Luita Aribowo Memetakan Kemampuan Berbahasa Pada Otak Manusia

DAFTAR ISI
MN Harisudin
Stereotipe Manusia Madura Dulu dan Sekarang

1

Sutji Hartiningsih
Tradisi Bersih Desa di Desa Ngasinan Kediri

9

Sofyan Hadi
Kosmologi dan Sinkretisme Orang Jawa:
Sistem Sosial Masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat

17

Hermanu J
Jatuhnya Elit Keraton dalam Politik Pergerakan

25


Lina Puryanti
Modernitas dan Lokalitas dalam Novel Mencari Sarang Angin
Karya Suparto Brata:
Perspektif Pascakolonial

42

S. Itafarida
Intertekstualitas dalam Cinta Merah Jambu
Karya Bonari Nabonenar

54

Dwi Handayani
Penggunaan Bahasa Plesetan dalam Bahasa indonesia

62

I


Luita Aribowo
Memetakan Kemampuan Berbahasa Pada Otak Manusia

69

Ikhsan Rosyid
Resensi Buku: Dekolonisasi Metodologi
“Membangun Kesadaran Ilmiah sebagai Bangsa Terjajah”

77

Ii

STEREOTIPE MANUSIA MADURA
DULU DAN SEKARANG
MN Harisudin*)
Abstract
Both in the colonial period or after that, there were negative stereotypes about Madurese
society. Nowdays stereotypes about Madurese society are better than years ago. In the

colonial period, Madurese society were described as strongman, angry, not patient,
extrovert, exlusive give ideas and do'nt know tradition. In this time, although stereotypes
about Madurese society like years ago, but they are described by positive stereotypes like
hardman in work, valiantman and affirmman in Islamic religiousity. Madurese society
especially in out of Madura Island, can decrease this negative stereotypes now.
Key Word: Manusia Madura, Stereotipe, Kolonial

Pendahuluan
“Orang Madura itu sulit aturannya”,
ujar seorang kiai yang juga Ketua Majlis
Ulama Indonesia Kabupaten Jember barubaru ini pada saya. Ucapan kiai yang asal
Jawa ini berkenaan dengan sulitnya orang
Madura yang menjadi Pedagang kaki
Lima di Jember direlokasi oleh Pemkab
Jember. Ucapan yang bernada pejoratif
banyak kita jumpai dalam forum resmi
atau tidak resmi. Seperti halnya orang
Jawa dan Sunda, ada banyak stereotipe
yang ditempelkan pada manusia Madura.
Memang, tidak semua stereotipe

orang Madura adalah benar. Karena
stereotipe sama sekali tidak mencakup
hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran
objektif. Lebih dari itu, stereotipe bahkan
menjadi semacam ilusi atau khayalan
yang dimiliki bersama oleh banyak orang.
Sama seperti orang Barat menciptakan
stereotipe orang Timur sebagai makhluk
yang bodoh, terbelakang, irasional, bejat
dan sebagainya. (Edward W. Said: 1994,
51). Menarik sekali pernyataan Huub de

Jonge ketika menjelaskan stereotipe
sebagai berikut:
“…are not concerned with objective
truth, but rather with collective de or
ilusions. It does not matter wether they
are factually correct, some can be fully
or partially so. Rather people believe
them to be true and as such the have

meaning in human thought and
actions”. (Huub de Jonge: 1991, 3)

Jonge, nampaknya mengafirmasi
bahwa stereotipe tidaklah berhubungan
dengan kebenaran objective, tetapi hanya
pada khayalan-khayalan atau ilusi-ilusi
yang bersifat kolektif. Makanya, bagi
Jonge, tidak ada masalah apakah
stereotipe itu secara faktual sesuai dengan
kenyataan atau tidak; sebagian atau
seluruhnya. Dan ini pula yang juga terjadi
ketika orang-orang membuat stereotipe
mengenai orang Madura.
Dus, ketika stereotipe dibuat, ia
juga dibumbui oleh sederet penilaian.
Ironisnya, bukan penilaian yang penuh
kebijaksanaan, melainkan penilaian yang

)


* STAIN Jember Dpk Universitas Islam Jember

1

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 3, No.1
Januari - Juni 2008: 1 - 82
bias dengan prasangka. Di sini, penalaran
jarang sekali berperan bila seseorang
memandang kelompok orang lain. Lebih
lanjut, Hollander mengatakan bahwa citra
yang dimiliki oleh sekelompok orang
dengan kelompok lainnya sering
didasarkan pada kriteria, emosi dan
perasaan. “Jika seseorang tidak tahu apaapa tentang orang lain, pada aras primitif
peradaban, semua kendali belum
terbentuk. Dengan demikian, dasar yang
dipakai adalah rumor, sehingga rasa takut
akan meraja lela, cemooh, benci, cemas
dan kagum. Akibatnya, timbullah citra

khayalan yang paling menakjubkan dan
mengerikan. (Mien Ahmad Rifai: 2007,
130).
St ereotipe, oleh karenanya,
merupakan “suatu pendapat yang secara
relatif mantap yang bersifat perampatan
atau generalisasi dan evaluatif”.
Stereotipe mencoba untuk membuat
penilaian tidak terperinci tentang
sekelompok orang yang sampai tingkat
tertentu dapat
disebut dengan tipe.
Pencirian dalam stereotipe biasanya
sangat tidak mendalam, dan hanya
menonjolkan sifat-sifat yang menjelekkan.
(Duijker & Frijda: 1960, 116). Dalam
membuat stereotipe, ciri-ciri jelek selalu
ditempelkan pada kelompok lain dan
maka ciri-ciri baik akan dilekatkan pada
kelompoknya.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk
membenarkan atau menyalah stereotipe
mengenai orang Madura. Namun tulisan
ini akan mencoba menelusuri rekamjejak stereotipe orang Madura mulai dulu
hingga sekarang. Di samping itu, tulisan
ini juga akan melihat bagaimana
perubahan stereotipe itu terjadi dan atau
bertahan sampai masa sekarang.

2

STEREOTIPORANG MADURA
Masa Kolonial
Stereoptipe pertama, bahwa
menurut van Gennep, orang Madura dapat
dengan mudah dibedakan dari orang Jawa.
Mereka memiliki perawakan yang lebih
kekar dan berotot, tetapi tidak lebih besar
dan tidak berkesan halus dengan sifat-sifat
permukaan yang garang dan kasar. Veth

misalnya mencatat sifat kejam pada muka
orang Madura karena susunan kepala
yang bertulang lebih kukuh, memiliki
paras wajah yang terkesan lebih kuat dan
beringas. Sementara itu, Lindoeng
berpendapat bahwa baik kaum bangsawan
Madura maupun
rakyat jelatanya
memiliki tubuh yang tidak seanggun
orang Jawa. (Mien Ahmad Rifai: 2007,
132-133).
Jika dibandingkan dengan wanita
Jawa, wanita Madura pada waktu kolonial
sangat jauh sekali kelasnya. Wanita
Madura lebih disebut sebagai terbelakang,
kaku, gemuk dan jelek. Pendeta Katolik
van der Linden misalnya menganggap
kecantikan wanita Madura berada jauh di
bawah wanita Jawa Tengah dan Jawa
Barat. Sementara Lindoeng mencatat:

“Kelembutan muka pucat halus yang
menyebabkan wanita Jawa memikat,
jarang sekali dijumpai pada perempuan
Madura”. Bahkan Surink menduga bahwa
wanita Madura mudah cepat tua dan pada
umur yang agak dini sudah
memperlihatkan kesan kelaki-lakian
dengan wajah keriput.
Stereotipe lainnya adalah cara
berpakaian orang Madura yang dianggap
tidak terurus, namun juga mencolok. Mitis
misalnya menyebut pakaian harian pria
dan wanita Madura terlihat kumal dan
kotor. Prianya tidak peduli pada pakaian,
sebagaimana pengamatan van der Linden:
“Dalam berbusana, mereka mengenakan
celana tanggung, berkaki lebar, sejenis
kemeja keliling bagian atas tubuhnya,

Stereotip Manusia Madura Dulu dan Sekarang


selembar sarung yang dikalungkan di
leher serta destar yang diikatkan
sekenanya di kepala”.
Wanita Madura juga sangat
sembrono dalam berpakaian. Jika mereka
dalam keadaan tergesa-gesa dan
menjunjung barang di atas kepalanya,
bagian bawah gaunnya akan digulung ke
atas lalu diikatkan di sekeliling pinggang
s e h i n g g a m e r e k a b i s a b e rg e r a k
sebebasnya. Dalam perjalanan ke pasar,
mereka terkadang melipat baju ke
bahunya. Rambut mereka juga jarang
disisir dengan sepatutnya. Baik pria
maupun wanita Madura waktu itu suka
dengan warna pakaian mencolok dan
norak seperti merah menyala, kuning,
hijau, jingga dan biru langit. (Mien
Ahmad Rifai: 2007, 135).
Sementara itu, dalam hal sikap dan
perilaku, orang Madura juga berbeda
dengan orang Jawa maupun Sunda.
Seperti kata seorang pastor Katolik, orang
Madura tidak memiliki etiket sama sekali.
Secara mencolok, mereka berbeda dengan
orang Jawa yang lebih berbakat dan
sensitif serta sangat lurus sikapnya dalam
melakukan hubungan sosial. Orang Jawa
lebih menghargai adat. Orang Jawa
merasa lebih berharkat dan berwibawa
serta memandang rendah orang Madura
yang kasar.
Menurut van Gelder, orang Madura
kurang sopan dan lebih tidak formal
dibanding dengan orang Jawa. Mereka
memiliki keberanian menyuarakan pen
dapatnya, meskipun pada atasannya.
Suara orang Madura memang lantang,
menunjukkan wataknya yang keras.
Namun, suara yang lantang dan berat itu
sesungguhnya menyiratkan
kepribadiannya yang seutuhnya. Jika
orang Jawa cenderung menyembunyikan
sesuatu dalam ucapannya, maka dalam
suara orang Madura menjelaskan apa

yang sebenarnya dalam pribadinya.
Sifat lain yang juga muncul dalam
stereotipe orang Madura adalah
kecepatannya tersinggung, penuh curiga,
pemarah,
berdarah panas, beringas,
pendendam, suka berkelahi dan kejam.
Harga diri orang Madura menjadi kunci
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
bahasa orang Madura: “Angoan pote
tolang etembang pote mata”. Maksudnya,
mereka lebih baik mati daripada hidup
dengan menanggung malu. (A. Latif
Wiyata: 1997, 6). Makanya, jika orang
Madura dipermalukan, maka mereka akan
menghunus belati dan segera membalas
dendam hinaannya. Atau setidaknya
menunggu hingga ada kesempatan untuk
membalasnya. Perkelahian, carok dan
pembunuhan merupakan sesuatu yang
biasa terjadi setiap hari.
Manusia Madura “tempoe doeloe”
identik dengan senjata tajam. Seperti
digambarkan oleh Wopp: “Di jalan, orang
hampir tidak pernah melihat orang
Madura tanpa keris atau tombak, dan
kalau ia di sawah, atau ladang, ia tentu
membawa sada' atau are' (celurit, arit),
calo' (parang berujung bengkok),
baddhung (sejenis kapak besar) atau
rajhang (linggis). Ia akan menggunakan
calo' tadi untuk segala macam pekerjaan.
Dengan alat tajam itu, ia menebang pohon,
membersihkan belukar untuk merintis
jalan, memotong kayu dan bambu dan
lain-lain. Dengan tarikan nafas yang sama,
ia juga akan memotong tangan, kaki dan
kepala orang lain jika memang harus
berbuat demikian”.
Di samping itu, orang Madura di
masa dulu juga dikenal sebagai pecandu
judi. Seringkali terjadi, demi untuk
berjudi, orang Madura menghamburhamburkan semua barang miliknya, lalu

3

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 3, No.1
Januari - Juni 2008: 1 - 82
menggadaikan sawah ladangnya pada
tetangganya yang lebih kaya atau pada
orang Arab dan Cina. Jika ia sudah tidak
mempunyai apa-apa lagi kecuali istri atau
anak gadisnya yang cantik, iapun akan
tega menggadaikan atau menyerahkan
wanita itu pada penjudi yang lebih
beruntung. Ament menyatakan bahwa
pelaksanaan kerapan sapi secara jelas
memperlihatkan betapa rendahnya
perilaku orang Madura. Bila memang,
mereka akan berteriak kegirangan,
bersorak menjerit dan menari-nari, namun
jika kalah serta diejek secara memalukan,
ia akan segera menghunus pisau.
Selain sifat negatif diatas, orang
Madura diakui juga memiliki karakter
positif. Sifat positif ini misalnya berani,
gagah, petualang, lurus, tulus, setia, rajin,
hemat, ceria, sungguh dan humoris. Jika
orang Jawa dianggap bersifat petani,
maka orang Madura dicirikan sebagai
“nelayan-pelaut” yang lebih bernyali, dan
berpetualang. Namun demikian, sifatsifat positif ini tidak menonjol karena
dibayang-bayangi oleh sifat negatif. Lagi
pula, sifat-sifat baik ini hanya muncul
dalam keadaan tertentu saja. Misalnya,
bila lingkungan dalam keadaan damai,
teratur dan ketat pemimpin.
Walhasil, hampir dalam segala hal,
stereotipe orang Madura di masa dulu
dianggap rendah dibandingkan orang
Jawa. Tak heran jika orang Jawa melihat
orang Madura sebagai seorang berderajat
lebih rendah, namun pada saat yang sama
mereka merasa takut pada keberingasan
watak dan kelicikannya. Bahkan, menurut
Lindoeng, secara intelektual orang
Madura berada jauh di bawah orang Jawa,
karena mereka lebih sulit diajar dan lebih
malas belajar.

4

Masa Kini
Tanah yang sangat tandus dan
kering menjadikan tiga perempat
penduduk Madura melakukan migrasi ke
tempat lain. Seperti ditegaskan oleh
Muthmainnah, perekonomian yang minus
memaksa orang Madura keluar pulau
tersebut untuk mencari nafkah. Mereka
pergi tidak hanya ke dalam negeri, namun
juga sampai ke manca negara seperti Arab
Saudi, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Dari semua tempat tersebut, Arab Saudi
menjadi tempat paling favorit karena
selain bisa mencari nafkah, mereka juga
dapat melaksanakan ibadah haji yang
menjadi dambaan setiap orang Madura.
(Muthmainnah: 1998, 21).
Menurut Kuntowijoyo, kegiatan
migrasi ke luar pulau pada awalnya
merupakan migrasi musiman yang
kemudian berkembang menjadi migrasi
secara permanen. Sekarang, lebih banyak
orang yang tinggal di luar pulau Madura
dibanding dengan yang tinggal di Madura.
Ketiadaan surplus ekonomi oleh pengaruh
ekologi tegalan yang miskin telah
mengurangi kejahatan yang terorganisasi
secara komunal seperti perampokan
besar-besaran. Oleh karena itu, kekerasan
carok yang menjadi ciri orang Madura
umumnya bersifat individual.
(Kuntowijoyo: 1980, 75).
Sikap migrasi orang Madura ini
sesuai benar dengan ajaran Islam yang
secara nyata ditauladankan Nabi
Muhammad Saw untuk hijrah dari Mekah
ke Madinah. Memang, kebiasaan hijrah
ini kemudian mendapat hambatan alam
dan lingkungan yang kurang bersahabat
yang menyebabkan manusia Madura
mampu menhadapi tantangan keras
dengan keoptimisan yang tinggi. Bekerja
keras dengan tidak mengenal lelah serta
tidak menghiraukan waktu, merupakan

Stereotip Manusia Madura Dulu dan Sekarang

pola hidup untuk meraih peluang hidup
yang maksimal. Rendahnya tingkat
pendidikan pada satu sisi memang
kelemahan, namun pada sisi lain
mengharuskan mereka memasuki
lapangan kerja dalam sektor informal
yang tidak memerlukan ketrampilan yang
tinggi seperti buruh tani, pedagang eceran,
dan sebagai pekerja kasar di bidang jasa.
(MienAhmad Rifai: 2007, 163).
P r o f . D r. H e n d r o S u r o y o
mengatakan bahwa sifat etnosentrisme
orang Madura merangsang hasrat untuk
saling membantu dalam bekerja secara
keras yang didukung oleh pembawaannya
yang ulet dan tahan banting. Hanya saja,
sayangnya sifat ini berdampak negatif
pada kelompok masyarakat lain. Orang
Madura tidak memperhatikan dan juga
kurang toleran terhadap suku bangsa lain.
Selain itu, pembawaan temperamental
yang mudah tersinggung, begitu melihat
ada gerakan yang bakal merugikan diri
dan kelompoknya, maka mereka akan
bereaksi dan mencoba menandingi.
Lebih lanjut, Hendro Suroyo yang
juga pakar antropologi sosial Madura
mengatakan bahwa kebiasaan membawa
senjata tajam yang sukar dihilangkan,
merupakan faktor budaya yang bisa
memicu konflik sosial. Apalagi, ditambah
keberhasilan orang Madura secara sosial
ekonomi yang juga membuat
kecemburuan etnis yang lain juga
meningkatkan kecemburuan yang
sewaktu-waktu dapat meledak. Insiden
kecil dapat menyukut dan membakar
konflik antar etnis. Pada kelompok yang
berwatak keras dan berpendidikan rendah,
solidaritas gampang sekali muncul
sehingga orang Madura dapat dihasut
sedikit saja tanpa berpikir panjang. Ini
yang menurut guru besar FISIP
Universitas Tanjungpura (Pontianak)

telah terjadi di Kalimantan Barat yang
menjadi tujuan transmigrasi swakarsa
orang Madura Barat yang umumnya
dikenal berwatak keras. (Mien Ahmad
Rifai: 2007, 163-164).
Sementara, Parsudi Suparlan, Guru
Besar Antropologi Universitas Indonesia
mengatakan bahwa di tempat lain seperti
Irian dan Ambon, orang Madura bisa
bersifat tertib. Lingkungannya juga aman
dan tentram. Hal yang demikian ini
berbeda dengan Sambas yang rata-rata
berasal dari transmigrasi Madura Barat.
Parsudi Suparlan membedakan antara
perilaku orang Madura Barat (Bangkalan
dan Sampang) dan orang Madura Timur
(Pamekasan dan Sumenep). Dalam
penilaian, orang Madura Timur lebih
beradab dan lebih tahu aturan
dibandingkan dengan orang Madura
Barat. Selain itu, orang Madura Barat juga
rendah pendidikannya dan agresif dalam
melanggar hukum seperti menjadi preman,
tukang tipu, pemeras dan lain sebagainya.
(MienAhmad Rifai: 2007, 175).
Dalam kasus yang ditemukan
Parsudi Suparlan,
orang Melayu di
Kalimantan Barat seringkali dirugikan
oleh orang Madura. Kejengkelan orang
Melayu dicontohkan dengan pernyataan:”
Kalau ayam masih kecil kami orang
melayu yang punya, tetapi kalau sudah
besar jadi milik orang Madura”. Lahan
sempit orang Madura lama kelamaan
bergeser karena ditanami pisang dan
berkembang biak ke mana-mana. Tahun
demi tahun patoknya juga bergeser ke
arah tetangganya. Orang Madura yang
sudah minta dan dapat izin pemiliknya
mengambil buah kepunyaan orang
Melayu, tahun berikutnya dan juga
seterusnya akan langsung mengambil
buah tersebut tanpa perlu meminta izin
lagi.

5

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 3, No.1
Januari - Juni 2008: 1 - 82
Ketika meneliti tentang pengobatan
tradisional penduduk pantai utara Madura,
Jordaan menemukan bahwa manusia
Madura merupakan orang yang sulit,
penuh percaya diri dan angkuh. Mereka
suka memamerkan kekayaan sehingga
barangnya yang mahal terpajang secara
mencolok. (Jordaan: 1986, 23). Orang
Madura terutama yang tinggal di
pedesaanpada umumnya selalu menjaga
jarak dan curiga pada orang luar, pada
orang yang dianggap asing dan pada
gagasan yang tidak berasal dari kalangan
sendiri. (Jordaan: 1985, 120).
Wiryoprawiro yang meneliti
tentang arsitektur tradisional Madura,
mencatat bahwa akibat kegersangan pulau,
jiwa bahari
orang Madura sangat
menonjol. Ini selain dibuktikan dengan
banyaknya penduduk yang hidup sebagai
nelayan, tapi juga terlihat dalam
keberanian mereka mengarungi lautan
terbuka dengan perahu untuk merantau
j a uh . Ak i ba t nya , or a ng Ma du ra
Pandalungan (peranakan atau perantau)
tersebar luas di daerah tapal kuda Jawa
Timur dan kantong-kantong tertentu
nusantara. (Wiryoprawiro: 1986, 18).
Sementara itu, Ayu Sutarto
mencatat bahwa masyarakat Madura baik
yang hidup di Madura maupun yang hidup
di Kangean, Bawean atau mereka yang
berada di komunitas Pandalungan
wilayah Tapalkuda Jawa Timur dikenal
memiliki etos kerja yang sangat ulet,
tangguh dan semangat keagamaan yang
tinggi. (Ayu Sutarto: 2004, 2). Sutarto
juga menggambarkan manusia Madura
sebagai perant au yang bertekad
mengubah nasibnya sehingga rata-rata
bersifat ekspansif, agresif, tidak suka
memendam perasaannya dengan ikatan
dan solidaritas kekeluargaan yang tinggi.
Ta k h e r a n , A m i n R a i s

6

mengungkapkan kekagumannya pada
keislaman orang Madura yang kuat. Sejak
kecil, Amin sudah banyak mendapat cerita
bahwa orang Madura paling jahatpun
masih ingin disebut muslim. Dengan
begitu, orang Madura yang jahat
sekalipun, kalau masih diberi tahu
kebenaran yang hakiki kejahatannya akan
dikurangi. (Amin Rais: 1996, 246).
Dalam soal agama, orang Madura
memang memiliki kepatuhan pada
ulamanya. Patronase antar orang Madura
dengan para kiai, memang demikian
terasa. Sehingga, seperti hasil penelitian
Iik Arifin Mansurnoor, kiai atau ulama
menempati kedudukan yang sangat
sentral dalam kehidupan orang Madura.
Para kiai atau ulama ini mendapat
kedudukan yang sangat terhormat di
kalangan orang Madura. Iik Arifin
Mansurnoor menjelaskan:
“The emergence of the ulama as
important local leaders is evidenced by
the establisment of religious and
educational centers which attracted
many participants and student”. (Iik
Arifin Mansurnoor: 1990, xviii).

Sangat terang di sini, jika
kedudukan penting ulama Madura di mata
orang-orang Madura, merupakan bentuk
kemapanan dari keberagamaan dan pusat
pendidikan umat dan santri. Makanya,
ketika dihadapkan pada penguasa, dalam
penelitian sepanjang tahun 1985, Iik
Arifin Mansurnoor menemukan bahwa
ulama Madura saat itu memilih beroposisi
dengan rezim Orde Baru. Jika rezim
mendapat sedikit sokongan rakyat, ulama
Madura justru mendapatkan dukungan
yang total dari masyarakat Madura.
Di aras yang lain, Emha Ainun
Najib (2005) menyebut orang Madura
sebagai the most favourable people yang
watak dan kepribadi tertentunya dipuji

Stereotip Manusia Madura Dulu dan Sekarang

dan dikagumi. Menurut Cak Nun, tidak
ada kelompok masyarakat di muka bumi
ini yang dalam menjaga perilaku dan
moral hidupnya sangat berhati-hati seperti
ditampakkan oleh orang Madura. Mereka
sangat bersungguh-sungguh dan lugu
serta lugas dalam berkata-kata. Kalau
orang Madura mengatakan sesuatu, maka
demikianlah isi hati dan pikirannya.
Seperti dikatakan Toto Rahardjo
(2005) dalam mengantarakan buku
Folklore Madura yang dikumpulkan
Emha Ainun Najib (2005) tersebut, suku
bangsa Madura memang memiliki
kemampuan menghadirkan realitas secara
sederhana melalui parodi
yang
bersumber dari kehidupan sehari-hari.
Bagi orang Madura, parodi yang selalu
ditangkan sambil guyonan itu merupakan
bahasa ungkap yang tidak dimiliki bangsa
lain. Sebentuk humor paling canggih
untuk menggambarkan inti realitas hidup
dalam menghadapi terpaan dunia modern
yang mutakhir.
Kesimpulan
Kendati sudah ada perbaikan
stereotipe mengenai orang Madura,
namun secara umum stereotipe ini hingga
kini masih memarginalkan mereka.
Stereotipe baik di masa kolonial maupun
sesudahnya mengenai orang Madura tetap
tidak beranjak jauh. Orang Madura selalu
diasosiasikan sebagai manusia yang cepat
tersinggung, penuh curiga, pemarah,
berdarah panas, beringas dan suka
berkelahi. Mereka juga acapkali
digambarkan sebagai orang yang
berwatak kasar, arogan, ekstrover, keras
bicaranya dan blak-blakan menyuarakan
pendapatnya serta tidak tahu adat
sehingga dikatakan tidak memiliki sopan
santun. Kendati stereotipe paska masa
kolonial, lebih lunak dan lebih

menghargai orang Madura.
Dampak sosialnya, orang Madura
yang sukses berada di luar Pulau Madura
merasa risih mengaku sebagai orang
Madura. Stigma yang mengasosiasikan
Madura dengan keterbelakangan, carok,
kekasaran watak dan pembawaan,
agaknya merupakan sesuatu yang
dianggap memalukan. Sebagian mereka,
seringkali memilih diam saja bahwa
dirinya orang Madura, kecuali kalau ia
berhasil secara spektakuler.
Padahal, ada banyak cerita sukses
yang diraih oleh orang Madura di luar
pulau Madura. Tidak sedikit putra
unggulan Madura yang mendapat
kepercayaan untuk mengemban tugas
kenegaraan Republik Indonesia, baik
sebagai menteri, jaksa agung, panglima
angkatan, duta besar, rektor, guru besar
dan beberapa di antaranya sudah
dianugerahi Bintang Mahaputra Republik
Indonesia. Meskipun terpatri anggapan
bahwa manusia Madura bersifat inferior,
terbelakang atau ortodoks, kiprah mereka
membuktikan bahwa gambaran buruk dan
citra negatif yang dilukiskan orang
tentang dirinya tidak sepenuhnya benar.
Oleh karena itu, orang Madura yang
berada di luar Pulau Madura dapat
mengeliminasi stereotipe negatif yang
disematkan pada orang Madura. Dengan
kesuksesan yang diraihnya, last but not
least, gambaran yang buruk rupa ini dapat
diganti dengan performance yang lebih
adil dan objektif. Mereka juga dapat
membantu saudara-saudaranya yang
berada di Pulau Madura agar mendapat
pendidikan yang lebik laik.

7

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 3, No.1
Januari - Juni 2008: 1 - 82
DAFTAR PUSTAKA
Duijker, H.C.J & Frijda, N.H, National
Character and National Stereotypes
: A Trend Report Prepared for
International Union of Scientific
Psychology. Amsterdam: North
Holland Publishing Company, 1960.
Jonge, Huub de, Stereotype of the
Madurese, Royal Institutes of
Linguistics and Antrophology,
I n t e r n a t i o n a l Wo r k s h o p o n
Indonesian Studies No.6, Leiden, 711 October 1991.
Jordaan, R.E, Folk Medicine in Madura
(Indonesia), Leiden,
Rijksuniversiteit, 1985.
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam
Masyarakat Agraris 1850-1940,
terj Yogyakarta, Matabangsa, 2002.
Mansurnoor, Iik Arifin, Islam in an
Indonesian World Ulama of
Madura, Yogyakarta, Gajah Mada
University Press, 1990.
Muthmainnah, Jembatan Suramadu:
R e s p o n U l a m a Te r h a d a p
Industrialisasi, LKPSM,
Yogyakarta, 1998.
Najib, Emha Ainun, Folkore Madura,
Yogayakarta, Progess, 2005.
Rais, H.M.Amien, Islam dan Budaya
Madura, dalam Mahasin A, et al
(penyunting). Ruh Islam dalam
Budaya Bangsa: 2 Aneka Budaya di
Jawa, Jakarta, Yayasan Festival
Istiqlal, 1996.

8

Rifai, Mien Ahmad, Manusia
Madura,Yogyakarta: Pilar Media ,
2007.
Said, Edward W., Orientalisme, terj. Asep
Hikmat, Bandung, Penerbit Pustaka,
1994.
Sutarto,Ayu & S.Y. Sudikan (Penyunting),
Pendekatan Kebudayaan dalam
Pembangunan Provinsi Jawa Timur,
Jember, Kompyawisda, 2004 .
Wiyata, A. Latief, Lingkungan Sosial
Budaya Madura, Makalah Seminar
Prakarsa Masyarakat dalam
Kerangka Pembangunan Daerah
Madura, Unibang, 16-18
September 1997.

TRADISI BERSIH DESA DI DESA NGASINAN KEDIRI
Sutji Hartiningsih*)
Abstract
The tradition of “bersih desa” is not only signified as a physical ritual to clean the village,
but it is also called merti desa, which means preserving the village physically and spiritually.
Physically, villagers clean graveyards and other sacred places considered as their
ancestors' heritage that need to be preserved. Spiritually, they also conduct some mystical
rituals such as slametan (meal ceremony as an expression of gratitude) and spiritual
performance.
This paper explores various meanings of bersih desa tradition at Ngasinan village Kediri.
This tradition which commonly becomes “a big event” for the local village is basically
aimed to make the village clean, orderly, and well-maintained. Consequently, it will also
“preserve” the village sustainability and help to improve and develop the village. The
essence of bersih desa activity is worship and prayers included in the worship are in the form
of mantra and performing art. Bersih desa is usually considered as a sacred tradition.

Keywords: tradition, bersih desa, ritual

Di Jawa kegiatan bersih desa
banyak dilakukan, dengan nama dan cara
yang berbeda-beda. Ada yang
menyebutnya dengan sedekah desa,
karena acara tersebut diadakan sedekah
masal. Ada pula yang menyebutkan
memetri desa, karena dalam kegiatannya
dilakukan pembenahan dan pemeliharaan
desa. Ada lagi yang menyebut dengan
rasulan, karena kendurinya disajikan
selamatan rasulan. Dari sekian ragam
istilah bersih desa, merupakan fenomena
untuk mencari keselamatan hidup.
Bersih desa sebagai tradisi budaya
juga memuat seni spiritual. Seni spiritual
ini perlu dilihat lebih jauh dari aspek
etnografi agar jelas makna dan fungsinya,
juga dapat memberikan gambaran bahwa
dibalik fenomena tradisi dan seni, memuat
konteks etnografi yang menarik untuk
dibicarakan Hal yang menarik dari
fenomena tradisi bersih desa, dapat terkait
*)

dengan berbagai hal, antara lain tempat,
waktu, dan pelaku, dalam rangkaian
sebuah prosesi seni budaya. Atas dasar ini
dapat dikatakan bahwa dalam seni ada
spiritualitas dan dalam tradisi ada seni.
Waktu penyelenggaraan bersih
desa bisa berbeda-beda, bahkan teks dan
tata cara ritual masing-masing wilayah
dapat berbeda. Perbedaan dan kesamaan
proses, merupakan aspek penting bagi
pemahaman makna dan fungsinya. Hal ini
dapat dipahami bahwa satu-satunya
kesamaan dalam bersih desa adalah waktu
pelaksanaan yaitu satu tahun sekali,
biasanya sesudah musim panen padi.
Sedangkan bulan, hari, tanggal dan cara
pelaksanaannya tidak selalu sama.
Tradisi bersih desa ini memiliki
bobot spiritual yang luar biasa melalui
ritual tersebut menjadi wahana antara lain:
menyatakan syukur kepada Tuhan YME
atas ketentraman penduduk dan desa, dan

Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya UniversitasAirlangga, tlp 031-5035676

9

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 3, No.1
Januari - Juni 2008: 1 - 82
atas hasil panennya yang memuaskan,
memberi penghormatan kepada para
leluhur dan cikal bakal desa yang telah
berjasa merintis pembukaan desa
setempat, mengharapkan pengayoman
(nyuwun wilujeng) dari Tuhan YME dan
Rasulullah, agar panen mendatang lebih
meningkat dan hidup masyarakat desa
lebih sejahtera.
Oleh karena itu tradisi tersebut
t e l a h m e n d ar a h da gi n g, da l am
masyarakat Jawa pedesaan, karena
hampir setiap wilayah
menyelenggarakannya. Masing-masing
wilayah di Jawa memiliki keunikan
sendiri-sendiri dalam melaksanakan
bersih desa. Salah satu aktivitas bersih
desa yang unik adalah fenomena yang
ada di wilayah Desa Ngasinan,
Purwoasri, Kediri, yang biasanya
dilakukan pascapanen dan palawija,
menjelang akan dimulainya proses
penggarapan sawah (wiwit).
Keunikan tradisi bersih desa di
wilayah ini yaitu selalu menggunakan
seni pertunjukkan ritual berupa wayang
kulit. Rangkaian ritual ditata menurut
laku dan aktivitas spiritual. Didalamnya
terdapat laku mistik kejawen yang kental
dengan nilai-nilai mitos. Tradisi ini juga
terdapat mitos yang diyakini akan
membawa berkah apabila dihormati
melalui bersih desa, dan sebaliknya akan
mendatangkan bahaya apabila
masyarakat meninggalkannya. Ada
perasaan takut masyarakat jika bersih
desa tidak melaksanakan pertunjukkan
wayang kulit. Itulah sebabnya,
masyarakat selalu berjuang keras agar
bersih desa tetap terselenggara meskipun
dalam ekonomi yang kurang
memungkinkan. Dengan kata lain,

10

masyarakat selalu menyepakati secara
aklamasi ketika dilakukan rencana bersih
desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi
bahwa dengan cara gotong royong
menjalankan bersih desa kelak akan
mendapatkan keselamatan hidup.
Pelaksanaan Kegiatan Bersih Desa
Rangkaian tradisi bersih desa di
wilayah desa Ngasinan, Kediri ini sebagian
besar didukung oleh kelompok penghayat
kepercayaan. Meskipun pada umumnya
para pelaku tidak secara terang-terangan
mas uk dal am al ira n pe ngha ya ta n
kepercayaan namun hampir lima puluh
persen mereka kaum abangan. Agama resmi
hanya KTP (administratif), namun dalam
dunia batin yang diterapkan adalah
memanfaatkan tradisi kepercayaan.
M e n u r u t t r a d i s i l e l u h u r, m e r e k a
menjalankan laku-laku mistik bersih desa,
untuk mendapatkan kesempurnaan hidup
dan budi luhur. Oleh karena selamatan
bersih desa dilaksanakan dengan cara yang
khas, khidmat, dan sakral. Penuh dengan
laku-laku mistik, baik yang diwujudkan
dalam bentuk sesaji maupun dalam bentuk
pertunjukkan.
Inti dari aktivitas bersih desa adalah
pemujaan, doa-doa terkandung dalam
pemujaan, baik yang diwujudkan dalam
bentuk mantra maupun seni pertunjukkan.
Biasanya para penghayat kepercayaan
menjadikan bersih desa sebagai tradisi
sakral.
Pekerti penghayatan pada saat
bersih desa, tergolong etika jawa yang luhur.
Mereka menjalankan aktivitas mulai
membuat sesaji, membersihkan diri,
membersihkan kuburan, membuat tarub,
doa, seni pertunjukkan dan sebagainya
didasarkan atas pekerti budi luhur. Konteks
jalan itu sejalan dengan Geertz (1973:126)

Tradisi Bersih Desa Ngasinan Kediri

bahwa religi merupakan pancaran
kesungguhan moral, sehingga bersih desa
merupakan bagian khusus religi jawa. Di
dalamnya menuntut kewajiban intrinsik
yang kudus. Implikasi dari seluruh hal ini,
tidak lain sebagai perwujudan hidup yang
berbudaya. Segala pekerti penghayatan
kepercayaan menjadi sinar batin yang
luhur.
Adapun urutan pelaksanaan
tradisi bersih desa sebagai berikut :
Pertama, Pukul 07.00 dilakukan
kerja bakti atau gotong royong
pembersihan jalan dan kuburan bersamasama. Kepala dusun berusaha membagi
tugas masing-masing kelompok, secara
serentak menurut RT masing-masing.
Sekelompok RT ada yang menuju ke
rumah Kepala Dusun untuk pembuatan
tarub yang akan dipasang di depan
halaman rumah. Di samping itu juga
dipersiapkan gelaran (tikar), penyediaan
alat-alat sesaji panggung, dan
pembersihan alat-alat makan bersama
(kenduri). Kemudian RT lain mengganti
pagar pada pohon Sana yang
dikeramatkan, yang berada di tempat
kedung dekat sungai yang konon
dijadikan kerajaan para arwah yang
nglambrang. Di tempat itu juga diberi
sesaji berupa ingkung (ayam utuh) dan
tumpeng beserta lauk pauknya. Sesaji
diperebutkan oleh warga sekitar dengan
tujuan agar hantu gaib penunggu pohon
Sana tidak mengganggunya.
Kedua, dilakukan pembuatan
sesaji pada rumah warga masing-masing.
Sesaji dimasukkan dalam tenong, terbuat
dari bambu, dibawa ke kepala dusun pada
jam 12.00. Sesaji berisi nasi dan lauk pauk
dalam ragam yang berbeda-beda. Untuk
menghadirkan warga yang akan kenduri

di tempat Kepala dusun, ditabuh
kentongan. Menjelang dilaksanakan
kenduri, di balik kelir wayang kulit, warga
berkumpul secara khusyuk dengan aneka
warna kostum kejawen. Masing-masing
warga menghadap sesajinya sendiri.
Ketiga, seorang pranatacara
menyatakan bahwa pertunjukkan dan
selamatan bersih desa akan segera mulai.
Te r l e b i h d a h u l u , p r a n a t a c a r a
mempersilahkan kepada dalang untuk
mengawali pertunjukkan. Adegan
pertama, pasti akan membicarakan
kepergian Dewi Sri dari keraton. Setelah
menjelang Perang Kembang,
pertunjukkan dihentikan sementara oleh
ki dalang dengan menutup kelir
menggunakan gunungan. Pada saat itu,
dibalik kelir melakukan kenduri bersama,
yang isinya mohon keselamatan. Kenduri
diakhiri dengan kembul bujana, saling
menukar sesaji, kemudian pertunjukkan
dilanjutkan. Seluruh warga menonton
pertunjukkan wayang kulit, sambil makan.
Keempat, cara warga
meninggalkan arena kenduri pun tidak
serentak, ada yang menyelang gara-gara,
dan ada pula yang menonton sampai
pertunjukkan siang hari itu selesai. Dan
malam harinya kembali untuk menghadiri
malam tirakatan.
Kelima, pertunjukkan wayang
kulit semalam suntuk. Meskipun wayang
kulit ini bernilai hiburan, tetapi lakon yang
dipertontonkan memuat wejangan ke arah
penghormatan pada leluhur
desa.Biasanya lakon yang dimainkan
b e r g a n t i - g a n t i s e p e r t i Wa h y u
Makutharama, Wahyu Purbasejati dan
sebagainya. Konsep wahyu selalu
menjadi andalan bagi warga, dengan
harapan agar bersih desa itu membawa

11

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 3, No.1
Januari - Juni 2008: 1 - 82
berkah.
Bersih desa biasanya juga disebut
merti desa, artinya memelihara desa
secara batiniah dan lahiriah. Secara
batiniah, orang desa menjalankan ritual
mistik, baik berupa slametan maupun
pertunjukkan spiritual. Secara lahiriah,
mereka juga membersihkan keramatan
(kuburan) dan tempat-tempat khusus yang
dianggap sakral. Tempat-tempat tersebut
dianggap sebagai warisan leluhur yang
harus dilestarikan.
Tradisi tersebut, pada umumnya
menjadi “hajatan besar” desa setempat.
Hajatan besar dilakukan secara kolektif,
dengan biaya ditanggung bersama.
Kegiatan dilakukan oleh seluruh warga
desa, tua-muda, pria-wanita, bersama
pamong dan sesepuh desa, petinggi dan
pemangku adat setempat, bahkan sering
terjadi warga tetangga desa ikut serta
meramaikannya. Kegiatan bersih desa
pada dasarnya untuk membuat desanya
menjadi bersih, tertib, teratur, dan terawat
baik, sehingga dapat “ikut menjaga”
ketahanan desa, agar menjadi lebih maju
dan lestari.
Berbagai kegiatan yang
dilaksanakan pada bersih desa antara lain
meliputi:
pertama, penataan hunian
keluarga: kebersihan lingkungan rumah,
pekarangan, kebun, halaman, selokan,
pagar, sampah dan sebagainya. Kedua,
kerja bakti/gotong royong membenahi
tempat-tempat umum, jalan, selokan,
sungai, dan sebagainya. Ketiga,
kenduri/selamatan dalam berbagai bentuk
yaitu arak-arakkan gunungan yang berisi
berbagai makanan. Keempat, kegiatan
olah raga yaitu berbagai pertandingan dan
permaianan serta perlombaan, antar
dukuh dan antar desa. Kelima, pentas seni

12

dan pagelaran hiburan sesuai dengan
kecenderungan desa masing-masing,
misalnya tayuban, wayang kulit semalam
suntuk dan sebagainya.
Kegiatan bersih desa biasanya
memakan biaya besar dan curahan tenaga
masyarakat desa. Adapun manfaatnya
antara lain: pertama, kegiatan bersih desa
untuk mendekatkan diri masyarakat
dengan Tuhan YME. Kedua, untuk
meningkatkan rasa hormat kepada
Rasulullah dan mengindahkan
tuntunannya. Ketiga, untuk meningkatkan
kecintaan masyarakat kepada desanya,
daerah, dan tanah air. Keempat,
mempererat keguyuban (tali
persaudaraan) antar warga desa, Kelima,
untuk mematangkan diri dalam bercocok
tanam dan usaha. Keenam, bagi pamong
desa kegiatan bersih desa dapat
menjadikan sarana untuk menilai tingkat
kegairahan masyarakat dalam
memelihara desanya, dan ketuju,
meningkatkan kesadaran masyarakat desa
untuk melestarikan lingkungan.
Ta h a p - t a h a p d e m i k i a n
menunjukkan bahwa prosesi ritual bersih
desa berkaitan dengan simbol dan proses
sosial. Simbol dan proses sosial
membentuk sebuah sistem budaya yang
rapi. Hal ini memang diakui oleh Geertz
(Morri s,2003: 395) bahwa kaji an
antropologi religi dapat terdiri dari dua
aspek, yaitu pertama, analisis makna yang
diejawantahkan lewat simbolisme, kedua,
menghubungkan sistem itu dengan proses
sosio-kultural dan psikologis. Aspekaspek yang, memberikan pemahaman
terhadap kajian simbol sesaji,
pertunjukkan, peralatan, dan seterusnya
dalam bersih desa. Simbol ini dikaitkan
dengan makna dan fungsi bersih desa

Tradisi Bersih Desa Ngasinan Kediri

dalam struktur sosial masyarakat.
Makna Simbolik
Biasanya masyarakat penghayat
kepercayaan menanggap pertunjukkan
wayang kulit sebagai puncak bersih desa.
Wayang kulit dilakukan siang hari dengan
lakon khusus dan malam hari (semalam
suntuk) dengan lakon tertentu. Hal ini
dilakukan, karena ada anggapan bahwa
Pandhawa merupakan lambang arwah
para leluhur, sedangkan para Korawa
lambang arwah-arwah yang jelek. Jadi
pada saat bersih desa, lakon Baratayudha
sering dimainkan pada malam hari,
sedangkan siang harinya mengambil
lakon Sri Mulih (Sri Kondur) atau Sri
Kembang. Lakon Baratayudha dijadikan
simbol peperangan antara arwah baik dan
buruk. Arwah baik akan membantu hidup
penghayat, sedangkan yang buruk akan
mengganggu. Maka harus dilakukan
dengan berbagai sesaji, agar arwah buruk
jinak dan mau membantunya.
Lakon wayang kuli t yang
dimainkan, baik siang maupun malam
hari merupakan representasi simbolik dari
kesadaran dan atau ketidaksadaran warga.
Berbagai harapan dan mimpi tentang
keselamatan, mereka lukiskan melalui
pertunjukkan. Setiap lakon memiliki visi
dan misi khusus yang berkaitan dengan
keselamatan.
Maka, kalau dicermati sebenarnya
lakon Sri Mulih maupun lakon-lakon yang
bertitel wahyu, sebenarnya
menggambarkan simbol keagungan
spiritual yang masih perlu ditafsirkan.
Lakon Sri Mulih, menggambarkan tokoh
Dewi Sri dan Raden Sadana anak Prabu
Maha Punggung raja Medhang Kamulyan.
Dewi Sri meninggalkan istana, karena
dimarahi raja. Raden Sadana menyusul

kepergian kakaknya. Mereka tidak segera
bertemu, masing-masing berkelana dari
desa ke desa sambil bercocok tanam.
Setelah lama berkelana , mereka bertemu
kembali. Dewi Sri kembali ke Kahyangan,
Raden Sadana diambil menantu oleh raja
Wiratha. Dalam lakon Dewi Sri Kondur
(Mulih) diceritakan kembalinya Dewi Sri
ke negara Wiratha. Dewi Sri berada di
negara Pratalaretna yang dikuasai oleh
raja Darmasara. Prabu Suryakumara, raja
Guwa Rajeng, juga menginginkan Dewi
Sri. Dewi sri menjadi perebutan, tetapi
Na gat a t m al a, ana k S ang H y an g
Anantaboga, atas bantuan Bagawan
Abiyasa dapat memboyong Dewi Sri ke
Wiratha.
Kisah Dewi Sri tersebut diyakini
sebagai lambang bersih desa. Berarti
kembalinya Dewi Sri, mempunyai makna
simbolik agar warga desa tersebut
mendapat bersih desa dalam pertanian.
Bersih desa identik dengan anugerah
rejeki. Untuk menjaga keseimbangan
antara jagad gedhe dan jagad kecil
masyarakat dusun Ngasinan mencoba
menyiasati dengan tradisi bersih desa.
Tradisi ritual bersih desa ini bersifat
individual dan kolektif dalam rangka
menjaga kepentingan bersama seluruh
warga desa yang dinamakan bersih desa.
Ritual bersih desa diwujudkan ke dalam
pertunjukkan simbolik wayang kulit
dengan lakon Sri Mulih. Sikap religius
semacam ini menunjukan bahwa bersih
desa merupakan ritual yang berkaitan
dengan seluruh aspek kehidupan. Bersih
des a sebagai refleks i kei ngin an
masyarakat penghayat kepercayaan, yang
dimanifestasikan melalui wayang kulit.
Rutinitas penyelenggaraan tradisi
bersih desa menandakan adanya

13

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 3, No.1
Januari - Juni 2008: 1 - 82
kekhawatiran akan datangnya gangguan
fisik dan non fisik yang setiap saat dapat
menimpa jika tradisi itu tidak
dilaksanakan. Oleh karenanya, tradisi
bersih desa ini termasuk kategori tradisi
krisis. Dengan pelaksanaan tradisi bersih
desa secara rutin diharapkan berdampak
positif bagi kegiatan pertanian mulai dari
masa tanam hingga masa panen, termasuk
keselamatan seluruh warga masyarakat.
Pada sikap berusaha dan pasrah diri
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh
karena ada keterkaitan antara manusia
dengan Tuhan, maka tradisi bersih desa itu
termasuk tradisi religius. Mereka yakin
bahwa keberhasilan suatu tradisi religi
sedikit banyak dipengaruhi oleh terpenuhi
atau tidaknya persyaratan ritual, yaitu
perlengkapan sesaji yang diperlukan
untuk sahnya suatu tradisi.
Sesaji yang ditaruh di atas
panggung di pengeret terdiri dari: pertama,
nasi diberi warna merah, hitam, kuning,
putih, dan biru yang masing-masing
warna ditaruh di dalam takir; kedua,
jenang/bubur terbuat dari beras, santan,
daun salam, garam (untuk warna putih),
kalau warna merah diberi gula jawa;
(jenang abrit), pethak, baro-baro, jenang
abrit diatasnya diberi gula dan kelapa
diparut, jenang blowok (nasi yang ditaruh
dalam takir yang dibuat dari daun pisang,
diatasnya diatasnya ditumpangi gula
jawa); ketiga, minuman: teh, kopi, jahe,
rujak degan (kelapa muda); keempat,
daun-daun: daun pakel, daun awar-awar,
daun bambu dan daun kopi. Sesaji tersebut
diyakini tetap sebagai pengorbanan logis
bagi arwah leluhur.
Tylor (Pitchard, 1984:39) dalam
kaitan dengan hal tersebut di atas selalu
berasumsi bahwa orang primitif pun tetap

14

berpikir logis. Penghayat kepercayaan
yang s e ri ng di kat aka n pri m i ti f,
sebenarnya memiliki pengetahuan logis
dalam tradisi sesajen. Hanya saja, bagi
orang awam sering mengecap sesaji itu
suatu bentuk pemborosan.
Pendapat orang awam demikian,
perlu dikoreksi secara arif. Keyakinan
penghayat kepercayaan selalu mantap,
menggunakan kekuatan batin, mereka
juga kritis, dan bahkan eksperimental
menggunakan pikiran dan rasa. Melalui
rasa batin mereka menembus selubung
gaib, memasuki wilayah yang riil. Maka
seluruh sesaji yang terdiri dari ubarampe,
baik yang ditempatkan ditempak khusus,
di atas dalang maupun di dekat gong tetap
melukiskan simbol yang masuk akal.
Bahkan, dalam bersih desa ada lagi
sesaji yang diletakkan (digantung) di
blandar di depan layar memanjang dari
kiri ke kanan terdiri dari: padi,jagung,kue
apem,srabi ingkung ayam, itik, burung
dara, kelinci, marmut, enthok (sejenis itik),
dan ketupat. Sesaji diletakkan di depan
kanan dan kiri panggung: pertama,
kembar mayang, dibuat dari parasan
degan krambil ijo, yaitu kelapa muda
berwarna hijau yang dipotong atau
dipangkas pangkal tangkainya, sehingga
kelihatan tempurungnya, janur kuning
yaitu daun kelapa yang masih muda yang
berwarna kuning, godhong kluwih (nama
daun), godhong sana (nama daun), semua
daun-daunan tersebut ditancapkan pada
parasan degan krambil ijo; kedua,
tumpeng, nasi gurih, jenang blowok (nasi
didalam takir, ditumpangi gula kelapa);
ketiga, minuman: teh, kopi, jahe, air putih,
bunga setaman yang terdiri dari mawar,
melati, kenanga dimasukkan dalam
mangkok/gelas yang diisi air; keempat,

Tradisi Bersih Desa Ngasinan Kediri

makanan kecil: jadah bakar, ketela pohon
bakar.
Sesaji juga diletakkan dekat gong.
Jenis sesaji antara lain tumpeng gudangan,
dua buah kelapa yang telah dibersihkan
kulit dan sabutnya, tetapi belum dipecah,
jajan pasar (terdiri dari bermacam-macam
makanan kecil antara lain: wajik, jadah,
kimpul, tela pendhem, kacang tanah yang
masih ada kulitnya direbus dan lain-lain),
gulan jawa satu tangkep, teh satu bungkus,
tembakau, gambir, injet. Dilengkapi buahbuahan seperti nanas, timun, jambu,
bengkoang, blimbing, sawo, salak, pisang
raja satu tangkep.Semua ini diletakkan
dalam sebuah tempat yang dibuat dari
anyaman bambu berbentuk segi empat
dan diberi alas daun pisang.
Sepintas pemakaian sesaji dalam
ritual bersih desa, sekedar menghamburha m b ur ka n m a t e r i . B e g i t u p ul a
pemakaian pertunjukkan wayang kulit,
yang memakan banyak biaya, bagi orang
awam mungkin akan menganggap
fenomena mubazir. Padahal jika dicermati
fenomena demikian merupakan wilayah
seni spiritual yang agung. Aspek-aspek
estetika spiritual yang sekaligus menjadi
wahana kom unikasi gai b antara
penghayat kepercayaan dengan Tuhan
merupakan aspek extraordinary (“ke-luarbiasaan”) dalam bersih desa. Hal-hal yang
sakral, penuh sensasi, mistik, dan memuat
greget spiritualitas tinggi merupakan
keluarbiasaan bersih desa.
Uraian lengkap tentang sesaji
tersebut menunjukkan bahwa masyarakat
Ngasinan tampaknya masih meneruskan
tradisi para leluhurnya yang banyak
dipengaruhi oleh agama Hindu dan
kepercayaan agama lokal yang berbau
animisme. Dari keseluruhan sesaji itu,

tampaknya yang paling penting ialah
terpenuhinya macam sesaji, bukan jumlah
masing-masing sesaji yang tidak menjadi
persyaratan mutlak.
Kedudukan dan fungsi dalang
dalam tradisi bersih desa sangat penting
mengingat keberhasilan suatu tradisi
bersih desa sangat ditentukan oleh dalang.
Dalang secara spiritual berkedudukan
sebagai perantara kontrak batin dengan
roh nenek moyang atau leluhur. Hal ini
berarti seorang dalang bukanlah orang
sembarangan, ia memiliki kelebihan
dibanding kebanyakan orang, memiliki
syarat tertentu yang menyangkut
kemampuan supranatural. Karena
kelebihan ini, maka dalang dianggap
sebagai orang yang serba mampu atau
mumpuni, khususnya dalam
hubungannya dengan alam gaib. Di
samping berfungsi sebagai pemimpin
tradisi, dalang juga sebagai pemimpin
pertunjukkan, yaitu memiliki
kewenangan untuk membuka dan
menutup jalannya prosesi tradisi.
Berdasarkan uraian di atas, tradisi
bersih desa atau ruwatan bumi (bersih
desa) merupakan ekspresi individual dan
kolektif masyarakat Ngasinan, Kediri
yang melestarikan tradisi mitos Dewi Sri
sebagai ekspresi sosial-budaya yang
mencerminkan percampuran unsur-unsur
kebudayaan pra-Islam, yaitu kebudayaan
animisme, dinamisme, Hindu, dan Islam,
sehingga terjadi interpenetrasi yang
mengkristal dalam wujud akulturasi dan
inkulturasi budaya yang menjadi suatu
pandangan hidup baru yang berupa
kegiatan religius.
Simpulan
Atas dasar pembahasan di atas
dapat disimpulkan bahwa makna bersih

15

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 3, No.1
Januari - Juni 2008: 1 - 82
desa secara keseluruhan tidak dapat
terpisahkan dari sebuah struktur sosial.
Bersih desa tetap lestari dan berkembang
di tengah masyarakat dusun Ngasinan,
karena adanya keterkaitan fungsi dan
makna dalam suatu sistem sosial-budaya.
Keterkaitan itu terletak pada peranan
wayang kulit, warga penghayatan
kepercayaan, penjual bunga, juru kunci
kuburan, pemerintah (kepala dusun),
dalang, dan sebagainya, yang menjadi
bagian dari sistem sosial-budaya
masyarakat dusun Ngasinan, yaitu
sebagai media tradisi bersih desa.
Bersih desa sebuah ritual yang
membentuk kisah etnografi masyarakat
setempat, Jika hal ini diselaraskan
dengan
gagasan Radcliffe-Brown
(Jakobson,1991:21) berarti peranan
sosial dan norma ikut memberi makna
sebuah budaya. Hubungan antara posisi
sosial akan membentuk aktualisasi
hubungan dan pekerti yang unik dalam
masyarakat.
Dalam wacana lain Geertz
(Simatupang,2005:viii) menyatakan
bahwa manusia ibarat makhluk yang
terjerat dalam jaring-jaring makna yang
dipintalnya sendiri. Dari pendapat ini
dapat dinyatakan bahwa setiap gerak
hidup manusia memiliki makna. Makna
tersebut terangkum dalam simbol
budaya. Dengan kata lain, bersih desa
akan memuat mana yang melukiskan
segala pekerti, sikap, norma masyarakat
yang terangkum dalam sebuah struktur
sosial padu.

DAFTAR PUSTAKA
Darusuprapta.1988.”Sarasehan

16

Kebudayaan Jawi” dalam
Ya t m a n a , Tu n t u n a n K a g e m
Pranatacara Tuwin Pamedhar
Sabda.Semarang:Aneka Ilmu.
Geertz,Clifford.1973. The Interpretation of
C u l t u re . N e w Yo r k : B a s i c
Books,Inc.Publishers.
--------------.2003. “Seni sebagai Sistem
Budaya” dalam Pengetahuan Lokal.
Yogyakarta:Merapi.
Jakobson, David.1991. Reading
Ethnography. New York:State
University of New York Press.
Koentjaraningrat.1985. Kebudayaan Jawa.
Jakarta:Balai Pustaka.
Morris, Brian.2003. Antropologi Agama.
Yogyakarta:AKGroup
Murgiyanto,Sal.1998.”Mengenai Kajian
Pertunjukkan” dalam Pudentia
MPSS (Ed.) Metodologi Kajian
Tradisi Lisan. Jakarta Yayasan Obor
Indonesia dan Yayasan Asosiasi
Tradisi Lisan.
Permadi, K.1995 Pandangan Aliran
K e p e r c a y a a n Te r h a d a p
Islam..Jakarta:Dirjen Kebudayaan.
Pritchard,Evans,EE$.1984. Teori-teori
t e n t a n g
A g a m a
Primitif.Jakarta:PLP2M.
Simatupang,G.R..2005. Kuliah S3:
Dinami ka S eni d an
Budaya.Yogyakarta:FIB UGM.

KOSMOLOGI DAN SINKRETISME ORANG JAWA:
SISTEM SOSIAL MASYARAKAT NGAYOGYAKARTA
HADININGRAT
Sofyan Hadi*)
Abtract
Javanese society, especially Jogjakarta is known as a city which is rich in comprehension of
ritual sense where it will be used to explain sinkritism process in the future and what level
does the process use in developing culture and society. Grebeg ritual which is done by Yogya
palace is used as what reference to find Javanese cosmology where it will be analyzed to
explain the way of thinking which influences attitue and behavior. To examine this problem
we use an analysis of symbol toward the material of ritual, the description of ritual and the
meaning of symbol to give setting for the analysis. Then, it will be explained more about
Javanese cosmology which refers to the idea abort. The way of living as privacy and social.
The last we also explain why sinkritism is very important in society and the explanation
about the role and the process of the appearance of sinkritism in Java.

Key Words : sistem sosial, kosmologi, sinkretisme, kraton yogyakarta

Pendahuluan
Franz Magnis Suseno, berdasar
penelitian-penelitiannya, mengkonstruksi
masyarakat Jawa dari sisi filosofi
kehidupan tentang manusia dari aspek
individu maupun sosial. Konstruksi
tersebut, walaupun ia sebutkan bahwa
sosok manusia Jawa belum tentu ada atau
bahkan tidak ada yang se-ideal yang ia
gambarkan, tetapi telah memberikan
gambaran berupa cerminan tentang
adanya idealisme dalam masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa menurut Suseno,
dalam kehidupan sosialnya memiliki
kaidah dasar yang kaidah itu
mempengaruhi masalah-masalah
hubungan sosial, yaitu berupa prinsip
rukun dan prinsip hormat (Franz Magnis
Suseno, 1988) atau menurut Niels Mulder
prinsip hormat ini disebut prinsip hierarki

*)

(Niels Mulder, 1984). Kedua prinsip
tersebut mengacu pada tujuan sosial
masyarakat Jawa, yaitu tujuan keselarasan
kehidupan berupa terciptanya kondisi
masyarakat tanpa konflik, tanpa gejolak
menerima dan menaruh hormat pada
individu-individu sesuai posisi sosial
yang ditempati.
Upacara merupakan sisi paling
menonjol pada perilaku sosial dan system
gag