Impresi Perekrutan Tentara Anak Pada Per
Impresi Perekrutan Tentara Anak Pada Perang Bersenjata
Dian Pertiwi Joshua1
Nadia Putri Joshua2
1
Universitas Negeri Jakarta
2
Universitas Indonesia
Eksploitasi anak dalam bentuk apapun telah melanggar hukum. Berdasar
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang Protokol Opsional
Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata
menyatakan bahwa keterlibatan anak dalam konflik bersenjata baik berbentuk
perekrutan maupun sasararan konflik bersenjata merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak anak serta memberikan dampak serius berjangka panjang bagi proses tumbuh
kembang anak. World Health Organization (WHO) mengelompokkan usia manusia
menjadi 5 bagian. 0 – 17 tahun : Anak-anak di bawah umur, 18 – 65 tahun: Pemuda, 66
– 79 tahun : Setengah baya, 80 – 99 tahun : Orang tua, dan 100 tahun ke atas : Orang
tua berusia panjang. Studi kepustakaan menuliskan, anak-anak yang dimanfaatkan
untuk menjadi tentara dalam perang senjata berada di kisaran usia di bawah 10 tahun –
14 tahun. Normalnya anak yang berada pada fase usia tersebut sedang berkembang
dan bertugas menyelesaikan belajar, minatnya pada dunia pendidikan cukup tinggi, dan
apabila seorang anak gagal dalam masa ini, maka anak tersebut tidak akan merasa
bahagia dalam hidupnya.
Amensti Internasional (2009 – 2010) mengungkapkan hasil penelitian bahwa
saat perang pemberontakan Chad, Darfur Sudan, ribuan anak dipaksa turut bertempur,
dengan demikian mereka kehilangan masa kanak-kanaknya. Yang lebih mengejutkan
lagi, terdapat anak yang turut serta ikut dalam perang senjata tersebut dengan alasan
membalas dendam atas kematian keluarganya yang menjadi korban perang. Kasus
perekrutan anak dalam perang bersenjata memberdayakan anak dengan cara paksaan
atau berdasar iming-iming gaji kecil, pakaian atau rokok yang dapat merusak otak
mereka. Tidak sedikit pula, anak yang terlibat dalam tentara perang bersenjata
mengalami kekerasan fisik, mental dan seksual.
Perekrutan tentara anak pada perang senjata jelas melanggar hak anak.
Berdasarkan UNICEF, anak wajib dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari
melakukan pekerjaan yang berbahaya atau menganggu pendidikan, kesehatan,
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak. Dalam beberapa dekade
terakhir, salah satunya negara Somalia. Di negara tersebut, anak-anak di sekitar
Mogadishu diperintah serta dipersilakan untuk ikut serta bertempur melawan orang
dewasa dengan menggunakan senjata AK47. Konvensi ILO dalam pasal 22 ayat (2)
menegaskan segala bentuk pekerjaan perbudakan termasuk perekrutan anak secara
paksa untuk berpartispasi dalam konflik bersenjata termasuk dalam kategori pekerjaan
terburuk bagi anak.
Aset terbesar sebuah negara terletak pada anak-anak yang merupakan generasi
penerus. Menjadikan seorang anak turut berperang mengangkat senjata, maka negara
tersebut telah merusak mental generasinya sendiri. Anak-anak berhak tumbuh dan
berkembang dengan kasih sayang. Sedangkan dalam peperangan, beragam studi
kasus dan literasi merinci kondisi medan perang sewaktu mengalahkan musuh akan
menanamkan sikap yang keras pada diri anak, nantinya seorang anak tumbuh menjadi
individu tanpa simpati, empati, dan kehilangan rasa peduli terhadap orang di
sekelilingnya.
Menimbang beragam kerugian yang harus ditanggung seorang anak jika mereka
dilibatkan dalam perang senjata di usianya yang belum mencukupi, hukum humaniter
konvensi Jenewa (1949) dengan keras melarang perekrutan anak sebagai tentara,
hukum tersebut diperkuat dengan Statuta Roma (1998) yang memberikan ketentuan
bahwa merekrut anak sebagai tentara ialah bagian dari kejahatan perang. Efektivitas
keikutsertaan anak-anak dalam perang senjata patut dipertanyakan serta ditentang.
Kejahatan kriminal tingkat Internasional berupa perekrutan anak yang dijadikan tentara
perang harus ditindak jelas dan dihukum sebab telah melanggar hukum serta
mengesampingkan hak seorang anak.
Dian Pertiwi Joshua1
Nadia Putri Joshua2
1
Universitas Negeri Jakarta
2
Universitas Indonesia
Eksploitasi anak dalam bentuk apapun telah melanggar hukum. Berdasar
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang Protokol Opsional
Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata
menyatakan bahwa keterlibatan anak dalam konflik bersenjata baik berbentuk
perekrutan maupun sasararan konflik bersenjata merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak anak serta memberikan dampak serius berjangka panjang bagi proses tumbuh
kembang anak. World Health Organization (WHO) mengelompokkan usia manusia
menjadi 5 bagian. 0 – 17 tahun : Anak-anak di bawah umur, 18 – 65 tahun: Pemuda, 66
– 79 tahun : Setengah baya, 80 – 99 tahun : Orang tua, dan 100 tahun ke atas : Orang
tua berusia panjang. Studi kepustakaan menuliskan, anak-anak yang dimanfaatkan
untuk menjadi tentara dalam perang senjata berada di kisaran usia di bawah 10 tahun –
14 tahun. Normalnya anak yang berada pada fase usia tersebut sedang berkembang
dan bertugas menyelesaikan belajar, minatnya pada dunia pendidikan cukup tinggi, dan
apabila seorang anak gagal dalam masa ini, maka anak tersebut tidak akan merasa
bahagia dalam hidupnya.
Amensti Internasional (2009 – 2010) mengungkapkan hasil penelitian bahwa
saat perang pemberontakan Chad, Darfur Sudan, ribuan anak dipaksa turut bertempur,
dengan demikian mereka kehilangan masa kanak-kanaknya. Yang lebih mengejutkan
lagi, terdapat anak yang turut serta ikut dalam perang senjata tersebut dengan alasan
membalas dendam atas kematian keluarganya yang menjadi korban perang. Kasus
perekrutan anak dalam perang bersenjata memberdayakan anak dengan cara paksaan
atau berdasar iming-iming gaji kecil, pakaian atau rokok yang dapat merusak otak
mereka. Tidak sedikit pula, anak yang terlibat dalam tentara perang bersenjata
mengalami kekerasan fisik, mental dan seksual.
Perekrutan tentara anak pada perang senjata jelas melanggar hak anak.
Berdasarkan UNICEF, anak wajib dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari
melakukan pekerjaan yang berbahaya atau menganggu pendidikan, kesehatan,
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak. Dalam beberapa dekade
terakhir, salah satunya negara Somalia. Di negara tersebut, anak-anak di sekitar
Mogadishu diperintah serta dipersilakan untuk ikut serta bertempur melawan orang
dewasa dengan menggunakan senjata AK47. Konvensi ILO dalam pasal 22 ayat (2)
menegaskan segala bentuk pekerjaan perbudakan termasuk perekrutan anak secara
paksa untuk berpartispasi dalam konflik bersenjata termasuk dalam kategori pekerjaan
terburuk bagi anak.
Aset terbesar sebuah negara terletak pada anak-anak yang merupakan generasi
penerus. Menjadikan seorang anak turut berperang mengangkat senjata, maka negara
tersebut telah merusak mental generasinya sendiri. Anak-anak berhak tumbuh dan
berkembang dengan kasih sayang. Sedangkan dalam peperangan, beragam studi
kasus dan literasi merinci kondisi medan perang sewaktu mengalahkan musuh akan
menanamkan sikap yang keras pada diri anak, nantinya seorang anak tumbuh menjadi
individu tanpa simpati, empati, dan kehilangan rasa peduli terhadap orang di
sekelilingnya.
Menimbang beragam kerugian yang harus ditanggung seorang anak jika mereka
dilibatkan dalam perang senjata di usianya yang belum mencukupi, hukum humaniter
konvensi Jenewa (1949) dengan keras melarang perekrutan anak sebagai tentara,
hukum tersebut diperkuat dengan Statuta Roma (1998) yang memberikan ketentuan
bahwa merekrut anak sebagai tentara ialah bagian dari kejahatan perang. Efektivitas
keikutsertaan anak-anak dalam perang senjata patut dipertanyakan serta ditentang.
Kejahatan kriminal tingkat Internasional berupa perekrutan anak yang dijadikan tentara
perang harus ditindak jelas dan dihukum sebab telah melanggar hukum serta
mengesampingkan hak seorang anak.