Pencurian Monopoli dan Persoalan Air War
Pencurian, Monopoli, dan Persoalan Air Warga Kota Bandung
*Tulisan ini merupakan ulasan buku Zaky Yamanii
Oleh Bagas Yusuf Kausan
“Jangan pernah menjual air, pamaliii!” kata Rukayah.
Seorang aktivis dari India, Vandana Shiva, sempat menyatakan bahwa;
sebagai hak asasi manusia, hak atas air merupakan hak guna, air boleh
dimanfaatkan, tetapi tidak bisa dimiliki. Pandangan serupa, sebenarnya dapat kita
jumpai dalam pandangan Islam mengenai agraria, terkhusus yang berkaitan
dengan persoalan air. Seperti yang digambarkan secara historis oleh Gita
Anggraeni, Islam mengharamkan tiga hal untuk diprivatisasi dan dikomersialisasi
bagi keuntungan pribadi. Ketiga hal tersebut ialah: Api, Padang Rumput, dan Airiii.
Kedua pandangan diatas, rasanya cukup untuk mengafirmasi bahwa air,
memang merupakan hak asasi dan kebutuhan mendasar manusia. Maka dari itu,
segala bentuk privatisasi dan komersialisasi atas air, menjadi hal yang tidak dapat
dibenarkan. Dan pemerintah sebagai pemilik kuasa, wajib memastikan
terjaminnya hak dan akses air warganya secara adil. Melalui buku Zaki Yamani
ini, kita dapat melihat telikung persoalan yang mengitari akses dan pengelolaan
air, khususnya di Kota Bandung.
Buku ini, hadir sebagai tindak lanjut peliputan investigasi Zaky Yamani,
yang proposalnya lolos dalam Mochtar Lubis Fellowship tahun 2010. Sebagai
buku yang dihasilkan dari peliputan investigasi, serta menggunakan bahasa
penulisan jurnalistik, Zaky Yamani berhasil menyampaikan maksud buku ini
secara artikulatif. Disamping itu, pihak-pihak yang paling merasakan dan
bertanggung jawab terkait persoalan air warga Kota Bandung, direkam secara
menarik oleh Zaky Yamani. Warga yang tidak mendapat akses air, warga yang
melakukan monopoli mata air dengan menjualnya kembali, serta PDAM yang
gagal menjamin akses air bersih bagi warga Kota Bandung, merupakan secuil
pihak-pihak yang digambarkan secara naratif.
“di sini air ngocornyaiv baru pukul sepuluh malam sampai pukul lima
pagi…. sudah lama menunggu, airnya hanya bisa dipakai mandi dan mencuci
baju. Pada musim hujan seperti ini, air PDAM agak hitam dan berbau…”. Ujar
Tapip selepas begadang menanti air. Berbeda halnya dengan yang diungkapkan
Sumiyati, “Kalau tidak punya sumber air, hidup di sini bisa balangsakv. Untuk air
saja sudah habis berapa?... wah, sudahlah, pokoknya repot!”. Dua kutipan
percakapan tersebut, dituliskan oleh Zaky Yamani sebagai penggambaran bahwa
persoalan akses air bagi warga—terutama dari lapisan ekonomi yang lemah—
menjadi persoalan yang vital.
Bergeser sedikit ke daerah Braga yang kerap menjadi landmark Kota
Bandung, Rohman beserta warga RW 08 lainya justru menggantungkan kebutuhan
airnya kepada fasilitas air yang diberikan oleh Braga City Walk. Ketergantungan
tersebut dimulai ketika pembangunan hotel dan apartemen Braga, membuat air
tanah warga tersedot semua sehingga air menjadi habis. Menindaklanjuti
keringnya
air
tanah
tersebut,
warga
berbondong-bondong
meminta
pertanggungjawaban pihak Braga, hingga akhirnya dikabulkan dalam bentuk
pemberian fasilitas air berupa toren. Meski mendapat fasilitas air dari pihak Braga
City Walk, Rohman mengatakan, “Akan tetapi, ya itu masalahnya, airnya tidak
bisa diminum. Kalau dimasak, warnanya berubah menjadi hitam seperti bekas air
cucian daging…oleh karena itu, warga tidak berani menggunakan air dari Braga
City Walk untuk minum atau memasak”.
Untuk kasus warga dengan Braga City Walk, rasanya ada yang terlewatkan
dari investigasi yang dilakukan oleh Zaky Yamani. Terutama terkait apakah air
yang menghitam ketika dimasak tersebut, berlaku sama bagi air yang tersedia di
hotel ataupun apartemen Braga? Atau jangan-jangan, air yang demikian sebatas
hanya dirasakan warga yang terdampak pembangunan hotel dan apartemen. Jika
demikian, air warga yang lancar dan layak minum sebelum pendirian hotel dan
apartemen, justru digantikan oleh air yang tidak layak konsumsi oleh pihak Braga
City Walk—dengan dalih upaya tanggungjawab mereka.
Selain itu, dengan berkaca pada semakin gencarnya ekspansi pendirian
hotel di Bandung, investigasi Zaky Yamani akan semakin menarik takala ia
mampu merekam dan mengkalkulasi hilangnya akses air warga Kota Bandung,
ketika pendirian hotel dan apartemen di Bandung kian marak terjadi. Tentunya,
investigasi semacam ini tidaklah mudah. Namun jika benar bisa dilakukan, lampu
merah pendirian hotel dan apartemen guna menunjang tren Bandung sebagai kota
pariwisata, dapat sesegera mungkin dinyalakan. Dengan menilik satu contoh kasus
saja (Braga City Walk), kita dapat membayangkan berapa banyak warga yang air
tanahnya semakin mengering akibat dari pendirian hotel dan apartemen di
Bandung. Kalkulasi data tersebut, dapat pula digunakan sebagai cermin bahwa
imajinasi menjadi kota metropolitan dengan suburnya pertumbuhan hotel dan
apartemen mewah, memiliki ongkos sosial-ekonomi yang tidak sedikit. Yaitu,
tercerabutnya hak dasar warga Kota Bandung dalam mengakses air yang layak.
Kembali ke isi buku Zaky Yamani, satu persoalan lain yang cukup menarik
ialah tentang penguasaan mata air-mata air sekitaran Bandung, untuk kemudian
diperjualbelikan kepada warga yang terpaksa tergantung kepada para penjual air.
Banyak sebab yang menjadi latarbelakang mengapa warga perlu untuk membeli
air kepada para pemonopoli mata air. Disamping karena memang air tanah
daerahnya yang kering, air PDAM yang tidak lancar, ataupun memang tidak
memiliki alternatif lain untuk mengakses air. Dengan bahasa yang mudah
dipahami, Zaky Yamani mengilustrasikan monopoli mata air di hulu, hingga ke
bisnis penjualan air bersih di hilirnya.
Untuk menopoli mata air di hulu, seperti yang dituliskan Zaky Yamani,
dilakukan oleh masyarakat yang memiliki sumber daya lebih (modal) dengan
melakukan privatisasi mata air di beberapa tempat di Bandung. Contohnya, seperti
yang terjadi di wilayah Sindang Jaya dan Sindang Laya, dimana empat mata air
disana telah dikuasai oleh masyarakat yang menangkap tidak meratanya distribusi
air di Kota Bandung, sebagai pangsa pasar dan peluang bisnis yang menggiurkan.
Dari penuturan Nasrudin selaku pebisnis air bersih, kita dapat melihat bahwa
dalam satu hari saja, Nasrudin mampu menjual air dari mata air yang dikuasainya
sebanyak 7 truk berkapasitas 5000 liter seharga Rp. 15.000 rupiah. Jika dihitung
perbulan, terminal air Nasrudin mendapatkan omset senilai Rp.3.150.000 dengan
perhitungan bahwa air yang terjual ialah sebanyak 1.050.000 liter atau 1.050
meter kubik.
Alur penjualan air tersebut, berlanjut ke pebisnis truk tangka air yang
kerap mencantumkan tulisan semacam “Air Sehat Pegunungan”, “Air
Pegunungan Asli”, dibadan truknya. Seorang pemilik truk tangki, Rully, mengaku
biasa membeli air dari terminal air dengan harga Rp. 12.000 hingga Rp. 15.000
per 5000 liter. Rully kemudian menjual kembali air tersebut ke depot air minum
isi ulang seharga Rp. 120.000 per 5000 liter. Dari penjualan tersebut, Rully
mendapatkan keuntungan kotor setidaknya Rp.108.000,00 atau sekitar 900 persen
dari modal yang dia keluarkan untuk membeli air. Lebih lanjut, Rully mengaku
bahwa bisnis air bersih memang sangat menggiurkan, karena dalam satu hari saja
ia dapat mendapat keuntungan kotor sebesar Rp.432.000 atau Rp.12.960.000 per
bulan. Dan berdasar data pada tahun 2010, di Kota Bandung setidaknya terdapat
sekitar dua ribu depot air munum isi ulang. Setiap depot air itu rata-rata menjual
antara lima puluh sampai seratus botol air bervolume sembilan belas liter air per
hari, yang dijual setiap botol (umumnya disebut galon) seharga Rp.3.500 sampai
Rp.4000 untuk per botolnya.
Kenyataan eksploitasi air tersebut, akan terlihat semakin mengerikan
ketika melihat bahwa contoh alur bisnis air yang telah dijabarkan diatas, hanya
merupakan satu contoh kasus kecil saja. Gambaran privatisasi mata air yang
terjadi di Sindang Jaya dan Sindang Laya, hanya merupakan dua contoh mata air
dari delapan puluh mata air yang ada di Bandung dan sekitarnya. Dari jumlah
tersebut, hanya sepuluh persen yang dimiliki Pemerintah Kota Bandung (cetak
tebal dari penulis), sedangkan sisanya milik privat. Monopoli mata air oleh warga
yang memiliki modal berlebih ini, diperparah dengan tidak adanya aturan resmi vi
dan ketat dari pihak pemerintah untuk menghentikan laju bisnis air bersih ini.
Maka alih-alih mendistribusikan air secara adil dan merata bagi warga secara
keseluruhan, praktik privatisasi air justru menjadi ruang mendulang keuntungan
sebanyak-banyaknya bagi segelintir pebisnis yang bermain di dalamnya, dari hulu
ke hilir.
Keuntungan yang luar biasa dari bisnis monopoli dan penjualan air bersih
yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya masih dalam taraf bisnis yang skalanya
tergolong kecil. Bisnis air dalam skala besar, seperti halnya yang dilakukan
Perusahaan Danone Aqua misalnya, perlu pula untuk diangkat ke permukaan.
Seperti yang dilansir dari sebuah portal berita, jumlah air yang dikuras dari mata
air di Klaten oleh Perusahaan Danone Aqua, mencapai 64 liter per detik vii. Itu
artinya, dalam satu hari saja, perusahaan yang berasal dari Prancis tersebut
mengambil air dari mata air di Klaten sebanyak 5.529.600 liter air. Ditaksir, dalam
satu tahunnya perusahaan air kemasan ini mendapatkan keuntungan senilai Rp.
960 miliar (Data tahun 2013). Tak jarang ekspolitasi air yang dilakukan
perusahaan air raksasa semacam Aqua, diiringi pula dengan konflik yang terjadi
dimana mata air itu berada. Konflik yang terjadi di Subang, Banten, ataupun
Klaten, adalah sedikit contohnya. Dari ketiga contoh tersebut, lagi-lagi
masyarakat sekitarlah yang menerima dampak paling nyata, terutama terkait
hilangnya akses air yang telah sejak dahulu kala menjadi sumber penghidupan.
Topik lain yang dikemukakan Zaky Yamani dalam bukunya ini, ialah
tentang bagaimana pemerintah mengabaikan persoalan air, serta tentang
persoalan-persoalan yang mendera PDAM sebagai institusi pemerintahan yang
membidangi penyediaan air bagi warga. Zaky Yamani memulai pembahasannya
dengan mempertanyakan sekaligus menggugurkan asumsi PDAM Kota Bandung
yang mengklaim 65 persen warga Kota Bandung, telah mendapatkan pelayanan
air bersih dari PDAM. Jika mengikuti klaim PDAM Kota Bandung, maka
sebanyak 1.543.228 penduduk Kota Bandung sudah menikmati air PDAM.
Berlainan dengan klaim yang dikemukakan PDAM, Zaky Yamani justru
menyodorkan data yang sangat berbeda. Dalam perhitungannya, PDAM hanya
mampu menyediakan air bagi warga kota Bandung sebanyak 24,75 persen semata.
Atau, hanya 587.740 warga Kota Bandung saja yang mencicipi air bersih dari
PDAM. Sementara kebutuhan domestik air warga Kota Bandung saja, berkisar
221.898,29 meter kubik per hari dan untuk usaha sebanyak 48.084,43 kubik
perhari.
Angka cakupan pelayanan air PDAM bagi warga Kota Bandung,
menjadi penting untuk ditentukan, Karena dari presentase tersebut, kita dapat
melihat seberapa besar presentase warga yang mendapat akses air Non-PDAM.
Jika kita menggunakan pembulatan persentase yang dikemukakan Zaky Yamani
(30 persen), maka sekitar 70 persen warga Kota Bandung—diluar warga yang
menggunakan sumur pompa—yang kemudian dilihat sebagai pasar oleh para
penjual air, serta harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan air bersih. Baik
itu dengan membeli air dari pelanggan PDAM, dari pengelola keran umum
PDAM, dari penjual air tangka, atau dari penjual air minum isi ulang.
Mengacu pada laporan pemerintah kota ke DPRD tahun 2005, terdapat 40
persen warga yang berpenghasilan Rp. 241.500 perbulan, 40 persen warga lainnya
berpenghasilan Rp.479.250 per bulan, dan hanya 20 persen saja warga yang
berpenghasilan menyentuh angka Rp.2.179.500 per bulan. Jika warga yang tidak
mendapat akses air dari PDAM disarankan untuk membeli air dari penjual swasta,
maka terdapat setidaknya 40 persen warga yang defisit penghasilannya. Dari ratarata penghasilan Rp.241.500 per bulan, Rp.180.000 habis untuk membeli air
bersih. Dan 40 persen lainnya yang berpenghasilan rata-rata Rp.479.250, hanya
akan menyisakan uang mereka sejumlah Rp.299.250 setelah memenuhi
kebutuhannya membeli air.
Data yang digunakan oleh Zaky Yamani merupakan data yang terbit pada
tahun 2005 (sebelum sensus tahun 2010). Meski terkesan lampau, namun data
tersebut cukup menggambarkan bagaimana persoalan air di Kota Bandung, benarbenar menjadi persoalan yang besar. Itupun belum ditambah persoalan kian
maraknya sumur artesis, yang biasanya digunakan warga yang bermukim di
perumahan, atau yang digunakan dalam industri. Maka semakin menjamurnya
perumahan di Kota Bandung, tentu akan berbanding lurus dengan makin
membludaknya sumur artesis. Padahal, eksploitasi sumur artesis secara besarbesaran, secara tidak langsung akan mempersulit dan memperdalam galian akses
ke air tanah (pompa/sumur), setelah sebelumnya terut mengakibatkan penurunan
muka tanah. Ketika hal ini terus dibiarkan, maka air yang dihasilkan dari
sumur/pompa pun lama kelamaan akan menyusut dan mengering. Jika sudah
demikian, maka warga yang sebelumnya menggantungkan akses airnya kepada
sumur/pompa, perlahan-lahan hanya akan memiliki dua pilihan: Menjadi
pelanggan PDAM, atau masuk ke dalam jebakan pasar; membeli air ke pihak
swasta.
PDAM, alih-alih sesegera mungkin menyelesaikan persoalan air Kota
Bandung, justru memiliki persoalan lain di dalam tubuhnya. Pada bagian ini, Zaky
Yamani menulis judul sebagai berikut: Pencurian Air, Premanisme, dan Persoalan
Politik di PDAM Kota Bandung. Dengan menukil dari data Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jawa Barat, Zaky Yamani
menuliskan bahwa 30 juta meter kubik air yang diproduksi PDAM Kota Bandung
—atau air sebanyak 181,81 kolam seluas lapangan sepakbola standar
Internasional, dengan kedalaman 20 meter—hilang setiap tahunnya. Atau jika
dijabarkan dalam angka, dalam setahun (2009) PDAM Kota Bandung kehilangan
30.070.768 meter kubik (42,57 persen dari total volume yang didistribusikan).
Hilangnya air dalam jumlah yang besar tersebut, disebabkan oleh beberapa
hal. Diantaranya ialah water mater yang bermasalah, banyaknya jaringan yang
melampaui umur teknisnya, belum semua jaringan dilengkapi meteran induknya
(meter zoning), masih adanya sambungan langganan tidak resmi, serta banyaknya
water meter yang belum dikalibrasi. Selain itu, terdapat sekitar 4.575 pelanggan
sosial, 285.339 pelanggan rumah tangga, 49.440 pelanggan niaga, dan 2.082
pelanggan industri, yang kubikasi pemakaiannya tidak pernah beranjak dari angka
nol meter.
Jumlah kehilangan air yang sedemikian besarnya, disebabkan pula oleh
perilaku sebagian pegawai PDAM yang terlibat dalam pemasangan sambungan
pipa illegal dan/atau terlibat dalam rekayasa meteran air sehingga ratusan ribu
rekening pelanggan PDAM, tidak pernah beranjak dari angka nol meter. Tak
jarang, para oknum pegawai PDAM tersebut juga berani menantang para
atasannya. Keberanian pegawai tersebut, didorong oleh kedekatan dan sokongan
dalam bentuk perlindungan, oleh sebuah Organisasi Masyarakat bernama
Angkatan Muda Siliwangi (AMS). Ormas ini memiliki klik dengan pemerintah
dan Wali Kota Dada Rosada. Maka dari itu, dengan kekuatan politik yang cukup
kuat, ‘mafia’ ditubuh PDAM ini pun sukar untuk dibinasakan.
Sebenarnya, warga tidak serta merta bungkam melihat kekacauan dan
buruknya pelayanan PDAM Kota Bandung. Warga Jalan Caringin Lumbung I,
Kecamatan Babakan Ciparay misalnya. Pada tanggal 23 Febuari 2011, warga
Jalan Caringin tersebut menggelar unjuk rasa karena air PDAM tidak mengalir
selama tiga bulan ke pemukiman mereka. Warga memasang spanduk sebagai
bentuk protes dan kekecewaannya atas pelayanan PDAM yang buruk.
Maman
Suparman,
selaku
perwakilan
warga
menceritakan;
“Kenyataannya, ditunggu semalaman, bahkan sampai hari kembali siang, air tidak
juga ngocor. Itu namanya penyiksaan. Warga dipaksa untuk begadang setiap
hari…”. Maman melanjutkan ceritanya bahwa “Akibat dari air PDAM yang tidak
ngocor, bukan hanya waktu tidur warga yang berkurang,…mereka pun harus
mengeluarkan uang tambahan untuk membeli air bersih…”. Maman beserta warga
lainya, merupakan korban nyata dari buruknya pelayanan PDAM Kota Bandung.
Terutama, mereka adalah korban hilangnya air sebanyak tiga puluh juta meter
kubik dalam setahun, yang sebenarnya, dimainkan pula oleh oknum pegawai yang
dilindungi ormas yang bersekutu dengan pemerintah.
*
Dengan segunung persoalan PDAM dan akses air bersih yang adil dan
merata bagi warga Kota Bandung, maka hari ini—setelah berganti walikota--,
apakah persoalan-persoalan tersebut akan dan/atau bisa selesai dibawah
kepemimpinan Ridwan Kamil selaku Wali Kota Bandung? Atau warga akan
kembali dirugikan, dan bahkan dipaksa melupakan, dengan sederet pembangunan
taman-taman kota sebagai bentuk ilusi selesainya persoalan Kota Bandung? Kita
layak menantikan!
i Zaky Yamani, Kehausan Di Ladang Air: Pencurian Air di Kota Bandung dan Hak Warga yang Terabaikan, (Bandung:
SvaTantra, 2012).
ii Sunda: Semacam Pantangan.
iii Lihat Gita Anggraeni, Islam dan Agraria: Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak
Ketidakadilan Agraria, (Yogyakarta: STPN Press, 2016).
iv Sunda: Mengalir.
v Sunda: Rusak atau hancur.
vi Hanya terdapat satu aturan resmi Pemerintah Kota Bandung tentang persoalan air. Yaitu Perda Kota Bandung no. 06
Tahun 2002 tentang manajemen penyediaan air. Namun, aturan itu hanya mengatur pembagian air untuk irigasi. Satu
pasal di dalamnya, hanya menyebut aturan tentang sektor swasta harus menndapatkan izin jika mengambil dan menjual
air bersih. Sektor swasta yang dimaksud ialah developer perumahan yang membangun perumahan di area yang belum
mendapat penetrasi pipa PDAM.
vii Merdeka.com, 23 Desember 2013.
*Tulisan ini merupakan ulasan buku Zaky Yamanii
Oleh Bagas Yusuf Kausan
“Jangan pernah menjual air, pamaliii!” kata Rukayah.
Seorang aktivis dari India, Vandana Shiva, sempat menyatakan bahwa;
sebagai hak asasi manusia, hak atas air merupakan hak guna, air boleh
dimanfaatkan, tetapi tidak bisa dimiliki. Pandangan serupa, sebenarnya dapat kita
jumpai dalam pandangan Islam mengenai agraria, terkhusus yang berkaitan
dengan persoalan air. Seperti yang digambarkan secara historis oleh Gita
Anggraeni, Islam mengharamkan tiga hal untuk diprivatisasi dan dikomersialisasi
bagi keuntungan pribadi. Ketiga hal tersebut ialah: Api, Padang Rumput, dan Airiii.
Kedua pandangan diatas, rasanya cukup untuk mengafirmasi bahwa air,
memang merupakan hak asasi dan kebutuhan mendasar manusia. Maka dari itu,
segala bentuk privatisasi dan komersialisasi atas air, menjadi hal yang tidak dapat
dibenarkan. Dan pemerintah sebagai pemilik kuasa, wajib memastikan
terjaminnya hak dan akses air warganya secara adil. Melalui buku Zaki Yamani
ini, kita dapat melihat telikung persoalan yang mengitari akses dan pengelolaan
air, khususnya di Kota Bandung.
Buku ini, hadir sebagai tindak lanjut peliputan investigasi Zaky Yamani,
yang proposalnya lolos dalam Mochtar Lubis Fellowship tahun 2010. Sebagai
buku yang dihasilkan dari peliputan investigasi, serta menggunakan bahasa
penulisan jurnalistik, Zaky Yamani berhasil menyampaikan maksud buku ini
secara artikulatif. Disamping itu, pihak-pihak yang paling merasakan dan
bertanggung jawab terkait persoalan air warga Kota Bandung, direkam secara
menarik oleh Zaky Yamani. Warga yang tidak mendapat akses air, warga yang
melakukan monopoli mata air dengan menjualnya kembali, serta PDAM yang
gagal menjamin akses air bersih bagi warga Kota Bandung, merupakan secuil
pihak-pihak yang digambarkan secara naratif.
“di sini air ngocornyaiv baru pukul sepuluh malam sampai pukul lima
pagi…. sudah lama menunggu, airnya hanya bisa dipakai mandi dan mencuci
baju. Pada musim hujan seperti ini, air PDAM agak hitam dan berbau…”. Ujar
Tapip selepas begadang menanti air. Berbeda halnya dengan yang diungkapkan
Sumiyati, “Kalau tidak punya sumber air, hidup di sini bisa balangsakv. Untuk air
saja sudah habis berapa?... wah, sudahlah, pokoknya repot!”. Dua kutipan
percakapan tersebut, dituliskan oleh Zaky Yamani sebagai penggambaran bahwa
persoalan akses air bagi warga—terutama dari lapisan ekonomi yang lemah—
menjadi persoalan yang vital.
Bergeser sedikit ke daerah Braga yang kerap menjadi landmark Kota
Bandung, Rohman beserta warga RW 08 lainya justru menggantungkan kebutuhan
airnya kepada fasilitas air yang diberikan oleh Braga City Walk. Ketergantungan
tersebut dimulai ketika pembangunan hotel dan apartemen Braga, membuat air
tanah warga tersedot semua sehingga air menjadi habis. Menindaklanjuti
keringnya
air
tanah
tersebut,
warga
berbondong-bondong
meminta
pertanggungjawaban pihak Braga, hingga akhirnya dikabulkan dalam bentuk
pemberian fasilitas air berupa toren. Meski mendapat fasilitas air dari pihak Braga
City Walk, Rohman mengatakan, “Akan tetapi, ya itu masalahnya, airnya tidak
bisa diminum. Kalau dimasak, warnanya berubah menjadi hitam seperti bekas air
cucian daging…oleh karena itu, warga tidak berani menggunakan air dari Braga
City Walk untuk minum atau memasak”.
Untuk kasus warga dengan Braga City Walk, rasanya ada yang terlewatkan
dari investigasi yang dilakukan oleh Zaky Yamani. Terutama terkait apakah air
yang menghitam ketika dimasak tersebut, berlaku sama bagi air yang tersedia di
hotel ataupun apartemen Braga? Atau jangan-jangan, air yang demikian sebatas
hanya dirasakan warga yang terdampak pembangunan hotel dan apartemen. Jika
demikian, air warga yang lancar dan layak minum sebelum pendirian hotel dan
apartemen, justru digantikan oleh air yang tidak layak konsumsi oleh pihak Braga
City Walk—dengan dalih upaya tanggungjawab mereka.
Selain itu, dengan berkaca pada semakin gencarnya ekspansi pendirian
hotel di Bandung, investigasi Zaky Yamani akan semakin menarik takala ia
mampu merekam dan mengkalkulasi hilangnya akses air warga Kota Bandung,
ketika pendirian hotel dan apartemen di Bandung kian marak terjadi. Tentunya,
investigasi semacam ini tidaklah mudah. Namun jika benar bisa dilakukan, lampu
merah pendirian hotel dan apartemen guna menunjang tren Bandung sebagai kota
pariwisata, dapat sesegera mungkin dinyalakan. Dengan menilik satu contoh kasus
saja (Braga City Walk), kita dapat membayangkan berapa banyak warga yang air
tanahnya semakin mengering akibat dari pendirian hotel dan apartemen di
Bandung. Kalkulasi data tersebut, dapat pula digunakan sebagai cermin bahwa
imajinasi menjadi kota metropolitan dengan suburnya pertumbuhan hotel dan
apartemen mewah, memiliki ongkos sosial-ekonomi yang tidak sedikit. Yaitu,
tercerabutnya hak dasar warga Kota Bandung dalam mengakses air yang layak.
Kembali ke isi buku Zaky Yamani, satu persoalan lain yang cukup menarik
ialah tentang penguasaan mata air-mata air sekitaran Bandung, untuk kemudian
diperjualbelikan kepada warga yang terpaksa tergantung kepada para penjual air.
Banyak sebab yang menjadi latarbelakang mengapa warga perlu untuk membeli
air kepada para pemonopoli mata air. Disamping karena memang air tanah
daerahnya yang kering, air PDAM yang tidak lancar, ataupun memang tidak
memiliki alternatif lain untuk mengakses air. Dengan bahasa yang mudah
dipahami, Zaky Yamani mengilustrasikan monopoli mata air di hulu, hingga ke
bisnis penjualan air bersih di hilirnya.
Untuk menopoli mata air di hulu, seperti yang dituliskan Zaky Yamani,
dilakukan oleh masyarakat yang memiliki sumber daya lebih (modal) dengan
melakukan privatisasi mata air di beberapa tempat di Bandung. Contohnya, seperti
yang terjadi di wilayah Sindang Jaya dan Sindang Laya, dimana empat mata air
disana telah dikuasai oleh masyarakat yang menangkap tidak meratanya distribusi
air di Kota Bandung, sebagai pangsa pasar dan peluang bisnis yang menggiurkan.
Dari penuturan Nasrudin selaku pebisnis air bersih, kita dapat melihat bahwa
dalam satu hari saja, Nasrudin mampu menjual air dari mata air yang dikuasainya
sebanyak 7 truk berkapasitas 5000 liter seharga Rp. 15.000 rupiah. Jika dihitung
perbulan, terminal air Nasrudin mendapatkan omset senilai Rp.3.150.000 dengan
perhitungan bahwa air yang terjual ialah sebanyak 1.050.000 liter atau 1.050
meter kubik.
Alur penjualan air tersebut, berlanjut ke pebisnis truk tangka air yang
kerap mencantumkan tulisan semacam “Air Sehat Pegunungan”, “Air
Pegunungan Asli”, dibadan truknya. Seorang pemilik truk tangki, Rully, mengaku
biasa membeli air dari terminal air dengan harga Rp. 12.000 hingga Rp. 15.000
per 5000 liter. Rully kemudian menjual kembali air tersebut ke depot air minum
isi ulang seharga Rp. 120.000 per 5000 liter. Dari penjualan tersebut, Rully
mendapatkan keuntungan kotor setidaknya Rp.108.000,00 atau sekitar 900 persen
dari modal yang dia keluarkan untuk membeli air. Lebih lanjut, Rully mengaku
bahwa bisnis air bersih memang sangat menggiurkan, karena dalam satu hari saja
ia dapat mendapat keuntungan kotor sebesar Rp.432.000 atau Rp.12.960.000 per
bulan. Dan berdasar data pada tahun 2010, di Kota Bandung setidaknya terdapat
sekitar dua ribu depot air munum isi ulang. Setiap depot air itu rata-rata menjual
antara lima puluh sampai seratus botol air bervolume sembilan belas liter air per
hari, yang dijual setiap botol (umumnya disebut galon) seharga Rp.3.500 sampai
Rp.4000 untuk per botolnya.
Kenyataan eksploitasi air tersebut, akan terlihat semakin mengerikan
ketika melihat bahwa contoh alur bisnis air yang telah dijabarkan diatas, hanya
merupakan satu contoh kasus kecil saja. Gambaran privatisasi mata air yang
terjadi di Sindang Jaya dan Sindang Laya, hanya merupakan dua contoh mata air
dari delapan puluh mata air yang ada di Bandung dan sekitarnya. Dari jumlah
tersebut, hanya sepuluh persen yang dimiliki Pemerintah Kota Bandung (cetak
tebal dari penulis), sedangkan sisanya milik privat. Monopoli mata air oleh warga
yang memiliki modal berlebih ini, diperparah dengan tidak adanya aturan resmi vi
dan ketat dari pihak pemerintah untuk menghentikan laju bisnis air bersih ini.
Maka alih-alih mendistribusikan air secara adil dan merata bagi warga secara
keseluruhan, praktik privatisasi air justru menjadi ruang mendulang keuntungan
sebanyak-banyaknya bagi segelintir pebisnis yang bermain di dalamnya, dari hulu
ke hilir.
Keuntungan yang luar biasa dari bisnis monopoli dan penjualan air bersih
yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya masih dalam taraf bisnis yang skalanya
tergolong kecil. Bisnis air dalam skala besar, seperti halnya yang dilakukan
Perusahaan Danone Aqua misalnya, perlu pula untuk diangkat ke permukaan.
Seperti yang dilansir dari sebuah portal berita, jumlah air yang dikuras dari mata
air di Klaten oleh Perusahaan Danone Aqua, mencapai 64 liter per detik vii. Itu
artinya, dalam satu hari saja, perusahaan yang berasal dari Prancis tersebut
mengambil air dari mata air di Klaten sebanyak 5.529.600 liter air. Ditaksir, dalam
satu tahunnya perusahaan air kemasan ini mendapatkan keuntungan senilai Rp.
960 miliar (Data tahun 2013). Tak jarang ekspolitasi air yang dilakukan
perusahaan air raksasa semacam Aqua, diiringi pula dengan konflik yang terjadi
dimana mata air itu berada. Konflik yang terjadi di Subang, Banten, ataupun
Klaten, adalah sedikit contohnya. Dari ketiga contoh tersebut, lagi-lagi
masyarakat sekitarlah yang menerima dampak paling nyata, terutama terkait
hilangnya akses air yang telah sejak dahulu kala menjadi sumber penghidupan.
Topik lain yang dikemukakan Zaky Yamani dalam bukunya ini, ialah
tentang bagaimana pemerintah mengabaikan persoalan air, serta tentang
persoalan-persoalan yang mendera PDAM sebagai institusi pemerintahan yang
membidangi penyediaan air bagi warga. Zaky Yamani memulai pembahasannya
dengan mempertanyakan sekaligus menggugurkan asumsi PDAM Kota Bandung
yang mengklaim 65 persen warga Kota Bandung, telah mendapatkan pelayanan
air bersih dari PDAM. Jika mengikuti klaim PDAM Kota Bandung, maka
sebanyak 1.543.228 penduduk Kota Bandung sudah menikmati air PDAM.
Berlainan dengan klaim yang dikemukakan PDAM, Zaky Yamani justru
menyodorkan data yang sangat berbeda. Dalam perhitungannya, PDAM hanya
mampu menyediakan air bagi warga kota Bandung sebanyak 24,75 persen semata.
Atau, hanya 587.740 warga Kota Bandung saja yang mencicipi air bersih dari
PDAM. Sementara kebutuhan domestik air warga Kota Bandung saja, berkisar
221.898,29 meter kubik per hari dan untuk usaha sebanyak 48.084,43 kubik
perhari.
Angka cakupan pelayanan air PDAM bagi warga Kota Bandung,
menjadi penting untuk ditentukan, Karena dari presentase tersebut, kita dapat
melihat seberapa besar presentase warga yang mendapat akses air Non-PDAM.
Jika kita menggunakan pembulatan persentase yang dikemukakan Zaky Yamani
(30 persen), maka sekitar 70 persen warga Kota Bandung—diluar warga yang
menggunakan sumur pompa—yang kemudian dilihat sebagai pasar oleh para
penjual air, serta harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan air bersih. Baik
itu dengan membeli air dari pelanggan PDAM, dari pengelola keran umum
PDAM, dari penjual air tangka, atau dari penjual air minum isi ulang.
Mengacu pada laporan pemerintah kota ke DPRD tahun 2005, terdapat 40
persen warga yang berpenghasilan Rp. 241.500 perbulan, 40 persen warga lainnya
berpenghasilan Rp.479.250 per bulan, dan hanya 20 persen saja warga yang
berpenghasilan menyentuh angka Rp.2.179.500 per bulan. Jika warga yang tidak
mendapat akses air dari PDAM disarankan untuk membeli air dari penjual swasta,
maka terdapat setidaknya 40 persen warga yang defisit penghasilannya. Dari ratarata penghasilan Rp.241.500 per bulan, Rp.180.000 habis untuk membeli air
bersih. Dan 40 persen lainnya yang berpenghasilan rata-rata Rp.479.250, hanya
akan menyisakan uang mereka sejumlah Rp.299.250 setelah memenuhi
kebutuhannya membeli air.
Data yang digunakan oleh Zaky Yamani merupakan data yang terbit pada
tahun 2005 (sebelum sensus tahun 2010). Meski terkesan lampau, namun data
tersebut cukup menggambarkan bagaimana persoalan air di Kota Bandung, benarbenar menjadi persoalan yang besar. Itupun belum ditambah persoalan kian
maraknya sumur artesis, yang biasanya digunakan warga yang bermukim di
perumahan, atau yang digunakan dalam industri. Maka semakin menjamurnya
perumahan di Kota Bandung, tentu akan berbanding lurus dengan makin
membludaknya sumur artesis. Padahal, eksploitasi sumur artesis secara besarbesaran, secara tidak langsung akan mempersulit dan memperdalam galian akses
ke air tanah (pompa/sumur), setelah sebelumnya terut mengakibatkan penurunan
muka tanah. Ketika hal ini terus dibiarkan, maka air yang dihasilkan dari
sumur/pompa pun lama kelamaan akan menyusut dan mengering. Jika sudah
demikian, maka warga yang sebelumnya menggantungkan akses airnya kepada
sumur/pompa, perlahan-lahan hanya akan memiliki dua pilihan: Menjadi
pelanggan PDAM, atau masuk ke dalam jebakan pasar; membeli air ke pihak
swasta.
PDAM, alih-alih sesegera mungkin menyelesaikan persoalan air Kota
Bandung, justru memiliki persoalan lain di dalam tubuhnya. Pada bagian ini, Zaky
Yamani menulis judul sebagai berikut: Pencurian Air, Premanisme, dan Persoalan
Politik di PDAM Kota Bandung. Dengan menukil dari data Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jawa Barat, Zaky Yamani
menuliskan bahwa 30 juta meter kubik air yang diproduksi PDAM Kota Bandung
—atau air sebanyak 181,81 kolam seluas lapangan sepakbola standar
Internasional, dengan kedalaman 20 meter—hilang setiap tahunnya. Atau jika
dijabarkan dalam angka, dalam setahun (2009) PDAM Kota Bandung kehilangan
30.070.768 meter kubik (42,57 persen dari total volume yang didistribusikan).
Hilangnya air dalam jumlah yang besar tersebut, disebabkan oleh beberapa
hal. Diantaranya ialah water mater yang bermasalah, banyaknya jaringan yang
melampaui umur teknisnya, belum semua jaringan dilengkapi meteran induknya
(meter zoning), masih adanya sambungan langganan tidak resmi, serta banyaknya
water meter yang belum dikalibrasi. Selain itu, terdapat sekitar 4.575 pelanggan
sosial, 285.339 pelanggan rumah tangga, 49.440 pelanggan niaga, dan 2.082
pelanggan industri, yang kubikasi pemakaiannya tidak pernah beranjak dari angka
nol meter.
Jumlah kehilangan air yang sedemikian besarnya, disebabkan pula oleh
perilaku sebagian pegawai PDAM yang terlibat dalam pemasangan sambungan
pipa illegal dan/atau terlibat dalam rekayasa meteran air sehingga ratusan ribu
rekening pelanggan PDAM, tidak pernah beranjak dari angka nol meter. Tak
jarang, para oknum pegawai PDAM tersebut juga berani menantang para
atasannya. Keberanian pegawai tersebut, didorong oleh kedekatan dan sokongan
dalam bentuk perlindungan, oleh sebuah Organisasi Masyarakat bernama
Angkatan Muda Siliwangi (AMS). Ormas ini memiliki klik dengan pemerintah
dan Wali Kota Dada Rosada. Maka dari itu, dengan kekuatan politik yang cukup
kuat, ‘mafia’ ditubuh PDAM ini pun sukar untuk dibinasakan.
Sebenarnya, warga tidak serta merta bungkam melihat kekacauan dan
buruknya pelayanan PDAM Kota Bandung. Warga Jalan Caringin Lumbung I,
Kecamatan Babakan Ciparay misalnya. Pada tanggal 23 Febuari 2011, warga
Jalan Caringin tersebut menggelar unjuk rasa karena air PDAM tidak mengalir
selama tiga bulan ke pemukiman mereka. Warga memasang spanduk sebagai
bentuk protes dan kekecewaannya atas pelayanan PDAM yang buruk.
Maman
Suparman,
selaku
perwakilan
warga
menceritakan;
“Kenyataannya, ditunggu semalaman, bahkan sampai hari kembali siang, air tidak
juga ngocor. Itu namanya penyiksaan. Warga dipaksa untuk begadang setiap
hari…”. Maman melanjutkan ceritanya bahwa “Akibat dari air PDAM yang tidak
ngocor, bukan hanya waktu tidur warga yang berkurang,…mereka pun harus
mengeluarkan uang tambahan untuk membeli air bersih…”. Maman beserta warga
lainya, merupakan korban nyata dari buruknya pelayanan PDAM Kota Bandung.
Terutama, mereka adalah korban hilangnya air sebanyak tiga puluh juta meter
kubik dalam setahun, yang sebenarnya, dimainkan pula oleh oknum pegawai yang
dilindungi ormas yang bersekutu dengan pemerintah.
*
Dengan segunung persoalan PDAM dan akses air bersih yang adil dan
merata bagi warga Kota Bandung, maka hari ini—setelah berganti walikota--,
apakah persoalan-persoalan tersebut akan dan/atau bisa selesai dibawah
kepemimpinan Ridwan Kamil selaku Wali Kota Bandung? Atau warga akan
kembali dirugikan, dan bahkan dipaksa melupakan, dengan sederet pembangunan
taman-taman kota sebagai bentuk ilusi selesainya persoalan Kota Bandung? Kita
layak menantikan!
i Zaky Yamani, Kehausan Di Ladang Air: Pencurian Air di Kota Bandung dan Hak Warga yang Terabaikan, (Bandung:
SvaTantra, 2012).
ii Sunda: Semacam Pantangan.
iii Lihat Gita Anggraeni, Islam dan Agraria: Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak
Ketidakadilan Agraria, (Yogyakarta: STPN Press, 2016).
iv Sunda: Mengalir.
v Sunda: Rusak atau hancur.
vi Hanya terdapat satu aturan resmi Pemerintah Kota Bandung tentang persoalan air. Yaitu Perda Kota Bandung no. 06
Tahun 2002 tentang manajemen penyediaan air. Namun, aturan itu hanya mengatur pembagian air untuk irigasi. Satu
pasal di dalamnya, hanya menyebut aturan tentang sektor swasta harus menndapatkan izin jika mengambil dan menjual
air bersih. Sektor swasta yang dimaksud ialah developer perumahan yang membangun perumahan di area yang belum
mendapat penetrasi pipa PDAM.
vii Merdeka.com, 23 Desember 2013.