Tentara Anak anak di Afrika

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL
Basri Hasanuddin Latief
E131 11 258
Tentara Anak – Anak di Afrika
Tentara anak – anak merupakan fenomena yang cukup kental disetiap perang atau
konflik. Mereka (anak – anak) dipercaya sebagai kekuatan yang dapat membantu dalam
memenangkan perang. Di era teknologi sekarang ini, mereka dapat berpartisipasi dalam
perang karena dalam perang sendiri menggunakan senjata yang bahkan anak kecilpun dapat
menggunakannya. Fenomena yang cukup menjadi perhatian dunia internasional adalah
tentara anak – anak dalam setiap konflik di Afrika.
Anak merupakan generasi penerus masa depan suatu bangsa yang kelak dihadapkan
menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan negara terutama bagi
agamanya. Menurut UNICEF yang mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 s/d
18 tahun. Masa anak merupakan masa pembentukan kepribadian yang akan menentukan
kualitas anak, karena yang terjadi pada masa tersebut akan turut menentukan perkembangan
anak selanjutnya, sehingga pada tahap tersebut anak perlu mendapatkan kesempatan seluasluasnya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar fisik, psikis maupun sosial. Anak yang
harusnya mendapat diberi waktu untuk berkembang dipaksa untuk mengangkat senjata.
Mereka baik secara sukarela maupun mendapat paksaan harus melayani para tentara – tentara
sampai harus menembak orang. Tentara anak merupakan fenomena yang terjadi sekitar abad
ke – 19. Dulunya anak – anak pada zaman romawi kuno dijauhkan dari perang tetapi tetapi


dididik untuk berperang ketika umurnya telah mencapai umur berperang, setelah zaman itu
anak – anak kemudian menjadi penggembira atau penyemangat bagi para tentara yang
berperang. Setelah itu anak – anakpun sering sekali menjadi bagian dari perang atau konflik
bersenjata. Mereka mendapat tugas seperti mengantarkan makanan, mencari informasi,
menjadi budak seks, menjadi penyuplai logistic (peralatan perang), menjadi mata – mata
sampai menjadi tentara yang memegang senjata di barisan paling depan.
Ada banyak factor yang membuat anak – anak menjadi tentara atau terlibat dalam
konflik bersenjata. Ada factor ekonomi, social politik dan lingkungan. Factor ekonomi
memang menjadi penyebab dari kebanyakan konflik yang terjadi hal ini sejalan dengan
pendapat Karl Marx yang mengatakan bahwa perut merupakan inti dari manusia, ketika perut
manusia terganggu maka manusia tersebut dapat berbuat apapun demi ketenangan perutnya.
Banyak fenomena yang terjadi bahwa ketika seorang anak menjadi tentara bagi suatu
kelompok, hidup mereka akan lebih terjamin baik dari segi makanan, pendidikan dan lain –
lain. Bahkan keluarga merekapun mendapat imbasnya dikarenakan keluarga tersebut akan
terjamin secara ekonomi. Factor kedua yaitu social politik suatu daerah. Biasanya ketika
suatu daerah bergejolak dan menyebabkan konflik bersenjata maka akan banyak korban yang
berjatuhan, semakin banyak korban yang berjatuhan maka semakin melemah pasukan dari
kelompok yang terlibat konflik bersenjata tersebut. Untuk itu anak – anak menjadi alternative
dari kekurangan pasukan ini, anak – anakpun direkrut baik secara formal maupun secara
paksaan. Factor terkakhir adalah lingkungan, factor ini cukup membuat anak – anak yang

merupakan masa dimana belajar tentang suatu hal. Lingkungan yang tidak kondusif (konflik)
menyebabkan psikologi anak menjadi terganggu, merekapun dapat memunculkan sifat – sifat
destruktif dalam dirinya. Sifat destruktif inilah yang membuat anak tersebut dapat dengan
mudah menerima doktrin yang membuat dia mengangkat senjata.

Fenomena tentara anak adalah fenomena yang mendunia. Dari data yang dikeluarkan
oleh UNICEF, terdapat lebih dari 300.000 anak – anak yang terlibat konflik bersenjata di
lebih dari 30 negara di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sekitar 40 persen atau 120.000
tentara anak – anak berjenis kelamin perempuan. Fenomena ini terjadi hampir disemua
Negara yang mengalami konflik baik Amerika, Asia, Eropa dan Afrika. Terutama di Asia
khususnya Myanmar yang dengan sengaja pemerintah junta militernya merekrut tentara anak.
Di Afrika sendiri tentara anak yang berpartisipasi dalam konflik bersenjata sejak tahun 1975
sampai 2003 meningkat dari 0 menjadi 53 persen. Hal ini menjadi data yang cukup
mencengangkan dimana terjadi peningkatan yang cukup drastic dalam pelibatan anak dalam
konflik bersenjata. Di yaman pada 2009, sebanyak 187 tentara yang berusia kurang dari 18
tahun di kirim ke garis depan pertempuran. Hal ini dikarenakan anak tidak terlalu banyak
berfikir sehingga mereka kebanyakan nekad. Dan hasilnya mencengangkan, 71% tewas saat
pertempuran, sedangkan 29% lainnya tewas karena kekurangan makanan.
Penggunaan anak – anak dalam konflik bersenjata terjadi pula di Mali. Mali yang
merupakan Negara yang mengalami konflik internal merekrut anak – anak dari usia 11

sampai 17 tahun sebagai tentara. Mereka merekrut mereka dengan berbagai macam cara, ada
yang di culik, di rekrut secara formal dan ada yang di beli dengan harga sekitar 5 juta rupiah
di keluarga anak tersebut. Hal inilah yang menjadi fenomena kotornya perang yang terjadi di
Mali.
Fenomena tentara anak adalah fenomena yang melanggar hukum internasional. Ada
beberapa pasal yang dilanggar. Antara lain Pasal 38 Konvensi tentang Hak anak tahun 1989
yang mengatur dengan jelas bagaimana suatu Negara yang terlibat dalam konflik untuk tidak
merekrut anak – anak yang berusia di bawah 15 tahun, memprioritaskan yang lebih tua, dan
menjamin perlindungan dan perawatan anak – anak yang terlibat dalam konflik. Dalam
protocol tambahan II 1977 Konvensi Jenewa memberikan hak kepada anak untuk mendapat

perlindungan baik itu dalam pasal 77 maupun 78. Bahkan hukum internasional mewajibkan
Negara yang menandatangani konfensi Hak Anak 1989 untuk mematuhi semua peraturan
yang mengatur anak yang terlibat dalam konflik.
Yang menjadi problematika dalam Hukum Humaniter ini adalah penerapan hukum
tersebut. Walaupun sebuah Negara telah meratifikasi hukum tersebut belum tentu Negara
tersebut menjalankan sepenuhnya peraturan yang telah dikeluarkan. Hal ini sejalan dengan
Paradigma Realisme yang memandang

bahwa dunia internasional adalah anarki yaitu


kondisi dimana tidak ada kedaulatan tertinggi di atas Negara. Dengan konsep kedaulatan
tersebut maka Negara berhak untuk menjalankan atau tidak menjalankan sebuah peraturan.
Hal ini terjadi di Myanmar yang walaupun telah menandatangi perjanjian dengan PBB
tentang pelarangan perekrutan anak sebagai tentara, masih saja menggunakan anak – anak
sebagai tentara yang terus dilatih. Tetapi yang menjadi poin lebih adalah Myanmar mulai
membebas tugaskan anak – anak yang menjadi tentara walaupun belum semuanya.
Problematika kedua adalah penggunaan tentara anak – anak banyak dilakukan oleh para
pemberontak yang secara tidak langsung mengindahkan peraturan dalam hukum humaniter.
Para pemberontak yang pada umumnya melawan pemerintah yang berdaulat dengan seenak
hati merekrut anak – anak sebagai tentara dikarenakan mereka tidak patuh terhadap hukum
yang telah disepakati oleh pemerintah.
Dua Problematika diatas merupakan hal yang harus diperhatikan jika ingin
menghapuskan perekrutan anak sebagai tentara. Anak yang seharusnya diberi perlindungan
ketika ada konflik bersenjata bukan dilibatkan dalam konflik tersebut.