Kajian Di Kendari Teater Kota Lama
MENELAAH KRITIK SOSIAL LEWAT DI KENDARI TEATER KOTA LAMA
KARYA IRIANTO IBRAHIM
DI KENDARI TEATER KOTA LAMA
mereka hanya menyisakan potongan tiket dan bekas
jari-jarinya di lenganku.
sepasang kursi dan daun pintu kembar yang dulu pernah
mencatat mimpi-mimpi kami
tak kutahu lagi ke mana pergi. yang ada tinggal
penggal-penggal cerita dari tiang-tiang jembatan
yang lebih kokoh daripada tatapan.
dekat kendari teater kota lama, ada sebuah toko cina
yang menjual pentil sepeda,
di sana kami pernah membicarakan rencana
bulan madu sederhana
: menyewa perahu sampan dan berkeliling
teluk kendari sehari penuh
lalu mampir sejenak di gerobak kacang rebus
sambil mengupas-kupas harapan dari butir-butir asmara
yang disemai cuaca bulan purnama.
biasanya, kami berpapasan dengan beberapa kuli
pelabuhan yang baru selesai mandi,
aroma minyak wangi yang merekat dan darahku
yang kian mendesak. aku mengingat semuanya.
terbayang merah muda pada pipimu dan lengkung senyum
yang tak pernah bisa membuatku terlelap selepas jalan
menuju pulang.
tapi, lembar-lembar rambutmu belum selesai kuhitung
dengan nafasku. sebab tiket yang ada di tanganku kini,
tak dapat lagi kupakai untuk menonton film kesukaanmu.
kendari teater tak ada di sini, kecuali sebuah gardu
penyedia tiket penyebrangan.
jembatan yang menghubungkan adalah juga
yang memutus kenangan
Kendari, 2009
(00.15 WITA) Saya memulai tulisan ini dengan keragu-raguan. Namun saya meyakini
niat yang baik akan menghasilkan yang baik pula jika dikerjakan dengan kejujuran
dan keterbukaan
...
Saya tertarik dengan perkataan Samuel Taylor Coleridge yang menyatakan
bahwa puisi adalah kata-kata terbaik dalam susunan terbaik. Namun disini, saya ingin
menambahkan bahwa puisi adalah kata-kata terbaik dalam susunan terbaik yang akan
memberikan makna terbaik jika dikaji dengan cara terbaik. Maka dalam hal ini, itulah
yang ingin saya lakukan.
Sebenarnya saya kurang tertarik dengan puisi yang bertemakan tentang
percintaan karena saya akui bahwa saya bukan orang yang romantis. Pertama kali
membaca puisi Di Kendari Teater Kota Lama, penyakit kurang tertarik saya “kumat”
lagi. Ditambah dengan keseluruhan isi dari puisi itu yang menceritakan tentang kisah
asmara dua sejoli di sekitaran kota lama. Dalam puisi ini, penyair menunjukan ciri
khasnya sebagai penyair dengan sajak-sajak yang liris-romantis.
Setelah saya membaca berulang-ulang, ternyata sajak ini menggambarkan
kegelisahan personal (penyair) dan kesemrawutan sosial yang terjadi saat ini. Saya
menyadari bahwa ada kritik sosial dalam puisi karya penyair yang akrab disapa Pak
Anto ini. Dan inilah saya, sangat menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan
masalah sosial. Apalagi sudah berbaur dengan hawa politik. Seolah ingin mengkritik
masalah sosial yang sering digunakan sebagai sarana untuk berpolitik bagi para
politikus. Dan sejak saat itu, saya tertarik untuk membaca dan mencoba mengkaji
puisi-puisi penyair yang juga merupakan dosen di Universitas Haluoleo ini, terutama
untuk mencari masalah-masalah sosial yang tersembunyi di dalamnya. Tak peduli
apakah itu puisi romantis atau bukan.
Dalam puisi Di Kendari Teater Kota Lama, penyair menggambarkan kondisi
yang berbeda dalam tempat yang sama, yaitu keadaan kota lama sebelum adanya
jembatan penghubung antara Kota Lama dan Kelurahan Lapulu yang akan menjadi
mega proyek di bumi anoa ini dan keadaan kota lama setelah adanya jembatan atau
yang biasa disebut Jembatan Bahteramas.
Disinilah diperlihatkan cara berpikir seorang penyair yang fleksibel dan
mengikuti arus zaman. Penyair yang lahir di Gu, sebuah daerah di Kabupaten Buton
yang diciptakan oleh Tuhan dengan penuh senyuman pada 21 Oktober 1978, berhasil
membuat formula yang dapat membuat pembaca tertarik untuk membaca, membaca
dan terus membaca puisi ini. Penyair yang juga bergiat di Komunitas Arus Kendari
ini memadukan antara romantisme dan masalah sosial dalam puisi ini. Dengan latar
cinta dua sejoli, penyair menceritakan kondisi di Kota Lama seperti pada baris-baris
berikut: bulan madu sederhana / :menyewa perahu sampan dan berkeliling / teluk
kendari sehari penuh. Di sini terlihat bahwa perahu sampan yang di sewa adalah
perahu yang biasa digunakan oleh warga sebagai alat transportasi jika hendak
melakukan perjalanandari Kota Lama ke Kelurahan Lapulu yang ada di sebrangnya
ataupun sebaliknya. Jika Jembatan Bahteramas tetap dibangun, bukankah ini akan
mematikan jasa transportasi sederhana ini?
Ada bagusnya kalau kita mengetahui bagaimana sebenarnya rencana
pembangunan Jembatan Bahteramas ini.
Rencana Pembanguna Jembatan Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara yang
diberi nama “bahteramas” baru akan dimulai Agustus 2010 (Puisi Di Kendari Teater
Kota Lama ditulis pada tahun 2009) dengan anggaran sebesar Rp750 miliar.
Pembangunan Jembatan Bahteramas (membangun kesejahteraan masyarakat)
di Teluk Kendari itu merupakan mega proyek yang pembiayaannya sekitar 75 persen
dari Pemerintah China dan sisanya bantuan dari BUMN dan BUMD. Artinya,
pendanaan Jembatan Bahteramas sama sekali tidak akan menyentuh dana APBD
Sultra tetapi akan di biayai oleh investor China dan bantuan dari pihak ketiga.
Pembangunan jembatan yang akan menghubungkan antara Kota Lama dengan
Kelurahan Lapulu, Kecamatan Abeli itu sepanjang 1400 meter dan lebar 50 meter,
diharapkan setelah selesai akan menjadi ‘icon’ yng akan dijadikan sebagai objek
wisata menarik di ibukota provinsi.
Di bagian bawah jembatan itu nantinya akan dihiasi pernak-pernik lampu
sorot yang terang, sehingga para pengguna jasa, baik di darat maupun di laut tetap
merasa aman baik siang maupun malam hari.
Komitmen Pemerintah Provinsi Sultra untuk membangun Jembatan Teluk
Kendari merupakan program mempercepat terwujudnyaakses jasa transportasi darat
maupun laut yang sekaligus mendukung percepatan pembangunan pelabuhan
kontainer yang kini dalam proses pembangunan di Kelurahan Bungkutoko,
Kecamatan Abeli.
Gubernur mengharapkan agar pembangunan jembatan ini harus tetap jalan
apabila pembangunan jembatan ini merupakan salah satu dari empat proyek yang
didanai Pemerintah China yang berarti bila proyek ini tidak dilanjutkan, maka yang
rugi adalah masyarakat Sultra.
Dengan melihat penjelasan di atas, dapat disimpulkan kalau rencana
pembangunan Jembatan Teluk Kendari jika dilihat dari masalah dana, tidak terlalu
dikhawatirkan. Namun masyarakat di sekitar kota lama menyayangkan bila dilakukan
penggusuran, banyak situs sejarah yang hilang, misalnya Kendari Teater yang telah
digambarkan penyair dalam puisi ini. Selain itu di artikel yang saya baca di internet,
pada tanggal 9 Mei 1832, Vosmaer seorang penemu, penulis dan pembuat peta
pertama tentang Kendari, membangun Istana Raja Suku Tolaki bernama TEBAU di
sekitar Pelabuhan Kendari. Jika penggusuran tetap dilakukan, maka jejak pertama
Kota Kendari sebagai sebuah kota akan hilang.
Selain itu, saya juga mengutip pernyataan pada penjelasan di atas yang
mengharapakan setelah selesainya Jembatan Bahteramas ini, akan menjadi ‘icon’.
Sungguh ironis sekali, pembangunan jembatan yang telah banyak menuai protes ini,
justru ingin dijadikan ikon yang telah banyak menghilangkan ikon-ikon sejarah yang
ada di sekitar Kota Lama.
Melalui pengantar tadi, puisi Di Kendari Teater Kota Lama, akan saya kaji
sehingga kita mengetahui kritik sosial dan tersembunyi di balik susunan kata-katanya.
Pada bait pertama, seorang Irianto Ibrahim menggambarkan bahwa Kendari
Teater sudah tak ada lagi. Ini diperjelas pada larik kelima yaitu: tak tahu lagi pergi
kemana. Kemudian jika kita flashback ke larik pertama, terdapat kata “mereka”.
Mereka disini bukanlah penyedia tiket untuk nonton di Kendari Teater melainkan
penyedia tiket penyebrangan. Coba perhatikan larik tiga dan empat yakni: sepasang
kursi dan pintu kembar yang dulu pernah / mencatat mimpi-mimpi kami. Inilah yang
saya maksud cara penyair agar membuat karyanya ingin terus dibaca. Beliau
menambahkan bumbu-bumbu romantisme di dalamnya.
Pada bait kedua, penyair menghipnotis pembacanya agar hanyut dalam
suasana romantis yang ada di dalamnya. Lihatlah pada larik pertama dan kedua yaitu:
ada sebuah toko cina / yang menjual pentil sepeda. Ada sebuah kritik sosial yang
tersembunyi di baliknya yaitu pada frasa “toko cina” tempat yang dijelaskan Irianto
Ibrahim sebagai tempat membicarakan bulan madu sederhana. Namun, toko cina
tersebut dalam puisi, sudah tidak ada karena telah digusur sesuai dengan rencana
pemerintah pada penjelasan sebelumnya.
Saya tertarik pada baris berikut ini yaitu: menyewa perahu sampan dan
berkeliling / teluk kendari sehari penuh. Pada larik inilah saya pertama menemukan
bahwa ini bukanlah puisi tentang percintaan. Pada kata “sampan” sebagai alat
transportasi yang digunakan oleh “kami” sebelum jembatan Teluk Kendari atau
Jembatan Bahteramas dibangun, samapan merupakan satu-satunya alat transportasi
yang digunakan oleh masyarakat di sekitar Kota Lama dan Kelurahan Lapulu untuk
menyebrangi teluk. Namun dalam puisi ini, masyarakat sudah bisa menggunakan
Jembatan Bahteramas. Lalu bagaimana pemilik sampan yang menggantungkan
hidupnya hanya dari transportasi sederhana itu? Jawabannya belum ditahu pasti
karena kenyataannya sekarang adalah Jembatan Bahteramas belum dibangun. Namun
kita sudah memprediksi apa yang akan terjadi.
Lalu pertatikan lagi baris-baris berikut: lalu mampir sejenak di gerobak
kacang rebus / sambil mengupas-kupas harapan. . ..Tengoklah “gerobak kacang
rebus”. Saya sering ke Kota Lama waktu SMA. Di sana ada sebuah tempat tepat di
samping Kendari Teater. Tempat yang sangat bagus untuk menikmati indahnya
panorama sore di teluk yang menjadi ciri khas Kota Kendari. Setiap sore, selalu ada
penjual kacang rebus yang menawarkan kehangatan di tengah-tengah dinginnya
suasana sore di tempat tersebut. Bisa jadi jika Jembatan Bahteramas ada, akan
menghilangkan indahnya suasana sore di tempat itu. Selain itu juga akan
menghilangkan tempat mencari nafkah penjual kacang rebus yang selalu menawarkan
kehangatan.
Pada frasa “pentil sepeda”, kenapa bukan “emas”? Padahal di Kota Lama
banyak sekali penjual emas. Menurut saya, pengarang sengaja agar ada rima yang
terbentuk sehingga menambah indah tiap baris demi baris puisi ini.
Bait ketiga pada puisi Di Kendari Teater Kota Lama merupakan baik terakhir
pada puisi ini. Pada larik pertama dan kedua yaitu: biasanya, kami berpapasan
dengan beberapa kuli / pelabuhan yang baru selesai mandi. Kuli pelabuhan
merupakan pekerjaan yang lumrah di sekitar wilayah pelabuhan. Namun rencananya,
pelabuhan bongkar muat akan dipindahkan jika Jembatan Bahteramas dibangun. Jelas
ini masalah bagi para kuli pelabuhan tersebut.
aroma minyak wangi yang merekat dan darahku
yang kian mendesak. aku mengingat semuanya.
terbayang merah muda pada pipimu dan lengkung senyum
yang tak pernah bisa membuatku terlelap selepas jalan
menuju pulang
tapi, lembar-lembar rambutmu belum selesai kuhitung
dengan nafasku
Pada penggalan bait ketiga puisi Di Kendari Teater Kota Lama di atas,
penyair menambahkan suasana romantis yang ingin mempertegas kembali tema puisi
ini yaitu tentang kisah cinta dua sejoli di sekitaran Kota Lama.
Pada dua larik terakhir dalam puisi ini, yakni: jembatan yang menghubungkan
adalah juga / yang memutus kenangan. Maksudnya adalah jembatan yang
menghubungkan antara Kota Lama dan Lapulu ini, justru yang menghilangkan
kengangan tentang Kota Lama, pusat pemerintahan pertama ibu kota Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Tapi dalam puisi ini, masih menimbulkan pertanyaan. Puisi ini ini
menggambarkan tentang Jembatan Bahteramas yang telah kokoh berdiri. Namun
bagaimana puisi ini jika Jembatan Bahteramas ini tidak jadi dibangun? Kita lihat
nanti. Yang jelas, banyak yang menanti-nantikan puisi seorang Irianto Ibrahim yang
menarik bahkan lebih menarik dari puisi Di Kendari Teater Kota Lama.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, Irianto. 2010. Buton, Ibu dan Sekantong Luka. Yogyakarta: Frame
Publishing.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Udu, Sumiman dan La Niampe. 2008. Teori Sastra. Kendari: Unhalu.
http://vibizdaily.com/detail/nasional/2010/05/11/pembangunan-jembatan-bahteramaskendari-agustus-2010.
http://wisatanusantara2010.wordpress.com/nusantara/sulawesi-tenggara/kendari/
KARYA IRIANTO IBRAHIM
DI KENDARI TEATER KOTA LAMA
mereka hanya menyisakan potongan tiket dan bekas
jari-jarinya di lenganku.
sepasang kursi dan daun pintu kembar yang dulu pernah
mencatat mimpi-mimpi kami
tak kutahu lagi ke mana pergi. yang ada tinggal
penggal-penggal cerita dari tiang-tiang jembatan
yang lebih kokoh daripada tatapan.
dekat kendari teater kota lama, ada sebuah toko cina
yang menjual pentil sepeda,
di sana kami pernah membicarakan rencana
bulan madu sederhana
: menyewa perahu sampan dan berkeliling
teluk kendari sehari penuh
lalu mampir sejenak di gerobak kacang rebus
sambil mengupas-kupas harapan dari butir-butir asmara
yang disemai cuaca bulan purnama.
biasanya, kami berpapasan dengan beberapa kuli
pelabuhan yang baru selesai mandi,
aroma minyak wangi yang merekat dan darahku
yang kian mendesak. aku mengingat semuanya.
terbayang merah muda pada pipimu dan lengkung senyum
yang tak pernah bisa membuatku terlelap selepas jalan
menuju pulang.
tapi, lembar-lembar rambutmu belum selesai kuhitung
dengan nafasku. sebab tiket yang ada di tanganku kini,
tak dapat lagi kupakai untuk menonton film kesukaanmu.
kendari teater tak ada di sini, kecuali sebuah gardu
penyedia tiket penyebrangan.
jembatan yang menghubungkan adalah juga
yang memutus kenangan
Kendari, 2009
(00.15 WITA) Saya memulai tulisan ini dengan keragu-raguan. Namun saya meyakini
niat yang baik akan menghasilkan yang baik pula jika dikerjakan dengan kejujuran
dan keterbukaan
...
Saya tertarik dengan perkataan Samuel Taylor Coleridge yang menyatakan
bahwa puisi adalah kata-kata terbaik dalam susunan terbaik. Namun disini, saya ingin
menambahkan bahwa puisi adalah kata-kata terbaik dalam susunan terbaik yang akan
memberikan makna terbaik jika dikaji dengan cara terbaik. Maka dalam hal ini, itulah
yang ingin saya lakukan.
Sebenarnya saya kurang tertarik dengan puisi yang bertemakan tentang
percintaan karena saya akui bahwa saya bukan orang yang romantis. Pertama kali
membaca puisi Di Kendari Teater Kota Lama, penyakit kurang tertarik saya “kumat”
lagi. Ditambah dengan keseluruhan isi dari puisi itu yang menceritakan tentang kisah
asmara dua sejoli di sekitaran kota lama. Dalam puisi ini, penyair menunjukan ciri
khasnya sebagai penyair dengan sajak-sajak yang liris-romantis.
Setelah saya membaca berulang-ulang, ternyata sajak ini menggambarkan
kegelisahan personal (penyair) dan kesemrawutan sosial yang terjadi saat ini. Saya
menyadari bahwa ada kritik sosial dalam puisi karya penyair yang akrab disapa Pak
Anto ini. Dan inilah saya, sangat menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan
masalah sosial. Apalagi sudah berbaur dengan hawa politik. Seolah ingin mengkritik
masalah sosial yang sering digunakan sebagai sarana untuk berpolitik bagi para
politikus. Dan sejak saat itu, saya tertarik untuk membaca dan mencoba mengkaji
puisi-puisi penyair yang juga merupakan dosen di Universitas Haluoleo ini, terutama
untuk mencari masalah-masalah sosial yang tersembunyi di dalamnya. Tak peduli
apakah itu puisi romantis atau bukan.
Dalam puisi Di Kendari Teater Kota Lama, penyair menggambarkan kondisi
yang berbeda dalam tempat yang sama, yaitu keadaan kota lama sebelum adanya
jembatan penghubung antara Kota Lama dan Kelurahan Lapulu yang akan menjadi
mega proyek di bumi anoa ini dan keadaan kota lama setelah adanya jembatan atau
yang biasa disebut Jembatan Bahteramas.
Disinilah diperlihatkan cara berpikir seorang penyair yang fleksibel dan
mengikuti arus zaman. Penyair yang lahir di Gu, sebuah daerah di Kabupaten Buton
yang diciptakan oleh Tuhan dengan penuh senyuman pada 21 Oktober 1978, berhasil
membuat formula yang dapat membuat pembaca tertarik untuk membaca, membaca
dan terus membaca puisi ini. Penyair yang juga bergiat di Komunitas Arus Kendari
ini memadukan antara romantisme dan masalah sosial dalam puisi ini. Dengan latar
cinta dua sejoli, penyair menceritakan kondisi di Kota Lama seperti pada baris-baris
berikut: bulan madu sederhana / :menyewa perahu sampan dan berkeliling / teluk
kendari sehari penuh. Di sini terlihat bahwa perahu sampan yang di sewa adalah
perahu yang biasa digunakan oleh warga sebagai alat transportasi jika hendak
melakukan perjalanandari Kota Lama ke Kelurahan Lapulu yang ada di sebrangnya
ataupun sebaliknya. Jika Jembatan Bahteramas tetap dibangun, bukankah ini akan
mematikan jasa transportasi sederhana ini?
Ada bagusnya kalau kita mengetahui bagaimana sebenarnya rencana
pembangunan Jembatan Bahteramas ini.
Rencana Pembanguna Jembatan Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara yang
diberi nama “bahteramas” baru akan dimulai Agustus 2010 (Puisi Di Kendari Teater
Kota Lama ditulis pada tahun 2009) dengan anggaran sebesar Rp750 miliar.
Pembangunan Jembatan Bahteramas (membangun kesejahteraan masyarakat)
di Teluk Kendari itu merupakan mega proyek yang pembiayaannya sekitar 75 persen
dari Pemerintah China dan sisanya bantuan dari BUMN dan BUMD. Artinya,
pendanaan Jembatan Bahteramas sama sekali tidak akan menyentuh dana APBD
Sultra tetapi akan di biayai oleh investor China dan bantuan dari pihak ketiga.
Pembangunan jembatan yang akan menghubungkan antara Kota Lama dengan
Kelurahan Lapulu, Kecamatan Abeli itu sepanjang 1400 meter dan lebar 50 meter,
diharapkan setelah selesai akan menjadi ‘icon’ yng akan dijadikan sebagai objek
wisata menarik di ibukota provinsi.
Di bagian bawah jembatan itu nantinya akan dihiasi pernak-pernik lampu
sorot yang terang, sehingga para pengguna jasa, baik di darat maupun di laut tetap
merasa aman baik siang maupun malam hari.
Komitmen Pemerintah Provinsi Sultra untuk membangun Jembatan Teluk
Kendari merupakan program mempercepat terwujudnyaakses jasa transportasi darat
maupun laut yang sekaligus mendukung percepatan pembangunan pelabuhan
kontainer yang kini dalam proses pembangunan di Kelurahan Bungkutoko,
Kecamatan Abeli.
Gubernur mengharapkan agar pembangunan jembatan ini harus tetap jalan
apabila pembangunan jembatan ini merupakan salah satu dari empat proyek yang
didanai Pemerintah China yang berarti bila proyek ini tidak dilanjutkan, maka yang
rugi adalah masyarakat Sultra.
Dengan melihat penjelasan di atas, dapat disimpulkan kalau rencana
pembangunan Jembatan Teluk Kendari jika dilihat dari masalah dana, tidak terlalu
dikhawatirkan. Namun masyarakat di sekitar kota lama menyayangkan bila dilakukan
penggusuran, banyak situs sejarah yang hilang, misalnya Kendari Teater yang telah
digambarkan penyair dalam puisi ini. Selain itu di artikel yang saya baca di internet,
pada tanggal 9 Mei 1832, Vosmaer seorang penemu, penulis dan pembuat peta
pertama tentang Kendari, membangun Istana Raja Suku Tolaki bernama TEBAU di
sekitar Pelabuhan Kendari. Jika penggusuran tetap dilakukan, maka jejak pertama
Kota Kendari sebagai sebuah kota akan hilang.
Selain itu, saya juga mengutip pernyataan pada penjelasan di atas yang
mengharapakan setelah selesainya Jembatan Bahteramas ini, akan menjadi ‘icon’.
Sungguh ironis sekali, pembangunan jembatan yang telah banyak menuai protes ini,
justru ingin dijadikan ikon yang telah banyak menghilangkan ikon-ikon sejarah yang
ada di sekitar Kota Lama.
Melalui pengantar tadi, puisi Di Kendari Teater Kota Lama, akan saya kaji
sehingga kita mengetahui kritik sosial dan tersembunyi di balik susunan kata-katanya.
Pada bait pertama, seorang Irianto Ibrahim menggambarkan bahwa Kendari
Teater sudah tak ada lagi. Ini diperjelas pada larik kelima yaitu: tak tahu lagi pergi
kemana. Kemudian jika kita flashback ke larik pertama, terdapat kata “mereka”.
Mereka disini bukanlah penyedia tiket untuk nonton di Kendari Teater melainkan
penyedia tiket penyebrangan. Coba perhatikan larik tiga dan empat yakni: sepasang
kursi dan pintu kembar yang dulu pernah / mencatat mimpi-mimpi kami. Inilah yang
saya maksud cara penyair agar membuat karyanya ingin terus dibaca. Beliau
menambahkan bumbu-bumbu romantisme di dalamnya.
Pada bait kedua, penyair menghipnotis pembacanya agar hanyut dalam
suasana romantis yang ada di dalamnya. Lihatlah pada larik pertama dan kedua yaitu:
ada sebuah toko cina / yang menjual pentil sepeda. Ada sebuah kritik sosial yang
tersembunyi di baliknya yaitu pada frasa “toko cina” tempat yang dijelaskan Irianto
Ibrahim sebagai tempat membicarakan bulan madu sederhana. Namun, toko cina
tersebut dalam puisi, sudah tidak ada karena telah digusur sesuai dengan rencana
pemerintah pada penjelasan sebelumnya.
Saya tertarik pada baris berikut ini yaitu: menyewa perahu sampan dan
berkeliling / teluk kendari sehari penuh. Pada larik inilah saya pertama menemukan
bahwa ini bukanlah puisi tentang percintaan. Pada kata “sampan” sebagai alat
transportasi yang digunakan oleh “kami” sebelum jembatan Teluk Kendari atau
Jembatan Bahteramas dibangun, samapan merupakan satu-satunya alat transportasi
yang digunakan oleh masyarakat di sekitar Kota Lama dan Kelurahan Lapulu untuk
menyebrangi teluk. Namun dalam puisi ini, masyarakat sudah bisa menggunakan
Jembatan Bahteramas. Lalu bagaimana pemilik sampan yang menggantungkan
hidupnya hanya dari transportasi sederhana itu? Jawabannya belum ditahu pasti
karena kenyataannya sekarang adalah Jembatan Bahteramas belum dibangun. Namun
kita sudah memprediksi apa yang akan terjadi.
Lalu pertatikan lagi baris-baris berikut: lalu mampir sejenak di gerobak
kacang rebus / sambil mengupas-kupas harapan. . ..Tengoklah “gerobak kacang
rebus”. Saya sering ke Kota Lama waktu SMA. Di sana ada sebuah tempat tepat di
samping Kendari Teater. Tempat yang sangat bagus untuk menikmati indahnya
panorama sore di teluk yang menjadi ciri khas Kota Kendari. Setiap sore, selalu ada
penjual kacang rebus yang menawarkan kehangatan di tengah-tengah dinginnya
suasana sore di tempat tersebut. Bisa jadi jika Jembatan Bahteramas ada, akan
menghilangkan indahnya suasana sore di tempat itu. Selain itu juga akan
menghilangkan tempat mencari nafkah penjual kacang rebus yang selalu menawarkan
kehangatan.
Pada frasa “pentil sepeda”, kenapa bukan “emas”? Padahal di Kota Lama
banyak sekali penjual emas. Menurut saya, pengarang sengaja agar ada rima yang
terbentuk sehingga menambah indah tiap baris demi baris puisi ini.
Bait ketiga pada puisi Di Kendari Teater Kota Lama merupakan baik terakhir
pada puisi ini. Pada larik pertama dan kedua yaitu: biasanya, kami berpapasan
dengan beberapa kuli / pelabuhan yang baru selesai mandi. Kuli pelabuhan
merupakan pekerjaan yang lumrah di sekitar wilayah pelabuhan. Namun rencananya,
pelabuhan bongkar muat akan dipindahkan jika Jembatan Bahteramas dibangun. Jelas
ini masalah bagi para kuli pelabuhan tersebut.
aroma minyak wangi yang merekat dan darahku
yang kian mendesak. aku mengingat semuanya.
terbayang merah muda pada pipimu dan lengkung senyum
yang tak pernah bisa membuatku terlelap selepas jalan
menuju pulang
tapi, lembar-lembar rambutmu belum selesai kuhitung
dengan nafasku
Pada penggalan bait ketiga puisi Di Kendari Teater Kota Lama di atas,
penyair menambahkan suasana romantis yang ingin mempertegas kembali tema puisi
ini yaitu tentang kisah cinta dua sejoli di sekitaran Kota Lama.
Pada dua larik terakhir dalam puisi ini, yakni: jembatan yang menghubungkan
adalah juga / yang memutus kenangan. Maksudnya adalah jembatan yang
menghubungkan antara Kota Lama dan Lapulu ini, justru yang menghilangkan
kengangan tentang Kota Lama, pusat pemerintahan pertama ibu kota Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Tapi dalam puisi ini, masih menimbulkan pertanyaan. Puisi ini ini
menggambarkan tentang Jembatan Bahteramas yang telah kokoh berdiri. Namun
bagaimana puisi ini jika Jembatan Bahteramas ini tidak jadi dibangun? Kita lihat
nanti. Yang jelas, banyak yang menanti-nantikan puisi seorang Irianto Ibrahim yang
menarik bahkan lebih menarik dari puisi Di Kendari Teater Kota Lama.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, Irianto. 2010. Buton, Ibu dan Sekantong Luka. Yogyakarta: Frame
Publishing.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Udu, Sumiman dan La Niampe. 2008. Teori Sastra. Kendari: Unhalu.
http://vibizdaily.com/detail/nasional/2010/05/11/pembangunan-jembatan-bahteramaskendari-agustus-2010.
http://wisatanusantara2010.wordpress.com/nusantara/sulawesi-tenggara/kendari/