Perilaku Stereotype Tokoh Tokoh Fiksi da

1

Perilaku Stereotype Tokoh-Tokoh Fiksi dalam Kumpulan Cerpen Saksi Mata
Karya Seno Gumirah Adjidarma: Sebuah Kajian Psikologi Sastra
Oleh:
Luthfita Nur Rosyidah
(121111033)
Karya-karya sastra pada jaman modern ini erat kaitannya dengan unsurunsur psikologis sebagai manifestasi kejiwaan pengarang, para tokoh fiksional
dalam kisahan dan pembaca. Karya fiksi psikologis banyak bergumul dan
menyajikan cerita melalui emosional, keadaan mental tokoh, ketimbang
penekanan terhadap alur maupun peristiwa ceritanya.
Psikologi sastra hadir bukan sebagai penyelesaian dari bentuk-bentuk
kejiwaan tokoh, beserta bagaimana terapi yang harus dijalankan untuk fenomena
kejiwaan suatu tokoh. Psikologi sastra lebih menekankan pada aspek-aspek
kejiwaan yang terkandung pada sebuah karya sastra melalui beberapa tahapan.
Pertama, unsur-unsur psikologi pengarang. Kedua, unsur-unsur kejiwaan tokoh
fiksional dan yang terakhir unsur-unsur kejiwaan pembaca.
Begitu pula dengan pemilihan salah satu karya Seno Gumira Adjidarma
yang berjudul Saksi Mata. Pada kumpulan cerpen ini terdapat banyak sekali
tokoh-tokoh rekaan Seno yang mengalami tekanan secara psikologis. Kembali
lagi dalam penciptaan seorang tokoh fiksi dalam sebuah karya sastra juga tidak

terlepas dari kejiwaan pengarang. Serta reaksi yang akan dialami pembaca.
Beberapa hal yang telah disebutkan tadi mengawali penelitian mengenai
unsur psikologis yang terdapat dalam tokoh-tokoh fiksi dalam kumpulan cerpen
Saksi Mata. Terdapat 16 buah cerpen yaitu; Saksi Mata, Telinga, Manuel, Maria,
Salvador, Rosario, Listrik, Pelajaran Sejarah, Misteri Kota Ningi (atawa The
Invisible Chrismas), Klandestin, Darah Itu Merah Jendral, Seruling Kesunyian,
Salazar, Junior, Kepala di Pagar Da Silva, dan Sebatang Pohon di Luar Desa.
Dari semua judul cerpen tersebut terdapat banyak sekali perilaku
strereotype yang dihadirkan oleh pengarang. Perilaku stereotype adalah sebuah
konsekuensi lain dari sebuah frustasi, yaitu dengan memperlihatkan perilaku atau

2

perbuatan yang tidak bermanfaat dan nampak aneh secara terus-menerus (Hilgard
et al., 1975:438).
Penyajian atau gaya bercerita yang digunakan untuk mendukung kejiwaan
tokoh-tokoh tersebut dengan gaya bahasa sarkasme. Sarkasme merupakan sisi
gelap sebuah komunikasi. Meski di sisi lain sebuah komunikasi bertujuan untuk
menyampaikan pesan, meski tidak semua pesan tersebut disampaikan dengan cara
yang baik. Komunikasi seperti ini memang tidak terlalu berbahaya. Biasanya

hanya berupa saduran, julukan, dan ledekan semata. Seno juga mengatakan dalam
bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, mengenai gaya
penceritaan secara sarkasme yang merupakan sebuah sinisme kasar (Adjidarma,
2010: 335). Namun, supaya tidak terlihat kasar dan kejam Seno mengungkapkannya dengan kejadian-kejadian yang wajar.
Dari keseluruhan unsur cerita kumpulan cerpen Saksi Mata berbicara
mengenai Insiden Dili, yaitu sebuah pembantaian orang-orang tidak bersenjata di
Timor Timur yang dilakukan oleh para militer Indonesia serta banyaknya
hukuman tanpa peradilan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Unsur-unsur Psikologis Pengarang
Karya sastra merupakan cerminan dari sebuah konteks sosial. Menyimpan
berbagai rahasia yang sempat bungkam dan sengaja dibuat kabur. Pada konteks
seperti inilah karya Seno Gumira hadir. Latar belakang Seno sebagai mantan
jurnalis pada masa Orde Baru, membuat tulisannya terasa segar dan
menggemaskan. Banyak hal yang disampaikan Seno dalam karya-karyanya,
namun banyak hal juga yang tidak kita ketahui mengenai kebenaran peristiwa
rekaan dengan menghadirkan tokoh-tokoh fiksi yang membuat kita mengerutkan
dahi. Seno juga membuat banyak kekaburan dalam setiap peristiwa yang hadir
dalam ceritanya. Seno menyatakan, ″mengenai fakta-fakta Insiden Dili saya
slamur (kaburkan) dengan berbagai tokoh-tokoh fiksi dan situasi dalam cerita
yang saya buat″ (Adjidarma, 2010: 417).

Terlepas dari hal tersebut sebuah karya sastra merupakan sebuah kreasi
dari suatu proses kejiwaan seorang pengarang yang berada pada situasi setengah

3

sadar yang kemudian dituangkan dalam sebuah karya (Endraswara, 2003: 96).
Berbicara mengenai proses penciptaan seni, hal ini dapat ditanggapi sebagai
akibat tekanan dan timbunan masalah di alam bawah sadar yang kemudian
disublimasikan ke dalam bentuk penciptaan karya seni (Semi, 1993: 76-77).
Disamping itu karya sastra juga merupakan sebuah cerminan psikologis para
tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh pengarang sehingga membuat
pembaca terbuai dan merasa ikut merasakan dirinya terlibat dalam cerita.
Selain itu unsur psikologis pengarang berkaitan mengenai kejiwaannya
pada setiap fase kehidupannya. Terdapat pula sebuah ungkapan pemuasan motif
konflik yang disampaikan melauli metafor-metafor bahasa. Seno menyatakan
dalam kumpulan Saksi Mata ini dia sedang mengalami sebuah situasi dengan
sebuah tekanan yang luar biasa. Keberadaan dirinya pada saat itu hanyalah
seorang jurnalis. Masa di mana fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau
ditutup-tutupi dengan tinta hitam, tetapi kebenaran muncul dengan sendirinya
seperti sebuah kenyataan. Pada saat itu situasi psikologis dirinya sedang

mengalami sebuah belenggu. Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari
bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya (Adjidarma, 2010: 389)
Dalam kutipan cerpen Pelajaran Sejarah berikut terdapat sebuah fakta
mengenai tekanan psikologis yang dialami Seno dalam menciptakan sebuah
karya:
″Guru Alfonso tidak pernah lupa peristiwa itu. Bagaimana bisa lupa? Saat
penembakan mereka dibagi dalam dua barisan. Barisan pertama di depan
dan barisan kedua di belakang. Komandannya menembak sekali ke atas,
sambil berteriak, ”depan tidur, belakang tembak!” Setelah yang belakang
menembak, yang depan merengsek dan menusukkan sangkurnya ke semua
orang. Guru Alfonso belum lupa, ia hanya bisa berlari-lari tidak tentu arah
karena orang-orang berjatuhan begitu saja, bergelimpangan.....″
Pada hal ini Seno menyatakan bahwa dia benar-benar menyajikan fakta
sejarah di depan mata para pembaca. Teks di atas berasal dari sebuah laporan
jurnalistik yang tidak berubah sama sekali ketika dia hadirkan menjadi sebuah
fiksi. Seno memang menggunakan caranya sendiri dalam menyampaikan cerita
dengan melepaskan aturan konvensional dan memilih menggunakan gaya
sarkasme yang elegan.

4


Kepribadian Seno memiliki sebuah pengaruh yang cukup besar (meski
tidak selamanya) dalam setiap kemunculan watak seorang tokoh. Hal tersebut
dipengaruhi oleh gelora dominan yang memengaruhi perasaan Seno dalam
mengendalikan imajinasinya. Misalnya saja pada tokoh fiksi dalam cerpen
Telinga. Secara kontekstual Seno yang bekerja sebagai seorang jurnalis dan
bertugas ke Dili, Timor Timur sering melihat para pemuda yang tak bertelinga.
Jiwa Seno pada saat itu mengalami sebuah tanda tanya besar. Mengapa bisa
demikian? Kemana telinga mereka? Apa salah mereka? Dari kekejian itu lahirlah
cerpen Telinga dengan dua tokoh fiksi sepasang kekasih yang saling mengirimkan
surat cinta beserta potongan telinga dan kepala.
Pada cerpen lainnya yang berjudul Manuel. Diceritakan sebuah situasi dua
orang yang sedang berbincang di sebuah bar. Melepas kepenatan dengan
meminum bir. Hal yang diperbincangkan mengenai kepelikan yang sempat
dialami oleh tokoh Manuel akibat pemerintahan Orde Baru. Setelah beberapa
pengakuan

diungkapkan

ternyata


Manuel

ditahan

dengan

alasan

telah

mengungkapkan fakta yang seharusnya tidak diungkapkan. Seno mengaku dalam
bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara bahwa peristiwa itu
terinspirasi dari sebuah pertemuan singkat dengan seorang pemuda. Fakta-fakta
yang diungkapkan oleh tokoh Manuel tersebut sama halnya dengan fakta-fakta
yang diungkapkan oleh pemuda yang sempat dia temui.
Jika diusut mengenai asal-muasal sebuah karya, hal itu juga tidak akan
terlepas dari perspektif pemikiran yang sering digunakan oleh pengarang.
Keadaan jiwa pengarang memengaruhi pula terciptanya metafora-metafora bahasa
yang digunakan dalam sebuah karya. Sehingga keadaan psikologis pengarang bisa

dikatakan sebagai jembatan untuk memahami keadaan psikologis tokoh fiksi dan
situasi cerita.
Perilaku Stereotype Pada Tokoh-tokoh Kumpulan Cerpen Saksi Mata
Melihat kilas balik kepengaran Seno yang hidup dalam tekanan masa Orde
Baru dan berusaha melawan keadaan yang menyulitkannya hal ini sangat
berpengaruh dalam psikologis para tokoh dalam kumpulan cerpen Saksi Mata ini.

5

Konflik-konflik yang ditimbulkan dalam dalam kumpulan cerpen ini secara
keseluruhan mengenai kematian dan kekerasan. Kekerasan yang dominan
diangkat oleh Seno dalam kumpulan cerpen Saksi Mata ini adalah kekerasan
politik. Seno menyajikan tema-tema mengenai terbungkamnya rahasia-rahasia,
dan kemisteriusan kekerasan politik yang dialami kaum minoritas. Dia
menghadirkannya dengan kekerasan yang tiga kali lipat lebih sadis dari keadaan
yang sebenarnya.
Seperti dalam cerpennya yang berjudul Saksi Mata, pembaca disuguhkan
dengan situasi yang ganjal dan sadis dengan cara pandang yang wajar. Diceritakan
seorang saksi mata dihadirkan hakim dalam sebuah persidangan dengan mata
yang sudah tercongkel dan darah segar masih mengucur deras congkelan tersebut.

Bahkan mengalir dan meluber di lantai.
Seno juga sering mengulang kata darah pada cerpen ini. Darah yang
digambarkan selalu mengalir dan mengucur disekita kehidupan para tokoh.
Namun, kewajaran tokoh-tokoh atas peristiwa ganjal yang dia masukkan,
membuat pembaca lagi-lagi berfikir, sebenarnya kejadian apa ini? Mengapa bisa
seorang sasksi yang sedang mengalami luka dan matanya tercongkel masih saja
dimintai kesaksian? Suasana pengadilan yang tidak biasa mampu dihadirkan Seno
dengan wajar. Seorang hakim yang dimintai peradilan oleh seorang saksi mata
yang kedua matanya sudah hilang dan tercongkel. Namun, para tokoh peserta
pengadilan tersebut tampak biasa, tidak jijik ataupun digambarkan menjerit
histeris dikarenakan ketakutan melihat banyaknya darah yang terus saja mengucur
dari dua lubang mata tersebut.
Jika kita pahami kemunculan tokoh-tokoh tersebut secara psikologis
sedang mengalami sebuah perilaku stereotype. yaitu, sebuah bentuk dari frustasi
yang berlanjut menjadi sebuah kebiasaan aneh yang terus-menerus dilakukan
tanpa memiliki kesadaran hal itu sudah melampaui batas normal. Kepekaan Seno
secara psikologis terhadap situasi yang sempat dia alami menjadi sebuah titik
tolak yang akhirnya mampu menghadirkan kewajaran dari sebuah situasi sangat
kejam dan pelik. Cerdas.
Pada cerpen lainnya yang berjudul Telinga. Sarkasme yang digunakan oleh

Seno dalam cerpen ini sungguh-sungguh membuat pembaca geleng-geleng kepala.

6

Bagaimana tidak, dalam cerpen ini Seno menampilkan perilaku stereotype yang
dilakukan oleh pacar Dewi. Pacar Dewi yang sedang berada di medan perang
ternyata memperoleh pekerjaan untuk memotong telinga orang-orang yang
dituduh sebagai aktivis, pengkhianat, dan penyusup. Dalam surat-suratnya kepada
Dewi, dia mengungkapkan bahwa pekerjaannya tersebut malah dijadikan
penghibur di kala merasa kesepian di medan perang. Bahkan mengirimkan Dewi
potongan-potongan telinga dan penggalan kepala sebagai cindera mata.
Perilaku stereotype lainnya muncul pada tokoh Dewi. Dewi yang senang
berkirim surat dengan pacarnya itu juga melakukan kegiatan rutin mengumpulkan
potongan telinga dengan darah yang masih mengucur segar. Bahkan Dewi dengan
kewajarannya membuat potongan telinga-telinga manusia tersebut sebagai
gantungan kunsi, hiasan pintu, ditempel memenuhi dinding rumahnya hingga
hampir seluruh ruangan di rumahnya pun dipenuhi dengan potongan telinga.
Teman-teman Dewi yang datang ke rumahnya juga tidak merasa jijik, malah
mereka meminta potongan telinga tersebut sebagai oleh-oleh.
Terciptanya cerpen Telinga ini juga berdasarkan pengalaman Seno yang

sempat menemukan dalam sebuah laporan di koran Jakarta Jakarta, bahwa
Gubernur Timor Timur Mario Viegas C, pada akhir Oktober 1991 menerima
empat pemuda di kantornya. Dua dari empat pemuda tersebut tak bertelinga
(Adjidarma, 2010: 372).
Secara psikologis tokoh, Dewi dan Kekasihnya telah mengalami situasi
yang biasa disebut abnormal. Situasi demikian dipisu karena adanya ketidak
wajaran perilaku yang seharusnya mereka lakukan. Abnormal atau melebihi batas
normal dengan perilaku stereotype tokoh membuat cerpen ini begitu ngeri, namun
pembaca diajak membaca dengan wajar.
Perilaku stereotype lainnya ditunjukkan pada cerpen Salvador. Dalam
cerpen ini Seno menghadirkan seorang tokoh maling ayam. Dia diadili dengan
begitu keji. Bahkan dia seperti buronan hingga seluruh penjuru dibagikan
selebaran mengenai tokoh bernama Salvador. Dan bagi siapapun yang mampu
menangkapnya akan memperoleh hadiah besar. Sebagai pembaca secara
psikologis memberikan pertanyaan yang cukup tajam, seorang maling ayam saja
diadili begitu kejam. Bahkan hukumannya menyerupai pencuri bank dan uang

7

negara. Meski kenyataannya koruptor jauh lebih beruntung dari pada tokoh

maling ayam ini. Tokoh masyarakat dalam cerpen ini digambarkan dengan sikap
yang hiperbola. Mengadili maling ayam dengan sadis merupakan sikap yang
sedikit berlebihan. Tapi itulah yang ingin disampaikan Seno mengenai sebuah
keadilan, banyak orang-orang kecil yang mengalami penindasan bahkan dihukum
tanpa diadili.
Perilaku ganjal lainnya terdapat pada cerpen Pelajaran Sejarah. Pada
cerpen ini diceritakan seorang guru sejarah bernama Alfonso yang mengajak
murid-muridnya belajar sejarah di wilayah makam. Hal aneh yang tidak pernah
terlintas dibenak kita mengenai pelajaran sejarah yang terdapat pada sebuah
makam. Tetapi guru Alfonso dengan santai mengajak dan mengajarkan mengenai
apa yang sedang mereka pelajari di makam tersebut. Meski murid-muridnya telah
melontarkan berbagai pertanyaan tegas mengenai keanehan sistem belajar yang
dilakukan oleh guru Alfonso.
Pada cerpen ini Seno mengakui bahwa sebenarnya dia benar-benar ingin
menyampaikan sebuah sejarah yang harus diketahui semua orang. Tentang
pernyataan-pernyataan guru Alfonso tersebut merupakan fakta yang tak banyak
mengalami

perubahan.

Sengaja

dihadirkan

utuh

agar

sejarah

tersebut

tersampaikan. Hanya saja, lagi-lagi dia menghadirkan psikologis tokoh dengan
perilaku guru yang aneh dan tak mampu menjawab pertanyaan muridnya. Ketidak
mampuan tersebut bukan dikarenakan kebodohan, tetapi sebuah tekanan untuk
bungkam. Namun, dari gambaran dialog batin guru Alfonso setiap kali ingin
menjawab pertanyaan muridnya telah mewakili semua tanda tanya mengenai
tujuan dari kegiatan belajar yang sedang mereka lakukan tersebut.
Perilaku stereotype yang sering hadir dalam cerpen-cerpen Seno
merupakan sebuah bentuk sindiran mengenai situasi masa Orde Baru yang alihalih memang sedang mengalami sebuah distorsi sosial yang cukup tinggi.
Banyaknya pembantaian terhadap kaum-kaum kecil tak bersalah, hanya karena
tuduhan yang tak terbukti kebenarannya. Bahkan salah menyampaikan sebuah
informasi maupun fakta saja dapat kehilangan nyawa dan menjadi buronan. Titik
tolak psikologis tokoh yang dihadirkan dalam kumpulan cerpen Saksi Mata
merupakan bersumber dari pengalaman pengarang.

8

Seno dan Tokoh-tokoh Fiksi Ciptaannya
Sejatinya seorang pengarang telah mati keberadaannya ketika karyanya
telah sampai di tangan pembaca. Namun, kita telaah lagi lebih mendalam
mengenai asal-usul sebuah karya sastra itu hadir tidak akan pernah terlepas dari
berbagai aspek. Salah satunya mengenai aspek psikologis pengarang. Seno
sebagai pencipta kumpulan cerpen Saksi Mata memiliki pengaruh banyak dalam
isi cerita.
Kemunculuan tokoh-tokoh fiksinya dalam kumpulan cerpen ini dihadirkan
dengan psikologis yang mengalami frustasi berat, sehingga berlanjut dengan
perilaku stereotype. Beberapa tokoh yang telah dibahas pada halaman
sebelumnya, mengalami perilaku yang aneh secara psikologis. Namun, tokohtokoh tersebut diceritakan dengan cara yang wajar. Perilaku aneh dan tidak
bermanfaat tersebut dilakukan secara terus-menerus. Bahkan menuai beberapa
tekanan psikologis pembaca dalam mengapresisi cerpen-cerpen yang terdapat
dalam kumpulan cerpen Sakasi Mata ini.
Pemotongan telinga orang-orang yang dituduh sebagai pemberontak oleh
kekasih Dewi, merupakan salah satu perilaku stereotype yang sudah cukup
mengkhawatirkan. Bahkan tokoh Dewi menanggapinya dengan wajar. Banyak
sekali frustasi-frustasi tokoh rekaan Seno dalam kumpulan cerpen Saksi Mata ini.
Bahkan tidak heran perilaku abnormal dapat dimunculkan Seno pada tokoh
seorang guru sejarah. Guru itu mengalami sebuah luka masa lalu di mana dia
melihat banyak pertumpahan darah. Namun, trauma masa lalu membuatnya susah
menyampaikan fakta tersebut. Sehingga melakukan perilaku aneh dengan
mengajak murid-muridnya ke sebuah pemakaman di kota mereka.
Kenyataan mengenai Insiden Dili yang disinyalir mengalir kuat dalam
cerita cerpen ini juga menuai banyak respon. Namun, segala sesuatu yang
tertuliskan pada sebuah karya fiksi harusnya mendapatkan tanda kurung yang
dapat ditafsirkan sebagai sebuah kebenaran yang masih belum tentu. Kita hidup
di dalam dunia makna, segala sesuatu adalah tanda yang masih selalu bisa
ditafsirkan kembali secara kritis: apalagi segala sesuatu yang ditulis dalam intensi
kepentingan sesuatu, kepentingan orang-orang yang merasa tertindas, maupun

9

kepentingan perlawanan sebuah kelompok. Latar belakang ini tentunya membuat
sebuah karya fiksi tidaklah objektif, begitu pula dengan tokoh-tokoh rekaannya,
serta kelainan-kelainan psikologis yang diciptakan oleh Seno.

10

DAFTAR PUSTAKA

Adjidarma, Seno Gumira. 2010. Trilogi Insiden. Yogyakarta: Bentang.
Dirgantara, Yuana Agus. 2012. Pelangi Bahasa Sastra dan budaya Indonesia:
Kumpulan Apresiasi dan Tanggapan. Yogyakarta: Garudhawarca.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra.Yogyakarta:
Media Pressindo.
Fuller, Andy. 2011. Sastra dan Polityik: Membaca Karya-karya Seno Gumira
Adjidarma. Yogyakarta: Insist Press.
Freud, Sigmund. 2002. Psikoanalisi Sigmund Freud. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Minderop, Albertine. Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh
Kasus. Jakarta: Yayasan Kota Kita.
Teeuw, A. 1980. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya Girimukti Pasaka.

Dokumen yang terkait

Efektivitas Penerapan Terapi Anger Control Assistance Terhadap Kemampuan Mengontrol Perilaku Marah Klien Dengan Resiko Perilaku Kekerasan Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang

23 109 28

FAKTOR SOSIAL BUDAYA DAN ORIENTASI MASYARAKAT DALAM BEROBAT (Studi Atas Perilaku Berobat Masyarakat Terhadap Praktek Dukun Ponari) SOCIO-CULTURAL FACTORS AND SOCIETAL ORIENTATION IN THE TREATMENT (Study Of The Treatment Behavior Of Society To Ponari Medic

1 30 13

Perilaku Konsumsi Serat pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Tahun 2012

21 162 166

Perilaku Kesehatan pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakrta Angkatan 2012 pada tahun2015

8 93 81

Pengaruh Locus Of Control Dan Komitmen Profesi Terhadap Perilaku Auditor Dalam Situasi Konflik Audit

1 29 86

Perilaku komunikasi para pengguna media sosial path di kalangan mahasiswa UNIKOM Kota Bandung : (studi deksriptif mengenai perilaku komunikasi para pengguna media sosial path di kalangan mahasiswa UNIKOM Kota Bandung)

9 116 145

Perilaku Komunikasi Waria Di Yayasan Srikandi Pasundan (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Komunikasi Waria di Yayasan Srikandi Pasundan di Kota Bandung)

3 50 1

Pengaruh Kemampuan Manajerial Dan Perilaku Kewirausahaan Terhadap Keberhasilan Usaha Di Unit Agro Bisnis Pada Yayasan Al-Anshor Bandung (survey pada petani unit Agro Bisnis Yayasan Al-Anshor Bandung)

5 61 1

Pengaruh Efektivitas E-Commerce Dan Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Terhadap Perilaku Konsumen (Survey Pada Konsumen Kota Bandung)

8 39 37

Representasi Misi Kemanusiaan Dalam Film Fiksi Ilmiah Gravity (Studi Semiotika Roland Barthes mengenai Makna Misi Kemanusiaan Dalam Film Fiksi Ilmiah Gravity)

6 34 87