Kajian terpadu Aspek Sosial dalam Menunjang Kemandirian Pembangunan Pertanian di Kawasan Agropolitan Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow.

(1)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

JUDUL PENELITIAN :

KAJIAN TERPADU ASPEK SOSIAL DALAM MENUNJANG KEMANDIRIAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN AGROPOLITAN DUMOGA KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW

TIM PENGUSUL

DR. DRS. I NENGAH PUNIA, MSI/0012016603 VEBI E. B. I. MANTIRI, SPT/1023201151

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2014


(2)

LEMBARAN PENGESAHAN

LAPORAN PENELITIAN PERGURUAN TINGGI

Judul Kegiatan : Kajian terpadu Aspek Sosial dalam Menunjang Kemandirian

Pembangunan Pertanian Di Kawasan Agropolitan Dumoga

Kabupaten Bolaang Mongondow.

Kode/Nama Rumpun Ilmu : 187/Sosiologi Pertanian yang lain belum tercantum Bidang Unggulan : Sosial Ekonomi dan Budaya

Topik Unggulan : Sosial Budaya

Ketua Peneliti :

a. Nama lengkap : Dr. Drs. I Nengah Punia, MSi

b. NIDN : 0012016603

c. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala d. Program Studi : Sosiologi

e. No. Hp. : 085298113156

f. Email : nengah_puniah@yahoo.com

Anggota Peneliti :

a. Nama lengkap : VEBI E. B. I. MANTIRI, SPT

b. NIDN : 1023201151

c. Perguruan Tinggi : Universitas Sam Ratulangi Manado Lama Penelitian : 1 tahun

Penelitian Tahap Ke : 1 (pertama) Biaya Penelitian Semua : Rp. 600.000.000,-Biaya Tahun Berjalan : Rp.

80.000.000,-- Diusulkan Ke Dikti : Rp. 150.000.000,-- Dari Intern PT : 00

- Dari Instansi lain : 00

Mengetahui : Manado, …… November 2014

Ketua Lembaga Penelitian Unsrat, Ketua Peneliti,

Inneke F. M. Rumengan I Nengah Punia


(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan Karunia-Nya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan laporan penelitian ini tepat pada waktunya yang telah ditentukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Adapun judul penelitian yang peneliti angkat : Kajian terpadu Aspek Sosial dalam Menunjang Kemandirian Pembangunan Pertanian Di Kawasan Agropolitan Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow.

Adapun penelitian ini dilaksanakan dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggungjawab dosen dalam memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi, terutama dalam bidang penelitian. Sistematika laporan penelitian ini terdiri atas 5 bab, yaitu: Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran. Adapun lampiran berisi tentang instrumen penelitian, personalia tenaga peneliti Beserta kualifikasi, serta bukti penggunaan dana. Penelitian ini dilengkapi juga dengan draft artikel jurnal. Kami menyadari bahwa penelitian ini tidak mungkin selesai dikerjakan jika tanpa ada bantuan dari berbagai pihak.

Untuk itu, perkenankan peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berpartisifasi dan membantu dalam penyelesaian laporan penelitian ini, antara lain:

1. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan atas dukungan Pendanaan Penelitian, sehingga upaya peneliti untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kegiatan penelitian secara berkala.

2. Prof.Dr.Ir. Ellen Joan Kumaat, M.Sc., DEA selaku Rektor, Universitas Sam Ratulangi Manado.


(4)

3. Prof.Dr.Ir. Inneke F.M Rumengan, M.Sc., selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado.

4. Drs. Philep Morse Regar, MS selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi Manado, beserta jajarannya yang telah memfasilitasi penelitian ini.

5. Drs. Nicolaas Kandowangko, MSi selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi Manado.

6. Semua pihak yang telah memberikan dorongan dan ikut serta membantu penyelesaian penelitian ini sampai selesainya laporan ini ditulis, mudah-mudahan semua kebaikannya mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan amal baktinya.

Mengingat keterbatasan kemampuan dan waktu yang peneliti miliki, maka hasil laporan penelitian ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, untuk itulah peneliti sangat mengharapkan saran, kritik, dan koreksi sehingga hasil penelitian ini lebih mendekatai kesempurnaan serta sesuai dengan kaidah penelitian dan ilmu pengetahuan. Sebagai ungkapan syuhur peneliti, peneliti menyampaikan rasa hormat dan memohon maaf yang sebesar-besarnya, bila ada hal yang tidak berkenaan, Terima Kasih.

Manado, Nopember 2014


(5)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Masyarakat transmigrasi etnik Bali yang berada di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow sudah ada sejak tahun 1963. Program transmigrasi telah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dan lebih diintensipkan setelah Indonesia merdeka. Tujuannya dari salah satu transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan produktivitas dalam bidang pertanian sebagai upaya untuk meningkatkan perekonomian keluarga dan meningkatkan ketahanan pangan masyarakat Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, masyarakat etnik Bali sebagai bagian dari warga Negara yang ditransmigrasikan oleh pemerintah Indonesia sudah barang tentu diupayakan untuk meningkatkan produktivitas di bidang pertanian dengan harapan untuk meningkatkan ketahan pangan, sehingga kebutuhan primer masyarakat dapat dipenuhinya, maka masyarakat transmigrasi etnik Bali berupaya untuk meningkatkan produksi pangan dengan menerapkan sistem bertani Subak yang telah diwarisi secara turun-temurun oleh leluhurnya.

Sistem bertani subak itu merupakan salah satu bagian dari kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki oleh masyarakat Bali yang masih dilestarikan dan dikembangkan oleh pendukungnya sampai saat ini, karena di dalam kearifan lokal subak terkandung nilai-nilai sosial budaya yang sangat tinggi, seperti sistem nilai sosial, pengetahuan tradisional (local knowledge), hukum, adat, sistem kepercayaan atau religi, dan astrologi (Sibarani, 2012:ii). Implementasi dari nilai-nilai sosial budaya yang begitu luas dan mendalam terlingkup dalam sebuah konsep kebutuhan dasar dari kehidupan manusia yang berupaya untuk mencapai kesejahteraan hidup secara material maupun spiritual terangkum dalam konsep Tri Hita Karana.


(6)

Konsep Tri Hita Karana adalah suatu konsep yang bertujuan untuk mewujudkan tiga dimensi hubungan kehidupan manusia yang harmonis dan sejahtera lahir batin, seperti hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhannya tercermin dalam bentuh sembahyang dan persembahan (upacara keagamaan), hubungan harmonis manusia dengan manusia dalam bentuk sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang dapat mengatur dan mengikat warganya dalam berperilaku, berinteraksi, dan bertindak. Sementara di sisi lain juga sistem subak menekankan aspek hubungan harmonis manusia dengan alam lingkungan, baik itu lingkungan flora maupun fauna (Sirtha, 2008:x). jadi ketiga aspek kegiatan utama yang terkandung dalam system pengairan dan pola tanam (Subak) yang dilakukan oleh masyarakat etnik Bali tidaklah bersifat parsial, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh, artinya aspek manusia, lingkungan, dan Tuhan saling terkait satu dengan yang lainnya.

Terkait dengan sistem bertani Subak yang merupakan warisan masyarakat etnik Bali pada umumnya, termasuk juga masyarakat transmigrasi etnik Bali yang berada di kecamatan Dumoga bersatu (Desa Werdhi, Kembang Merta, dan Mopuya) masih tetap melestarikan dan menjalankan kegiatan pengairan dan pola tanam berlandaskan pada konsep Subak, di mana semua kegiatan tidak bisa terlepas dari tiga dimensi di atas (konsep Tri Hita Karana), karena itulah yang menjadi roh dari sistem bertani Subak masyarakat etnik Bali, walaupun mereka sudah berada di luar Bali. Contoh misalnya, ketika masyarakat transmigrasi etnik Bali di kecamatan Dumoga Bersatu (Desa Werdhi Agung, Kembang Merta, dan Mopuya) akan mulai menanam padi di sawah, aspek religiusnya jalan dalam bentuk perembahan sesaji di Pura Subak, dan ketikan akan memulai turun ke sawah, aspek organiasinya juga harus jalan dalam bentuk pengaturan pembagian air secara merata dan adil, sedangkan di sisi lain aspek lingkungan juga perlu dilestarikan dan ditata dengan baik.


(7)

Berdasarkan contoh tersebut di atas, identitas Subak tampak pada kegiatan pengairan di tingkat usaha tani yang bercorak sosial religious, artinya aktivitas sosial tampak dalam wujud kerja sama sesama warga Subak, sementara aktivitas religius tampak dalam wujud pemujaan kepada Hyang Widhi (Tuhan). Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya tampak pada kegiatan bersama untuk membersihkan saluran air yang berada dalam wilayah lingkupannya dan kegiatan-kegiata lainnya yang terkait dengan organisasi subak. Sementara hubungan yang ketiga adalah hubungan manusia dengan alam lingkungan, artinya melakukan kegiatan bertani tidak sampai merusak mahkluk hidup dan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya. Untuk itulah landasan operasional dari sistem bertani Subak adalah kerjasama/gotong royong yaitu berat-ringan pekerjaan dipikul bersama atau Salunglung

Sabayantaka Sarpanaya (Sirtha, 2008:xii).

Subak sebagai identitas etnik Bali tampak dengan jelas pada kegiatan pengairan yang bercoral sosial religis seperti apa yang telah disebutan di atas bahwa aktivitas sosial tampak pada hubungan antarwarga subak, warga subak dengan Tuhannya, dan warga subak dengan alam lingkungan, yang dalam masyarakat Bali disebut dengan istilah “Tri Hita Karana” yaitu tiga hal yang menyebabkan kebahagian. Dalam konteks kehidupan sosial, aturan-aturan (awig-awig) yang dibuat oleh warga subak memiliki peran penting untuk mengatur, menata, dan mengendalikan perilaku warga subak.

Di daerah transmigrasi Dumoga, dengan kebijakan pembangunan pemerintah dalam bidang pertanian yang lebih modern telah melahirkan dua sistem irigasi yaitu sistem irigasi Subak dan teknis. Kedua jenis irigasi tersebut dapat dijalankan secara bersama-sama, seperti tampak pada bidang pengairan dan pola tanam lebih mengarah pada teknis, namun tidak terlepas juga dari penerapan nilai budaya subak yang telah diwarisi secara turun temurun. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dalam pembangunan bidang pertaniaan modern juga menumbuh-kembangkan nilai-nilai kearifan lokal


(8)

subak sebagai landasan dasarnya, sehingga sistem bertani subak dapat mempengaruhi pada aspek fisik bertani dan aspek sosial-budaya.

Implikasi dari penggabungan system irigasi subak dengan irigasi teknis telah melahirkan berbagai aspek penting bagi kehidupan para petani, misalnya dalam aspek tata irigasi telah dibuat saluran air secara permanen dengan harapan penggunaan air dapat dioptimalkan. Di sisi lain, penggabungan kedua system itu telah menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan fungsi organisasi tradisional, seperti terbentuknya wadah-wadah koordinasi subak dalam satu daerah irigasi yang disebut dengan istilah subak besar (subak

gede).

Secara tradisional, subak memiliki hak otonomi dalam membuat aturan-aturan (awig-awig) sebagai pengikat semua warga berdasarkan hasil musyawarah (perarem), namun subak juga tidak dapat terlepas dari kekeuasaan Negara yang memiliki aturan formal, karena warga subak adalah bagian dari warga Negara Indonesia. Artinya ketika dalam organisasi subak ada permasalah yang tidak bias diselesaikan dengan hukum subak dan musyawarah, maka pimpinan subak memohon bantuan kepada pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menerapkan hukum positif. Maka dari itu, antara pemerintah dengan subak telah ada pembagian tugas yang jelas, yaitu pemerintah bertanggungjawab pada tingkat saluran air primer dan sekunder yang dibutuhkan oleh warga subak, sementara subak bertanggungjawab pada saluran air tersier yang langsung sampai ke sawah warga subak masing-masing.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dari peneliti, bahwa penerapan hukum Negara sebagai landasan pelaksanaan pembangunan petanian dan irigasi merupakan salah satu faktor eksternal yang telah menyebabkan terjadinya perubahan sosial masyarakat etnik Bali yang berada di daerah transmigrasi Dumoga Bersatu (Dumoga Utara, Timur, dan Barat). Di mana hokum formal telah mempengaruhi tindakan warga masyarakat etnik


(9)

Bali sehingga mampu memfungsikan hukum formal tersebut sebagai rekayasa social kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalam aspek perubahan social budaya masyarakat transmigrasi Bali itu sendiri, seperti perubahan aspek fisik (bidang pengairan dan pola tanam yang sangat cepat), perubahan aspek system sosial (pergeseran organiasi tradisional ke modern), dan perubahan social budaya (seperti rendahnya solidaritas dan gotong royong warga subak).

Berbicara tentang sistem pertanian, sistem pertanian masyarakat Bali di Dumoga sudah membawa sistem pertanian dari daerah asalnya sendiri, yaitu sistem bertani subak. Secara umum sistem bertani Subak masyarakat etnik Bali memiliki lima (5) ciri khas, diantaranya :

1. Subak merupakan organisasi petani pengelola air irigasi untuk anggota – anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai pengurus dan peraturan organisasi (awig–awig) baik tertulis maupun tidak tertulis.

2. Subak mempunyai sumber air bersama, berupa bendungan (empelan) di sungai, mata air, air tanah ataupun saluran utama suatu sistem irigasi. 3. Subak mempunyai suatu areal persawahan.

4. Subak mempunyai otonomi, baik internal maupun eksternal

5. Subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul atau Pura yang berhubungan dengan persubakan

Konsep kebersamaan dalam kelompok petani Bali di aplikasikan melalui kegiatan gotong royong yang merupakan ciri yang kuat dari masyrakat petani Bali walaupun hidup diluar Bali, berpijak dari kegotong royongan inilah kepentingan bersama yang dilandasi rasa paras paros selunglung sebayantaka ( tenggang rasa, susah senang sama dirasakan/ dirasakan bersama), semua yang terkait dengan masalah pertanian disatukan, sehingga muncullah suatu organisasi yang di sebut subak (sumarta, 1992).

Kepentingan bersama dari subak dipadukan dengan nilai –nilai agama Hindu menjadikan organisasi subak ini mempunyai nilai sosial yang religius. Dengan kebersamaan dan kegotong royongannya, serta konsep Tri Hita Karana yang


(10)

diwujudkan yang diwujudkan dalam hubungan yang harmonis dalam bentuk 3 dimensi, menyebabkan subak oleh para pakar pertanian dianggap mampu berperan. Riset ini akan dilaksanakan di Kabupaten Bolaang Mongondow yang merupakan daerah sentra produksi padi di Provinsi Sulawesi Utara, dengan mengambil sampel masyarakat suku Bali Desa Werdi Agung, Kembang Mertha, Mopuya yang berada di kecamatan Dumoga Bersatu, Kabupaten Bolaang Mngondow.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, peneliti sangat tertarik dengan sistem bertani subak yang dimiliki oleh masyarakat transmigrasi etnik Bali yang berada di Dumoga bersatu. Mengingat begitu luasnya wilayah yang ditempati oleh para transmigran Bali, maka peneliti merumuskan judul penelitian secara spesifik sebagai berikut :“Kajian Terpadu Aspek Sosial Dalam Menunjang Kemandirian Pembangunan Pertanian Di Kawasan Agroplitan Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow”.

B. Rumusan Masalah

Subak merupakan organisasi tradisional etnik Bali yang bergerak dalam bidang pertanian tanah kering (ladang) maupun tanah basah (sawah) dan memiliki struktur yang rapi dan terpelihara dengan ketelatenan para petani yang menjaga struktur tanah, irigasi untuk tanaman. Biasanya Subak akan lebih indah terlihat jikalau sedang dalam masa tanam dimana umur tanaman tidak terlalu tua untuk di panen alias masih muda, sehingga akan terlihat hijau.

Subak merupakan darah sentral untuk menghasilkan tanaman pangan yang pokok bagi manusia/masyarakat Indonesia yaitu beras, Subak adalah merupakan sistem pengairan selain itu terbentuk pula suatu organisasi tata laksana yang mengatur hal itu sehingga mampu terstruktur dengan baik bersama organisasi Subak itu yang mempunyai tujuan untuk mensejahterakan anggotanya, oleh karena itu Subak memiliki peran penting bagi peningkatan kesejahteraan para petani masyarakat di kawasan agropolitan Dumoga.


(11)

C. Tujuan Penelitian

Subak dibentuk bertujuan untuk menjamin agar semua petani anggota subak tidak kekurangan air irigasi, dan melakukan kegiatan ritual. Kegiatan ritual adalah sesuatu yang khas dilakukan oleh anggota subak yang membedakannya dengan sistem irigasi lainnya di belahan dunia.

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan karya ilmiah ini yaitu:

1. Untuk mengetahui eksistensi subak terkait dengan pengelolaan sumberdaya air dan pertanian beririgasi di Dumoga

2. Untuk mengetahui mengapa subak harus dilestarikan dan bahkan diperkuat atau diberdayakan.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya apa yang perlu dilakukan untuk memberdayaan subak

D. Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini dapat mempunyai dua manfaat yaitu manfaat teoretik dan manfaat praktis.

- Secara akademis

Penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan sebagai bahan kajian ilmiah suatu organisasi tradisional petani yang terhimpun dalam suatu wadah yang disebut subak. Mengangkat nilai – nilai budaya lokal yang sudah mulai memudar dan di yakini mampu berperan dalam pelestarian lingkungan.

- Secara praktis

1. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi perencana pembangunan dalam hal ini pemerintah setempat dalam memahami kehidupan dan aktivitas subak dalam perannya menunjang pelestarian lingkungan.


(12)

2. Dengan masukan ini kirannya Pemerintah Daerah Kabupaten Bolmong dapat mendayagunakan nilai – nilai subak serta dapat lebih mampu mengatur tata ruang Kabupaten, dengan menahan lajunya berkembangnya pemukiman yang memanfaatkan lahan sawah yang produktif, sehingga ruang terbuka yang berimbang dapat di pertahankan. Demikian pula usaha pemberdayaan terhadap kaum petani dalam penggunaan zat – zat kimia, baik pemupukan maupun pemberantasan hama yang cenderung menyebabkan kerusakan lingkungan, dan perlu di barengi dengan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan petani dalam subak, sehingga eksistensi petani dalam perannya melestarikan lingkungan tetap dapat di pertahankan.

Selain itu juga sebagai masukan bagi para perencana pembangunan dalam merevitalisasi nilai – nilai subak yang sudah mulai memudar, untuk dapat dipakai dalam merencanakan suatu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian suatu pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan kepentingan generasi yang akan datang (Hadi,2011), dengan tetap mengacu pada prinsip – prinsip kelestarian lingkungan.


(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem bertani Subak merupakan salah satu dari tiga pilar utama penopang kemasyuran masyarakat Bali,karena sistem Subak memiliki landasan filosofi Tri Hita Karana (THK) yang berarti tiga penyebab kesejahteraan, yaitu adanya hubungan yang harmonis antara (a) manuasia dengan penciptanya (Tuhan Yang Maha Esa), (b) manusia dengan manusiannya, dan (c) manusia dengan alamnya (Dinas Kebudayaan Propinsi Bali,1995). Hal tersebut patut disadari, bahwa ketika salah satu atau lebih pilar penopang Bali itu runtuh, maka saat itu pula Bali akan kehilangan identitasnya.

Para pemerhati subak umumnya memandang sistem subak hanya dari dua aspek, yakni aspek sosial dan aspek teknis (Pitana 1993; Samudra 1993; Sushila 1993). Sutawan dkk (1989) berdasarkan penelitian empiris mengemukakan bahwa subak adalah organisasi petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari suatu sumber bersama, memiliki satu atau lebih pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi Kesuburan), serta memiliki kebebasan dalam mengatur rumah tangganya sendiri maupun dalam berhubungan dengan pihak luar.

Pertanian di Bali tidak terlepas dari keberadaan dan peran subak, baik yang menyangkut masalah pertanian di lahan sawah (subak lahan basah) maupun pertanian dilahan tegalan/kering (subak abian). Selanjutnya, subak lahan basah (sawah) di Bali identik dengan pertanian tanaman pangan, khususnya budidaya padi (Sutawan, 2009). Tantangan dan Peluang Subak dalam Berperan Ganda, Kebijakan Penyerahan Pengelolaan Irigasi (PPI) seperti tertuang dalam INPRES Nomor 3/1999 yang dalam UU RI Nomor 7/2004 dikenal sebagai Pengelolaan Irigasi Partisipatif (PIP), merupakan upaya pemerintah untuk memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat petani termasuk subak dalam pengelolaan irigasi, sebagai akibat semakin terbatasnya kemampuan pemerintah dari segi personil maupun dana terutama untuk melaksanakan operasi dan pemeliharaan (O & P) jaringan irigasi. Hal ini merupakan


(14)

salah satu tantangan utama bagikeberlanjutan subak untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan nasional.

Pengembangan Pola Usaha Agribisnis pada Subak, Usaha ekonomi berbasis subak pada prinsipnya adalah agribisnis berbasis pangan atau lahan sawah. Dengan berprinsip bahwa usahatani itu identik dengan perusahaan, maka usahatani ini akan eksis dan berkembang jika mampu menjual hasilnya dengan nilai jual yang layak (Suherman, 2003).

Di samping itu, untuk meningkatkan tingkat pendapatan petani, maka dalam pengembangan kelembagaan kita terapkan juga prinsip tanam – petik – olah – jual. Jika kebiasaan petani menjual hasilnya berupa gabah kering panen (GKP) di sawah, maka usaha yang perlu dikembangkan adalah usaha lumbung padi (rice storage). Dengan adanya lumbung padi ini akan menjamin ketersediaan pangan di tingkat kelompok tani/subak.

Pengembangan usaha selanjutnya adalah usaha penggilingan padi (Rice Milling Unit) yang layak dan memadai. Sarana dan prasarana penggilingan padi yang memadai dilengkapi dengan lantai jemur, mesin penggilingan, mesin pengering gabah, ruang produksi, gudang gabah, gudang beras, kantor, sarana transportasi serta ditunjang oleh SDM yang memadai.

Penggilingan padi yang layak dan memadai tentu membutuhkan modal yang cukup besar pula, tetapi itu tidak menjadi masalah karena modal pengembangan usaha dapat bersumber dari dana pinjaman (kredit) dengan didukung oleh analisis kelayakan usaha yang akurat.

Aktivitas produksi dari usaha penggilingan padi ini akan menghasilkan pula produk sampingan berupa dedak dan sekam di samping produk utama berupa beras. Dedak akan bernilai jual lebih tinggi jika diolah menjadi pakan ternak uanggas, babi dan sapi. Ini berarti ada peluang bagi pengembangan usaha pakan ternak. Jika akan mengembangkan usaha pakan ternak, maka dapat diprediksi dari sekian ton produksi dedak berapa kebutuhan bahan pakan berupa jagung, polar, konsentrat, tepung ikan, tepung tulang dan lain-lain.


(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

Untuk memperoleh informasi yang sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian perlu adanya rancangan menyeluruh tentang urutan kerja penelitian dalam bentuk rumusan operasional suatu metode ilmiah. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif intepretatif.

1. Metode Penelitian

Informasi yang diperoleh peneliti dengan melalui wawancara mendalam, pengamatan dan observasi partisipan terhadap berbagai aktivitas dunia empirik subyek kajian. Pelaku atau informan dapat memberikan informasi tentang dirinya dan tentang keadaan orang lain yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti. Berkaitan dengan itu maka alat pengumpulan data atau informasi dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri.

2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, menurut Nawawi (2003 : 96) adalah jenis data kualitatif sebagai yang utama dan data kuantitatif sebagai penunjang. Data kualitatif adalah data yang dapat dinyatakan dalam bentuk ucapan, kalimat, prilaku, dan peristiwa yang berkaitan dengan peranan sistem subak dalam membangun kemendirian pertanian pangan berbasiskan padi di kawasan agropolitan Dumoga. Jenis-jenis data dieksplorasi sedalam-dalamnya dari :

(1) informan, melalui teknik wawancara (in dept interview),

(2) peristiwa prilaku dan tindakan diperoleh melalui teknik observasi partisipasi (partisipatory observation),

(3) dokumen, baik verbal (teks lisan yang berupa rekaman wawancara, rekaman pidato, rekaman ceramah/sambutan, diskusi, rapat, dan sebagainya) maupun non verbal (teks tertulis dalam bentuk arsip, notulen rapet, anggaran dasar (Awig-Awig, artikel, buku, citra visual, dan lain-lainnya), dan


(16)

(4) berkaitan dengan konteks sosial, historis, situasi; tempat dan lingkungan sekitarnya yang mempengaruhinya. Uraian di atas sangat relepan dengan ungkapan Arikunto (2003:107) tentang sumber data, yakni (1) person, yaitu sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara, (2) place, yaitu sumber data yang menyajikan tampilan berupa keadaan diam dan bergerak (data observasi), (3) paper, yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, gambar, simbol-simbol, dan sebagainya (data dokumentasi ).

3. Penentuan Informan

Informan ditetapkan dengan menggunakan teknik pourposive sampling dan

snowball sampling. Pourposive sampling adalah teknik pengambilan sumber data

dengan pertimbangan tertentu, sedangkan snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel sebagai sumber data, yang awalnya kecil, tetapi lama-kelamaan menjadi besar (Sugiyono, 2005:53). Jadi, penentuan informan dalam penelitian tesis ini dilakukan secara pourposive, yaitu penentuan yang bertujan (Endraswara, 2006:115), berdasarkan kreteria tertentu sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian ini.

4. Instrumen penelitian

Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen (alat) penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, penelitilah yang menjadi instrumen utama dan harus divalidasi seberapa jauh kesiapan peneliti untuk melakukan penelitian ke lapangan. Validisi terhadap peneliti menurut Sugiyono (2005:59) adalah (1) sejauh mana penguasaan peneliti dalam hal metode penelitian, (2) penguasaan wawasan (teori) peneliti pada bidang yang diteliti, (3) kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademis maupun logistik. Instrumen lain yang dapat mendukung teknik observasi partisipasi dan teknik wawancara mendalam adalah pedoman wawancara, alat perekam (tipe recoder dan camera), dan sarana pencatat data.


(17)

5. Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat majemuk, karenasampel (sampling) dalam penelitian kualitatif dinyatakan sebagai internal

sampling, dan bukan sebagai wakil populasi melainkan mewakili informasinya,

dengan kelengkapan dan kedalamannya tidak ditentukan oleh jumlah informan (Poerwandari dalam Kuntjara, 2006:53-58). Informasi dan data tentang peranan sistem subak dalam membangun kemandirian pertanian pangan berbasiskan padi di kawasan agropolitan Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow, penulis pergunakan beberapa teknik pengumpulan data yang relevan dengan penelitian kualitatif, yaitu teknik observasi, teknik wawancara mendalam, dan studi dokumen.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah deskriptif kualitatif dan interpretatif, artinya data yang sudah didapat dari informan dianalisis setiap meninggalkan lapangan. Secara umum proses analisis telah dimulai sejak peneliti menetapkan fokus permasalahan dan lokasi penelitian, kemudian menjadi intensip ketika sudah terjun ke lapangan.


(18)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Sejarah Etnik Bali

Etnik Bali berada di kawasan transmigrasi Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow sejak 8 Agustus 1963 sebagai akibat dari adanya bencana alam Gunung Agung meletus. Menurut tokoh masyarakat, bahwa para transmigran etnik Bali pada periode pertama bukan saja berasal dari kawasan bencana alam Gunung Agung, akan tetapi banyak juga yang berasal dari daerah padat penduduk dan miskin di pulau Bali seperti daerah Kabupaten Bangli, Klungkung, Gianyar, Badung, Buleleng, dan Jembrana. Para transmigran periode pertama (1963) berjumlah 351 KK dan 1.552 jiwa semuanya merupakan etnik Bali yang ditempatkan di Desa Werdhi Agung (Hasil Wawancara dengan I Nyoman Marayasa, tanggal Mei 2014).

Periode kedua tiba di kawasan transmigarsi Bolaang Mongondow pada tanggal 27 Maret 1964 dengan jumlah 300 KK yang ditempatkan di Desa Kembang Mertha. Namun setelah tinggal beberapa lama di Desa Kembang Mertha, sebanyak 46 KK meninggal dunia akibat terkena penyakit malaria tropika sehingga jumlah transmigran yang menempati Desa Kembang Mertha berjumlah 254 KK. Khususnya transmigran yang ditempatkan di Desa Kembang Mertha tidak didampingi oleh para medis dan dokter sehingga banyak yang meninggal akibat terserang penyakit malaria tersebut, akan tetapi dilandasi oleh semangat yang tinggi dan kemiskinan natural masyarakat desa Kembang Mertha saat ini telah berkembang pesat setara dengan desa-desa lainnya, bahkan sekarang desanya Kembag Mertha telah dimekarkan menjadi empat desa (Hasil Wawancara dengan I Wayan Roden, Mei 2014).

Sementara diperiode selanjutnya (tahun 1974 – 1976), masuk lagi transmigrasi etnik Bali dan Jawa (tahap ketiga, keempat, dan kelima) yang


(19)

menempati kawasan transmigrasi Kecamatan Dumoga bersatu (sekarang Dumoga Utara) Kabupaten Bolaang Mongondow. Di mana transmigran tahap ketiga di tempatkan di Desa Mopuya pada tahun 1974 dengan jumlah 76 KK, dan tahap keempat di tempatkan di Desa Mopugad Selatan (tahun 1975) dengan jumlah 225 KK, sedangkan tahap kelima ditempatkan di Desa Mopugad Utara (tahun 1976) dengan jumlah 75 KK (Hasil Wawancara dengan I Gusti Parsa, Mei 2014).

Secara umum perkembangan masyarakat transmigran di kawasan Kecamatan Dumoga bersatu (Dumoga Tengah, Timur, dan Utara) tergolong sangat pesat, sehingga dalam kurun waktu 51 tahun kecamatan ini telah dikembangkan menjadi lima kecamatan, yakni Kecamatan Dumoga Timur, Dumoga Utara, Dumoga Barat, Dumoga Tenggara, dan Dumoga Tengah. Desa-desa yang menjadi basis transigran etnik Bali ada di empat desa (desa Kembang Mertha, Werdhi Agung, Mopuya, dan Mupugad) namun pada saat ini telah dimekarkan menjadi beberapa desa sebagai upaya mempercepat proses pembangunan dan mengikuti perkembangan politik yang berkembang saat ini. Misalnya, Desa Werdhi Agung telah dimekarkan menjadi empat desa (Desa Werdhi Agung Induk, Werdhi Agung Selatan, Werdhi Agung Utara, dan Werdhi Agung Timur), Desa Kembang Mertha dimekarkan menjadi empat desa yaitu Desa Kembang Mertha Sila Karya, Kembang Mertha Sila Dharma, Kembang Mertha Grehastha, dan Kembang Mertha Wana Sari, termasuk juga Desa Mopugad dan Mopuya telah dimekarkan menjadi beberapa desa definitif.

Berdasarkan hasil observasi dan data sekunder yang terdapat di beberapa kecamatan di Dumoga bersatu, bahwa kawasan transmigrasi Dumoga bukan saja dihuni oleh transmigran etnik Bali saja, akan tetapi dihuni pula oleh transmigran etnik Jawa, terutama yang menempati Desa Mopuya dan Desa Mopugad. Di sisi lain terdapat juga transmigran lokal Sulawesi Utara, terutama yang berasal dari etnik Minahasa dengan menempati beberapa desa di kawasan transmigrasi Dumoga, seperti Desa Tonom, Mogoyunggung, Dondomon, Kosioq, Tambun, Torahat, Ibolian, dan Kinomaligan.


(20)

Wilayah transmigrasi Dumoga, perkembangannya dapat dikategorikan sangat pesat karena adanya transmigran spontan dari etnik Bali, etnik Jawa, etnik lokal Sulawesi Utara, dan juga pencari kerja dari daerah-daerah lain, seperti Gorontalo, Makasar, Jawa, Minahasa, Toraja, dan Sangihe. Kedatangan transmigran spontan maupun pencari kerja dari beberapa daerah, serta termotivasi oleh keberhasilan para transmigran asal Bali dan Jawa di kawasan Dumoga. Para transmigran lokal yang masuk ke wilayah Dumoga memiliki latar belakang kehidupan sosial ekonomi yang berbeda dengan penduduk asli Bolaang Mongondow yang secara turun temurun telah menghuni dan beraktivitas di daerah Dumoga. Perbedaan latar belakang sosial ekonomi dan budaya, terutama sosial budaya dan adat istiadat yang dapat mempengaruhi pola kehidupan bermasyarakat etnik pendatang maupun etnik asli yang sampai saat ini tidak menimbulkan terjadinya konflik antaretnik.

2. Perkembangan Wilayah Transmigrasi Dumoga

Kawasan transmigrasi Dumoga merupakan salah satu wilayah kecamatan yang mempunyai tingkat pertumbuhan penduduk per-tahun yang paling tertinggi di antara kecamatan yang ada di Kabupaten Bolaang Mongondow. Di tahun 1983 jumlah penduduk Kecamatan Dumoga berkisar 49.283 jiwa, pada tahun 1993 meningkat menjadi 62.679 jiwa, pada tahun 2007 meningkat menjadi 76.997 jiwa sementara hasil sensus tahun 2010 kurang lebih 80.000 jiwa. Ini berarti bahwa pertumbuhan rata-rata penduduk per-tahun selama periode (tahun 1983, 1993, 2007 dan 2010) tersebut sebesar 17,84% ( Wawancara dengan Camat Dumoga Timur, Mei 2014).

Pertumbuhan penduduk yang demikian pesat dalam kurun waktu 30 tahun dapat mengakibatkan daya dukung lingkungan terlampaui sehingga banyak menimbulkan masalah, seperti kualitas lingkungan menjadi rusak karena kenaikan jumlah penduduk tidak seimbang dengan pengembangan wilayah. Bahkan berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan ternyata hutan lindung yang ada di kawasan transmigrasi Dumoga sudah rusak parah (tambang emas liar),


(21)

lahan-lahan terjal yang semestinya tidak boleh dimanfaatkan untuk lahan-lahan pertanian, telah dimanfaatkan pula oleh penduduk sebagai lahan pertanian sehingga berdampak pada air irigasi semakin mengecil dan sering dilanda bajir (banjir besar Agustus 2014).

Penduduk yang ada di wilayah kawasan agropolitan pertanian Dumoga cukup bervariasi sesuai dengan daerah asal dengan identitas etniknya masing-masing. Selain penduduk asli Mongondow yang telah menetap dan tinggal lama di Dumoga, terdapat juga etnik lain yang tinggal bersama-sama secara damai, seperti etnik Minahasa, Jawa, Bali, Bugis, Gorontalo, dan Sangihe. Bila diperhatikan perimbangan jumlah etnik menurut daerah asal yang tinggal di kawasan agropolitan pertanian Dumoga, dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Persentase Penduduk Menurut Etnik

No. Etnik Jumlah Etnik (%)

1 Mongondow 34,00

2 Minahasa 35,00

3 Jawa 17,66

4 Bali 11,24

5 Lain - lain 2,10

Jumlah 100

Sumber Data : Kantor Kecamatan Dumoga Utara

Memang sejak terbukanya dataran Dumoga sebagai daerah pertanian, terutama persawahan, perkebunan, dan tambang emas telah terjadi migrasi penduduk ke wilayah tersebut secara besar-besaran, seperti adanya transmigrasi umum dan spontan dari Jawa, Bali dan Minahasa, serta pencari kerja. Kedatangan para transmigran tersebut sudah pasti memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda dengan penduduk asli Mongondow, baik dari aspek budaya, agama, adat istiadat, ekonomi, dan bahasa sehingga mencerminkan pola


(22)

kehidupan bermasyarakat yang berbeda satu dengan yang lainnya sebagai identitas diri maupun kelompok, seperti indentias bertani subak bagi etnik Bali.

Dengan adanya program transmigrasi di wilayah dataran Dumoga oleh pemerintah daerah, provinsi, dan pusat telah mampu melakukan beberapa pembangunan fisik, diantaranya pembangunan prasarana jalan untuk menghubungkan wilayah transmigrasi Dumoga dengan daerah lain, terutama akses jalan ke kota Kabupaten dan kota Provinsi. Sarana-sarana lainnya jang sangat diperhatikan oleh pemerintah daerah, provinsi, dan pusat, seperti sarana pendidikan, kesehatan, irigasi, dan listrik sehingga kawasan transmigrasi Dumoga mengalami perkembangan dalam berbagai aspek yang tergolong tinggi, terutama dalam aspek pertanian tanah basah, bahkan Dumoga merupakan sentra penghasil beras terbesar di Kabupaten Bolaang Mongondow dan Sulawesi Utara (Wawancara dengan I Nyoman Marayasa, Mei 2014).

3. Mata Pencaharian, Teknologi, dan Sistem Pengetahuan

Berdasarkan tradisi dan bukti sejarah, masyarakat etnik Bali sejak dahulu kala telah melakukan aktivitas bertani sampai saat sekarang. Ini berarti bahwa sebelum berangkat menjadi transmigran ke dataran Dumuga Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara sesungguh masyarakat etnik Bali sudah memiliki skil/keterampilan bertani di lahan basah maupun lahan kering, seperti apa yang telah terungkap dalam prasasti Pandak Badung dan Klungkung A, masing-masing berangka tahun 903 dan 994 telah mengenal istilah kasuwakan, yang dapat diidentik dengan kata ‘subak’ di Bali sekarang (Ardika, 1994:26).

Aktivitas bertani di lahan basah maupun di lahan kering sudah menjadi mata pencaharian utama masyarakat etnik Bali, walaupun sekarang sudah berada di luar daerah Bali (bertransmigrasi) masih tetap dilanjutkan dan dikembangkan social budaya mereka sesuai dengan kondisi social budaya masyarakat setempat. Para transmigran etnik Bali yang berada di kawasan transmigrasi Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow tidak mengalami kesulitan untuk mengembangkan pertanian dengan sistem subak, karena kondisi geografisnya,


(23)

social, budaya, dan alam dan lingkungannya tidak jauh berbeda dengan kondisi daerah Bali. Berbekal pengetahuan dan keahlian bertani yang diwarisi secara turun-temurun oleh leluhurnya, masyarakat transmigran etnik Bali di kawasan agropolitan Dumoga Bolaang Mongondow dapat mencapai keberhasilan dalam bidang pertanian, bahkan pemerintah Bolaang Mongondow dan masyarakat setempat mengakui keberhasilan etnik Bali dalam hal bertani mapun aspek lainnya. Keberhasilan tersebut memang tidak terlepas dari sosial dan budaya kerja etnik Bali yang ulet, tekun, dan didukung dengan penguasaan pengetahuan pertanian (sistem subak) yang baik, sehingga tingkat kesejahteraan etnik Bali paling tinggi diantara etnik-etnik lainnya yang ada di Dumoga (Nani, 2003:83).

Bagi masyarakat etnik Bali yang beragama Hindu, kepercayaan terhadap sistem astronomi (wariga) yang sangat erat hubungannya dengan sistem pertanian, seperti menentukan hari baik untuk membuat saluran air, mulai membuka lahan, menanam, dan panen masih tetap dipergunakan. Oleh karena itu, setiap tahapan pengolahan tanah kering maupun tanah basah selalu diikuti oleh suatu upacara yang terkait dengan agama Hindu. Bagi etnik Bali maupun etnik lain yang tidak seiman (bukan Hindu) tetap juga mengikuti upacara keagamaan yang dilakukan oleh etnik Bali (upacara Hindu) dengan cara ikut berpartisipasi dan menanggung biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ritual tersebut, namun mereka tidak ikut beribadah secara tradisi Hindu (Wawancara dengan I Wayan Kayun Sarjana, Mei 2014).

Seiring dengan perkembangan zaman, kesejahteraan etnik Bali semakin meningkat, terutama sektor ekonomi dan pendidikan menyebabkan terjadinya pergeseran dalam sistem mata pencaharian. Etnik Bali yang semula 100% menggantungkan hidup dari sektor agraris (pertanian), namun dalam dua dekade terakhir telah mengalami pergeseran ke sektor non pertanian, seperti pegawai negeri, pedagang/pengusaha, pertukangan, dan peternak. Hasil penelitian Punia (2007:45) mengungkapkan bahwa masyarakat transmigran etnik Bali yang tinggal di kawasan agropolitan Dumoga Bolaang Mongondow tinggal 85 % yang


(24)

berpencaharian bertani, sisanya yang 15 % sudah beralih ke sektor lain, seperti pegawai negeri, polisi, tentara, pedagang, dan pertukangan.

Pergeseran mata pencaharian masyarakat etnik Bali di Bolaang Mongondow (Dumoga) dari sektor pertanian ke sektor lain karena semakin sempitnya lahan pertanian yang dimiliki oleh para petani, apa lagi adanya perubahan pola pikir masyarakat itu sendiri untuk meningkatkan tarap hidup yang lebih baik, sehingga mereka berupaya untuk mencari profesi yang lain. Contoh yang menarik untuk dikemukakan berkaitan dengan pergeseran mata pencaharian etnik Bali dari sektor pertanian ke sektor non pertanian bahwa masyarakat yang sudah secara turun temurun menjadi petani berkeinginan anak-anaknya bukan lagi berprofesi sebagai petani, tetapi berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri, pengusaha, dan pertukangan (Wawancara dengan I Ketut Merta, Mei 2014). Realitas di masyarakat membuktikan bahwa sudah banyak etnik Bali yang meninggalkan profesinya sebagi petani.

4. Pola Hubungan Etnik Bali

Kehadiran para transmigran dari berbagai etnik dengan latar belakang kehidupan agama, budaya, adat istiadat, dan ekonomi yang berbeda di kawasan transmigrasi Dumoga telah terjadi pembauran antaretnik, terutama masyarakat transmigran dengan penduduk asli Mongondow maupun etnik-etnik lainnya sesame transmigran. Pembauran antaretnik, budaya, adat istiadat di kawasan agropolitan Dumoga telah memberikan perubahan-perubahan perilaku dalam pola hubungan kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi, sehingga melahirkan sebuah integrasi sosial yang terimplementasi dalam berbagai bentuk, fungus, dan makna. Interaksi sosial dalam konteks kehidupan masyarakat transmigran tercermin dalam sebuah toleransi antara anggota masyarakat, antarbudaya, antaragama, antaretnik, kerjasama antaranggota masyarakat/etnik, dan proses asimilasi atau adaptasi telah terjadi dalam masyarakat transmigran Dumoga. Integrasi sosial selalu tampak terjadi dalam kontak kehidupan bermasyarakat, terutama dalam kehidupan masyarakat tradisional, seperti yang terjadi pada masyarakat


(25)

transmigran yang ada di kawasan transmigrasi Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow sebagai berikut.

a. Interaksi Sosial

Masyarakat transmigrasi di kawasan Dumoga yang berasal dari berbagai daerah dan etnik di Indonesia telah tergabung dalam suatu kehidupan masyarakat baru dengan latar belakang kehidupan social dan budaya yang berbeda-beda. Di samping itu, masyarakat transmigrasi yang sudah beraneka ragam social dan budayanya diharapkan mampu berbaur dengan masyarakat asli Mongondow maupun sesame trasnmigran yang memiliki budaya tersendiri.

Interaksi sosial yang terjadi di kawasan transmigrasi Dumoga dapat berupa kontak antara sesama masyarakat transmigran, dan antara transmigran dengan masyarakat asli Mongondow. Menurut hasil penelitian Asief (2002:105) bahwa kehidupan masyarakat transmigran di Dumoga cendrung membentuk kelompok berdasarkan daerah asal, misalnya masyarakat etnik Bali cendrung membentuk kelompok tersendiri, karena mereka merasa mempunyai budaya, adat istiadat, dan agama yang sama. Sementara masyarakat etnik Jawa dan etnik Minahasa membentuk kelompk tersendiri, akan tetapi masing-masing etnik telah melakukan kontak sosial dengan etnik-etnik lain sesama transmigran maupu dengan penduduk asli Mongondow.

Pembauran masyarakat etnik Bali dengan masyarakat etnik Mongondow dan etnik lain mendorong interaksi sosial dan saling menghargai selalu terjadi di kawasan transmigrasi Dumoga. Kawasan transmigrasi Dumoga adalah daerah produsen palawija, terutama padi, dengan dukungan prasarana dan sarana transportasi yang cukup baik sehingga intensitas interaksi sosialnya semakin intensif dan terbuka. Kondisi tersebut telah terjadi diberbagai tempat, seperti pasar tradisional, areal pertanian, fasilitas umum (Sekolah), KUD, dan fasilitas-fasilitas sosial lainnya.


(26)

b. Toleransi

Interaksi sosial sesama etnik maupun antaretnik adalah salah satu syarat untuk melahirkan sikap toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap toleransi di kawasan transmigrasi Dumoga lebih disebabkan adanya perbedaan sosial budaya masing-masing kelompok (etnik) seperti budaya, bahasa, adat istiadat, dan agama, serta dilandasi oleh masing-masing kearifan lokal yang telah tertanam sejak kecil dan turun temurun.

Masyarakat di kawasan transmigrasi Dumoga sangat beragam, baik dalam aspek agama, budaya, dan adat istiadat sehingga setiap etnik dapat menghormati dan menghargai agama maupun buadaya yang dimiliki oleh etnik lain, misalnya bila ada pertemuan resmi di kantor desa atau kecamatan yang dihadiri oleh berbagai etnik dan agama, maka bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa malayu Manado, bahkan semua salam agama diucakan oleh pemimpin rapat sedangkan kalau rapatnya bersifat intern etnik maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali, melayu Manado dan Indonesia, sebagaimana terungkap dalam kutipan berikut ini. “Ketika aparat desa maupun kecamatan melaksanakan pertemuan dengan warganya atau aparat dibawahnya, sarana komunikasi yang dipergunakan adalah bahasa Indonesia dan malayu Manado serta mengucapkan salam semua agama yang ada di wilayahnya. Namun ketika rapat yang sifatnya intern etnik menggunakan bahasa campuran “ (Wawancara dengan kepala Desa Werdhi Agung Selatan, Mei 2014).

Sikap toleransi antaretnik di kawasan Dumoga sangat bagus, misalnya menghargai dan menghormati model pakaian etnik lain dalam acara-acara tertentu. Menghargai dan menghormati social dan budaya etnik lain adalah suatu cerminan masyarakat yang multikultur dengan mengedepankan sikap toleransi dan kesamaan derajat. Sesungguhnya sikap toleransi etnik Bali maupun etnik lain sudah tercermin jelas pada kearifan-kearifan lokal masing-masing etnik, seperti etnik Bali memiliki kearifan lokal : tat twan asi,


(27)

menyama braya, rwa bhineda, tri hita karana, etnik Mongondow memiliki

kearifan lokal : mototompian, mototabian bo, mototanoban, dan etnik Minahasa dengan kearifan lokalnya : pakatuan wo pakalawiran dan torang

samua ba sudara, dan lainya.

Kearifan lokal dari masing-masing etnik di kawasan Dumoga bersatu khususnya dan Kabupaten Bolaang Mongondow umumnya telah terinplementasikan dalam aspek kehidupan bermasyarakat, sehingga kehidupan bermasyarakat yang multikultural di Bolaang Mongondow dapat terujud dengan baik, misalnya ; masyarakat transmigrasi yang berbeda budaya dan agama dapat mewujudkan kebersamaan dalam kelompok tani (subak).

Toleransi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat di kawasan Dumoga tampak dari sikap hidup beragama, seperti yang tercermin pada pendirian tempat ibadah agama Hindu, Kristen, dan Islam yang berada dalam satu wilayah, hanya dibatasi dengan bagar. Sikap toleransi lain yang telah dicerminkan oleh masyarakat beragama di kawasan Dumoga dan umumnya di Bolaang Mongondow, antara lain menghadiri acara serimonial keagamaan, kedukaan, dan kegiatan sosial lainnya. Bahkan untuk menciptakan suasana rukun dan damai dikalangan masyarakat Sulawesi Utara umumnya, dan khususnya di Dumoga telah dibentuk suatu organisasi resmi oleh Pemerintah yang bernama Koperasi Unit Desa (KUD) Werdhi Yasa, Badan Kerja Sama Antar Umat Beragama (BKSAUA), dan dalam bentuk yang lainnya.

c. Kerjasama

Sifat gotong royong yang melekat pada setiap etnik ialah suatu bentuk kerjasama yang selalu tercermin dalam kehidupan masyarakat pedesaan dan perkotaan. Kerjasama yang terwujud dalam masyarakat transmigran di kawasan Dumoga lebih mengarah pada kegiatan agribisnis, karena wilayah ini merupakan daerah sentra produksi tanaman palawija, misalnya kerjasama dalam perbaikan saluran irigasi, pengadaan sarana produksi, dan pemasaran


(28)

hasil komoditi. Namun tidak menutup kemungkinan kerjasama dalam bidang sosial lainnya, di antaranya membantu masyarakat yang mengalami bencana banjir, tanah longsor, dan musibah lainnya.

Kerjasama antaretnik terjadi dengan intensif pada pemeliharaan dan perbaikan saluran irigasi sesuai dengan batas-batas kelompok (pekaseh dalam sistem subak) yang telah ditentukan oleh pemerintah. Di sisi lain, juga terjadi kerjasama yang bersifat sementara dan kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok, seperti kelompok menanam padi di sawah, kelompok menyabit padi, dan menjadi kelompok koperasi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Asief (2001:110) bahwa ada dua bentuk kerjasama yang ada di di daerah transmigrasi Bolaang Mongondow, antara lain : 1) kerjasama dengan sifat mengharapkan hasil ( bersifat ekonomis ), dan 2) kerjasama yang bersifat membantu/menolong yang dilakukan secara sukarela, terutama yang ada kaitannya dengan kegiatan sosial. Kedua bentuk kerjasama tersebut telah terjadi dalam kehidupan masyarakat di kawasan transmigran etnik Bali Bolaang Mongondow.

Secara intern etnik Bali, kerjasama yang berkaitan dengan kegiatan sosial kemasyarakatan, terutama yang terhimpun dalam organisasi banjar adat masih berjalan dengan baik, seperti gotong royong membersihkan lingkungan banjar/desa, membersihkan lingkungan pura maupun pada saat melakukan upacara keagamaan, dan pelaksanaan upacara kematian. Sementara gotong royong yang lainnya sudah banyak yang dikomersilkan atau diuangkan sesuai dengan kesepakatan, seperti membuat rumah tinggal, membajak sawah, menanam padi, mengangkat hasil panen, memanjat kelapa, dan sejenisnya (Wawancara dengan I Wayan Loki, Mei 2014).

d. Asimilasi

Etnik Bali sudah bermukim di kawasan transmigrasi Bolaang Mongondow (Dumoga) sejak tahun 1963, menyebabkan lahirnya anggota masyarakat generasi baru yang merupakan kombinasi dari etnik-etnik yang


(29)

ada di Dumoga maupun disekitarnya. Interaksi antaretnik sudah berlangsung ± 51 tahun sudah pasti memberikan berbagai perubahan dalam berbagai aspek kehidupan sosial etnik yang ada. Etnik Bali misalnya, dari generasi pertama hingga generasi ketiga sudah mengerti bahasa etnik lainnya, demikian juga sebaliknya banya etnik Bali yang tidak mengerti bahasa Bali. Proses asimilasi tidak hanya terbatas pada aspek bahasa saja, akan tetapi telah terjadi perkawinan campur antara etnik Bali dengan etnik setempat (penduduk asli) atau sesama transmigran dengan etnik yang berbeda. Perkawinan campur itu dapat terjadi karena adanya interaksi masyarakat antaretnik yang dilandasi oleh sikap toleransi dan kerjasama yang baik. Perkawinan campur menurut hasil penelitian Arief (2001:114) di kawasan transmigran Dumoga, mengungkapkan bahwa 54,79% masyarakat sangat setuju adanya perkawinan antaretnik, 37,23% setuju, dan 5,32% kurang setuju.

Berdasarkan kenyataan tersebut, bahwa masalah agama, etnik, ras, dan antargolongan (SARA) di kawasan transmigrasi Bolaang Mongondow bukan merupakan suatu hambatan dalam melakukan proses asimilasi, akan tetapi merupakan suatu dorongan untuk menciptakan masyarakat yang plural dan multikultur. Robert Park (dalam Liliweri, 2009:158) menyatakan bahwa kebanyakan kaum imigran (transmigran) memilih langsung melakukan asimilasi dengan penduduk setempat, dengan alasan dapat melanggengkan relasi daripada akomodasi yang kerapkali menghasilkan kebersamaan yang tidak stabil.

B. Pengetahuan Dan Keterampilan Petani

Sistem pengetahuan masyarakat etnik Bali telah mulai berkembang sejak zaman prasejarah, terbukti dengan berbagai temuan arkeologis berupa alat-alat yang dibuat dari batu di desa Sembiran dan Terunyan, walaupun bentuknya masih sangat sederhana (kasar). Alat-alat dari batu itu ada yang berbentuk kapak


(30)

genggam, kapak perimbas, tombak pemburu, serut genggam, dan sebagainya. Temuan arkeologis di kedua tempat tersebut belum ditemukan fosil-fosil manusia sebagai pendukung dari alat-alat batu tersebut. Satu hal yang menarik dari temuan di Sembiran dan Terunyan mempunyai persamaan dengan temuan di daerah-daerah lainnya di Indonesia seperti di Pacitan Jawa Timur, di Sumatra, Kalimantan Selatan, dan Flores, diperkirakan berasal dari akhir plestosin (Darsana dalam Geriya, 2008:79).

Sejalan dengan perkembangan alam pikiran masyarakat etnik Bali dan sekaligus tuntutan zaman, pengetahuan masyarakat Bali juga turut berkembang, misalnya pembuatan alat-alat rumah tangga, yang awalnya dibuat dari batu, kemudian dibuat dari tulang, kulit kerang, logam, perunggu, dan besi. Demikian juga pola kehidupan masyarakat Bali mengalami perkembangan sesuai dengan perjalanan waktu, seperti dari hidup nomaden (berpindah-pindah) dan berburu sampai pada pola hidup menetap dengan bercocok tanam dan bermasyarakat.

Fenomena di atas, membuktikan bahwa perkembangan pengetahuan etnik Bali terjadi secara kumulatif dan berjenjang seperti yang diungkapkan oleh ahli sosiologi Auguste Comte (dalam Muslih, 2004:23-24) bahwa pekembangan pengetahuan manusia terjadi secara linier (berjejang), yaitu tahapan teologis, tahapan metafisika, dan tahapan positif (ilmiah), sedangkan menurut Khun (dalam Ritzer, 1992:4) bahwa pengetahuan manusia berkembang secara kumulatif dipandang sebagai mitos yang harus dihilangkan, karena pengetahuan itu berkembang secara revolusi.

Berdasarkan kedua pendapat ilmuwan tersebut di atas (Comte dan Khun), peneliti lebih cenderung untuk mengikuti pola pikir yang dikembangkan oleh Comte bila dikaitkan dengan pengetahuan orang Bali sebagai satu sistem sosial-budaya, karena dalam tradisi (agama Hindu) budaya Bali, pengetahuan itu hendaknya diperoleh secara berjenjang atau bertahapan sesuai dengan umur dan kemampuan berpikir umat manusia. Tingkatan pengembangan pengetahuan tradisi Bali yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu telah terimplementasi dalam


(31)

ajaran Catur Asrama, yaitu konsep hidup untuk menjalankan dan menyukseskan empat tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusa Artha (dharma, artha,

kama, dan moksa). Catur asrama sebagai tahapan hidup manusia untuk

menjalankan dan menyukseskan empat tujuan itu secara bertahapan, sehingga konsep catur asrama dapat dikatakan sebagai pola pembentukan generasi muda etnik Bali. Catur asrama terdiri atas (1) generasi brahmacari asrama, yaitu tahapan hidup berguru, (2) generasi grhastha asrama, yaitu tahapan hidup berumah tangga melakukan perkawinan, (3) generasi wanaprastha asrama, yaitu tahapan hidup untuk membagi berbagai pengalaman hidup pada generasi

brahmacari dan grhastha asrama, dan (4) generasi sanyasin/biksuka asrama,

yaitu tahapan hidup mempersiapkan diri untuk melepaskan sang diri (atman) dari belengguan kehidupan duniawi (Wiana,2007:11-15).

Tiap-tiap tahapan hidup generasi tersebut di atas memilik kewajiban (swadharma) yang berbeda-beda dalam mencapai empat tujuan hidup manusia (dharma, artha, kama, dan moksa) tersebut. Perbedaan kewajiban (swadharma) itulah yang mendorong terjadinya hubungan yang harmonis dan saling lengkap melengkapi antara generasi dengan generasi yang lainnya, baik dalam lingkungan intern maupun ekstern. Misalnya, seorang brahmacari asrama tidak akan sukses tanpa grhastha asrama, demikian pula, grhastha asrama dianggap gagal kalau

brahmacari asrama yang dibinanya gagal mewujudkan kewajiban sebagai brahmacari, karena grhastha asrama kewajiban utamanya adalah melahirkan,

memelihara, dan mendidik brahmacari yang menjadi tanggung-jawabnya (Wiana, 2007:134). Landasan dasar pengembangan dan penerapan pengetahuan (ilmu pengetahuan) etnik Bali adalah nilai keharmonisan dan nilai keseimbangan antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya. Nilai keharmonisan terejawantahkan dalam konsep rwa bhineda (oposisi biner) bahwa etnik Bali memiliki pengetahuan tentang benar-salah, baik-buruk, yang sering ditentukan oleh ruang (desa), waktu (kala), dan kondisi riil di lapangan (patra). Adapun nilai keseimbangan tercermin dalam konsep tri hita karana (tiga penyebab


(32)

kebahagian), yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya (parhyangan), hubungan manusia dengan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya (palemahan). Ketika hubungan manusia dengan Tuhan, manusia, dan alam berjalan secara seimbang maka kedamaian, ketentraman, kesejahteran, dan kebahagian hidup akan terwujud dengan sempurna (Ardika, 2008:47). Dengan demikian, mengkaji dan menganalisis secara mendalam bentuk praktik pengetahuan tradisional etnik Bali harus melalui beberapa aspek.

1. Pengetahuan Tentang Tata Ruang Pertanian

Tata ruang pemukiman etnik Bali di daerah transmigrasi Bolaang Mongondow yang tercermin di desa tradisional sebagai lingkungan buatan sangat terkait dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat yang tidak bisa terlepas dari sendi-sendi adat-istiadat dan agama Hindu. Peranan dan pengaruh agama Hindu dalam penataan lingkungan buatan untuk pemukiman, peternakan, dan lahan pertanian sangatlah besar, karena berdasarkan konsep ajaran agama Hindu, tata ruang pemukiman, pertanian, dan peternakan itu merupakan miniatur dari bhuana agung (makrokosmos) dan bhuana alit (mikrokosmos), dalam kaitan ini bhuana agung adalah lingkungan buatan untuk tempat tinggal, manusia, binatang, dan juga tempat bertani, sementara

bhuana alit adalah manusia yang mendirikan dan menggunakan wadah/tata

ruang pemukiman tersebut (Subandi dalam Dwijendra, 2009:1).

Konsep bhuana agung dan bhuana alit yang dijadikan landasan tata ruang pemukiman dan pengaturan tata ruang pertanian etnik Bali didasarkan pada ide kesatuan. Manusia harus melakukan penyatuan terhadap alam secara serasi, selaras, dan seimbang, sehingga dari ide kesatuan tersebut lahirlah kesadaran untuk menjaga kelestarian alam lingkungan, dan manusia itu sendiri adalah identik dengan alam. Sifat identik manusia dengan alam, menurut Dharmayudha dan Santika (1989:12) dapat dilihat dari pembidangan secara dikotomis, yaitu dalam diri manusia terdapat unsur Ataman (purusa) sebagai unsur aktif yang menghidupkan manusia dan unsur prakerti sebagai


(33)

unsur badan kasar manusia yang bersifat pasif. Demikian juga alam semesta terdiri atas unsur Paramatman (Tuhan) sebagai purusa dan bumi sebagai unsur prakerti. Atman dan Paramatman menurut kepercayaan etnik Bali yang beragama Hindu adalah sama, sehingga dalam ajaran agama Hindu ada adigium yang berbunyi “Bahman Atman Aikyam” yang artinya Bahman

(Tuhan) dengan Atman (Roh) yang menghidupkan manusia adalah sama. Berdasarkan filosofi kosmis tersebut di atas, etnik Bali dalam bertindak dan berbuat selalu mempergunakan alam sebagai pola acuan (paradigma), terutama dalam membuat tata ruang pemukiman, pertanian, dan perternakan, karena alam itu merupakan ketentuan-ketentuan yang objektif (Nasroen dalam Dharmayudha dan santika, 1989:13). Apabila ketentuan-ketentuan objektif dari alam tersebut tidak diimplementasikan dalam tata ruang pemukiman, pertanian, dan peternakan maka kemungkinan besar dapat menimbulkan ekses-ekses negatif yang dirasakan oleh manusia sebagai penghuni tata ruang tesebut, misalnya sakit-sakitan, perasaan gusar dan tidak enak, warga masyarakat sering konflik, dan sejenisnya sehingga keserasian hidup manusia tidak dapat diwujudkan atau hasil panen tidak menjadi bagus atau ternak tidak mau besar, dan sejenisnya.

Sehubungan dengan hal tersebu, keserasian hubungan manusia dengan alam lingkungan dapat diumpamakan seperti “kadi manik ring cecupu atau

janin dalam rahim ibu” yang maknanya bahwa manusia hidup dilingkupi oleh alam dan dari alamlah manusia mendapatkan kebutuhan hidup sandang dan pangan. Berdasarkan makna tersebut, manusia memiliki kebebasan untuk mengambil apa saja dari alam untuk kepentingan hidupnya. Manusia juga memiliki kewajiban untuk menjaga dan memelihara alam dari kerusakan, sebab bila alam sebagai sumber kehidupan dirusak sama dengan merusak dirinya sendiri sebagaimana terdapat dalam filosofi tat twan asi (engkau adalah dia atau dia adalah engkau).


(34)

Perumpamaan “manik dan cecupu” tersebut dapat dijadikan panutan dalam kehidupan keluarga maupun bermasyarakat, misalnya manusia perorangan sebagai manik dan rumah tangga sebagai cecupu atau rumah tangga sebagai manik sementara banjar adat/desa adat sebagai cecupu. Ilustrasi manik dan cecupu merupakan gambaran bahwa manusia sebagai makhluk yang berakal budhi sudah sewajarnya menciptakan hubungan yang serasi antara ruang publik sebagai wadah dan manusia sebagai isi dari ruang publik tersebut, artinya bentuk wadah (tata ruang pemukiman) tempat melihat sifat dan keadaan alam yang harus disesuaikan dengan kondisi manusia sebagai isi dari alam, sehingga manusia merasa nyaman dan tenteram dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.

Tata ruang pemukiman, pertanian, dan peternakan masyarakat etnik Bali, di samping menerapkan filosofi kosmis bhuana agnung dan bhuana alit sebagaimana diuraikan di atas, juga menerapkan konsep hulu-teben dan tri

mandala. Konsep hulu-teben tercermin dalam wilayah desat/banjar adat, tata

ruang rumah tinggal, dan tata ruang pura kahyangan tiga di tiap-tiap desa

adat/banjar adat, misalnya tata ruang desa/banjar adat yang ada di daerah

transmigrasi masih menerapkan konsep hulu-teben, yaitu Utara-Selatan atau Timur-Barat (kaje-kelod atau kangin kauh). Arah Utara dan Timur merupakan simbol hulu/kesucian/sakral, sedangkan arah Selatan dan Barat merupakan simbol teben/kotor/profan. Implementasi dari konsep hulu-teben tersebut tampak jelas di tingkat desa/banjar adat dalam bentuk penempatan bangunan/palinggih pura kahyangan tiga (pura puseh, bale agung, dan

dalem) dan di tingkat keluarga tampak penempatan bangunan atau palinggih merajan/sanggah, serta arah tempat tidur etnik Bali selalu kepala di arah

Timur atau Utara.

Sementara konsep tri mandala juga diterapkan dalam penataan tata ruang pemukiman, pura kahyangan tiga yang terdapat dalam wilayah


(35)

dalam desa/banjar adat dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian utama

mandala sebagai tempat ibadah (parhyangan), bagian madya mandala

sebagai tempat hunian (pawongan), dan bagian kanistaning mandala sebagai lahan pertanian (palemahan), sedangkan dalam konteks tempat tinggal, pekarangan rumah juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian utama

mandalan sebagai tempat ibadah keluarga/sanggah, madyaning mandalan

sebagai tempat bangunan rumah, dan kanistaning mandala sebagai tempat memelihara binatang. Konsep mandala dalam kehidupan etnik Bali (Hindu) memiliki makna filosofi yang sangat tinggi, yaitu sebagai lingkaran diagram yang memiliki kekuatan magis, terutama yang ada kaitannya dengan ritual keagamaan. Selain itu, konsep mandala juga merupakan suatu konsep yang ada kaitannya dengan sistem politik India dan Bali, yang mengacu pada hubungan raja dengan wilayah kekuasaan yang diwujudkan dalam bentuk lingkaran. Raja yang berada di luar lingkaran dianggap sebagai musuh, sedangkan mereka yang berada di dalam lingkaran dipandang sebagai sekutu (Higham dalam Geriya, 2008:123).

Pengamatan peneliti di lapangan menunjukkan bahwa penerapan konsep tri mandala oleh etnik Bali di Bolaang Mongondow sudah mengalami sedikit pergeseran, seperti pura puseh dan bale agung diletakkan di tengah

desa/bajar adat (madya mandala) dan pura dalem masih diletakkan di hilir

(teben) desa/banjar adat (kanista mandala). Implementasi dari konsep tri

mandala di lingkungan keluarga transmigrasi etnik Bali (Hindu) Bolaang

Mongondow juga sudah mengalami banyak pergeseran, seperti

sanggah/merajan posisinya berbeda-beda sesuai dengan keinginan (rasa)

pemiliknya. Oleh karena demikian, posisi sanggah/merajan tidak selalu di arah timur laut (kaja kangin), karena konsep yang diterapkan bukan lagi konsep hulu-hilir atau luan-teben tetapi menggunakan konsep hulu jalan, perempatan (catuspata) dan rasa/hati nurani (atmanastusti). Satu hal yang ditemukan oleh peneliti di lapangan, bahwa sanggah/merajan etnik Bali yang


(36)

semestinya bisa ditempatkan di arah Timur Laut (kaja kangin), mengingat posisi pekarangan rumahnya berada di sebelah Barat jalan, tetapi kenyataannya tidak ditempatkan di Timur Laut. Hal seperti itu sesungguhnya sudah sejalan dengan culture studies, terutama teori dekonstruksi yang dikembangkan oleh Derrida, bahwa kebenaran bukan lagi bersifat tunggal, akan tetapi berifat jamak dan dinamis tergantung dari yang memaknai (subjek).

Pola tata ruang Desa/Banjar Adat maupun desa dinas etnik Bali di daerah transmigrasi Bolaang Mongondow, terutama yang terdapat di Kecamatan Dumoga Utara sudah dijadikan panutan (diadopsi) oleh desa-desa lain yang bukan penduduknya etnik Bali, seperti yang diungkapkan oleh mantan Camat Dumoga Utara sebagaimana terungkap dalam petikan wawancara berikut ini.

“Pemerintah kecamatan Dumoga Utara memberikan kebebasan pada semua etnik yang bermukim di wilayahnya untuk mengekspresikan budaya dan kearifan lokalnya masing-masing sebagai identitas etnik dan pedoman bertingkah secara fisik dan nonfisik sehingga kerukunan, kedamaian, dan ketentraman tetap terjamin dan terpelihara. Namun, khusus untuk batas-batas desa yang berada di wilayah Kecamatan Dumoga Utara telah disepakati oleh kepala desa (Sangadi) dan tokoh-tokoh masyarakat untuk mengadopsi budaya fisik Bali, berupa Candi Bentar. Itu sebagai tanda bahwa masyarakat Kecamatan Dumoga Utara sangat terbuka dan fleksibel dalam identitas budaya, sebagai identitas tapal batas desa-desa yang berada di wilyah kecamatan “ (Wawancara dengan Eko Sutianto, Mei 2014)

Bertolak dari penuturan informan tersebut, bahwa tata ruang teritorial (wilayah desa) dan benda budaya (Candi Bentar) etnik Bali di Bolaang Mongondow memiliki nilai estetika yang sangat tinggi, sehingga etnik lain tertarik untuk mengadopsinya sebagai tapal batas desa atau pintu gerbang rumah tinggal. Fenomena seperti ini bila dipandang dari teori interaksionisme simbolik bahwa manusia bertindak atas dasar makna yang dimiliki oleh subjek atau benda tersebut, sehingga makna tersebut merupakan proses dari hasil interaksi yang melibatkan individu dan kelompok. Di sisi lain,


(37)

fenomena ini merupakan salah satu bentuk kehormatan dan sekaligus suatu kebebasan yang diberikan oleh pemerintah dan etnik lain kepada etnik Bali untuk mengekspresikan serta merepresentasikan identitas ke-Baliannya secara wajar. Mengingat, identitas dilihat secara cultural studies bersifat jamak dan tidak pernah stabil, artinya setiap orang atau kelompok akan mengalami perubahan sepanjang waktu dan tidak peduli perubahan itu bersifat aktif atau pasif (Yusuf, 2005:18).

2. Pengetahuan Tentang Astronomi

Pengetahuan tentang astronomi yang diwarisi oleh etnik Bali sesungguhnya merupakan bagian dari ajaran agama Hindu, terutama yang terdapat dalam bagian kitab suci Weda Smerti, yaitu kitab upaweda. Kitab

upaweda tersebut terdiri atas beberapa bagian, antara lain kitab ayur weda

(berisi tentang ilmu pengobatan), kitab arthasastra (berisi tentang ilmu pemerintahan dan politik), kitab ganarwa (berisi tentang ilmu seni dan arsitektur), kitab wyakarana (berisi tentang tata bahasa), kitab nirukta (berisi tentang asal-usul kata/etemologi), kitab astronomi (berisi tentang ilmu pengetahuan hari baik dan buruk dalam melakukan aktivitas), dan kitab kalpa (berisi tentang ilmu ritual keagamaan).

Kitab astronomi di kalangan etnik Bali lebih dikenal dengan istilah “wariga dewasa atau pedewasaan “ yang berisi tentang perhitungan hari baik dan buruknya waktu (ala hayuning dewasa) dalam melakukan aktivitas kehidupan, termasuk di dalamnya dengan kegiatan pertanian. Penentuan hari baik dan buruk tersebut bertitik tolak dari situasi-situasi atau gerak alam yang diperlihatkan oleh bhuana agung (alam semesta), termasuk juga di dalamnya siklus perputaran waktu, hari, bulan, dan seterusnya (Dharmayudha dan Santika, 1989:16), sehingga dengan berpedoman pada perhitungan wariga ini, seseorang (yang mengerti) dapat menentukan kapan saat yang baik untuk melakukan pembajakan sawah, menanam padi, memetik padi, dan sejeniskan. Penggunaan hari baik dan buruk oleh etnik Bali Bolaang Momgondow yang


(38)

beragama Hindu dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari masih tetap terlaksana. Hal ini diakui oleh seorang tokoh adat dan agama Hindu Desa Werdhi Agung I Nyoman Marayasa sebagaimana terungkap dalam petikan wawancara berikut ini.

“Transmigran etnik Bali Bolaang Mongondow yang masih taat beragama Hindu dalam melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari selalu didahulu dengan ritual keagamaan dan memperhitungkan hari baik dan buruk untuk pekerjaan yang akan dilakukan, misalnya hari yang baik untuk menanam padi, jagung, kacang, kelapa, dan melakukan ritual keagamaan, seperti upacara ngaben, pernikahan, pembangunan rumah, pembanguna sanggah. Namun orang yang menguasai tentang padewasaan itu hanya sedikit sekali, sehingga dalam penentuan padewasaan dalam kegiatan sehari-hari seperti bertani semuanya berpedoman pada kelender Bali, kecuali untuk kegiatan ritual adat dan keagamaan bertanya pada orang yang tahu dan sekaligus akan menyelesaikan ritual tersebut” (Wawancara pada bulan Mei 2014).

Berdasarkan ungkapan informan di atas, ada satu hal yang menjadi perhatinan peneliti dan sekaligus keprihatinan terhadap sikap dan perilaku etnik Bali yang sangat kurang berminat untuk mendalami dan mempelajari pengetahuan tentang padewasaan sebagai warisan budaya leluhur yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang sangat tinggi. Mereka yang tidak mengerti tentang ilmu padewasaan/wariga selalu berpedoman atau berpatokan pada kalender yang didatangkan dari Bali, karena di dalam kalender tersebut sudah diuraikan secara lengkap tentang baik buruknya hari (ala ayuning padewasaan), baik yang berkaitan dengan ritual keagamaan maupun aktivitas kehidupan yang lainnya, seperti bertani.

Secara implisit, informan di atas juga mengisyarakatkan pada etnik Bali yang beragama Hindu agar melakukan aktivitas pertanian sebaiknya berpedoman pada ketentuan-ketentuan hari baik dan buruk (wariga dewasa). Hari baik dan buruk mengandung ajakan dan makna bahwa setiap orang yang akan melakukan tindakan sebaiknya direncanakan dan tidak semena-mena terhadap alam lingkungan. Dengan demikian, keharmonisan hubungan manusia dengan alam tetap terjaga dan terpelihara sepanjang zaman.


(39)

Akibatnya kesejahteraan dan kedamaian hidup manusia dan makhluk lainnya dapat tercipta, misalnya ingkel wong saat tidak baik untuk melakukan upacara

manusia yadnya, ingkel sato saat tidak baik untuk menangkap/menyembelih

hewan, ingkel mina saat tidak baik untuk menangkap ikan, ingkel manuk saat tidak cocok untuk kegiatan yang berkaitan dengan unggas, ingkel taru saat tidak baik untuk menebang jenis pohon, dan ingkel buku saat tidak cocok untuk menebang tanaman yang beruas (Dhamayudha dan Santika, 1989:16). Namun, dalam praktiknya di lapangan bahwa semua larangan seperti tersebut di atas, sebagian sudah tidak dijalankan lagi oleh eknik Bali Bolaang Mongondow, kecuali yang berkaitan dengan ritual keagamaan dan praktik bertani masih tetap dilaksanakan. Misalalnya, dalam bertani, dari awal hingga akhir proses bertani selalu berpatokan pada wariga/padewasaan sehingga hasil yang diperoleh berbeda dengan mereka yang tidak menggunakan

padewasaan. Hal ini diakui oleh salah satu informan non-etnik Bali (etnik

Jawa) dan sekaligus sebagai mantan Camat Dumoga Utara sebagaimana terungkap dalam kutipan berikut ini.

“Para petani etnik Jawa dan etnik Bali yang berada dalam satu wilayah pertanian lahan basah (sawah) di Kecamatan Dumoga Utara hasil panennya tidak sama antaretnik Bali dengan etnik Jawa. Hasil panen etnik Bali selalu lebih bagus atau lebih banyak dibandingkan dengan etnik Jawa, pada hal proses pengolahan sawah dari awal sampai akhir hampir sama dengan yang dilakukan oleh etnik Bali, seperti membajak, memberikan pupuk, pemeliharaan, dan pengairannya” (Wawancara dengan Eko Sutianto, Mei 2014).

Petikan wawancara tersebut, secara ekspilisit telah mengungkapkan bahwa cara bertani dan proses pengolahan tanah sawah antara etnik Bali dan etnik Jawa tidak jauh berbeda. Akan tetapi, kenyataannya hasil yang diperoleh berbeda antara kedua etnik tersebut. Secara fisik memang sama proses pengelolaannya tetapi secara nonfisik tidak sama mengelolanya, seperti kalau etnik Bali bertani tidak pernah lepas dari sistem pengetahuan tradisional, terutama yang berkaitan dengan hari baik dan buruk (wariga atau


(40)

padewasaan), dan memulainya dengan hari yang baik untuk bertani, serta

dibarengi dengan persembahan sesaji sebagai wujud nyata persembahan dan permohonan pada Tuhan supaya memperoleh hasil yang melimpah.

C. Sistem Bertani Subak

Manusia dalam menjalankan fitrahnya sebagai makhluk sosial selalu melakukan hubungan antara sesamanya, yang akhirnya membentuk suatu masyarakat atau komunitas. Di samping itu, hubungan yang dilakukan dapat berkembang akibat adanya adaptasi di lingkungan sekitarnya sebagai usaha untuk saling mengadakan hubungan sehingga menjadi sebuah organisasi sosial sebagai wujud pola interaksi antara sesama warga masyarakat. Pola tanggap manusia terhadap lingkungan tersebut dapat melahirkan pola-pola atau bentuk-bentuk kebudayaan etnik di beberapa daerah.Pola hubungan antara sesama manusia yang bersifat resiprokal akan menjadi dasar dari interaksi sosial di kalangan masyarakat (kelompok) dan sangat memungkinkan untuk terciptanya kelompok-kelompok sosial. Kelompok sosial dapat diartikan sebagai suatu struktur sosial yang dapat menciptakan pola-pola interaksi sosial antara sejumlah orang yang mempunyai identitas nyata, cita-cita, tata nilai dalam berpikir, sikap dan tingkah laku nyata yang tercermin dalam pola hubungan langsung dan tidak langsung (Shepard dalam Wiasti dkk., 1993:2). Ciri-ciri yang dikemukakan oleh Shepard tersebut banyak terlihat dalam ciri-ciri kehidupan masyarakat etnik Bali di Bolaang Mongondow.

Lahirnya kelompok-kelompok sosial dalam kehidupan masyarakat Bali dan masyarakat lainnya, karena adanya berbagai keperluan pokok kehidupan manusia, misalnya kebutuhan akan mata pencaharian hidup menimbulkan lembaga kemasyarakatan, seperti pertanian (subak bagi etnik Bali dan Mapalus bagi etnik Minahasa), koperasi, dan industri. Kebutuhan akan pendidikan menimbulkan lembaga kemasyarakatan, seperti pasraman, pesantren, taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga perguruan tinggi. Kebutuhan untuk menyatakan rasa


(41)

keindahan menimbulkan lembaga kesusastraan, seni rupa, seni tari, dan masih banyak contoh lagi (Soekanto, 1990:218).

Berdasarkan contoh di atas, bahwa lembaga kemasyarakatan dapat lahir di setiap masyarakat tanpa memperdulikan apakah masyarakat (etnik) tersebut mempunyai taraf budaya yang rendah atau tinggi. Dikatakan demikian, karena setiap etnik mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok dan apabila dikelompok-kelompokkan akan menjadi sebuah organisasi sosial kemasyarakatan. Menurut Soekanto (1990:218) bahwa lembaga kemasyarakatan itu merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat (etnik). Wiese dan Becker mengartikan lembaga sosial sebagai jaringan proses-proses hubungan antarmanusia dan antarkelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut sesuai dengan kepentingan individu dan kelompok (dalam Soekanto, 1990:219). Dengan demikian, ada beberapa bentuk organisasi sosial etnik Bali yang dapat direpresentasikan di wilayah transmigrasi Bolaang Mongondow, seperti Banjar

Adat, Subak, dan bangunan yang berkaitan dengan banjar adat maupun Subak,

namun yang menjadi fokus kajian penelitian adalah sistem bertani subak.

Masyarakat transmigran etnik Bali telah mendiami kawasan transmigrasi Dumoga sejak tahun 1963. Kawasan tersebut terdiri atas daerah dataran yang dikelilingi oleh gunung-gunung sehingga sangat cocok untuk mengembangkan sistem pertanian tanah kering dan tanah basah, sebagai tanggapan aktif terhadap alam. Kondisi geografis, iklim, dan lingkungan alam Bolaang Mongondow (Dumoga) yang sangat menjanjikan dalam bidang pertanian. Oleh karena itu, transmigran etnik Bali dapat mengembangkan keahlian bertaninya dengan baik di daerah baru tersebut.

Keahlian (pengetahuan) bertani masyarakat transmigran Bali didapat secara turun temurun dari nenek moyangnya di Bali. Temuan arkeologis di Bali menunjukkan bahwa etnik Bali sudah mengembangkan budidaya tanaman padi sejak awal abad masehi (2000 tahun lalu). Pembudidayaan tanaman padi tersebut


(42)

telah didukung oleh pemahaman teknologi logam pada awal abad masehi telah mendorong peningkatan aktivitas bertani, yang pada akhirnya berimplikasi pada perkembangan dan kemajuan masyarakat dan budaya Bali (Ardika dalam Geriya, 2008:125). Pengetahuan bertani dengan sistem irigasi telah dikenal oleh etnik Bali sejak zaman Bali Kuno kurang lebih abad IX - XI Masehi. Pada saat itu telah dikenal istilah ‘undagi pengarung’ yang berarti ‘ahli membuat saluran irigasi (aungan)’ dan istilah ‘kesuwakan’ yang pengertiannya sama dengan subak sekarang ( Geriya, 2008:126).

Bukti-bukti sejarah tersebut di atas, menandakan bahwa pertanian dalam arti luas merupakan mata pencaharian pokok etnik Bali, baik yang ada di Bali maupun di luar Bali, khususnya di Bolaang Mongondow. Pemerintah Pusat dan Kabupaten Bolaang Mongondow sangat memperhatikan masalah pertanian, karena kehadiran transmigran etnik Bali di wilayahnya adalah suatu usaha untuk memanfaatkan lahan yang potensial untuk mengembangkan pertanian dan mentransformasikan teknik bertani dari etnik Bali ke etnik Mongondow. Usaha pemerintah Bolaang Mongondow untuk mendatangkan trasmigran etnik Bali di wilayahnya tergolong berhasil dalam meningkatkan hasil pertanian budidaya padi tanah kering dan basah. Hal ini diakui oleh tokoh agama/adat dan sekaligus akademis etnik Mongondow sebagaimana terungkap dalam petikan wawancara berikut ini.

“Kedatangan transmigran etnik Bali (etnik lain) di Bolaang Mongondow memiliki pengaruh yang besar dalam pengembangan pertanian tanah kering dan tanah basah. Mengingat transmigran Bali memiliki pengetahuan, keahlian/skill, dan keuletan dalam mengerjakan lahan pertanian (ladang dan sawah) sehingga dapat meningkatkan produksi pertanian, terutama budidaya tanaman padi. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, Bolaang Mongondow (tahun 1980-an ) telah menjadi lumbung berasnya Sulawesi Utara” (Wawancara dengan Bapak Madun Utiah, Mei 2014).

Ungkapan yang disampaikan oleh informan di atas, mengakui peran serta dari transmigran etnik Bali dalam meningkatkan produksi pertanian, terutama peningkatan produksi beras sehingga Kabupaten Bolaang Mongondow diberikan


(43)

julukan lumbung berasnya Sulawesi Utara. Keberhasilan Bolaang Mongondow sebagai lumbung beras Sulawesi Utara bukan saja karena keahlian dan keuletan etnik Bali dalam bertani, tetapi adanya kebebasan dan toleransi dari etnik Mongondow pada transmigran Bali untuk mengekspresikan nilai-nilai sosial-budaya bertaninya (sistem subak), bahkan sistem bertani yang dikembangkan oleh warga Bali telah banyak diadopsi oleh masyarakat setempat, seperti pola tanam dan penentuan hari baik.

Keberhasilan transmigran Bali dalam bidang pertanian di Bolaang Mongondow bukan semata-mata karena keahlian dan etos kerja yang tinggi, tapi sejauh mana mereka dapat menerapkan konsep nilai-nilai sosial-budaya tradisional yang terdapat dalam masyarakat Bali, seperti kelompok tradisional

subak. Tradisi menurut Giddens (2003:18) adalah sebuah orientasi ke masa lalu,

dan masa lalu tersebut memiliki pengaruh besar pada masa sekarang. Artinya, praktik-praktik yang telah mapan digunakan sebagai cara mengorganisasikan waktu masa depan dan masa lalu dapat dimanfaatkan untuk merekonstruksi masa depan yang lebih baik dan dinamis. Tradisi, sebagaimana dikatakan oleh Edward Said (dalam Giddens, 2003:18) selalu berubah-ubah, tetapi ada sesuatu tentang gagasan tradisi yang memiliki daya tahan jika bersifat tradisional, sebuah kepercayaan atau praktik yang memiliki integritas dan keberlanjutan, yang menghambat desakan perubahan.

Berdasarkan pengertian tradisi tersebut di atas, sistem tradisional subak yang dijalankan oleh masyarakat Bali Bolaang Mongondow sejalan dengan pemikiran Giddens, Said, dan Halbwachs, karena kelompok tani tradisional subak tetap menerima ide modern atau teknologi pertanian yang baru, sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Menurut Rogers (dalam Sutjipta dkk, 1990:11) bahwa ada dua kontinum norma penting dalam kehidupan masyarakat, yaitu tradisional dan modern. Sistem sosial yang modern lebih berorientasi pada perubahan, teknologi maju, ilmiah, rasional, dan berempati, sedangkan sistem tradisional memiliki ciri-ciri sebaliknya.


(44)

Pertanian sebagai mata pencaharian utama etnik Bali Bolaang Mongondow, dalam implementasinya masih dilandasi oleh nilai-nilai sosial-budaya tradisional Bali yaitu sistem subak, walaupun secara organisatoris tidak muncul istilah

subak, tetapi menggunakan istilah kelompok tani atau sanggar tani. Namun

prinsis-prinsip yang dijalankan tetap seperti yang terkandung dalam sistem

subak. Fenomena tersebut diakui oleh petani dan sekaligus sebagai ketua

kelompok Sari Nadi sebagaimana terungkap dalam petikan wawancara berikut ini.

“Sistem subak yang berjalan di kawasan transmigrasi Bolaang Mongondow

sudah mengadopsi sistem organisasi modern, tetapi dalam sistem pembagian air tetap menggunakan tradisional subak. Anggota kelompok terdiri atas etnik Bali dan nonetnik Bali, dan kecenderungan etnik non-Bali menjalankan prinsip-prinsip sistem subak, walaupun ada yang mendongkol atau tidak menjalankan sistem subak yang sudah disepakati, seperti pembagian air, gotong-royong membersihkan saluran air, dan pertemuan rutin kelompok. Bagi yang melanggar kesepakatan atau aturan yang telah disepakati oleh semua anggota kelompok, maka mereka dikenakan sanksi” (Wawancara dengan I Wayan Kayun Sarjana, Mei 2014).

Uraian yang disampaikan oleh informan di atas, mengindikasikan bahwa sistem pertanian yang dijalankan oleh etnik Bali di Bolaang Mongondow telah mengadopsi sistem pertanian modern, baik dalam aspek pengolahan lahan, penanaman maupun pemakaian pupuk. Akan tetapi, dalam aspek tertentu, terutama pembagian air, penentuan hari baik, dan nama kelompok masih menggunakan sistem subak sebagai identitas ke-Baliannya, walaupun sebagian dari anggota kelompok bukan etnik Bali. Anggota kelompok yang bukan berasal dari etnik Bali ada yang tidak mengikuti sistem subak tetapi sebagian besar yang secara sukarela ikut menjalankan sistem bertani secara tradisional Bali (subak), karena petani Bali dengan prinsip subaknya dipandang berhasil untuk meningkatkan hasil produksinya di ladang dan di sawah.

Kelompok tani (subak), dilihat dari perspektif kebudayaan memiliki tiga komponen atau wujud, yaitu komponen nilai budaya, komponen sistem sosial,


(45)

dan komponen fisik. Komponen nilai budaya dapat berupa nilai-nilai, norma-norma, hukum, dan aturan khusus. Komponen sosial berupa pengelolaan (pengorganisasian) atas komponen fisik, sedangkan komponen fisik dapat berupa sarana dan prasarana yang dipergunakan unuk melakukan kegiatan anggota kelompok. Ketiga komponen atau wujud dari kelompok tani atau sistem subak tersebut, dalam kenyataan hidup dalam masyarakat tentu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Subak atau kelompok tani yang diterapkan di Bolaang Mongondow oleh etnik

Bali, mempunyai landasan filosofi yang bersumber pada agama Hindu dan kearifan lokal Bali, yaitu tri hita karana. Secara harafiah, tri hita karana berarti tiga penyebab kebahagiaan, yang mengejawantah ke dalam tiga unsur. (1) Unsur

parhyangan, yaitu pola hubungan manusia dengan Penciptanya atau Tuhan, yang

termanifestasikan pada bangunan pura subak sebagai tempat untuk mewujudkan rasa baktinya kehadapan Hyang Widhi Wasa (Dewi Sri) dan sekaligus sebagai tempat menyelenggarakan upacara keagamaan. (2) Unsur pawongan, yaitu pola hubungan yang harmonis antara warga subak. (3) Unsur palemahan yaitu wujud lahan sawah serta semua sarana dan prasarana aktivitas warga subak (Sirtha, 2008:15).

Subak sebagai fenomena sosial-budaya memiliki tiga ciri. Pertama, sebagai

sistem nilai budaya, seperti nilai-nilai, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khusus. Sebagai contoh, anggaran dasar atau awig-awig subak, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dibuat dan disepakati oleh anggota kelompok (warga

subak) sehingga ketentuan-ketentuan itu dapat dijadikan pedoman berperilaku

untuk mencapai ketertiban dan keharmonisan anggota (warga). Ke dua, sebagai wujud sistem sosial yang merupakan pola aktivitas anggota kelompok, misalnya kegiatan anggota kelompok (warga subak) dalam menata irigasi, mengolah lahan, menanam bibit, memetik hasil panen, dan melakukan ritual di pura subak. Kegiatan-kegiatan seperti itu merupakan pola perilaku dan proses interaksi yang dilakukan oleh anggota kelompok secara berkesinambungan. Ke tiga, sebagai


(46)

wujud fisik, merupakan wujud budaya yang paling konkret dan sangat mudah untuk dikenali, seperti jaringan irigasi, hamparan sawah, alat-alat untuk mengerjakan sawah atau ladang, dan pura subak.

Ketiga wujud subak tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh tetapi telah mengalami perubahan sebagai akibat adanya pembangunan dan dinamika masyarakat. Komponen subak yang paling cepat mengalami perubahan ialah komponen fisik, seperti alat pembajak, tidak lagi menggunakan alat tradisional (tenggala/lampit) tetapi sudah menggunakan teknologi modern (traktor); pupuk, tidak lagi menggunakan pupuk tradisional (kompos/lemekan) tetapi sudah menggunakan pupuk modern (urea), pura subak dan sarana upakara masih relatif tampak seperti semula tetapi telah mengalami penyederhanaan yang signifikan.

Bertautan dengan mata pencaharian etnik Bali Bolaang Mongondow, yang paling tampak dan direpresentasikan dalam kehidupan sehari-hari ialah pertanian dengan sistem subak. Dari sekian banyak ciri khas (identitas) subak atau

kelompok tani etnik Bali, hanya nama kelompok, pura subak dan ritual keagamaan dan adat seperti upacara mapad toya, upacara biyu kukung, dan upacara mantenin masih tampak jelas sebagai identitas pertanian orang Bali (sistem subak) yang dilaksanakan di pura melanting atau pura subak, sebagaimana terlihat dalam Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1 Pura dan Balai Pertemuan Kelompok Tani Etnik Bali Di Bolaang Mongondow Sumber: Dokumentasi Punia, 2014


(1)

Merontok Hasil Panen :


(2)

57 Jemur Gabah Di Gilingan :

Gabah Siap Digiling :


(3)

Lahan Pasca panen :


(4)

59 Karyawan Gilingan Gabah dan Anggota Peneliti :

Petani Mencabut Rumput :


(5)

Tempat Gilingan Gabah :

Sumur Bor untuk Mengairi Sawah :


(6)

61 Rumah dan Kantor Desa Kembang Mertha :