HAK LINTAS DAMAI RIGHT OF INNOCENT PASSA

HAK LINTAS DAMAI (“RIGHT OF INNOCENT PASSAGE”)
DALAM PENGATURAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL

ROSMI HASIBUAN, SH.MH
Fakultas Hukum
Jurusan Hukum Internasional
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAKSI

Konsepsi hak lintas damai (“right of innocent passage”) bermula lahir dalam
praktek negara-negara di Eropa sesudah abad pertengahan, dan dalam
perkembangannya mendapat perumusan dalam KHL 1958. Hak lintas damai, yaitu
hak semua negara untuk melintasi atau melayarkan kapalnya melalui perairan laut
teritorial suatu Negara pantau sesuai dengan ketentuan Hukum Laut Internasional
dan peraturan perundang-undangan Negara Pantai.
Dengan diterimanya konsepsi Negara Kepulauan dalam KHL 1982, maka hak
lintas damai tidak saja di laut teritorial suatu Negara pantai, tetap juga diperairan
kepulauan suatu Negara Kepulauan.
Di Indonesia mengenai hak lintas damai diatur dalam pasal 3 UU No.
4/Prp/1960 Tentang Perairan Indonesia dengan peraturan pelaksana PP No. 8 Tahun

1962 tentang Hak Lintas Damai Bagi Kapal Asing. Dengan diterimanya konsepsi
Negara Kepulauan dalam KHL 1982, maka Negara Nusantara (Negara
Kepulauan)Indonesia mendapat pengakuan secara internasional.
Setelah Indonesia meratifikasi KHL 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985,
maka Indonesia mencabut UU No. 4/Prp/1960 diganti dengan UU No. 6 Tahun 1996
Tentang Perairan Indonesia. Sedangkan peraturan pelaksdana mengenai hak lintas
damai sebelum diganti yang baru masih tetap berlaku peraturan yang lama, yaitu PP
No. 8 Tahun 1962, sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 1996.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa jayanya imperium Roma, Kekaisaran Roma menguasai seluruh
Lautan Tengah. Kenyataan dalam hukum Romawi laut diartikan sebagai “public
property” haruslah diartikan sebagai milik dari kerajaan Roma, tetapi dengan
pengertian bahwa hak penduduk pantai untuk menangkap ikan bagi penduduk pantai
di perairan dekat pantainya telah diakui.
2002 digitized by USU digital library

1


Setelah runtuhnya kerajaan Roma, negara-negara di sekitar Laut Tengah
mulai mengklaimlaut-laut yang berbatasan dengan pantai mereka. Antara lain
“Venetia” menuntut sebahagian dari Laut Adriatik dan tuntutan ini diakui oleh Paus
Alexander III Tahun 1177. Sedangkan “Genoa” menuntut Laut Liguria dan
sekitarnya, dan “Fisa” menuntut dan melaksanakan kekuasaannya atas laut
Tyrrhenia.
- Jaman Portugis Dan Spanyol
Sementara itu Portugis berhasil mengetemukan jalan laut ke Indonesia
melalui Samudera Atlantik sebelah selatan Maroko, Tanjung Harapan dan Samudera
Hindia dan mengklaim Samudra dan laut-laut yang dilaluinya. Demikian juga
Spanyol yang sampai ke Maluku melalui Samudera Pasifik setelah mengitari bagian
Selatan Amerika, sebelah Barat Samudera Atlantik dan teluk Mexico sebagai milik
mereka. Tuntutan Portugis dan Spanyol tersebut diakui oleh Paus Alexander IV
dalam Tahun 1493 yang membagi Samudera di dunia untuk Spanyol dan Portugis.
Pembagian itu kemudian di perkuat dengan perjanjian Tordasillas antara Spanyol
dan Portugis dalam Tahun 1494.
Sementara itu negara Denmark mengklaim laut Baltik, dan laut Utara oleh
Norwegia dan Icelandia, serta Inggris mengklaim laut sekitar kepulauannya.
Tindakan negara-negara tersebut di atas yang telah mengklaim laut sebagai

miliknya telah menimbulkan tantangan dari pihak Belanda. Dalam bidang pelayaran
Belanda telah menerobos masuk ke Samudera Hindia dalam usaha mencari
perdagangan dengan Indonesia langsung bertentangan dengan kepentingan Portugal
(Portugis). Dalam bidang perikanan Belanda menentang tuntutan Inggris atas “Mare
Anglicanun”, mengingat Belanda telah berabad-abad lamanya menangkap ikan di
perairan tersebut dan bahkan telah diikat dengan berbagai perjanjian. Dalam usaha
untuk menentang tuntutan Portugal dan Inggris ini, belanda berusaha untuk mencari
dasar-dasar hukum bagi tuntutannya, yaitu bahwa laut bebas untuk dilayari oleh
semua negara (bangsa). Untuk keperluan ini Belanda yang bernama Grotius (hugo
de Groot). Dalam tulisannya yang berjudul “Mare Liberum” pada Tahun 1609, Gro
tius membenarkan pendirian Belanda tersebut demi untuk memungkinkan orangorang Belanda berlayar ke Indonesia (Hasjim ...., Perjuangan ....., 1978, 12 dan 13).
Tulisan Grotius ini banyak mendapat tantangan dari penulis-penulis di
daratan Eropa, salah satu yang terkenal adalah tantangan dari penulis Inggris John
Selden dengan konsepsi “Mare Clausum”-nya. Menurut Selden laut bukanlah “mare
liberum” atau lai=ut terbuka. Sifat laut yang cair menurut Selden tidak
menyebabkan laut tidak dapat dimiliki, karena sungai dan perairan disepanjang
pantai yang cair dapat diakui dan dimiliki.

B. Lahirnya Konsepsi Laut Teritorial Dan “Innocent Passage”.
Sejarah kemudian membuktikan, baik “Mare Liberum” Belanda maupun

“Mare Clausum” Inggris, tidak dapat mempertahankan ajarannya dengan kaku dan
konsekwen. Grotius sendiri dalam bukunya De Jure Belli Ac Pasis (1625) mengakui
bahwa laut sepanjang pantai suatu negara dapat dimiliki sejauh yang dapat dikuasai
dari darat. Sedangkan Selden mangakui hak-hak negara untuk memiliki lautnya
masing-masing dan mengakui adanya hak “innocent passage” atau hak lintas damai
di laut-laut yang dimiliki atau dituntut (Hasjim..., 14,16).
Mengenai berapa lebar laut yang dapat dikuasai (laut wilayah) oleh suatu
negara menurut Bynkerhoek seorang sarjana Belanda, mengatakan, sampai di mana
2002 digitized by USU digital library

2

kekuatan senjata meriam dari darat, yang pada waktu itu 3 mil dan selebihnya
adalah bebas untuk dinikmati seluruh ummat manusia. (Mochtar, Hukum ..., 1979,
hal 29 dan Hasjim, hal 16-17).
Pada waktu itu umumnya negara-negara maritim di Eropa mempraktekkan laut
teritorial 3 mil tersebut, tetapi ajaran 3 mil tembakan meriam tersebut bukanlah
satu-satunya aturan Hukum Internasional mengenai lebar laut wilayah. Dan sejak itu
negara-negara Eropa telah menerima ajaran pembagian laut yang dapat dimiliki oleh
suatu negara dengan adanya “Innocent Passage” dan di luar itu adalah laut lepas

yang dapat dimiliki oleh semua negara. Meskipun dalam hal ini mengenai berapa
luas laut wilayah itu belum ada kesepakatan dalam praktek negara-negara. Meskipun
dalam hal ini mengenai berapa luas laut wilayah itu belum ada kesepakatan dalam
praktek negar-negara. Dalam perkembangannya dalam usaha untuk menentukan
lebar laut wilayah masalah lintas damai “innocent passage” selalu diterima.
Demikianlah perkembangan lahirnya konsepsi lahirnya laut teritorial,
konsepsi antara laut terbuka )”mare liberum”) dan laut tertutup (“mare clausum”)
akhirnya tercapai kompromi, Inggris juga lambat laut menerima ajaran kebebasan
lautan, sedangkan Belanda )Grotius) mengakui hak suatu negara untuk menguasai
laut yang berbatasan dengan pantainya sejauh yang dapat dijangkau oleh tembakan
meriam. Sedangkan pendekar-pendekar kedaulatan atas lautan masa lalu Portugal
dan Spanyol) telah mengalami kemerosotan.

BAB II
HAK LINTAS DAMAI (“RIGHT OF INNOCENT PASSAGE”)
DALAM HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Sejak pembagian laut atas laut lepas dan laut teritoral, maka regime hukum
yang berlaku atas kedua bagian itu berbeda. Pada laut lepas terbyuka digunakan
bagi semua negara, sedangkan pada laut teritorial berada di bawah kedaulatan suatu

Negara pantai, meskipun harus memperhatikan kepentingan internasional dalam
bentuk pelayaran. Agar kedua kepentingan itu dapat berlangsung selaras terciptalah
apa yang dikenal dengan dalam Hukum Laut Internasional dengan “The Right of
Innocent Passage” atau hal lintas damai. (Starke ..., An In, 1982, hal ).
Dalam kepustakaan Hukum Internasional, hak lintas damai telah melembaga
dalam Konvensi Hukum Interasional, yaitu Konvensi Den Haag 1930. Namun
pengaturan lebih lengkap dirumuskan dalam Konvensi Hukum Laut 1958 dalam
perkembangan selanjutnya dimuat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982)
yang banyak mengalami perkembangan dalam pengaturan lintas damai ini.
Dalam tulisan ini penulis membatasi pengaturan mengani lintas damai yang
diatur dalam KHL 1982. Karena pada umumnya ketentuan-ketentuan mengani di
laut teritorial dalam KHL 1958 banyak mengutip dari Konvensi terdahulu, yaitu
Konvensi Hukum Laut (KHL 1958). Terdapat beberapa perkembangan dalam
pengaturan lintas damai di laut teritorial dan juga terdapat pengaturan baru mengani
lintas damai di Selat yang digunakan untuk pelayaran Internasional dan juga di
perairan Kepulauan atau lintas alur Kepulauan.
2002 digitized by USU digital library

3


Dalam Konvensi Hukum Laut 1958 secara hukum wilayah perairan nasional
yang berada di bawah kedaulatan Negara pantai adalah laut teritorial dan perairan
pedalaman. Disisi bagian dalam dari garis pangkal laut teritorial adalah perairan
pedalaman dan di sisi luar adalah laut teritorial. Pada perairan pedalaman umumnya
tidak ada lintas damai bagi kapal asing, kecuali apabila perairan pedalaman itu
sebelumnya berstatus sebagai laut lepas atau laut teritorial, disebabkan karena
pengguna sistem straight base lines dan menggunakan garis-garis dasar dari laut
teritorial, sehingga laut tersebut berubah menjadi perairan pedalaman dalam arti
laut pedalaman. Sedangkan pada laut teritorial ketentuan lintas damai itu dijamin
oleh hukum internasional (Hasjim, hal. 35).
Pada Negara Kepulauan, perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan
Negara Kepulauan tersebut, terdiri daei laut teritorial, perairan kepulauan dan
perairan pedalaman.
Laut teritorial pada Negara Kepulauan, yaitu jarak tertentu sebelah luar dari
garis pangkal lurus yang menghubungkan titik terluar pulau-pulau dan karang
terluar kepulauan itu. Sedangkan perairan kepulauan adalah sisi dalam garis pangkal
lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kesring terluar
kepulauan itu, di mana di dalam perairan kepulauan itu dapat ditarik garis-garis
penutup untuk keperluan penetapan batas perairan pedalaman. Pada Negara
Kepulauan hak lintas damai bagi kapal asing ada pada perairan kepulauan dan laut

teritorial.

1. Lintas Damai Di Laut Teritorial.
Dalam pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1958 mengenai Laut Teritorial
menyatakan, laut teritorial merupakan satu jalur yang terletak disepanjang pantai
suatu negara berada dibawah kedaulatan Negara pantai tersebut.
Di laut teritorial kapal dari semua negara, baik negara berpantai ataupun
tidak berpantai, dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial, demikian
dinyatakan dalam pasal 17 KHL 1982. Hal ini berarti meskipun laut teritorial berada
di bawah kedaulatan
negara pantai, namun kedaulatannya itu dibatasi oleh
ketentuan hukum internasional, yaitu adanya lintas damai bagi kapal asing di
perairan laut teritorial tersebut. (Lihat pasal 2 prag. 2 KHL 1982.
a. Pengertian Lintas Damai.
Dalam pasal 18 KHL 1982, disebutkan pengertian lintas, berarti suatu
navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan :
(a). Melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat
berlabuh di tenha laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman ;
atau
(b). Berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di

tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Termasuk dalam pengertian lintas ini harus terus menerus, langsung serta
secepat mungkin, dan mancakup juga berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya
sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lajim atau perlu dilakukan
karena force majure atau memberi pertolongan kepada orang lain, kapal atau
pesawat udara yang dalam keadaan bahaya.
Selanjutnya dalam pasal 19 Konvensi menyatakan, bahwa lintas adalah
damai, sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atai keamanan
Negara pantai.sedangkan lintas suatu kapal asing dianggap membahayakan
kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu Negara pantai, apabila kapal tersebut
dalam melakukan navigasi di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan sebagai
berikut :
2002 digitized by USU digital library

4

(a). Setiap ancaman penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan
wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun
yang merupakan pelanggaran atas hukum internasional sebagaimana
tercantum dalam Piagam PBB.

(b). Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun.
(c). Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan infomasi yang
merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai.
(d). Peluncuran, pendaratan atau penerimaan pesawat udara di atas kapal.
(e). Perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan dan
keamanan Negara pantai.
(f). Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara
bertentangan dengan peraturan bea cukai dan imigrasi.
(g). Perbuatan pencemaran laut yang disengaja.
(h). Kegiatan perikanan.
(i). Kegiatan riset.
(j). Mengganggu sistem komunikasi.
(k). Kegiatan yang berhubungan langsung dengan lintas.
b. Lintas Damai Bagi Kapal Selam.
Dalam pengertian lintas damai, bagi kapal selam dan kenderaan air lainnya,
diharuskan untuk melakukan navigasi di atas air dan menunjukkan benderanya.
(Lihat pasal 20).
c. Kapal Bertenaga Nuklir.
Lintas damai bagi kapal bertenaga nuklir atau yang difatnya berbahaya
diharuskan untuk membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus

yang ditetapkan dalam suatu perjanjian internasional. Bagi kapal-kapal yang
demikian ini yaitu yang sifatnya berbahaya atau beracun diharuskan untuk melintasi
alur laut dan skema pemiash lalu lintas sebagaimana yang ditetapkan Negara pantai
dan diharuskan untuk membatasi lintas pada alur yang demikian.
d. Lintas Damai Bagi Kapal Dagang dan Kapal Pemerintah Yang Ditujukan Untuk
Tujuan Komersial.
Dalam pasal 27 dikatakan bahwa Negara pantai tidak mempunyai yurisdiksi
kriminal atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorialnya untuk mengadakan
penangkapan atau penyidikan atas kapal selama lintas, kecuali dalam hal tersebut di
bawah ini yaitu :
(a). Kejahatan itu dirasakan Negara pantai, atau mengganggu kedamaian atau
ketertiban negara tersebut atau laut wilayah tersebut.
(b). Apabila diminta bantuan oleh nakhoda kapal, atau wakil diplomatik atau
pejabat konsuler negara bendera dan atau untuk menangkap perdagangan
gelap narkotik.
Sedangkan mengenai yurisdiksi perdata Negara pantai harusnya tidak
menghentikan atau merobah haluan kapal untuk tujuan melaksanakan yurisdiksi
perdata terhadap seseorang di atas kapal itu. Suatu Negara tidak dapat
melaksanakan eksekusinya terhadap kapal untuk keperluan proses perdata apapun
kecuali tanggung jawab ganti rugi yang dipikul oleh kapal sehubungan perjalanannya
melalui perairan Negara pantai.
e. Lintas Damai Bagi Kapal Perang Dan Kapal Pemerintah.
Kapal perang untuk maksud Konvensi Hukum Laut 1982, adalah suatu kapal
yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memamkai tanda luar
yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando
seorang perwira, yang diangkat oleh pemerintah Negaranya dan namanya terdaftar
dinas militer yang tepat atau daftar yang serupa yang diawasi oleh awak kapal yang
tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.
2002 digitized by USU digital library

5

Dalam melakukan lintas damai di laut teritorial suatu Negara, apabila suatu
kapal perang tidak mentaati dan tidak mengindahkan peraturan perundangundangan Negara pantai mengani lintas damai yang disampaikan kepadanya, Negara
pantai dapat menuntut kapal perang itu meninggalkan laut teritorialnya. Negara
bendera memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian yang diderita
Negara sebagai akibat tidak dipatuhinya peraturan perundang-undangan Negara
pantai mengenai lintas melalui laut teritorial yang dilakukan oleh kapal perang dan
kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non komersial (lihat pasal
30 dan 31).
Adapun peraturan perundang-undangan yang dibuat Negara pantai
sehubungan dengan lintas damai bagi kapal asing di laut teritorial sesuai dengan
Konvensi ini dan hukum internasional lainnya mengenai setiap hal berikut :
(a) keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim
(b) perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas instalasi
lainnya
(c) perlindungan kabel bawah laut
(d) konservasi kekayaan hayati laut
(e) pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan Negara
pantai
(f)
pelestarian lingkungan Negara pantai dan pencegahan, pengurangan dan
pengendalian pencemarannya
(g) penelitian ilmiah kelautan dan survey hodrografy
(h) pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal,
imigrasi atau saniter Negara pantai.
Dalam hal ini Negara pantai harus mengumumkan semua peraturan
perundang-undangan tersebut. Dan bagi kapal asing harus mematuhi
semua
peraturan perundang-undangan demikian dan juga semua peraturan internasional
bertalian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara umum. Bahkan
apabila perlu dengan memperhatikan keselamatan pelayaran atau navigasi, kapal
asing yang melakukan pelayaran di laut teritorialnya, dapat diwajibkan untuk
mempergunakan alur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana yang
ditetapkan dan yang harus diikuti untuk pengaturan lintas kapal (lihat pasal 21 dan
22).
Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut
teritorialnya, kecuali dengan ketentuan Konvensi atau perundang-undangan yang
dibuat sesuai dengan ketentuan Konvensi. Negara pantai juga tidak boleh
menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat penolakan
atau pengurangan hak lintas damai. Lain dari pada itu Negara pantai tidak boleh
mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara
manapun. Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai harus secepatnya
mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang
diketahuinya.
Selanjutnya mengenai hak perlindungan bagi keamanan Negaranya, Negara
pantai dapat mengambil langkah yang diperlakukan untuk mencegah lintas yang
tidak damai di laut teritorialnya. Negara pantai juga berhak untuk mengambil
langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan
yang ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman atau ke persinggahan
demikian. Tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal, Negara
pantai dapat menangguhkan sementara pada daerah tertentu di laut teritorialnya
untuk perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan senjata. Penangguhan
ini berlaku setelah diumumkan terlebih dahulu. (Pihat pasal 25).
Di dalam pasal 26 menyatakan, tidak ada pungutan biaya yang dapat
dibebankan pada kapal asing yang melakukan lintas damai di laut teritorial ileh suatu
2002 digitized by USU digital library

6

Negara pantai. Kecuali pungutan dapat dibebankan
hanya untuk pembayaran
khusus dan dalam pemungutan ini dibebankan tanpa diskriminasi.

2. Lintas Damai Di Selat Yang Digunakan Untuk Pelayaran Internasional.

Lalu lintas melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional
tidak boleh mempengaruhi status hukum perairan selat tersebut, dan juga tidak
boleh mempengaruhi pelaksanaan kedaulatan atau yurisdiksi negara yang
berbatasan dengan selat tersebut, baik atas perairan, ruang udara diatasnya,
maupun dasar laut dan tanah di bawahnya. Pelaksanaan kedaulatan itu dengan
mengindahkan ketentuan Konvensi ini, yaitu “straits used used for Internasional
navigation” dan aturan internasional lainnya. (Lihat pasal 34).
Dari ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa pelayaran melalui
selat internasional diakui. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 45, bahwa rejim
lintas damai yang berlaku di lau teritorial, harus berlaku di selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional, dan tidak ada atau tidak boleh penangguhan lintas
damai di selat yang demikian.

3. Lintas Damai Di Perairan Kepulauan.
a. Pengertian Negara Kepulauan.
“Negara kepulauan”, yaitu suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu
atau lebih kepulauan dan mencakup pulau-pulau lain. Sedangkan pengertian
“kepulauan” merupakan suatu gugusan pulau, perairan diantaranya dan lain-lain
wujud alamiah, yang satu sama lain hubungannya demikian eratnya, di mana pulaupulau, perairan dan wujud alamiah lainya itu merupakan satu kesatuan geografi,
ekonomi dan politik yang hakiki, atau secara historis dianggap demikian. (Lihat pasal
46).
Suatu Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal kepulauan yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan
itu. Perairan pada sisi dalam garis pangkal kepulauan merupakan perairan
kepulauan, sedangkan perairan pada sisi luar garis pangkal kepulauan merupakan
perairan laut teritorial dari Negara kepulauan itu. Di perairan kepulauan, Negara
kepulauan dapat menarik garis-garis penutup untuk keperluan penetapan batas
perairan pedalaman. (Lihat pasal 47 dan 50).
b Status Hukum Perairan Kepulauan.
Mengenai status hukum perairan kepulauan, bahwa kedaulatan suatu Ngara
kepulauan meliputi perairan kepulauan yang tertutup oleh garis-garis pangkal
kepulauan yang disebut sebagai perairan kepulauan tanpa memperhatikan
kedalaman atau jaraknya dari pantai. Kedaulatan Negara kepulauan di perairan
kepulauan ini meliputi ruang udara di atas perairan tersebut, dasar laut dan tanah di
bawahnya serta sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana
di laut teritorial, maka diperairan kepulauan (hak lintas damai) bagi semua kapal
asing yang melalui pelayaran di perairan tersebut. (Lihat pasal 49).

c. Hal Lintas Damai Atau Lintas Alur Kepulauan Di Perairan Kepulauan.
2002 digitized by USU digital library

7

Serbagaimana dinyatakan dalam pasal 52 KHL 1982, bahwa semua Negara
dapat menikmati lintas damai melalui perairan kepulauan sesuai dengan ketentuan
lintas damai di perairan laut teritorial sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
pembahasan terdahulu. Tanpa mengadakan diskriminasi formal maupun diskriminasi
nyata bagi kapal asing, Negara kepulauan menangguhkan sementara lintas kapal
asing di daerah tertentu di perairan kepulauannya apabila sangat diperlukan untuk
melindungi keamanannya.
Lebih lanjut dalam pasal 53 Konvensi ayat 1 suatu Negara Kepulauan dapat
menentukan alur laut dan rute penerbangan yang cocok untuk digunakan lintas
kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus langsung serta secepat mungkin
melalui atau di atas perairannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya.
Selain alur kepulauan Negara Kepulauan dapat menetapkan skema pemisah lintas
untuk keperluqan lintas kapal yang aman melalui terusan yang sempit dalam alur
laut kepulauan. Kapal-kapal dan pesawat udara yang melintasi alur kepulauan tidak
boleh menyimpang lebih 25 mil laut ke dua sisi garis sumbu demikian, dengan
ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau
terbang ke pantai tidak kurang 10 % jarak antara titik-titik terdekat pada pulaupulau yang berbatasan dengan alur laut tersebut. (Lihat pasal 53 ayat 5 Konvensi).
Untuk kepentingan pelayaran internasional (kapal-kapal asing), apabila
keadaan menghendaki suatu Negara Kepulauan dapat mengganti alur kepulauan dan
skema pemisah yang telah ditentukan, dengan alur laut ataupun skema pemisah
yang lain. Apabila suatu Negara Kepulauan tidak menentukan alur laut atau rute
penerbangan, hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan melalui rute yang
bisanya di gunakan untuk pelayaran internasional.
Setelah diumumkan terlebih dahulu suatu Negara Kepulauan dapat
mengganti alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan
sebelumnya dengan alur laut atau skema pemisah yang lain.
Mengenai kewajiban kapal dan pesawat udara selama melakukan lintas berlaku
kewajiban ketentuan mengenai hak lintas damai di laut teritorial, yaitu mematuhi
peraturan perundang-undangan Negara Kepulauan dan juga peraturan hukum
internasional.

BAB III
HAL LINTAS DAMAI MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL INDONESIA

A. Latar Belakang.
Dekrit Juanda yang dinyatakan melalui Pengumuman Pemerintah 13
Desember 1957 merupakan konsep kewilayahan perairan Indonesia, yang
menjadikan wilayah daratan dan wilayah perairan Indonesia merupakan satu
kesatuan yang tidap dapat dipisahkan. Yang melatar belakangi dikeluarkannya
Pengumuman Pemerintah ini salah satu di antaranya adalah atas dasar
pertimbangan, bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari
pemerintah kolonial jaman Hindia Belanda sebagaimana termaktub dalam “Teritorial
Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939 tidak sesuai lagi dengan kepentingan
2002 digitized by USU digital library

8

keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Pasal 1 ayat (1) Ordonantie
1939 tersebut menyatakan, bahwa laut teritorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur
dari garis pangkal air rendah (“laag waterlijn”) dari pada pulau-pulau yang
merupakan bagian dari wilayah daratan dari Indonesia.
Konsekwensi cara pengukuran laut teritorial menurut Ordonatie 1939, yaitu
secara teoritis Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, setiap pulaunya
mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri. Dapat dibayangkan bahwa keadaan itu
tidak menjamin keamanan Indonesia dan tidak menunjukkan persatuan Indonesia.
Hal yang demikian itu juga menyukarkan pelaksanaan tugas pengawas laut dengan
sempurna karewna susunan daerah atau pulau-pulau harus diawasi sedemikian
sulitnya. Kantong-kantong laut lepas ditengah-tengah diantara pulau-pulau atau
diantara wilayah daratan Indonesia tunduk pada rejim hukum laut lepas yang bebas
dilayari oleh semua negara.
Dengan dikeluarkannya Pengumuman Pemerintah 13 Desember 1957, cara
mengukur laut teritorial Indonesia diukur dari titik-titik terluar dari pulau-pulau
terluar, cara pengukuran yang demikian ini laut lepas sudah tidak ada lagi diantara
pulau-pulau karena telah menjadi perairan nusantara.
Oleh karena itu Pengumuman Pemerintah ini mempunyai akibat hukum yang
penting bagi pelayaran Internasional, karena bagian laut lepas yang tadinya bebas
dilayari untuk pelayaran internasional dijadikan bagian laut wilayah dan perairan
nusantara, yang berada di bawah kekuasaan hukum Indonesia.

B. Hak Lintas Damai Bagi Kapal Asing Di Perairan Indonesia.
Mengingat posisi geografis Indonesia yang merupakan persilangan antara
dua garis yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta
terletak diantara dua benua, yaitu benua Asia dan Australia, kehadiran kenderaan
diatas air (kapal) asing dalam rangka memperpendek jarak pelayarannya merupakan
suatu hal yang tidak dapat dihindari. Karena itu dengan tetap mengutamakan
sebagai masyarakat internasional yang menginginkan persahabatan antar bangsa di
dunia ini, maka kita tidak begitu saja meniadakan kebebasan berlayar di perairan
Indonesia tersebut. Untuk menjamin kepentingan pelayaran internasional ini, maka
dalam Pengumuman Pemerintah 13 Desember 1957 tersebut diatas menyatakan :
“Lalu lintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing
terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan
keselamatan Negara Indonesia. Penentuan laut teritorial yang lebarnya 12
mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar
pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan
Undang-undang”.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, bahwa di Perairan Pedalaman
Indonesia dan di Laut teritorial Indonesia dijamin adanya hak lintas dama8i.
Peraturan Pemerintah ini kemudian ditingkatkan menjadi Undang-undang, pada
tanggal 18 Pebruari 1960 dengan UU No. 4/Prp/1960.
Setelah diundangkannya UU No. 4/Prp/1960, terutama oleh petugaspetugas di lapangan (di laut) dirasakan perlunya ketegasan kedudukan hak lintas
damai ini bagi kapal-kapal asing di perairan
Indonesia yang telah dijamin
keberadaannya oleh UU No. 4/Prp/1960. Karena itu tanggal 28 Juli 1962 Pemerintah
mengeluarkan Pengumuman Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Laut
Damai Kenderaan Air Asing.
Dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tersebut
menyatakan bahwa, lalu lintas damai bagi kenderaan asing di perairan pedalaman
Indonesia (perairan Nusantara) yang sebelumnya berlaku UU NO. 4 Tahun 1960
2002 digitized by USU digital library

9

merupakan laut lepas atau laut wilayah Indonesia dijamin keberadaannya untuk
kapal asing.
Sejalan dengan ketentuan pasal 14 s/d 17 Konvensi Hukum Laut 1958, yang
dimaksud dengan lalu lintas damai dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962
adalah :
“pelayaran untuk maksud damai yang melintas laut wilayah dan perairan
pedalaman Indonesia dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan
sebaliknya, dan dari laut bebas ke laut bebas”. (Pasal 2).
Menurut ketentuan pasal 2 Peraturan Pemerintah tersebut, penulis dapat
memberikan kejelasan, bahwa pengertian perairan pedalaman adalah sama dengan
“perairan Nusantara” atau “perairan kepulauan” dalam KHL 1982.
Selanjutnya dalam pasal 3 dinyatakan bahwa, lalu lintas kapal asing
dianggap damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum,
kepentingan dan/atau tidak mengganggu perdamaian Republik Indonesia. Lalu lintas
laut damai kapal asing dianjurkan melalui alur-alur laut yang dicantumkan dalam
buku-buku kepanduan bahari yang berlaku dalam dunia pelayaran. Dalam
pengertian lintas damai ini tidak termasuk membuang sauh dan/atau mondarmandir tanpa alasan yang syah di perairan Indonesia. Untuk menjamin kedaulatan
dan keselamatan Negara, Pemerintah Indonesia dapat melarang untuk sementara
waktu lalu lintas damai kenderaan air asing di bagian-bagian tertentu dari perairan
Indonesia.
Selain ketentuan tentang lintas damai yang bersifat umum sebagaimana
yang dijelaskan tersebut diatas, PP No. 8 Tahun 1962, juga memuat ketentuanketentuan yang mengatur lintas damai untuk kapal-kapal yang berjenis khusus,
yakni kapal penelitian, kapal nelayan dan kapal-kapal perang dan kapal pemerintah
bukan niaga. (Mochtar, Bunga ..., 1979, 35).
Untuk penelitian ilmiah kelautan yang dilakukan oleh kapal asing di perairan
Indonesia memerlukan ijin dari Pemerintah Indonesia. Sedangkan untuk kapal
perang asing yang hendak melakukan lintas damai di perairan Indonesia harus
terlebih dahulu memberitahukannya kepada Menteri/KSAL.
Dalam perkembangannyadengan telah ditetapkannya alur-alur pelayaran di
perairan Nusantara, maka kapal perang dan kapal Pemerintah non kapal niaga serta
kapal-kapal nelayan harus lewat melalui alur-alur laut tersebut. Bagi kapal-kapal
perang asing yang melalui alur-alur pelayaran demikian tidak perlu lagi memenuhi
persyaratan pemberitahuan/ notifikation yang berlaku bagi lintas damai di perairan
nusantara.

C. Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1996 Tentang Perairan
Indonesia.
Tidak diterimanya konsepsi Negara Kepulauan dalam Konperensi Hukum
Laut PBB I pada tahun 1958, Indonesia telah mengambil tindakan sepihak sebagai
Negara Kedaulatan (Negara Nusantara) dengan mengumumkan UU No. 4/Prp/1960
dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai Kenderaan
Air Asing.
Sejalan dengan perkembangan Hukum Laut Internasional yaitu dengan
diterimanya konsepsi Negara Kepulauan dalan Konperensi Hukum Laut PBB III,
maka pengaturan Negara Kepulauan mendapat pengaturan dalam Konvensi Hukum
Laut 1982 BAB IV pasal 46 sampai dengan pasal 54. Dengan demikian konsepsi
Negara Kepulauan
(Negara Nusantara) telah mendapat pengakuan secara
Internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 ini telah diratifikasi Indonesia dengan
Undang-undang No. 17 Tahun 1985.
2002 digitized by USU digital library

10

Untuk menyesuaikan pengaturan mengenai Negara Kepulauan dengan KHL
1982, Indonesia telah mencabut Undang-undang No. 4/Prp/1960 dan menggantinya
dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Pengaturan mengenai lintas damai bagi kapal-kapal asing dalam BAB III
pasal 11 sampai dengan 17 sedangkan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan diatur dalam
pasal 18 sampai dengan pasal 19.
Pada dasarnya pengaturan lintas damai dan lintas alur kepulauan di perairan
Indonesia adalah sama dengan UU No. 4/Prp/1960 dan PP No. 8 Tahun 1962, yaitu
tujuannya untuk kepentingan keamanan, ketertiban dan kedamaian Negara
Indonesia.
Beberapa diantara perkembangan pengaturan lintas damai dalam Undangundang No. 6 Tahun 1996, yaitu diaturnya lintas damai kapal asing yang bertenaga
nuklir dan juga kapal-kapal yang mengangkut bahan-bahan yang berbahaya atau
beracun. Lain dari pada itu diatur lebih lengkap pengaturan mengenai lintas alur laut
kepulauan, dan skema pemisah lalu lintas.
Dapat dijelaskan pemberian lintas damai atau lintas alur kepulauan dalam
UU No. 4/Prp/1960 hanya merupakan kelonggaran yang diberikan Pemerintah
Indonesia kepada kapal-kapal asing untuk mengurangi tantangan dari masyarakat
untuk pengguna laut. Sedangkan dalam UU No. 16 Tahun 1996 hak lintas damai
atau hal lintas alur Kepulauan merupakan ketentuan KHL 1982 yang di
implementasikan dalam pasal 18 dan 17 UU No. 9 Tahun 1996.
Dalam UU No. 6 Tahun 1996 diperjelas mengenai pengertian wilayah
Perairan Indonesia, yaitu terdiri dari laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan dan
perairan pedalaman 9pasal 3 ayat 1).
Istilah perairan pedalaman (perairan nusantara) dalam UU No. 4/Prp/1960
dan PP No. 8 Tahun 1962 diganti dengan sebutan perairan kepulauan Indonesia,
yaitu semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan
tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya dari pantai. Sedangkan pengertian
perairan pedalaman Indonesia menurut UU No. 6 Tahun 1996 adalah semua perairan
yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia,
termasuk kedalamannya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat
dari suatu garis penutup. Perairan pedalaman ini terdiri atas :
a. Laut pedalaman
b. Perairan darat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Lintas Damai dan hak alur kepulauan
serta skema pemisah lalu lintas laut di atur dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan
Pemerintah mengenai hal-hal tersebut untuk sementara sampat saat ini belum ada.
Selama Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang No. 6
Tahun 1996 belum ditetapkan, maka peraturan pelaksanaan Undang-undang No. 4
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia tetap berlaku yaitu PP No. 8 Tahun 1962
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan
Undang-undang ini (UU No. 6 Tahun 1996) (lihat pasal 25).

2002 digitized by USU digital library

11

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan.
a. Kedaulatan Negara pantai atas laut teritorialnya dibatasi oleh ketentuan Hukum
Internasional, yaitu adanya hak lintas
damai (“the right of innocent passage”) di laut teritorial, bagi kapal-kapakl asing.
b. Sejalan dengan perkembangan Hukum Laut Internasional dengan diterimanya
konsepsi Negara Kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut 1982, maka lintas
damai tidak saja dilaut teritorial tapi juga hak lintas damai atau lintas alur
kepulauan di perairan Kepulauan.
c. Bagi kapal-kapal asing yang melakukan lintas damai di perairan laut teritorial
dan juga di perairan kepulauan harus mematuhi peraturan perundang-undangan
nasional dari Negara pantai atau Negara Kepulauan dan juga mematuhi
peraturan internasional.
d. Untuk perlindungan dirinya Negara pantai dan Negara Kepulauan dapat
mengambil tindakan atau langkah yang diperlukan dalam laut teritorialnya atau
perairan kepulauannya untuk mencegah lintas damai dan atau menangguhkan
sementara lintas damai bagi kapal asing apabila penangguhan itu sangat
diperlukan untuk perlindungan keamanannya atau latihan senjata.
e. Dengan diratifikasinya Konvensi Hukum Laut 1982 melalui UU No. 17 Tahun
1985, harus menyesuaikan
pengaturan mengenai Negara Kepulauan yang
terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982, yang memuat perkembanganperkembangan dalam pengaturannya.
f. Untuk menyesuaikan pengaturan mengenai Negara Kepulauan yang terdapat
dalam Konvensi Hukum Laut 1982 Indonesia telah mencabut UU No. 4/Prp/1960
tentang Perairan Indonesia dan menggantinya dengan UU No. 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia.
g. Pengaturan mengenai Hak lintas damai dan hak lintas alur kepulauan yang
terdapat dalam UU No. 6 Tahun 1996 pada dasarnya sama dengan UU No.
4/Prp/1960, yaitu selain untuk menjamin kepentingan pelayaran internasional
dan kepentingan keamanan, ketertiban dan perdamaian Negara Indonesia.
h. Dalam beberapa hal terdapat perkembangan-perkembangan pengaturan
mengenai lintas damai di laut teritorial dan lintas alur laut kepulauan di perairan
kepulauan, bagi kapal asing sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982.
2. Saran-saran.
a.

b.

Untuk mekanisme pelaksanaan peraturan perundang-undangan Indonesia,
sebaiknya secepanya ditetapkan Peraturan Pelaksana dari Undang-undang No. 6
Tahun 1996 tentang perairan Indonesia.
Perlu disebarluaskan kepada masyarakat melalui intansi-instansi yang terkait
mengenai Undang-undang No. 6 Tahun 1996 ini, agar masyarakat mengetahui
pengaturan Undang-undang ini masih baru diundangkan dan belum ditehaui oleh
masyarakat terutama dikalangan Perguruan tinggi.

2002 digitized by USU digital library

12

DAFTAR KEPUSTAKAAN

- Djalal Hasjim, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Binacipta,
Bandung, 1978.
- Hartono Dimyati, Yurisdiksi Nasional Indonesia Sebagai Negara Nusantara,
Binacipta, Bandung, 1983.
- Kusumaaatmadja Mochtar, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung,
1978.
-

Starke,

J.G., An Introduction to International
Butterwordhs, London, 1984.

Law,

Ninth

edition,

- W., Koers, Albert, 1994, Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang
Hukum Laut, Gajah Mada University, Press, Yogyakarta.
- Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut 1982.
- Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut 1982.
- UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia.
- PP No. 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai Bagi Kapal Asing.
- UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa
tentang Hukum Laut 1982.
- UU No. 6 Tahun tentang Perairan Indonesia.

2002 digitized by USU digital library

13