh dan qaidah-qaidah furu. Seperti dalam Qaidah fiqhiyah yang kelima yakni: (ةمكهم ةداعلا) “kebiasaan (tradisi) itu bisa menjadi hukum”. Berdasarkan ketentuan Rasulullah yang mengintrodusir adat kebiasaan di masyarakat pada saat itu, apabila ada hewan piaraan di siang hari merusakkan harta milik seseorang, maka bagi pemilik hewan tidak wajib mengganti (dlaman) pada harta yang dirusak, karena rusaknya kebun pagar di siang hari adalah akibat kelalaian dan keteledoran pemilik kebun, yang semestinya pada saat (siang hari) ia menjaga kebunnya. Berbeda jika hewan piaraan tersebut merusaknya di malam hari, maka bagi pemilik hewan tersebut wajib mengganti apa saja yang dirusak oleh hewan piaraannya, yang semestinya ia jaga pada saat (malam hari). Lepasnya hewan di malam hari merupakan akibat kelalaian dan keteledoran pemiliknya.1

Kata urf berasal dari kata ‘arafa, yaitu (فرعي فرع) sering diartikan dengan “al-ma’ruf” )فرعملا (dengan arti: “sesuatu yang dikenal”. Di antara ahli bahasa

11

Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawaid al-Fiqhiyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1986), h. 256

yang dikutip dari Dr. H. Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta:


(1)

92

untuk lebih tegas dalam menjalankan setiap aktivitas dilapangan, tidak malah menjadi pelindung bagi penyelenggara perjudian, tidak hanya di Bali khususnya melainkan diseluruh wilayah Nusantara.

3. Fakta dasarnya masalah tindak pidana perjudian merupakan suatu permasalahan yang rumit untuk diambil solusinya. Kita tidak bisa menganggap suatu persoalan tersebut biasa-biasa saja, karena pada prakteknya membutuhkan suatu penanganan yang sangat serius terutama yang dilakukan oleh aparat dan praktisi hukum dalam memberikan penyuluhan-penyuluhan tentang hukum kepada masyarakat luas.

4. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi suatu bahan atau wawasan keilmuan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti suatu bahasan masalah yang sama.


(2)

93

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-karim.

Abbas, Sudirman, Qawaid fiqhiyah dalam perspektif fiqh, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo Media, 2004, cet. 1.

Al-Audah, Abdul Qodir , At-Tasyri’Al-Jina’iy Al-Islamiy, Juz 1 Bairut: Dar Al-Kitab, t.th.

Ali as-Sayis, Muhammad, Tafsir Ayat Ahkam, Misra: Ali Assabais, 1953, jilid ke-2. Andrianto, Hendrik, Perjudian Sabung Ayam di Bali, Tesis Pasca Sarja Universitas

Indonesia, Jakarta: 2003, Perpustakaan Umum UI.

Bambang sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, cet. Ke-6.

Chazawi, Adami, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005, ed. 1.

Dahlan, Zaini, dkk, UII, Al-Quran dan Tafsinya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, jilid I, Cet. I.

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid III Juz 7-8-9, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1990.

Departemen Kebudayaan Provinsi Bali, Geografis, Dematogarfi, dan Sistem Kemasyarkatan Hindu Bali. Artikel ini diakses pada 11 agustus 2010 dari http://www.baliprov.go.id/index.php?page=geo_grafi

Geertz, Clifford, Notes On The Balinese Cookfight. Artikel ini diakses pada 19 Oktober 2010 dari

http://itha.wordpress.com/2008/01/06/Catatan-sabung-ayam-pada-masyarakat-bali/ Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta; Andi Offset, 1990.

Halim, Ridwan A, Hukum adat dalam tanya jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, cet. ke-2.


(3)

94

Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP edisi Revisi 2008, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, Cet. Ke- 15.

Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islamaa, Jakarta: Bulan Bintang, 2005. Hosen, Ibrahim, Apakah Judi Itu?, Jakarta: Lembaga Kajian IIQ, 1987.

Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafizh, Fathul Baari 29:Penjelasan Kitab Shahih Bukhari edisi Indonesia, Jakarta: Pustaka Azzam Anggota IKAPI DKI, 2000, Cet. Ke- 1.

Jauhari, Sejarah Kebudayaan Bali, 2008. Artikel ini diakses pada 11 Oktober 2010 dari

http:// juahaieffendy.blogspot.com/2008/08/sejarah -kebudayaan-bali.html. kartono, Kartini, Patologi sosial, Jakarta; Rajwali, 1993.

K. Nothinghem, Elizabeth, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo, 2002, cet. Ke-8.

M. Moeliono, Anton ,dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, cet. Ke I.

Mujib, Abdul, Al-Qawaid al-Fiqhiyah, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980. Muslich, Ahmad Wardi , Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Lukito, Ratna,“Pergumulan antara Hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia, Jakarta, INIS, 1998.

Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Proyek Pembinaan Kepada Lembaga Pendidikan Agama Hindu dan Parisada Hindu Dharma Tahun 1988-1989 tentang Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XIV.

Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Sejarah Hindu Bali Di Indonesia. Artikel

ini diakses pada 13 Juni 2010 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu_Dharma

Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Sejarah Perkembangan Hindu Agama Hindu. Artikel ini diakses pada 13 Juni 2010 dari http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=50 6&Itemid=29&limit=1&limitstart=2


(4)

Putra Pidada Kniten, Ida Pedanda, dan Pinandita I Nyoman Gunanta, Tinjauan Tabuh Rah dan Judi, Surabaya: Paramitha 2005.

Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram Dalam Islam Alih Bahasa Mu’amal Hamidi, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999.

Ridwan, Kafrawi, Ensiklopedia Islam I, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999. Salim, Agus, Perbandingan Agama Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan

Majusi-Shabiah-Yahudi-Kristen-hindhu Budha&Sikh, Jakarta: CV. Diponegoro 1985.

Setia, Putu, Menggugat Bali Menelusuri Perjalanan Budaya, Cet ke- 2. Jakarta: 1987, Pustaka Utama.

Shabuni, Muhammad Ali, Rawa-i’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Makkah, Kulliyat al-Syariah wa al-Dirasah al-Islamiyyah, Jilid ke- 2.

Sharbiny, al-Khatib Muhammad as-Syafi’I, al-Iqna’: Kitabu as-Sabaqa wa al-Ramyiy, Dar al-Fikriy: tth, hal. 598.

Sharma, Khinsalal Pt, Mengapa? Tradisi dan Upacara Hindu, Surabya: Paramitha, 2007.

Shawy, Ahmad bin Muhammad al-Maliki, Hasyiah al-Shawy ‘Ala al-jalalain, Semarang: Toha Putra, t.th, Jilid 1.

Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Denpasar, Kondisi Sosial Budaya Bali. Artikel ini

diakses pada 06 November 2010 dari

http://www.denpasar.go.id/main.php?act=kon_sb

Soerodibroto, R. Soenarto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Grafindo Persada, 2006, ed. 5.

Suada, I Nyoman, Bali Dalam Perspektif Sejarah dan Tradisi dalam Relevansinya Dengan Era Global Menuju Keajegan Bali Yang Harmonis, Denpasar: 2007. Suarka, I Nyoman, Ketuhanan Bali (kajian empiris dan Era baru empu Kuturan),

Surabaya; Paramitha Surabaya, 2005.

Syamsuddin Aziz, Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian: Menuju Pembangunan Masyarakat Adil dan Beradab, Jakarta: 2007, cet.1.


(5)

96

Tabuh Rah, Keputusan Seminar Tafsir Agama Hindu Ke III Tahun 1976, Diterbitkan Oleh Seksi Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Kabupaten Buleleng: 1979.

Tijok’s, Definisi Kebudayaan Menurut Parsudi Suparlan. artikel ini diakses pada 06 November 2010 dari http://prasetijo.wordpress.com/2008/09/11/definisi-kebudayaan-menurut-parsudi-suparlan-alm/

Titib, I Made, Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Moksa Dalam Svargarohanaparva: Perspektif Kajian Budaya, Surabaya: Paramitha, 2006.

Utarayana, Pengayam-ayaman, Denpasar: Percetakan Offset & Toko Buku Ria, 1993. Wiana, I Ketut, Tri Hita karana menurut Konsep Hindu , Surabaya: Paramitha, 2007. Winda, Wayan, Meluruskan Awig-Awig Yang Bengkok, Denpasar: BP,t.th .

Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedi Bebas Tentang Kebudayaan. Artikel ini diakses pada 11 Oktober 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya.

Sumber dari Undang-undang dan Peraturan-peraturan Lainnya

- Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen ke-2 yang disahkan pada 18 Agustus 2000

- Undang-undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian

- KUHP Pasal 303 dan Pasal 303 bis jo. Undang-undang No. 7 Tahun 1974 - Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1981

- Instruksi Presiden 1 April 1981

- Instruski Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1981

- Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali dengan Kepala Kepolisian Nusa Tenggara, Nomor. 20/KESRA. I/A/20/1981,


(6)

Nomor POL. SKEP/08/II/1981 tentang pencabutan Izin penyelenggaraan sabungan ayam dalam rangka pembangunan.

Sumber dari Internet (situs web)

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu_Dharma http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya.

http:// juahaieffendy.blogspot.com/2008/08/sejarah -kebudayaan-bali.html.

http://itha.wordpress.com/2008/01/06/Catatan-sabung-ayam-pada-masyarakat-bali/ http://www.baliprov.go.id/index.php?page=geo_grafi

http://faridfann.wordpress.com/2008/05/07/sejarah-agama-hindu-dharma-hindu-bali/ http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/darma070102008

.pdf

http:// matatia.ayam_files\tajen-sabung-ayam-bali.html http://www.denpasar.go.id/main.php?act=kon_sb

http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=506&Itemi d=29&limit=1&limitstart=2

http://sayyidherlan24.wordpress.com/2010/09/08/hukum-mengadu-hewan-dalam-pandangan-islam/

http://prasetijo.wordpress.com/2008/09/11/definisi-kebudayaan-menurut-parsudi-suparlan-alm/