ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM CERAMAH PARA USTADZ: Kajian Sosiolinguistik terhadap para Ustadz di Kawasan Perbatasan Bandung-Sumedang.

(1)

Daftar Isi

Abstrak i

Kata Pengantar ii

Ucapan Terima Kasih iii

Daftar Isi v

Daftar Tabel viii

Daftar Lampiran x

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Identifikasi Masalah 4

1.3 Pertanyaan-Pertanyaan Penelitian 4

1.4 Tujuan Penelitian 5

1.5 Manfaat Penelitian 5

1.6 Metode Penelitian 6

1.6.1 Metode 6

1.6.2 Sumber Data 7

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data 7

1.6.4 Teknik Analisis Data 7

1.7 Definisi Operasional 8

1.8 Sistematika Pelaporan 10

BAB II LANDASAN TEORI 11

2.1 Gambaran Kajian Sosiolinguistik 11

2.2 Landasan Teori 12

2.2.1 Bilingualisme dan Kontak Bahasa 12

2.2.2 Wujud Bahasa dan Variasinya 14

2.2.3 Variasi bahasa dalam konteks pemilihan bahasa 16 2.2.4 Kode dan Variasi Kode dari bahasa yang sama 19

2.2.5 Alih Kode (Code Switching) 20

2.2.6 Campur Kode (Code Mixing) 22

2.2.7 Faktor-Faktor Penyebab Alih Kode atau Campur Kode 25

2.2.8 Tipe-Tipe Alih dan Campur Kode 30

2.2.9 Fungsi-Fungsi Alih dan Campur Kode 31

2.3 Konsep Dasar Ceramah dalam Agama Islam 32


(2)

2.3.3 Ceramah Sebagai Salah Satu Metode Dakwah 36

2.4 Beberapa Penelitian Terdahulu 37

BAB III METODE PENELITIAN 40

3.1 Objek Penelitian 40

3.1.1 Lokasi Penelitian 40

3.1.2 Populasi dan Sampel 41

3.2. Metode Penelitian 44

3.2.1 Pengumpulan Data 46

3.2.2 Analisis dan Pembahasan Data 48

BAB IV DESKRIPSI, ANALISIS, DAN PEMBAHASAN 50

4.1 Data 1 50

4.1.1 Deskripsi Data 51

4.1.1.1 Responden 51

4.1.1.2 Konteks Ceramah 51

a. Alih Kode 52

4.1.1.3 Hasil Wawancara Terhadap Penceramah 53

4.1.2 Analisis Data 53

4.1.2.1 Alih Kode 54

a. Jenis alih kode 54

b. Tataran Alih Kode 57

c. Sifat Alih Kode 58

d. Faktor Penyebab Alih Kode Berdasarkan

Hasil Wawancara 59

e. Tipe Alih Kode 61

f. Fungsi Alih Kode 63

b. Campur Kode 63

4.1.2.2 Campur Kode 64

a. Jenis Campur Kode 69

b. Tataran Campur Kode 74

c. Sifat Campur Kode 77

d. Faktor Penyebab Campur Kode Berdasarkan

Hasil Wawancara 77

4.1.2.3 Tipe-Tipe Alih dan Campur Kode 78

4.1.2.4 Fungsi-Fungsi Alih dan Campur Kode 80


(3)

4.2.1.1 Responden 81

4.2.1.2 Konteks Ceramah 81

a. Alih Kode 81

4.2.1.3 Hasil Wawancara Terhadap Penceramah 85

4.2.2 Analisis Data 86

4.2.2.1 Alih Kode 86

a. Peralihan Antar Bahasa 86

b. Tataran Alih Kode 89

c. Sifat Alih Kode 91

d. Faktor Penyebab Alih Kode Berdasarkan

Hasil Wawancara 91

e. Tipe alih Kode 92 f. Fungsi Alih Kode 93

4.2.2.2 Campur Kode 95

a. Jenis Campur Kode 98

b. Tataran Campur Kode 101 c. Sifat Campur Kode 102 d. Faktor Penyebab Campur Kode Berdasarkan

Hasil Wawancara 102 4.2.2.3 Tipe-Tipe Alih dan Campur Kode 104 4.2.2.4 Fungsi-Fungsi Alih dan Campur Kode 105

4.3 Data 3 106

4.3.1 Deskripsi Data 3 106

4.3.1.1 Responden 106

4.3.1.2 Konteks Ceramah 107

a. Alih Kode 107

4.3.1.3 Hasil Wawancara Terhadap Penceramah 110

4.3.2 Analisis Data 3 111

4.3.2.1 Alih Kode 111

a. Peralihan Antar Bahasa 111

b. Tataran Alih Kode 113

c. Sifat Alih Kode 115

d. Faktor Penyebab Alih Kode Berdasarkan

Hasil Wawancara 115

e. Tipe Alih Kode 115 f. Fungsi Alih Kode 117


(4)

b. Tataran Campur Kode 126

c. Sifat Campur Kode 128

d. Faktor Penyebab Campur Kode Berdasarkan

Hasil Wawancara 128

4.3.2.3 Tipe-Tipe Alih dan Campur Kode 129 4.3.2.4 Fungsi-Fungsi Alih dan Campur Kode 131

4.4 Hasil Analisis dan Temuan 132

4.4.1 Alih Kode 133

4.4.2 Campur Kode 135

4.4.3 Tipe-Tipe Alih dan Campur Kode 138

4.4.4 Fungsi-Fungsi Alih dan Campur Kode 139

4.5 Pembahasan 139

4.5.1 Karakteristik Bahasa Penceramah 140

4.5.2 Respon Masyarakat terhadap Bahasa Penceramah 144

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 147

5.1 Simpulan 147

5.2 Saran 150

Pustaka Rujukan 151

Lampiran-Lampiran 154


(5)

Daftar Tabel

Tabel 4.1 Data Alih Kode Pada Transkrip 1 48

Tabel 4.2 Data Campur Kode Pada Transkrip 1 49

Tabel 4.3 Data Alih Kode Pada Transkrip 2 52

Tabel 4.4 Data Campur Kode Pada Transkrip 2 54

Tabel 4.5 Data Alih Kode Pada Transkrip 3 57

Tabel 4.6 Data Campur Kode Pada Transkrip 3 59

Tabel 4.7 Kata-Kata dalam Campur Kode Pada Data 1 71 Tabel 4.8 Frasa-Frasa dalam Campur Kode Pada Data 1 72 Tabel 4.9 Kalimat-Kalimat dalam Campur Kode Pada Data 1 72 Tabel 4.10 Kata-Kata dalam Campur Kode Pada Data 2 82 Tabel 4.11 Frasa-Frasa dalam Campur Kode Pada Data 2 83 Tabel 4.12 Kalimat-Kalimat dalam Campur Kode Pada Data 2 83 Tabel 4.13 Kata-Kata dalam Campur Kode Pada Data 3 93 Tabel 4.14 Frasa-Frasa dalam Campur Kode Pada Data 3 94 Tabel 4.15 Kalimat-Kalimat dalam Campur Kode Pada Data 3 94 Tabel 4.16 Hasil Analisis untuk Jenis Alih Bahasa 97 Tabel 4.17 Hasil Analisis untuk Tataran Alih Bahasa 97 Tabel 4.18 Hasil Analisis untuk Jenis Campur Bahasa 99 Tabel 4.19 Hasil Analisis untuk Tataran Campur Bahasa 100


(6)

Daftar Lampiran

Lampiran 1 Transkrip Ceramah 1 151

Lampiran 2 Transkrip Ceramah 2 164

Lampiran 3 Transkrip Ceramah 3 175


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Penelitian

Bahasa adalah salah satu faktor yang menjadi ciri pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Bahasa merupakan alat dalam komunikasi dan interaksi yang dominan di antara sesama manusia. Realitas ini menunjukkan betapa bahasa adalah sebuah alat eksklusif yang penting bagi manusia. Karena itu, bahasa menjadi salah satu bidang kajian yang banyak ditelaah dalam upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Sapir (1921:7) menegaskan bahwa “ Language is a purely human and noninstinctive method of communicating ideas, emotions, and desires by means of a system of voluntarily produced symbols”.

Ditinjau dari perannya sebagai salah satu bidang kajian, bahasa digolongkan sebagai bentuk kajian yang tidak akan pernah habis karena bahasa adalah bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan manusia. Kenyataan ini dapat dibuktikan melalui fenomena dewasa ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Arus informasi yang cepat melalui faktor globalisasi menuntut manusia untuk terus menerus melakukan usaha peningkatan diri.

Dalam ranah bahasa, upaya peningkatan diri ini direfleksikan dalam berbagai cara. Salah satunya adalah upaya untuk menguasai bahasa asing. Cepatnya pertukaran arus teknologi dan informasi ditengarai sebagai sebab banyaknya orang yang merasa perlu menguasai dua bahasa atau bahkan lebih. Wardaugh (2006: 1) mengemukakan hal ini: “Sometimes too a society may be


(8)

plurilingual; that is, many speakers may use more than one language, however we define language”.

Bagaimanapun, poin terpenting untuk dapat menggunakan dua bahasa adalah bahwa seseorang harus menguasai kedua bahasa sama baiknya. Bahasa pertama adalah bahasa ibu (B1), dan bahasa kedua adalah bahasa lain (B2). Chaer dan Aguistina (1995: 115) memperjelas gagasan ini bahwa menguasai dua bahasa dapat berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama.

Fenomena bilingualisme ini tentunya mendorong para pengguna bahasa untuk senantiasa berhadapan dengan pilihan bahasa. Pilihan bahasa telah berkembang menjadi sebuah peristiwa sosial yang tidak hanya dipengaruhi oleh berbagai faktor linguistik semata, namun pula oleh berbagai faktor di luar linguistik. Secara sosial, pilihan bahasa sangat memiliki keterkaitan dengan kondisi atau situasi sosial di mana masyarakat berada. Berbagai macam perbedaan dapat mempengaruhi pilihan bahasa seseorang ketika berbicara. Misalnya perbedaan usia, tingkat pendidikan, dan status sosial seseorang dapat mempengaruhi pilihan seseorang dalam penggunaan bahasa sebagai alat sosial.

Berbagai pengaruh sosial maupun situasional terhadap pilihan bahasa tersebut akan mempengaruhi kondisi yang mendorong terciptanya variasi-variasi pilihan bahasa (Deumert dan Mesthrie, 1991:28). Gejala kebahasan semacam ini tentunya merupakan gejala sosial yang menarik untuk dikaji secara ilmiah.

Penggunaan bahasa dalam bentuk lisan tentunya memiliki banyak tujuan. Salah satunya, jenis tuturan yang menggunakan bahasa yang baik merupakan


(9)

sarana alih informasi dan pengetahuan dari seorang penutur kepada para pendengarnya. Salah satu lapisan masyarakat yang memiliki kepentingan tersendiri dengan tuturan yang baik ialah para pemuka agama, karena tanggung jawab sosial yang diembannya menuntutnya untuk dapat menunjukkan wujud kebaikan berbahasa melalui pilihan kata, maupun tuturan-tuturan menarik yang membuat banyak orang mendengarkannya. Ini tentunya dapat dipahami sebagai alasan mengapa para pemuka agama dituntut untuk memiliki kemampuan mengolah kata dan kalimat demi menghasilkan tuturan yang baik dan menarik, sehingga berkesan dan diingat oleh umat. Dengan demikian, pendengar dapat merasakan dan meresapi ajaran agama dengan baik pula.

Fenomena ini memungkinkan seorang pemuka agama mencoba menggunakan berbagai macam bahasa sesuai dengan kreativitas yang ingin dimunculkan ketika melakukan kontak dengan umat, saat memberikan ceramah-ceramah maupun tuntunan lainnya. Dalam hal ini, tentunya ada yang menggunakan variasi-variasi bahasa sebagai penunjang komunikasi.

Para pemuka Agama Islam, atau ustadz, merupakan pemuka agama yang dihadapkan pada umat yang multietnis dengan latar belakang aneka ragam bahasa. Dengan adanya bermacam-macam bahasa daerah (selanjutnya disebut BD) di Indonesia, menjadikan BD menjadi salah satu penunjuk identitas suatu etnis. Walaupun memiliki bermacam-macam BD, salah satu ciri yang menonjol dari identitas umat Islam ialah adanya kesamaan kultur dalam memandang posisi para ulama atau ustadz sebagai pembimbing umat, sebagai warasatul anbiyya atau pewaris para nabi.


(10)

Sangat menarik sekali rasanya jika menelisik bagaimana para ustadz menggunakan bahasa dalam melaksanakan kapasitasnya sebagai pembimbing umat. Bahasa yang mereka gunakan, tak pelak akan memengaruhi ketertarikan umat dalam memahami ajaran agamanya. Karena itulah, penelitian atas variasi bahasa dan latar belakang penggunaan variasi yang digunakan oleh para ustadz akan sangat menarik untuk dikaji.

1.2Identifikasi Masalah Penelitian

Batasan masalah perlu dirumuskan sebagai identifikasi atas uraian masalah pada bagian sebelumnya. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan dapat memiliki arah dan tujuan yang pasti.

Penelitian ini adalah penelitian bidang sosiolinguistik, khususnya variasi bahasa. Rahardi (2001), Sumarsono dan Paina (2002), Rokhman (2002), dan Chaer dan Agustina (2004) mengemukakan bahwa ada tiga jenis pilihan bahasa dalam kajian sosiolinguistik. Pertama yang disebut variasi dalam bahasa yang sama (variation within the same language atau intra language variation). Kedua yang disebut alih kode (code switching). Jenis ketiga adalah campur kode (code-mixing).

Pada penelitian ini yang diteliti dibatasi pada pilihan variasi kode yang digunakan oleh para ustadz. Adapun masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian pada bagian berikutnya.


(11)

1.3Pertanyaan-Pertanyaan Penelitian

Setelah identifikasi atas masalah penelitian, masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut.

1. Apa jenis alih kode dan campur kode yang terjadi dalam ceramah para ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang?

2. Pada tataran apa saja alih kode dan campur kode itu terjadi? 3. Apa saja ciri alih kode dan campur kode tersebut?

4. Apa faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode dan campur kode tersebut?

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab beberapa rumusan yang telah dijabarkan melalui pertanyaan-pertanyaan penelitian. Maka, tujuan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan jenis alih kode dan campur kode yang terjadi dalam ceramah para ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang.

2. Mendeskripsikan tataran terjadinya alih kode dan campur kode tersebut. 3. Mendeskripsikan ciri-ciri alih kode dan campur kode tersebut.

4. Mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode dan campur kode tersebut.


(12)

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang signifikan, baik untuk Program Studi Linguistik SPs UPI khususnya, maupun masyarakat luas pada umumnya. Beberapa manfaat yang diharapkan akan muncul melalui penelitian ini ialah sebagai berikut.

1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah penelitian terhadap pemakaian bahasa tulis melalui pendekatan sosiolinguistik.

2. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkenaan dengan sosiolinguistik, khususnya dalam penelitian tentang pilihan bahasa.

3. Menambah sumber bacaan, memperkarya ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan kepada peneliti-peneliti lainnya yang ingin menganalisis bidang sosiolinguistik, khususnya yang berhubungan dengan pilihan bahasa.

1.6Metode Penelitian

1.6.1 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan dan menganalisis data mulai dari tahap pengumpulan, penyusunan, serta analisis dan interpretasi atas data (Surakhmad, 1980). Metode deskriptif ini dipilih dengan pertimbangan bahwa penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi jenis,


(13)

tataran, ciri, dan faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode dan campur kode.

1.6.2 Sumber Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah para ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang. Populasi pada penelitian ini secara kuantitatif jumlahnya relatif besar. Cakupan yang besar ini tentunya tidak mungkin dapat dijangkau seluruhnya. Dalam menghadapi situasi semacam ini, perlu diambil sejumlah populasi untuk ditetapkan menjadi sampel yang menjadi sumber data sesungguhnya (Alwasilah 2009: 145). Untuk itu, sampel penelitian ini mengambil 3 orang ustadz dengan metode purposive sample.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara memeriksa sumber data. Dalam hal ini, digunakan metode simak (Sudaryanto, 1993) dengan menyimak seluruh kode bahasa dalam sumber data. Setelah metode simak dilakukan, pengambilan data akan diambil dengan pencatatan pada kartu data (Moleong, 1993).

1.6.4 Teknik Analisis Data

Segera setelah data terkumpul, analisis akan dilakukan dengan cara induktif, mendekatkan data dan temuan pada teori landasan, sebagaimana yang dijabarkan oleh Djajasudarma (1993). Maka, langkah-langkah dalam analisisnya adalah sebagai berikut.


(14)

1. Mengidentifikasi bentuk-bentuk alih dan campur kode.

2. Menghitung frekuensi alih dan campur kode dan mengurutkan hasilnya.

3. Mengidentifikasi bentuk alih dan campur kode yang paling dominan. 4. Mencari keterkaitan fungsi campur kode dengan fenomena komunikasi

lintas budaya.

5. Menarik kesimpulan.

1.7Definisi Operasional

Di dalam penelitian ini, ada beberapa definisi yang digunakan dalam tataran operasional penelitian. Beberapa definisi tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Kode : sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya memiliki kekhasan yang selaras dengan latar belakang, relasi dengan lawan tutur, dan situasi tutur (Poedjosoedarmo, 1982:30). 2. Campur kode : pemakaian dua bahasa atau lebih dengan

saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa lain secara konsisten (Kachru dalam Umar, 1994: 14; dan Nababan, 1991: 32).

3. Alih kode : penggunaan bahasa oleh seorang

dwibahasawan, yaitu penggunaan lebih dari satu bahasa oleh seorang dwibahasawan yang


(15)

bertutur dengan cara memilih salah satu kode bahasa disesuaikan dengan keadaan (Hudson, 1996: 51-53).

4. Jenis alih kode : jenis-jenis dalam alih kode yang dapat berupa alih bahasa, alih ragam bahasa, alih tingkat tutur (Hymes, 1964).

5. Tataran alih kode : tataran dalam alih kode yang dapat berupa tataran fonologi, fonem, tataran kata atau frase (Hymes, 1964).

6. Sifat alih kode : sifat-sifat alih kode yang terdiri atas alih kode sementara dan alih kode tetap atau permanen (Hymes, 1964).

7. Faktor penyebab alih kode : Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode, antara lain pribadi pembicara, hubungan pembicara dengan mitra pembicara, topik atau subtopik (Hymes, 1964).

8. Jenis campur kode : jenis-jenis dalam campur kode yang dapat berupa campur bahasa, campur ragam bahasa, campur tingkat tutur (Hymes, 1964). 9. Tataran campur kode : tataran dalam campur kode yang dapat

berupa tataran fonologi, fonem, tataran kata atau frase (Hymes, 1964).


(16)

10. Sifat campur kode : sifat-sifat campur kode yang terdiri atas campur kode sementara dan campur kode tetap atau permanen (Hymes, 1964).

11. Faktor penyebab campur kode : Faktor yang menjadi penyebab terjadinya campur kode, antara lain pribadi pembicara, hubungan pembicara dengan mitra pembicara, topik atau subtopik (Hymes, 1964).

1.8Sistematika Pelaporan

Laporan hasil penelitian ini akan disampaikan dalam lima bab sebagai berikut. 1. Bab I, terdiri atas latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian,

pertanyaan-pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teoretis, metodologi penelitian, dan sistematika laporan.

2. Bab II, terdiri atas kajian atas teori landasan yang digunakan dalam penelitian ini.

3. Bab III, terdiri atas tujuan penelitian, batasan, kerangka analisis, dan metode penelitian.

4. Bab IV, terdiri atas laporan atas penemuan dan pembahasan hasil temuan pada penelitian.


(17)

BAB III

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

Penelitian dalam bidang kajian sosiolinguistik tentunya memiliki ciri tersendiri dalam aplikasinya. Ini sejalan dengan gagasan Bailey (2007: 8): “Different academic disciplines have developed different field research traditions, and there is not always consisteny even within a discipline”.Untuk itu, bab ini menyajikan langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian berdasarkan beberapa referensi yang terkait dengan penelitian sosiolinguistik, khususnya yang berkenaan dengan penanganan penelitian variasi bahasa. Bab metode penelitian ini dibagi menjadi dua pokok bahasan, yaitu objek penelitian dan metode penelitian.

3.1 Objek Penelitian

Pada subbab objek penelitian ini dibahas dua hal utama, yaitu (1) lokasi penelitian, dan (2) populasi dan sampel.

3.1.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian variasi bahasa pada beberapa ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang. Perbatasan Bandung-Sumedang yang dicakup dalam penelitian ini adalah konsentrasi yang paling ramai pada garis perbatasan Bandung-Sumedang, kawasan yang terdiri atas dua kecamatan, yakni Kecamatan Cileunyi (Kabupaten Bandung) dan Kecamatan Jatinangor (Kabupaten Sumedang).


(18)

Jalur di antara Cileunyi-Jatinangor tersebut merupakan alur lalu lintas utama, di mana jalan raya yang menghubungkan kawasan Bandung-Sumedang berada. Penelitian berlangsung selama dua bulan, terhitung sejak tanggal 1 Februari 2011 sampai dengan 30 Maret 2011.

3.1.2 Populasi dan Sampel

Alwasilah (2009: 142) menjelaskan bahwa dalam memilih dan menentukan data pada suatu penelitian tergantung kepada masalah yang diselidiki. Dalam hal ini, penentuan populasi dan sampel sangat penting untuk menunjukkan karakter data yang digunakan.

Nawawi (1993: 72) membagi populasi penelitian ke dalam dua jenis, yakni populasi homogen dan populasi heterogen. Populasi homogen merupakan sumber data yang unsur-unsurnya memiliki ciri atau karakter yang sama. Sementara, populasi heterogen merupakan sumber data yang memiliki ciri atau karakter yang beragam. Atas dasar tersebut, populasi pada penelitian ini adalah populasi homogen. Kajian atas variasi bahasa yang dilakukan pada penelitian ini hanya mencakup suatu kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini kalangan ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang.

Populasi pada penelitian ini secara kuantitatif jumlahnya relatif besar. Cakupan yang besar ini tentunya tidak mungkin dapat dijangkau seluruhnya. Dalam menghadapi situasi semacam ini, perlu diambil sejumlah populasi untuk ditetapkan menjadi sampel yang menjadi sumber data sesungguhnya (Alwasilah 2009: 145). Sampel merupakan sumber data yang harus memiliki karakter


(19)

representatif. Sampel dianggap bersifat representatif apabila terdiri atas beberapa unsur yang memiliki seluruh sifat populasi, sekalipun berjumlah jauh lebih sedikit dibandingkan populasi (Alwasilah, 2009: 146).

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk memaparkan variasi bahasa di kalangan para ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang, serta faktor-faktor sosial yang menentukannya, maka sampel penelitian ini merupakan tuturan-tuturan para ustadz tersebut yang ditemukan pada konteks-konteks sosial-keagamaan yang bersangkutan. Dalam hal ini, ceramah merupakan tuturan yang relevan karena saat memberikan ceramah itulah, ustadz menjalankan peransosialnya sebagai ustadz.

Jenis pengambilan sampel pada penelitian ini ialah jenis Purposive Accidental Sampling dengan jenis penelitian purposive sample. Accidental sampling atau dikenal pula sebagai incidental sampling, merupakan metode pengambilan sampel dengan cara memilih beberapa elemen yang dijumpai (Alwasilah, 2009: 145-146; Hadi, 2001:80-81; Supranto, 1997:67). Pada teknik sampling ini, hanya individu atau kelompok masyarakat yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai pada ranah yang telah ditentukan saja yang diinvestigasi.

Sesungguhnya ada beberapa kalangan ahli yang berpendapat bahwa teknik penentuan sampel ini hanya memberikan hasil penelitian yang kasar dan tidak dapat memberikan taraf keyakinan yang tinggi. Akan tetapi, untuk kesesuaian dengan tujuan penelitian ini maka kemungkinan tersebut diatasi dengan pemerataan tempat atau ranah penelitian (Alwasilah, 2009: 144). Dengan adanya pemerataan tempat atau ranah penelitian, diharapkan dapat memberikan gambaran


(20)

yang maksimal tentang variasi bahasa, serta faktor sosial yang menentukannya. Selain itu, penentuan sampel penelitian ini menggunakan jenis purposive sample convenience (Alwasilah, 2009: 145), di mana jenis sampel didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya, yaitu tuturan pada kalangan ustadz yang ditemui.

Dengan mengacu kepada landasan pengambilan sampel di atas, penelitian ini menetapkan sampel sejumlah 3 (tiga) ceramah dari 3 (tiga) orang ustadz yang berdomisili di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang. Sampel pertama diambil dari ceramah seorang ustadz berusia 38 (tiga puluh delapan) tahun yang berprofesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi di kawasan Jatinangor, Sumedang. Untuk selanjutnya, ustadz ini diberi kode U#1. Riwayat pendidikan U#1 mencapai jenjang Strata 3. Sejak remaja, U#1 dikenal sebagai aktivis dakwah yang sering diundang untuk menyampaikan ceramah di berbagai tempat. Ceramah U#1 yang diambil sebagai sampel dilakukan di sebuah mesjid yang terletak tidak jauh dari tempatnya bekerja.

Sampel kedua diambil dari ceramah seorang ustadz berusia 44 (empat puluh empat) tahun yang berprofesi sebagai pedagang makanan di kawasan Cileunyi, Bandung. Untuk selanjutnya, ustadz ini diberi kode U#2. Riwayat pendidikan U#2 mencapai jenjang Strata 1. U#2 adalah seorang aktivis organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia. Ceramah U#2 yang diambil sebagai sampel dilakukan di sebuah mesjid di kawasan Cileunyi, tidak jauh dari tempat tinggalnya.


(21)

Sampel ketiga diambil dari ceramah seorang ustadz muda berusia 29 (dua puluh sembilan) tahun yang berprofesi sebagai karyawan swasta di kawasan Sayang, Sumedang. Untuk selanjutnya, ustadz ini diberi kode U#3. Riwayat pendidikan U#3 mencapai jenjang Strata 1. U#3 adalah seorang aktivis partai politik (parpol) Islam di Indonesia. Ceramah U#3 yang diambil sebagai sampel dilakukan di sebuah mesjid di kawasan Tanjungsari, Sumedang.

3.2. Metode Penelitian

Trudgill (1974: 34-35) memandang bahwa bahasa merupakan fenomena sosial memiliki kaitan erat dengan struktur dan nilai-nilai sosial yang berlaku di tengah masyarakat. Ini menyebabkan variasi bahasa pada masyarakat dwibahasa sangat berhubungan dengan nilai-nilai sosial-budaya yang berlaku di tengah masyarakat tersebut. Atas dasar pertimbangan ini, kajian penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian lapangan (field reseach) dalam bidang sosiolinguistik.

Pendekatan Sosiolinguistik ini dipusatkan pada model etnografi komunikasi dari Hymes (1972) dengan menggunakan data kualitatif. Karakter kualitatif pada penelitian ini berkenaan dengan data yang tidak berupa angka-angka, tetapi berupa kualitas bentuk verbal yang berwujud tuturan (Moleong, 1996: 29).

Tuturan yang merupakan data penelitian ini terealisasi di dalam penggalan tuturan di kalangan ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang. Data verbal yang berupa penggalan tuturan ini tidak dikuantifikasi. Karena itu, dalam penelitian ini tidak ada perhitungan statis.


(22)

Ancangan deskriptif digunakan di dalam penelitian ini untuk tujuan yang berkenaan dengan topik penelitian. Dalam hal ini, tujuan penelitian adalah untuk memaparkan atau memberikan gambaran mengenai variasi bahasa dlam hal kode pada masyarakat dwibahasa, terutama di kalangan ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang. Hal ini dilandaskan kepada Djajasudarma (2006:16) bahwa deskripsi merupakan gambaran ciri-ciri data secara akurat sesuai dengan sifat alamiah data tersebut. Melalui ancangan tersebut, paparan dan argumentasi tentang variasi bahasa dalam hal kode di kalangan ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang merupakan target penelitian ini.

Paparan dan argumentasi tersebut selanjutnya dibagi ke dalam tiga bagian, yakni

1. wujud variasi dan faktor penentu pemilihan kode di kalangan ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang;

2. variasi alih kode dan campur kode di kalangan ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang; dan

3. faktor sosial yang menjadi penentu alih kode dan campur kode di kalangan ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang.

Analisis atas objek kajian pada penelitian ini ditempuh melalui tiga langkah penting, yakni (1) pengumpulan data; (2) analisis data; dan (3) penyajian hasil analisis data.


(23)

3.2.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan bagian dari langkah yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan. Nawawi (1991:13) menjelaskan bahwa metode pengumpulan data yang tepat dalam suatu penelitian memungkinkan pemecahan masalah secara valid dan terpercaya dan pada akhirnya dapat memungkinkan generalisasi yang obyektif.

Langkah pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode observasi atau disebut juga metode simak (lih. Sudaryanto, 1993; dan Alwasilah, 2009). Metode observasi merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan mengamati objek kajian dalam konteksnya. Metode ini dilakukan dengan mengamati perilaku berbahasa di dalam suatu peristiwa tutur.

Penggunaan metode ini dijalankan pada suatu perilaku berbahasa yang dapat benar-benar dipahami jika ia disaksikan di dalam situasi yang sebenarnya yang berada di dalam konteks yang lengkap (Gunarwan, 2001:22). Menurut Wray et.al (1998:186), metode observasi merupakan metode yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data tanpa adanya manipulasi data. Maksudnya adalah peneliti melakukan observasi pada saat terjadinya suatu kejadian tanpa adanya usaha untuk mengendalikan atau menentukan kejadian tersebut.

Selanjutnya, metode observasi penelitian ini menggunakan teknik simak. Melalui teknik ini, peneliti juga berupaya untuk menyimak tuturan tanpa ikut serta dalam suatu peristiwa tutur. Dalam hal ini, peneliti hanya menyimak tuturan dari sebuah peristiwa tutur.


(24)

Penerapan metode observasi ini menggunakan teknik dasar sadap, dengan memperoleh data melalui penyadapan, dalam hal ini dilaksanakan dengan merekam penggunaan bahasa dalam peristiwa tutur yang alami. Teknik ini dijalankan untuk mendapatkan tuturan yang alami dan tidak dibuat-buat.

Teknik rekam dilakukan dengan cara yang sedemikian rupa agar tidak mengganggu proses tuturan yang terjadi oleh penutur. Pada saat perekaman peristiwa tutur sedang terjadi, peserta tutur tidak menyadari bahwa tuturannya sedang direkam, pemberitahuan dan permohonan izin baru dilaksanakan setelahnya. Dengan demikian data yang diperoleh adalah data yang akurat.

Di dalam mengamati perilaku orang-orang yang terlibat di dalam suatu peristiwa tutur, peneliti tidak sekedar melihat dan menyaksikan, namun juga harus mencatat hal-hal yang relevan, terutama bentuk perilaku setiap partisipan di dalam peristiwa tutur itu. Untuk memudahkan pencatatan itu, dalam penelitian ini digunakan lembar pengamatan yang berisi keterangan-keterangan ringkas yang dapat diisi dengan cepat oleh peneliti.

Selain menggunakan metode observasi, metode wawancara juga digunakan di dalam penelitian ini. Gunarwan (2001:44) mengemukakan bahwa metode wawancara menggunakan sejumlah pertanyaan untuk menjaring informasi atau data dari responden atau informan.

Pada penelitian ini, digunakan metode wawancara tidak terstruktur di mana peneliti hanya mempersiapkan beberapa pertanyaan pokok seperti yang pernah digunakan oleh Gunarwan (2001) dalam penelitiannya tentang penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Banjar pada masyarakat Banjar Kalimantan Selatan.


(25)

Wawancara pada penelitian ini terutama difokuskan untuk mengetahui tujuan-tujuan dan alasan-alasan dilakukannya alih dan campur kode oleh para ustadz. Dengan kata lain, wawancara berfungsi sebagai alat konfirmasi analisis atas tujuan dan alasan dilakukannya alih dan campur kode tersebut.

3.2.2 Analisis dan Pembahasan Data

Analisis dan pembahasan data merupakan tahapan selanjutnya setelah pengumpulan data. Kaidah dan simpulan aspek-aspek variasi kode bahasa pada kalangan ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang dianalisis dengan menggunakan metode analisis kontekstual (Bailey, 2007: 113).

Metode analisis kontekstual diterapkan pada data dengan mendasarkan, memperhitungkan, dan mengaitkan data kepada konteks. Konteks itu sendiri merupakan suatu sarana pemerjelas maksud yang berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian (Rustono, 1999:20; Arimi, 2006:8).

Analisis data penelitian ini selanjutnya dilakukan melalui beberapa langkah sebagai berikut.

1. Reduksi data, ialah melakukan identifikasi keragaman variasi bahasa dalam hal kode. Di dalam tahap ini, hasil rekaman diputar ulang untuk mengidentifikasi dan memilah hasil rekaman berdasarkan kode yang digunakan di dalam peristiwa tutur. Reduksi data ini bertujuan untuk mendapatkan data-data yang masuk dalam kategori penelitian, yakni tuturan yang mengandung unsur variasi bahasa dalam hal kode di kalangan para ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang.


(26)

2. Transkripsi data. Setelah data direduksi, penelitian melalui tahap transkripsi data secara ortografis pada data yang masuk dalam kategori penelitian. Dalam hal ini, cara yang dilakukan ialah dengan menuliskan data-data yang dapat didengar dari hasil rekaman (Wray et.al, 1998:201). Pada transkripsi data ini, hanya hal-hal yang relevan dengan penelitian saja yang ditranskripsikan. Dengan kata lain, tidak semua hasil rekaman ditranskripsikan, misalnya transkripsi fonetik tuturan.

3. Setelah dilakukan transkripsi hasil rekaman, langkah selanjutnya adalah pengelompokan kategori data yang berasal dari hasil rekaman dan catatan lapangan. Pengelompokan ini dilakukan dengan cara mengelompokkan data yang berasal dari keragaman kode. Pada bagian ini, hasil wawancara juga digunakan untuk mengkonfirmasi beberapa hal yang menjadi hasil analisis data yang diperoleh dari pengamata langsung.

4. Langkah terakhir adalah penyimpulan variasi bahasa dalam hal kode.

Pada penelitian ini, penyajian hasil analisis data dilakukan dengan menggunakan metode informal. Metode informal ini menggunakan penyajian hasil analisis data dengan deskripsi khas verbal dengan kata-kata.


(27)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Di dalam Bab I telah dikemukakan bahwa tujuan penelitian ini ialah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang terkait dengan jenis alih kode dan campur kode yang terjadi dalam ceramah para ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang; tataran terjadinya alih kode dan campur kode tersebut; ciri-ciri alih kode dan campur kode tersebut; dan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode dan campur kode tersebut.

5.1 Simpulan

Pada analisis dan pembahasan dalam bab sebelumnya, kaidah dan simpulan aspek-aspek variasi kode bahasa pada kalangan ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang telah mendasarkan, memperhitungkan, dan mengaitkan data kepada konteks. Hasil dari analisis dan pembahasan tersebut sekurangnya dapat dirangkai ke dalam beberapa simpulan.

1. Jenis peralihan yang terjadi dalam ceramah para ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang adalah alih bahasa. Peralihan bahasa yang paling dominan pada ketiganya adalah alih bahasa Indonesia ke bahasa Sunda karena kode dasar bahasa Indonesia dipergunakan secara konsisten oleh para ustadz. Peralihan yang mencakup penggunaan bahasa Inggris dan Arab juga digunakan dalam hal ini.


(28)

2. Tataran terjadinya alih kode yang umum menunjukkan bahwa tataran kalimat menjadi tataran yang paling dominan. Walau demikian, alih kode pada tataran frasa dan kata juga ditemukan pada ketiga responden.

3. Ciri-ciri alih kode sangat menekankan kepada peralihan yang fungsional. Ini ditunjukkan dengan peralihan ke dalam bahasa Sunda yang signifikan, sebagai

fungsi penyampaian yang efektif untuk jama’ah yang mayoritas dari etnis

Sunda.

4. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode meliputi faktor keagamaan, sebagai faktor yang dominan, dan faktor psikologis. Sejalan dengan peran ustadz sebagai pihak yang menyampaikan ajaran agama, peralihan ke dalam bahasa Arab menjadi dominan. Faktor psikologis yang menjadi faktor lainnya memicu peralihan ke bahasa Sunda sebagai upaya yang disengaja untuk mendekatkan penyampaian dengan penyimak yang mayoritas adalah etnis Sunda. Selain itu, peralihan yang berulang ke dalam kode bahasa Sunda kemungkinan diyakini dapat lebih menyampaikan maksud yang hendak disampaikan oleh ustadz.

5. Jenis campur kode yang terjadi dalam ceramah para ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang adalah campur bahasa. Campur bahasa paling dominan adalah campur bahasa Indonesia dengan bahasa Arab. Penggunaan bahasa Arab memiliki alasan yang sangat khusus karena bahasa Arab adalah bahasa yang dipergunakan dalam Al Quran, kitab suci umat Islam. Maka campuran dengan bahasa Arab menjadi sesuatu yang tak terhindarkan dan menjadi sesuatu yang lazim dalam ceramah dan pengajaran agama Islam.


(29)

6. Tataran terjadinya campur kode yang umum adalah tataran kata. Walau demikian, alih kode pada tataran frasa dan kalimat juga ditemukan pada ketiga responden.

7. Ciri-ciri campur kode sangat menekankan kepada penggunaan konsep-konsep agama yang tentunya tersirat melalui istilah-istilah berbahasa Arab. Selain itu ciri juga menekankan kepada penggunaan konsep-konsep keilmuan melalui istilah-istilah berbahasa Inggris dan ciri yang menekankan kepada lokalitas melalui ungkapan-ungkapan berbahasa Sunda.

8. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya campur kode mencakup faktor keagamaan; faktor psikologis; faktor keilmuan; dan faktor kebiasaan atau prestise. Faktor keagamaan dipicu oleh ungkapan-ungkapan berbahasa Arab dalam campuran untuk menegaskan konsep-konsep agama yang sedang dibicarakan. Sementara, faktor psikologis sangat dimungkinkan dalam masyarakat bilingual, mengingat bahasa Indonesia dan bahasa Sunda sama-sama digunakan oleh penutur maupun kelompok yang menjadi mitra tuturnya,

dalam hal ini ustadz dan jama’ah. Faktor keilmuan tersirat melalui kata atau

istilah berbahasa Inggris yang dilakukan untuk lebih menegaskan cakupan ilmu yang menjadi sisipan dalam tuturan-tuturan yang dibuat para ustadz. Sedangkan faktor kebiasaan atau prestise tampak dari campur kode dengan frasa-frasa atau kata-kata yang sebenarnya memiliki padanan yang lazim ditemukan dalam bahasa Indonesia.


(30)

5.1 Saran

Penelitian tentang alih dan campur kode sebagai strategi komunikasi dapat memberikan banyak implikasi kepada perkembangan ilmu linguistik secara umum. Untuk itu, penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong munculnya penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan alih dan campur kode. Sekurangnya ada beberapa saran yang relevan dengan kepentingan ini.

Pertama, penelitian ini merupakan penelitian eksploratif yang berhubungan dengan masalah pemilihan kode di kalangan para ustadz dengan lokalitas konteks di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang. Pada tataran masyarakat secara umum, penelitian semacam ini masih memiliki daya jangkau yang luas. Karena itu, penelitian ini masih memerlukan tindak lanjut dengan penelitian lain yang serupa namun pada ruang lingkup lain, baik yang lebih sempit maupun yang lebih luas. Dengan penelitian lainnya, analisis yang dilakukan dapat lebih mengeksplorasi masalah-masalah pemilihan bahasa secara umum.

Kedua, perspektif sosiolinguistik memungkinkan adanya fenomena diglosia pada masyarakat dwibahasa, terutama pada masyarakat tutur di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang yang diteliti dalam penelitian ini. Untuk itu, penelitian lanjut juga dapat melakukan kajian yang lebih mendalam pada subyek-subyek lain. Penelitian seperti ini sangat bermakna dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa–bahasa di kawasan ini.

Ketiga, mengingat adanya kekhawatiran akan pergeseran dan kepunahan bahasa daerah, penelitian selanjutnya mungkin dapat mempertimbangkan konsep pemertahanan bahasa daerah, khususnya di kawasan ini.


(31)

DAFTAR PUSTAKA

Bailey, Carol A. (2007). A Guide to Qualitative Field Research. London: Sage Publication.

Beardsmore, Hugo Baetens. 1982. Bilingualisme: Basic Principles. Brusel:Vrije Universiteit.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leoni. 1995. Sosiolinguistik Suatu Perngantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta.

Deumert, Ana dan Mesthrie, Rajend. 2009. “Language Variation and Changedalam C. Smith (ed.) Introducing Sociolinguistics. Edinburgh: Edinburgh University Press

Djadjasoedarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco

Essien, Okon (1995) “The English language and code-mixing: A case study of the phenomeno In Ibibio”. dalam Ayo Bambose, A. Banjo and A. Thomas (ed.), New Englishes, a Western African Perspective. Ibadan, Nigeria: Mosuro, 269–83.

Gumperz, JJ. 1977. The Sociolinguistics significance of conversational code switching. RELC Journal, 8(23): 13-25

Hymes, D. 1964. “Toward Ethnographies of Communicative Events”. dalam PP. Giolooli (Ed).


(32)

Kridalaksana, Harimurti. 1984. Fungsi dan Sikap Bahasa. Yogyakarta: Kanisius Kristen. 1986. The Linguistics Encyclopedia. London: Routledge (Ed).

Moleong, J. Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Markhamah. 2000. Etnik Cina: Kajian Linguis Kultural. Surakarta :

Muhammadiyah University Press.

Mufidah, Nida 2006. “Perilaku Berbahasa Santri Ponpes Darul Hijrah Cindai Alus Kabupaten Banjar.” Artikel pada Jurnal Khazanah, Vol. V. No. 06 November-Desember 2006, 25-30

Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Poplack, S. 1980. “Sometimes I’ll start a sentence in English y termino en Espanol: Toward a typology of code switching”. Linguistics, 18-11 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik Kode dan Alih Kode. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Rusyana, Yus. 1989. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press. Surakhmad, Winarno. 1980. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito


(33)

Tagliamonte, Sali A. (2006). Analysing Sociolinguistic Variation. New York: Cambridge University Press.

Umar, Azhar. 1994. Sosiolinguistik dan Psikolinguistik : Suatu Pengantar. Medan: Pustaka Widyasarana.


(1)

148

INE SUKARTINI, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

2. Tataran terjadinya alih kode yang umum menunjukkan bahwa tataran kalimat menjadi tataran yang paling dominan. Walau demikian, alih kode pada tataran frasa dan kata juga ditemukan pada ketiga responden.

3. Ciri-ciri alih kode sangat menekankan kepada peralihan yang fungsional. Ini ditunjukkan dengan peralihan ke dalam bahasa Sunda yang signifikan, sebagai fungsi penyampaian yang efektif untuk jama’ah yang mayoritas dari etnis Sunda.

4. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode meliputi faktor keagamaan, sebagai faktor yang dominan, dan faktor psikologis. Sejalan dengan peran ustadz sebagai pihak yang menyampaikan ajaran agama, peralihan ke dalam bahasa Arab menjadi dominan. Faktor psikologis yang menjadi faktor lainnya memicu peralihan ke bahasa Sunda sebagai upaya yang disengaja untuk mendekatkan penyampaian dengan penyimak yang mayoritas adalah etnis Sunda. Selain itu, peralihan yang berulang ke dalam kode bahasa Sunda kemungkinan diyakini dapat lebih menyampaikan maksud yang hendak disampaikan oleh ustadz.

5. Jenis campur kode yang terjadi dalam ceramah para ustadz di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang adalah campur bahasa. Campur bahasa paling dominan adalah campur bahasa Indonesia dengan bahasa Arab. Penggunaan bahasa Arab memiliki alasan yang sangat khusus karena bahasa Arab adalah bahasa yang dipergunakan dalam Al Quran, kitab suci umat Islam. Maka campuran dengan bahasa Arab menjadi sesuatu yang tak terhindarkan dan menjadi sesuatu yang lazim dalam ceramah dan pengajaran agama Islam.


(2)

149

INE SUKARTINI, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

6. Tataran terjadinya campur kode yang umum adalah tataran kata. Walau demikian, alih kode pada tataran frasa dan kalimat juga ditemukan pada ketiga responden.

7. Ciri-ciri campur kode sangat menekankan kepada penggunaan konsep-konsep agama yang tentunya tersirat melalui istilah-istilah berbahasa Arab. Selain itu ciri juga menekankan kepada penggunaan konsep-konsep keilmuan melalui istilah-istilah berbahasa Inggris dan ciri yang menekankan kepada lokalitas melalui ungkapan-ungkapan berbahasa Sunda.

8. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya campur kode mencakup faktor keagamaan; faktor psikologis; faktor keilmuan; dan faktor kebiasaan atau prestise. Faktor keagamaan dipicu oleh ungkapan-ungkapan berbahasa Arab dalam campuran untuk menegaskan konsep-konsep agama yang sedang dibicarakan. Sementara, faktor psikologis sangat dimungkinkan dalam masyarakat bilingual, mengingat bahasa Indonesia dan bahasa Sunda sama-sama digunakan oleh penutur maupun kelompok yang menjadi mitra tuturnya, dalam hal ini ustadz dan jama’ah. Faktor keilmuan tersirat melalui kata atau istilah berbahasa Inggris yang dilakukan untuk lebih menegaskan cakupan ilmu yang menjadi sisipan dalam tuturan-tuturan yang dibuat para ustadz. Sedangkan faktor kebiasaan atau prestise tampak dari campur kode dengan frasa-frasa atau kata-kata yang sebenarnya memiliki padanan yang lazim ditemukan dalam bahasa Indonesia.


(3)

150

INE SUKARTINI, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 5.1 Saran

Penelitian tentang alih dan campur kode sebagai strategi komunikasi dapat memberikan banyak implikasi kepada perkembangan ilmu linguistik secara umum. Untuk itu, penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong munculnya penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan alih dan campur kode. Sekurangnya ada beberapa saran yang relevan dengan kepentingan ini.

Pertama, penelitian ini merupakan penelitian eksploratif yang berhubungan dengan masalah pemilihan kode di kalangan para ustadz dengan lokalitas konteks di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang. Pada tataran masyarakat secara umum, penelitian semacam ini masih memiliki daya jangkau yang luas. Karena itu, penelitian ini masih memerlukan tindak lanjut dengan penelitian lain yang serupa namun pada ruang lingkup lain, baik yang lebih sempit maupun yang lebih luas. Dengan penelitian lainnya, analisis yang dilakukan dapat lebih mengeksplorasi masalah-masalah pemilihan bahasa secara umum.

Kedua, perspektif sosiolinguistik memungkinkan adanya fenomena diglosia pada masyarakat dwibahasa, terutama pada masyarakat tutur di kawasan perbatasan Bandung-Sumedang yang diteliti dalam penelitian ini. Untuk itu, penelitian lanjut juga dapat melakukan kajian yang lebih mendalam pada subyek-subyek lain. Penelitian seperti ini sangat bermakna dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa–bahasa di kawasan ini.

Ketiga, mengingat adanya kekhawatiran akan pergeseran dan kepunahan bahasa daerah, penelitian selanjutnya mungkin dapat mempertimbangkan konsep pemertahanan bahasa daerah, khususnya di kawasan ini.


(4)

151

INE SUKARTINI, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu DAFTAR PUSTAKA

Bailey, Carol A. (2007). A Guide to Qualitative Field Research. London: Sage Publication.

Beardsmore, Hugo Baetens. 1982. Bilingualisme: Basic Principles. Brusel:Vrije Universiteit.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leoni. 1995. Sosiolinguistik Suatu Perngantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta.

Deumert, Ana dan Mesthrie, Rajend. 2009. “Language Variation and Changedalam C. Smith (ed.) Introducing Sociolinguistics. Edinburgh: Edinburgh University Press

Djadjasoedarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco

Essien, Okon (1995) “The English language and code-mixing: A case study of the

phenomeno In Ibibio”. dalam Ayo Bambose, A. Banjo and A. Thomas

(ed.), New Englishes, a Western African Perspective. Ibadan, Nigeria: Mosuro, 269–83.

Gumperz, JJ. 1977. The Sociolinguistics significance of conversational code switching. RELC Journal, 8(23): 13-25

Hymes, D. 1964. “Toward Ethnographies of Communicative Events”. dalam PP. Giolooli (Ed).


(5)

152

INE SUKARTINI, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Kridalaksana, Harimurti. 1984. Fungsi dan Sikap Bahasa. Yogyakarta: Kanisius Kristen. 1986. The Linguistics Encyclopedia. London: Routledge (Ed).

Moleong, J. Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Markhamah. 2000. Etnik Cina: Kajian Linguis Kultural. Surakarta :

Muhammadiyah University Press.

Mufidah, Nida 2006. “Perilaku Berbahasa Santri Ponpes Darul Hijrah Cindai Alus Kabupaten Banjar.” Artikel pada Jurnal Khazanah, Vol. V. No. 06 November-Desember 2006, 25-30

Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Poplack, S. 1980. “Sometimes I’ll start a sentence in English y termino en Espanol: Toward a typology of code switching”. Linguistics, 18-11 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik Kode dan Alih Kode. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Rusyana, Yus. 1989. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press. Surakhmad, Winarno. 1980. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito


(6)

153

INE SUKARTINI, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Tagliamonte, Sali A. (2006). Analysing Sociolinguistic Variation. New York: Cambridge University Press.

Umar, Azhar. 1994. Sosiolinguistik dan Psikolinguistik : Suatu Pengantar. Medan: Pustaka Widyasarana.