Makalah Sejarah radikalime Pendidikan pd

MAKALAH
“ SEJARAH RADIKALISME PADA PENDIDIKAN ”

Disusun Oleh :
Sriekawati Kaberu ( 15.2.1.037 )
Semester : Lima (V)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MANADO
2017

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita mengenal Indonesia sebagai negara pluralis, di mana kemajemukan
hadir dan berkembang di dalamnya. Sebut saja, suku, ras, budaya, bahkan agama.
Kemajemukan yang terjadi di Indonesia pun tidak terlepas dari kemajuan di
berbagai bidang ilmu yang menyentuh berbagai sendi kehidupan masyarakat
Indonesia. Kemajemukan itu telah membawa akibat yaitu adanya perjumpaan

yang semakin intensif antar kelompokkelompok manusia. Salah satunya adalah
pergesekan yang seringkali terjadi di antara agama-agama yang berbeda. Ketika
keyakinan terhadap suatu agama itu cenderung dimutlakkan maka akan sangat
berpotensi pada timbulnya pergesekan atau ketegangan. Apabila hal itu tidak
segera diatasi maka semakin lama akan terjadi benturan yang mengakibatkan
terpecah belahnya serta perusakan-perusakan kehidupan manusia serta
mengancam kemajemukan yang telah ada. Ketika memfokuskan pada agama,
maka sesungguhnya ada fenomena yang menarik dalam hubungan antar umat
beragama di Indonesia
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka kami merumuskan beberapa
pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Menelaah kembali makna radikalisme.
2. Mengetahui cara pencegahan radikalisme di kalangan muda
3. Kemunculan

radikalisme

dan


factor-faktor

mengintegrasi dengan aksi kekerasan
4. Seberapa penting pengetahuan tentang radikalisme

multidemonsional

yang

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Radikalisme
Radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang mengingikan
perubahan atau pembaharuan social dan politikdengan cara kekerasan atau drastis.
Namun, dalam artian lain, esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam
mengusung perubahan. Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti
dari perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan.
Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan
sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Sementara
Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari

perdamaian. Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan
kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik.
Dawinsha mengemukakan defenisi radikalisme menyamakannya dengan teroris.Tapi
ia sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antara keduanya. Radikalisme
adalah kebijakan dan terorisme bagian dari kebijakan radikal tersebut. defenisi
Dawinsha lebih nyata bahwa radiklisme itu mengandung sikap jiwa yang membawa
kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan
menggantinya dengan gagasan baru. 1
Makna yang terakhir ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman negatif dan
bahkan bisa menjadi berbahaya sebagai ekstrim kiri atau kanan.

1

2015.

ApriawanKasnawir,“Peran Idiologi Pancasila Untuk membentengi diri dari Radikalisme”.

B. Kemunculan Radikalisme
Kata radikal itu sendiri berasal dari bahasa latin radix yang berarti akar(pohon)
Dan fundamentalisme bermakna dasar dan inti, fundamentalisme islam dengan

demikian adalah dasar dan inti ajaran islam. Gerakan ini dapat berada di wilayah
akademik, politis, bahkan ekonomis. Fundamentalis dengan radikal memang
saling berkaitan, keduanya memiliki kesamaan arti yang sama-sama bermakna inti,
kelompok radikalisme muncul dengan di landasipaham fundamentalis.
Sesungguhnya, sejarah munculnya fundamentalisme apabila di lacak secara
akademis baru tumbuh sekitar abad ke-19 dan terus mengemuka sampai sekarang.
Dalam tradisi barat sekuler hal ini di tandai keberhasilan industrialisasi pada hal-hal
positive di satu sisi tetapi negative disisi yang lain. Apa yang negative, yaitu
munculnya perasaan kekosongan jiwa, kemurungan hati, kehampaan, dan
ketidakstabilan perasaan. Iwan gunawan menyebutkan zaman fundamentalisme
dengan istilah zaman ironi, dimana sikap yang di tonjolkan adalah sedih melihat
teman senang dan merasa senang melihat teman sedih.
Sesungguhnya, sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok
fundamentalisme dalam islam lebih di rujuk karena dua factor 2, yaitu:
1. Faktor internal
Faktor internal adalah adanya legitimasi Teks keagamaan, dalam melakukan
“perlawanan” itu sering kali menggunakan legitimasi teks (baik teks keagamaan
maupun teks “cultural”) sebagai penopangnya. untuk kasus gerakan “ekstrimisme
islam” yang merebak hampir di seluruh kawasan islam(termasuk indonesia) juga
menggunakan teks-teks keislaman (Alquran, hadits dan classical sources- kitab

kuning) sebagai basis legitimasi teologis, karena memang teks tersebut secara tekstual
2

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.210

ada yang mendukung terhadap sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini. Seperti
ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk berperang seperti; Perangilah orangorang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan
mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan
tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam Keadaan tunduk. (Q.S. Attaubah: 29)
menurut gerakan radikalisme hal ini adalah sebagai pelopor bentuk tindak
kekerasan dengan dalih menjalankan syari’at , bentuk memerangi kepada orang-orang
yang tidak beriman kepada Allah dan lain sebagainya. Tidak sebatas itu, kelompok
fundamentalis dengan bentuk radikal juga sering kali menafsirkan teks-teks
keislaman menurut “cita rasa” merka sendiri tanpa memperhatikan kontekstualisasi
dan aspek aspek historisitas dari teks itu, akibatnya banyak fatwa yang
bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan yang Universal dan bertentangan dengan
emansipatoris islam sebagai agama pembebas manusia dari belenggu hegemoni.

Teks-teks keislaman yang sering kali di tafsirkan secara bias itu adalah tentang
perbudakan, status non muslim dan kedudukan perempuan.
Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini mengalami frustasi yang
mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”negara islam
internasional” sehingga pelampiasannya dengan cara anarkis; mengebom fasilitas
publik dan terorisme3.
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor
sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk
kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan
sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut).
3

Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,
1999), hlm. 122-123.

Hal ini terjadi pada peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh negara Israel terhadap
palestina, kejadian ini memicu adanya sikap radikal di kalangan umat islam terhadap
Israel, yani menginginkan agar negara Israel diisolasi agar tidak dapat beroperasi
dalam hal ekspor impor.


2. Faktor eksternal
Faktor eksternal terdiri dari beberapa sebab di antaranya : pertama, dari aspek
ekonomi-politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng dari nilai-nilai
fundamental islam. Itu artinya, rejim di negara-negara islam gagal menjalankan nilainilai idealistik islam. Rejim-rejim itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya
berkuasa dengan sewenang-wenang bahkan menyengsarakan rakyat. penjajahan
Barat yang serakah, menghancurkan serta sekuler justru datang belakangan, terutama
setelah ide kapitalisme global dan neokapitalisme menjadi pemenang.
Satu ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan untuk dijadikan “pasar
baru”. industrialisasi dan ekonomisasi pasar baru yang dijalankan dengan cara-cara
berperang inilah yang sekarang mengejawantah hingga melanggengkan kehadiran
fundamentalisme islam. Karena itu, fundamentalisme dalam islam bukan lahir karena
romantisme tanah (seperti Yahudi), romantisme teks (seperti kaum bibliolatery),
maupun melawan industrialisasi (seperti kristen eropa). Selebihnya, ia hadir karena
kesadaran akan pentingnya realisasi pesan-pesan idealistik islam yang tak dijalankan
oleh para rejim-rejim penguasa dan baru berkelindan dengan faktor-faktor eksternal
yaitu ketidakadilan global.4
Kedua, faktor budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang
mendominasi kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai musuh
besar yang harus dihilangkan dari bumi.
4


Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana,2007),hlm 210-213

Ketiga, faktor sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan
masalah teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya
radikalisme di kalangan umat islam.
C. Fakta-fakta aksi kekerasan dan implikasinya dalam masyarakat
Berbicara tentang radikalisme, lebih-lebih fundamentalisme, tak mungkin
menafikan adanya aksi-aksi yang memang berasaskan kekerasan, pemankasaan,
bahkan pembinasaan. Salah satunya adalah Pemboman-pemboman yang dilakukan di
Paris oleh kelompok-kelompok Islam Aljazair seperti pegawai islam bersenjata telah
memperburuk ketegangan-ketegangan di Prancis dan menambah jumlah dukungan
untuk mereka yang mempersoalkan apakah islam sesuai dengan budaya Prancis,
entah itu budaya yahudi-kristen atau budaya sekuler, dan apabila muslim dapat
menjadi warga negara Prancis yang sejati dan loyal. Penasehat menteri dalam negeri
tentang imigrasi mengingatkan, “Sekarang ini, memang benar-benar terdapat
ancaman Islam di Prancis itu adalah bagian dari gelombang besar fundamentalisme
muslim dunia.
Di tengah-tengah perdebatan Prancis terhadap suatu kecenderungan untuk melihat
islam sebagai agama asing, menempatkannya sebagai agama yang bertolak belakang

dengan tradisi Yahudi-Kristen. Sementara banyak orang menekankan proses asimilasi
yang menyisakan hanya sedikit ruang untuk pendekatan multikultural, sebagian yang
lain berpendapat bahwa muslim harus diizinkan untuk mengembangkan identitas
muslim Prancis yang khas yang mencampur antara nilai-nilai asli ke-Prancis-an,
dengan akidah dan nilai-nilai islam.5
Realita lain yang dikenal sebagai awal berkibarnya bendera perang terhadap
terorisme oleh AS, yaitu peristiwa 11 September yang merontokkan Gedung WTC
dan Pentagon merupakan tamparan berat buat AS. Maka, agar tidak kehilangan muka

5

Ahmad Norma Permata, Agama dan Terorisme, hal.78.

di dunia internasional, rezim ini segera melancarkan “aksi balasan” dengan
menjadikan Afghanistan dan Irak sebagai sasarannya (maaf, kambing hitamnya!).
Jika benar “benturan peradaban” antara Barat dan Islam terjadi tentu aksi koboi
AS (dan Inggris) ke Afghanistan dan Irak disambut gembira oleh umat Kristiani.
Faktanya ribuan rakyat (entah Kristen atau bukan) di berbagai belahan dunia Barat
justru menggalang solidaritas sosial untuk menentang aksi keji dan biadab ini. Begitu
ketika WTC dan Pentagon diledakkan, ribuan umat islam turut mengutuknya.

Meskipun reaksi di beberapa negara Amerika Latin banyak yang tidak simpati
terhadap peristiwa 11 September itu. Sebab, selama berpuluh-puluh tahun, rakyat di
sana tidak pernah menikmati kemajuan sekalipun sumber daya alam mereka yang
sudah habis dikuras. China juga bersikap kurang lebih sama dengan Amerika Latin
ini.

Pasalnya

mereka

justru

menganggap

adalah

AS

sendiri


yang

bersikaphostile karena surplus perdagangan bilateral memang berada di pihak China.
Akhirnya China, oleh AS, justru dianggap sebagai pesaing strategis ketimbang mitra
strategis dalam ekonomi.
D. Peran Idiologi Pancasila Untuk membentengi diri dari Radikalisme
Pancasila yang notabene merupakan pegangan hidup Bangsah Indonesia kini
mulai terkikis seiring pesatnya perkembangan Teknologi dan kuatnya arus Informasi
di Era Globalisasi saat ini. Pemerintah juga sekarang ini tengah sibuk terhadap
masyarakat yang berpergian Ke Sirya terkait ISIS. Padahahal seharusnya jika nilainilai Pancasila ini diserap baik oleh Bangsa Indonesia maka tidak perlu takut terhadap
faham-faham Radikalisme seperti ISIS, sebab Pancasila mengandung nilai-nilai luhur
yang bersifat fleksibel terhadap perkembangan zaman namun tetap memiliki Cirikhas
tersendiri.6

6

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Kencana,2009), hlm.144

Pancasila diera globalisasi merupakan tantangan baru bangsa ini. Arus informasi
yang semakin cepat sehingga paham-paham dunia barat USA dan Eropa sangat
mudah diakses oleh masyarakat Indonesia. Liberalisme yang dianut oleh dunia barat
kini merambat ke tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai dampak negative
globalisasi.
Idiologi Pancasila sebenarnya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman, hanya saja nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak terjiwai oleh
masyarakat Indonesia itu sendiri. Sehingga Paham Riberalis dan Radikalis bisa
dengan mudahnya menembus pemikiran bangsa ini. Banyak yang berpandangan
bahwa Pancasila identik dengan Orde baru (Orba), maka setelah runtuhnya Orba nilai
luhur Pancasila juga ikut runtuh.
Padahal Pancasila sebagai idiologi bangsa ini sangatlah penting difahami dan
dijiwai. Sebab nilai-nilai yang secara tersirat maupun tersurat memiliki tujuan yang
mulia dan dapat membawa bangsa ini kedalam peradaban yang baik. Ketika kita
mampu menjiwai Pancasila, tidak perlu takut dengan faham radikal dan riberal yang
meracuni pemikiran kita. Sebab Pancasila telah merumuskan nilainya sendiri
mengenai “MAU DIBAWA KEMANA BANGSA INI KEDEPANNYA”.
Saat ini MPR tengah sibuk mensosialisasikan 4 Pilar Berkehidupan Berbangsa
dan Bernegara yang mana terdiri dari Pancasila, UU 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan
NKRI. Ini memang harus ditanamkan sejak dini kepada anak cucu bangsa ini
kedepannya. Dan ini bukan hanya menjadi tugas MPR, tetapi tugas kita bersama
selaku warga Negara yang baik dan menjujung tinggi Idiologi Pancasila.7

7

Zubaidi, Pendidikan Berbasis Masyarakat, (Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai
Problem sosial), cet III (Yogyakarta : Pustaka Belajar , 2006) h, 115

E. Membentengi Pemuda dari Radikalisme
Tak bisa dimungkiri, pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa
depan negeri ini bertumpu pada kualitas mereka. 8 Namun ironisnya, kini tak sedikit
kaum muda yang justru menjadi pelaku terorisme. Serangkaian aksiterorisme mulai
dari Bom Bali-1, Bom Gereja Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel RitzCarlton,hingga aksi penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan Bom di Beji dan
Tambora, melibatkan pemuda. Sebut saja, Dani Dwi Permana, salah satu pelaku Bom
di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang saat itu berusia 18 tahun dan baru lulus
SMA.
Fakta di atas diperkuat oleh riset yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian (LaKIP). Dalam risetnya tentang radikalisme di kalangan siswa dan guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, pada Oktober 2010-Januari 2011,
LaKIP menemukan sedikitnya 48,9 persen siswa menyatakan bersedia terlibat dalam
aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral. Bahkan yang mengejutkan, belasan
siswa menyetujui aksi ekstrem bom bunuh diri tersebut.
Rentannya pemuda terhadap aksi kekerasan dan terorisme patut menjadi keprihatinan
kita bersama. Banyak faktor yang menyebabkan para pemuda terseret ke dalam
tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang damai,
gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya
pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan
lokal oleh arus modernitas negatif. Apapun faktor yang melatari, adalah tugas kita
bersama untuk membentengi mereka dari radikalisme dan terorisme. Untuk
membentengi para pemuda dan masyarakat umum dari radikalisme dan terorisme,
Badan Nasional

Penanggulangan

Terorisme

(BNPT),

menggunakan

upaya

pencegahan melalui kontra-radikalisasi (penangkalan ideologi). Hal ini dilakukan
8

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.190

dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di daerah,
Pelatihan anti radikal-terorisme bagi ormas, Training of Trainer (ToT) bagi sivitas
akademika perguruan tinggi, serta sosialiasi kontra radikal terorisme siswa SMA di
empat provinsi. Media Pusat, Damai. “Membentengi Pemuda dari Radikalisme dan
Terorisme”. 2013.

Di atas upaya-upaya kongkrit di atas, sejatinya ada beberapa hal yang patut
dikedepankan dalam pencegahan terorisme di kalangan pemuda.

9

Pertama, memperkuat pendidikan kewarganegaraan (civic education) dengan
menanamkan pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui pendidikan
kewarganegaraan,

para

pemuda

didorong

untuk

menjunjung

tinggi

dan

menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal seperti
toleransi antar- umat beragama, kebebasan yang bertanggungjawab, gotong royong,
kejujuran, dan cinta tanah air sertakepedulian antar-warga masyarakat.
Kedua, mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitas baik di
bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga. Kegiatankegiatan positif ini akan memacu mereka menjadi pemuda yang berprestasi dan aktif
berorganisasi di lingkungannya sehingga dapat mengantisipasi pemuda dari pengaruh
ideologi radikal terorisme.
Ketiga, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda
tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama

9

edukasi kompasiana. com /2015/04/03/ peran - idiologi-pancasila-untuk- membentengi- diri-

dari radikalisme- isis --716190.html

di lingkungan sekolah dan para pemuka agama di masyarakat sangat penting. Pesanpesan damai dari ajaran agama perlu dikedepankan dalam pelajaran maupun
ceramah-ceramah keagamaan.
Keempat, memberikan keteladanan kepada pemuda. Sebab, tanpa adanya
keteladanan dari para penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh masyarakat,
maka upaya yang dilakukan akan sia-sia. Para tokoh masyarakat harus dapat
menjadirole model yang bisa diikuti dan diteladani oleh para pemuda.
Berbagai upaya dan pemikiran di atas penting dan mendesak untuk dilakukan. Kita
tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum terhadap para pelaku terorisme
semata. Tapi, kita patut bersyukur, upaya-upaya tersebut telah dan sedang dilakukan,
baik pemerintah maupun masyarakat sipil seperi tokoh agama, akademisi, pemuda,
organisasi masyarakat, serta media massa.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Intitusi pendidikan pada dasarnya merupakan tempat untuk memanusiakan manusia.
Artinya bahwa ada upaya-upaya nyata, sadar dan sistematis yang dilakukan secara
terus menerus untuk merubah pola pikir dan pola sikap seseorang yang sebelumnya
tidak baik bahkan jahat menjadi baik, lebih baik dan sangat baik. konsep dasar
pendidikan inilah yang seharusnya menjadi acuan dan pedoman nyata bagi para
pendidik dalam rangka memanusiakan manusia. Kekerasan demi kekerasan apabila
terus berlanjut maka akan mematikan kreatifitas dan semangat belajar peserta didik.
Intitusi pendidikan yang diharapkan dapat menjadi media bagi pengembangan ajang
transfer dan transformasi budaya kekerasan dan budaya menghukum yang sangat
bertentangan

dengan

nilai-nilai

dan

konsep

dasar

pendidikan.

Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman
terhadap agama. Karena itu, upaya preventif yang tepat saat ini adalah dengan
merevitalisasi pendidikan agama dan akhlak disekolah, keluarga, maupun
masyarakat. Pendidikan dan pelajaran agama yang dijalankan saat ini hanya bersifat
formalitas, materi dan tidak mendorong pembentukan moral dan karakter siswa.
Selain itu alokasi jam pelajaran agama dan akhlak ditingkatkan dari sisi kuantitas dan
kualitasnya. Selain itu, materi pelajaran non-agama atau umum seharusnya juga
diarahkan pada penguatan akhlak dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari
esensi pendidikan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas. Karena Radikalisme tidak sesuai degan ajaran Islam
sehingga tidak patut untuk ditujukan dalam agama Islam karena sesungguhnya dalam
Islam tidak ada yang namanya radikalisme.

Dalam Al Qur’an dan Hadits sendiri memerintahkan umatnya untuk saling
menghormati dan menyayangi serta bersikap lemah lembut kepada orang lain
meskipun orang itu penganut agama lain.
B. Saran
Pembuatan makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan
sumber yang kami peroleh. Sehingga isi dari makalah ini masih bersifat umum, oleh
karena itu kami harapkan agar pembaca bisa mecari sumber yang lain guna
membandingkan dengan pembahasan yang kami buat, guna mengoreksi bila terjadi
kelasahan dalam pembuatan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu
Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
http://edukasi.kompasiana.com/2015/04/03/peran-idiologi-pancasila-untukmembentengi-diri-dari-radikalisme-isis--716190.html
http://damailahindonesiaku.com/membentengi-pemuda-dari-radikalisme-danterorisme.html
Kasnawir, Apriawan. “Peran Idiologi Pancasila Untuk membentengi diri dari
Radikalisme”. 2015.
Media Pusat, Damai. “Membentengi Pemuda dari Radikalisme dan Terorisme”. 2013.
Nizar Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Kencana
Putra, Haidar Daulay. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam
di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Subhan, Arief. 2012. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad Ke-20.Jakarta:
Kencana.
Zuhairini. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Zacky,“pengertian Radikalisme” 2013.http://2beahumanbeing.blogspot.com/2012/06/
makalah Radikalisme- pengertian Konsep html