Tentara Yang Gelisah?

TENTARA YANG GELISAH?
Oleh: Muradi



Penyerbuan 17 orang bersenjata lengkap yang disinyalir oknum
anggota Kopassus ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B, Sleman
Yogyakarta minggu lalu (23/03/2013), dan menembak mati empat tahanan
titipan Polda DIY, yang merupakan tersangka kasus pengeroyokan dan
penusukan seorang anggota TNI memperkuat asumsi penulis bahwa tentara
tengah gelisah. Kegelisahan tersebut tercermin dari sejumlah ekspresi negatif
dengan berdasarkan pada keyakinan bahwa yang dilakukannya adalah
bagian dari pengukuhan eksistensi di masyarakat. Paska pemisahan dengan
Polri, proses transformasi TNI dari tentara berpolitik menjadi tentara a-politis
yang menjadi subordinasi dari institusi sipil berjalan dengan baik. ada
kepatuhan politik yang menggiring TNI kembali pada peran dan fungsinya
dalam pertahanan negara.
Akan tetapi kepatuhan dan proses yang dijalani oleh TNI untuk
menjadi tentara profesional tidak segaris lurus dengan institusi keamanan
lainnya, semisal Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN). Dapat dikatakan
TNI relatif selangkah lebih maju apabila dibandingkan dengan institusi

keamanan lainnya dalam merespon tuntutan publik agar menjadi tentara
profesional. Namun kenyataan yang didapat setelah hampir 15 tahun
pemisahan TNI-Polri, tentara merasakan situasi yang berbeda, di mana
kepatuhan pada esensi menjadi institusi profesional ternyata tidak diikuti
oleh institusi keamanan lain maupun elit politik sipil. Polri misalnya banyak
oknum anggotanya terus memperkaya diri dan cenderung arogan karena
keleluasaan akses ekonomi dan politik paska berpisah dari TNI. Sementara
elit politik juga terjebak pada transisi demokrasi yang tak berkesudahan.
Ada empat analisis dalam melihat agresifitas tentara yang terus
meningkat dalam setahun terakhir, yakni: Pertama, kegelisahan ini menurut
Linz (2001) sebagai tahapan tentara untuk memosisikan diri lebih
diperhitungkan kembali paska proses transisi demokrasi yang meminggirkan
peran tentara dalam berbagai aspek kehidupan. Perasaan untuk dihargai
lebih sebagaimana yang terjadi di masa lalu menjadi alasan tentara, baik
secara terorganisir maupun sporadis melakukan tindakan, meski hal tersebut
menabrak norma hukum dan kepatutan.
Kedua, kegelisahan tentara juga bersumber pada persaingan antar
institusi keamanan, khususnya dengan Polri. Beltran (2009) mengungkapkan
bahwa agresifitas tentara menjadi indikator bahwa militer tidak cukup
nyaman paska pemisahannya dengan polisi. Salah satu ketidaknyaman

tentara adalah kesejahteraan anggota polisi yang jauh meningkat
dibandingkan dengan mereka. Ekspresi kegelisahan tersebut salah satunya
diwujudkan dengan melakukan aktivitas yang menunjukkan superioritas
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keamanan, Dosen Sarjana dan Pascasarjana FISIP
Universitas Padjadjaran, Bandung. Alamat: Kompleks Margahayu Raya, Jl. Saturnus Utara
XIV No.1, Bandung. Phone: 022 7500371 Email: [email protected], No. Acc BCA:
111-111-0781


militer atas polisi, hal yang mana terjadi pada kasus penyerangan dan
pembakaran Polres Ogan Komering Ulu (OKU) oleh puluhan anggota TNI
Armed Tarik Martapura dua pekan silam.
Ketiga, menguatnya keyakinan bahwa TNI adalah tentara rakyat yang
terlibat dalam proses sejarah bangsa. Ulf Sundhaussen (1982) bahkan
menggarisbawahi bahwa keberadaan TNI dalam konteks politik Indonesia
adalah sesuatu yang given dan melekat sifatnya. Sehingga kegelisahan yang
diekspresikan oleh tentara selama ini sebagai bagian dari penegas bahwa TNI
harus dilibatkan dalam pembicaraan masa depan bangsa ini.
Keempat, terbangunnya asumsi di internal tentara bahwa elit sipil
gagal melakukan konsolidasi secara efektif. Hal ini terbukti dari bagaimana

elit sipil tidak cukup mampu mengendalikan setiap momentum politk yang
ada. Penyerangan dan mengeksekusi langsung empat tersangka pembunuh
anggota TNI di Lapas Kelas II Sleman adalah penegasan akan
ketidakmampuan elit sipil mengontrol momentum politik yang ada.
Permasalahan agresifitas dan kegelisahan tentara dalam pandangan
Nordlinger (1994) bukan ditujukan kepada polisi atau institusi penegak
hukum dan keamanan semata, tapi juga pada elit politik sipil yang pada
derajat tertentu tidak mampu mengendalikan keadaan. Pada konteks
penyerangan dan eksekusi empat tersangka di Lapas Kelas II Sleman, pelaku
menyadari benar bahwa ada suasana bathin yang kurang nyaman antara TNI,
Polri, dan Kementerian Hukum dan HAM dalam mengungkapkan fakta
sebenarnya yang terjadi.
Dari empat analisis tersebut, ada dua benang merah untuk
menjelaskan
fenomena
tentara
yang
gelisah
tersebut,
yakni:

Ketidakmampuan elit politik sipil dalam mengendalikan institusi keamanan
yang berakibat pada menguatnya agresifitas dan kemarahan tentara dalam
menyikapi berbagai isu terkait dengan esprit de corps , kepentingan personil,
hingga penguatan pengakuan dari institusi lainnya. Apa yang dilakukan oleh
TNI sejak kasus Koboy Palmerah, Sweeping puluhan anggota Marinir TNI
AL pada gang motor yang mengeroyok koleganya hingga tewas,
penyerangan dan pembakaran Polres OKU, Sumatera Selatan, hingga
penyerbuan dan eksekusi empat tersangka di Lapas Kelas B, Sleman
hanyalah bagian dari testing the water atas fenomena yang terjadi selama ini.
Dengan kata lain, jika elit politik responsif dalam menyelesaikan kasus-kasus
tersebut dengan baik, tentu kegelisahan tentara akan mereda dengan
sendirinya.
Kedua, pola hubungan dan koordinasi antar institusi keamanan
bergeser dari pengamanan kedaulatan negara yang komprehensif, menjadi
pengamanan parsial dan sektoral. Profesionalisme pada akhirnya dipahami
sebagai bagian dari fokus hanya pada tugas dan fungsi masing-masing, tanpa
mempedulikan pola hubungan dan koordinasi yang lebih komprehensif
dengan institusi lain.
Kegelisahan tentara akan semakin menjadi apabila dua hal tersebut
tidak selekasnya direspon dengan baik. Elit sipil yang dapat menjalankan

pemerintahannya secara efektif akan memberikan efek menguatnya
kepercayaan diri sipil untuk dapat mengendalikan institusi keamanan secara
komprehensif pula.