Peran Kajian Etnografi Tanah Adat untuk

Peran Kajian Etnografi Tanah Adat untuk Pembaruan Hukum Pengakuan
dan Perlindungan Hak Masyrakat Adat di Tingkat Daerah
Oleh:
R. Yando Zakaria
Pusat Kajian Etnografi Hak Komunitas Adat (PUSTAKA)1

Pendahuluan
Situasi politik pengakuan hak-hak masyarakat adat menjadi lebih baik dengan
munculnya Putusan No. 35 Tahun 2012 tentang Kehutanan cq. Pasal 1 Angka 3,
dan seterusnya. Keistimewaan Putusan yang terakhir ini adalah bahwa
Mahkamah Konstitusi tidak lagi sekedar merumuskan kriteria dan
kondisionalitas yang diperlukan, melainkan sekaligus menggunakannya dalam
menilai legal standing dua komunitas masyarakat adat yang mengajukan judicial
review bersama AMAN.2
Pada intinya Putusan (-putusan) Mahkamah Konstutusi tersebut mengatur
tentang 3 kriteria pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat itu, lengkap
dengan penjelasan tentang kondisionalitas yang perlu dipenuhi untuk setiap
kriteria itu.
Tabel 1. Kriteria Masyarakat Hukum Adat
Tiga%Kriteria%Utama%dan%Kondisionalitas%Pengakuan%Keberadaan%
Masyarakat%(Hukum)%Adat%

Tiga%kriteria%MHA%

Penjelasan%tentang%kondisionalitasnya%(indikator%penjelas)%

(1)  Kesatuan%masyarakat%hukum%
adat%beserta%hak%tradisionalnya%
secara%nyata%masih%hidup,%baik%
yang%bersifat%teritorial,%
genealogis,%maupun%yang%
bersifat%fungsional%

(MHA%Teritorial%atau%gabungan)%=%Memliiki%wilayah%yang%diakui%
sebagai%wilayah%adat%atau%ulayat%
masyarakat%yang%warganya%memiliki%perasaan%bersama%dalam%
kelompok%
pranata%pemerintahan%adat%
harta%kekayaan%dan/atau%benda%adat%
perangkat%norma%hukum%adat%

(2)%%%Kesatuan%masyarakat%hukum%

adat%beserta%hak%tradisionalnya%
dipandang%sesuai%dengan%
perkembangan%masyarakat%
%

keberadaannya%telah%diakui%berdasarkan%undangEundang%yang%
berlaku%%

(3)%%Kesatuan%masyarakat%hukum%
adat%beserta%hak%tradisionalnya%
sesuai%dengan%prinsip%Negara%
Kesatuan%Republik%Indonesia%

Fdak%mengancam%kedaulatan%dan%integritas%Negara%Kesatuan%
Republik%lndonesia%

substansi%hak%tradisional%tersebut%diakui%dan%dihormaF%oleh%warga%
kesatuan%masyarakat%yang%bersangkutan%dan%masyarakat%yang%lebih%
luas%serta%Fdak%bertentangan%dengan%hak%asasi%manusia%


substansi%norma%hukum%adatnya%sesuai%dan%Fdak%bertentangan%
dengan%ketentuan%peraturan%perundangEundangan%




1 R. Yando Zakaria, antropolog, yang selama ini banyak terlibat dalam kajian dan aksi advokasi

yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat. Beberapa karya tulis dan hasil kajiannya dapat
diakses secara gratis pada mini-web independent.academia.edu/YandoZakaria
2 Setidaknya Zakaria (2014) mencatat ada 5 (lima) nilai positif yang dibawa oleh Putusan MK 3
Tahun 2012. Lebih lanjut lihat R. Yando Zakaria, 2014. “Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan
Potensi Implikasinya Terhadap Perebutan Sumber Daya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor
35/PUU-X/@101: Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur”, dalam Jurnal
WACANA Nomor 33, Tahun XVI, 2014. Yogyakarta; INSIST Press.



1


Merujuk pada Putusan MK 35 Tahun 2012, logika hukum yang berlaku adalah
bahwa “tanah adat bukan tanah negara; tanah adat berada di wilayah
adat/ulayat masyarakat hukum adat; dan hak masyarakat hukum adat diakui
jika keberadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan telah ditetapkan
dalam Peraturan Daerah”.3
Melanjutkan perkembangan itu, saat ini setidaknya tersedia pula lima perangkat
peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk memperoleh
pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat secara hukum. Masing-masing
adalah, (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (2) Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Pelindungan Masyarakat Hukum Adat; dan (3) Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 tahun 2016 tentang
Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan
Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; (4) Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak;
dan (3) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian
Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.
Di tingkat daerah, sebagaimana yang dilaporkan Arizona (2015b), 4 hingga
tengah tahun 2015 lalu, ada sekitar 90 produk hukum daerah dan/atau kegiatan
advokasi hukum daerah dalam jumlah yang hampir sama. 5 Produk-produk

hukum daerah dimaksud berkaitan dengan upaya (1) pengembangan/penguatan
lembaga adat;6 (2) pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat;7 (3)
pengakuan terhadap keberadaan suatu masyarakat hukum adat; 8 dan (4)
pengakuan sebagai unit pemerintahan.9 Menurut catatan terakhir, sebagaimana

3 Logika hukum yang mensyaratkan pengakuan subyek hukum (masyarakat adat) sebelum

pengakuan atas obyek hak (dalam hal ini adalah hutan adat dan/atau tanah adat/tanah ulayat)
sejatinya telah dianut dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
4 Yance Arizona, 2015. Sebagaimana dapat diakses pada
https://www.facebook.com/yance.arizona/posts/10207450108040211?comment_id=1020745
6706605171¬if_t=mentions_comment
5 Lihat juga http://kabar24.bisnis.com/read/20150826/16/465904/masyarakat-adat-produkhukum-banyak.-hak-tradisional-belum-terjamin
6 Seperti Perda Kabupaten Nunukan Nomor 34 tahun 2003 tentang Pemberdayaan, Pelestarian,
Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat dalam wilayah Kabupaten
Nunukan, misalnya.
7 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan
Hak Ulayat Baduy. Sebenarnya, tanpa perda ini tanah/ulayat Baduy tidak terancam/tetap dikuasi
secara efektif. Saat ini Orang Baduy sdh menguasai tanah di luar wilayah adatnya dua kali lipat
dari luas ulayatnya (5000 ha). Komunikasi pribadi dengan peneliti LIPI yang sedang melakukan

penelitian tentang masalah/topik dimaksud (2015).
8 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 2 Tahun 2006 tentang Masyarakat
Hukum Adat Datuk Sinaro Putih; dan (Rencana) Peraturan Daerah Propinsi Sulawes Selatan
tentang Amatoa Kajang.
9 Secara teoritik, pada kebijakan untuk kelompok yang pertama, penguatan lembaga adat, ada di
seluruh kabupaten. Tanpa peraturan daerah tentang kelembagaan adat ini pemerintah daerah
yang bersangkutan tidak bisa melakukan pembinaan kepada lembaga-lembaga ada yang memang
diwajibkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Penulis menemukan ada 4 perda
sejenis di Kutai Barat (lihat Zakaria, 2014). Oleh sebab itu, pada dasarnya perda ini tidak terkait
pada advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat karena menjadi bagian



2

yang ditunjukan tabel berikut, jumlah regulasi di tingkat daerah itu hampir
mencapai angka 200 kasus.10

120


Graphs 1. Trend of Indonesia's regional legisla5on products on
recogni5on of adat peoples in the period of 1979-2016


107

100

80




69

60



number of regional legislaAon products


40


20

0



6

1979-1998 A,er the Law No. 1999-2013 a,er the Law No. 2013-2016 A,er the Ruling of
5/1979 on Village
22/1999 on Regional
MK35
AdministraAon (Suharto
Autonomy and the Law No.
regime)
32/ 2004 on Local

Government




Source: Arizona et al, Epistema InsAtute, 2015 (updated in 2016).


Meski begitu, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagian lain,
keberadaan berbagai kebijakan itu justru punya potensi ‘membunuh masyarakat
adat’ (Zakaria, 2015).11 Lemahnya daya ubah dari kebijakan-kebijakan dimaksud
terjadi karena gagalnya para perumus kebijakan memahami fakta-fakta empiris
di tingkat lapangan tentang apa yang disebut sebagai (kesatuan) masyarakat
hukum adat dan/atau masyarakat adat itu sendiri. Para pihak, baik para
perumus kebijakan, para ahli, dan juga kalangan pegiat masyarakat sipil,
terjebak pada perdebatan soal pendefenisian – dan juga kondisionalitas yang
digunakan dalam pengakuan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat itu –
yang berkepanjangan dan nyaris kontra produktif. Demikian pula, para pihak itu
juga terseret pada arus pandangan yang melihat fenomena keberadaan
masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu sebagai entitas politik

semata, sebagaimana yang telah terjadi pada masa kolonial tempo hari, sehingga

dari mandat kebijakan terkait ‘pemerintahan desa’ sebelum dan sesudah reformasi. Kebijakan
tentang kelembagaan adat ini sudah ada sejak zaman Orde Baru cq. UU 5 Tahun 1979.
Sebagaimana pernah diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan
Masyarakat dan Lembaga Adat Daerah. Kebijakan ini efektif meredam dan/atau menaklukan
kekuatan adat. Lebaga-lembaga adat senang karena merasa mulai diperhatikan. Namun juga
terjadi kerancuan kelembagaan di tingkat komunitas: ada kelembagaan adat yang dibentuk
pemerintah yang bertingkat dari desa hingga nasional da nada lebaga-lembaga adat yang asli
seperti KAN (Sumbar) dan Desa Pekraman (Bali). Saat ini juga terjadi persaingan antara Dewan
Adat Papua (yang terbentuk atas dasat UU Otonomi Khusus Papua) dan Lembaga Masyarakat
Adat yang berdasarkan kebijakan kemendagri yang lama, meski kedua-duanya adalah bentukan
(atas dasar kebijakan) negara.
10 Malik, Arizona dan Muhajir, 2015. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah mengenai
Masyarakat Adat”. Policy Brief Epistema Institute Vol. 1.
11 R. Yando Zakaria, 2015. “Too Much Law Will Kill You! Dinamika Pembaruan Hukum Pengakuan
Hak-hak Masyarakat Adat Pasca-Reformasi”. Makalah yang dipersiapkan untuk Konferensi ke 5
Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Surakarta, 14 – 15 November 2015.




3

abai terhadap dimensi-dimensi keperdataan yang juga melekat pada beberapa
susunan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat yang memang tidak
tunggal itu. Akibatnya muncul logika hukum yang keliru, dalam arti tidak sesuai
dengan realitas sosio-antropologi dari apa yang disebut sebagai (kesatuan)
masyarakat (hukum) adat itu. Ke depan, tentu saja muncul suatu kebutuhan
pada pendekatan alternatif yang lebih sesuai dengan realitas sosio-antropologis
itu (Zakaria, 2016).12
Logika hukum yang keliru: Belajar dari tiga kasus sistem tenurial tanah
adat
Di Ranah Minang, susunan masyarakat hukum adat sangatlah beragam. Ada yang
disebut kaum/buah gadang (keluarga luas berdasarkan nenek/perempuan
tertentu); suku (keluarga luas berdasarkan garis keturanan nenek moyang
tertentu), dan juga nagari (suatu kesatuan pemukiman/desa teritorial sekaligus
bersifat genealogis, yang terdiri dari beberapa kaum yang berasal dari 4 suku
yang ada (urang ampek jinih). Masing-masing susunan itu memiliki tanah ulayat
yang disebut sako/pusako tersediri. Tanah-tanah ulayat itu diurus panghulu
andiko yang berbeda pula satu sama lainnya. Masing-masing susunan itu
memiliki kewenangan yang penuh atas sako/pusako, dan tidak dapat
mencampuri urusan kaum, suku, atau nagari yang lain Franz von BendaBeckmann, 1979;13 dan Keebet von Benda-Beckmann, 2000;14 Franz and Keebet
von Benda-Beckman, 2012;15 Warman, 2010).16
Demikian pula dalam kasus masyarakat Batak Toba misalnya. Berdasarkan
kajian etnografi yang dilakukan, baik berdasarkan kajian atas sumber-sumber
sekunder maupun primer, pada dasarnya entitas sosial yang dikenal dalam
masyarakat Batak Toba yang dapat disebut sebagai wujud susunan dan/atau
kesatuan masyarakat hukum adat itu adalah apa yang disebut sebagai bius,
partolian, golat, dan huta, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan
sebutan ini. Marga raja berikut marga boru, atau penyebutan lain yang
disetarakan dengan sebutan ini, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
keberadaan marga raja itu sendiri, sebagai pemangku hak utamanya. Dengan
demikian, kesatuan wilayah di mana bius, partolian, golat, dan huta itu berada
dapat pula disebut sebagai wilayah adat dan/atau (tanah) ulayat dari masing
12 R. Yando Zakaria, “Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat: Sebuah
pendekatan sosiologi-antropologis”, in Jurnal Bhumi, Volume 2 No. 2, November 2016. Lihat juga “HASIL &
REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017, Mewujudkan Hak-hak Rakyat:
Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia", Jakarta, 25-27 Oktober 2017.
13 Benda-Beckmann, Franz. 1979. Property in social continuity: Continuity and change in the
maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra. The Hague:
Martinus Nijhoff.
14 Benda-Beckmann, Keebet von. 1984. The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and
State Courts in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications.
15 Franz and Kebeet von Benda-Beckmann, 2012. 2012. Political and Legal Transformations of an
Indonesia Polity. The Nagari, from Colonisation to Decentralisation. Cambridge: Cambridge
University Press.
16 Kurnia Warman, (2010). Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk. Dinamika Interaksi
Hukum Adat dan Hukum Negara di Sumatera barat. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute,
KITLV – Jakarta.



4

masing satuan entitas sosial itu. Adapun obyek hak dari masing-masing hak-hak
pertuanan/ulayat dari masing-masing subyek hak itu (baca: bius, partolian,
golat, dan huta, baik dalam arti berkelompok ataupun perorangan di dalam
kelompok-kelompok marga raja dan/atau marga boru dimaksud) adalah (1)
kawasan hutan: hutan tua disebut tano rimba dan harangan, hutan muda disebut
tombak atau rabi. Jika tanah yang belum pernah dibersihkan itu disebut tano na
jadi hea niula atau tano tarulang. Jika sebidang tanah pernah dibersihkan dan
sekarang ditinggalkan, itu disebut gasgas atau tano na niulang, atau penyebutan
lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (2) Area perumahan: Areal perumahan
atau parhutaan terletak pada sebidang tanah berbatasan dengan dua dinding,
parik bulu suraton dan parik bulu dun. Keempat sudutnya ditandai dengan
pagopago, biasanya batu besar atau pohon besar, atau penyebutan lain yang
disetarakan dengan sebutan ini; (3) Areal pertanian: Sawah sawah disebut saoa
atau hauma. Ladang untuk menanam padi disebut hauma tur. Sebidang tanah
yang telah ditinggalkan bera untuk waktu singkat, misalnya dua tahun, yang
ditujukan untuk rotasi tanaman, disebut tano dipaombal. Jika tanah untuk tujuan
yang sama dibiarkan bera untuk waktu yang lebih lama, maka itu disebut talun.
Porlak adalah ladang untuk menanam tumbuhan selain padi, atau penyebutan
lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (4) Area penggembalaan: Jalangan
adalah padang rumput untuk merumput ternak tanpa pengawasan, sementara
jampalan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah
untuk penggembalaan sapi, kambing, atau kuda yang ditambatkan; (5) Area
pencadangan: Area pencadangan disebut berdasarkan tujuan yang berbedabeda. Hauma harajaon, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan
ini, adalah area cadangan untuk mendirikan sawah hasil panen yang digunakan
untuk menutupi biaya upacara penawaran di tingkat bius atau bona. Hutan yang
dicadangkan untuk kayu bakar disebut tombak riperipe. Tanah yang layak untuk
penggembalaan disebut jalangan. Saluran tanah yang diperuntukkan bagi
perluasan huta disebut pangeahan atau tambatamba ni huta. Jika dicadangkan
untuk pendatang baru atau yang baru menikah itu disebut punsu tali. Cadangan
air disebut mata mual; dan (6) Daerah suci: Saluran ini diyakini berada di sekitar
roh dan jiwa nenek moyang yang mati yang disebut parsombaonan, solobean,
parbeguan dan saba parhombanan, atau penyebutan lain yang disetarakan
dengan sebutan ini. Kuburan disebut partangisan, parbanadi, atau udean, atau
penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Jika kuburan itu dimiliki
oleh orang biasa maka disebut partangisan hatopan, sedangkan kuburan
individu disebut partangisan pangumpolan, atau penyebutan lain yang
disetarakan dengan sebutan ini. Saluran tanah dimana orang melakukan sholat
khusus untuk menyembuhkan orang sakit dengan meditasi disebut tano
langlang atau parlanglanga, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan
sebutan ini.17


17 Kartini Sjahrir-Pandjaitan, et.al., 2017. Etnografi Tanah Adat di Kabupaten Humbang

Hasundutan. Laporan Penelitian. Kerjasama Yayasan Sjahrir dan Pusat Kajian Etnografi Hak-hak
Komunitas Adat.



5

Agar tidak terpaku dengan contoh dari Sumatera saja, mari kita lihat contoh lain
dari Kalimantan Tengah, sebagaimana tersaji pada Tabel 2 berikut. Sebagaimana
yang dapat kita lihat dengan jelas, ada begitu banyak jenis obyek hak – lengkap
dengan sebutan lokalnya sendiri-sendiri -- yang terkait dengan hak-hak
masyarakat adat setempat atas tanah. Begitu juga dengan (kemungkinan) subyek
dan jenis haknya. Lagi-lagi kita akan menemukan subyek, obyek, dan jenis hak
(atas tanah) yang begitu beragam.18
Tabel 2
Sistem Tenurial MHA di Kalimantan Tengah (Draf Pergub Pedoman Pemetaan
Wilayah Adat, 2014)
Subyek Hak

Obyek Hak

Jenis Hak

Individu/keluarga

Lewu

Hak individu: personal atau keluarga (baKh)

Individu/keluarga

Petak eka malan-manana saKar (daerah bantara
sungai di sekitar lewu)

Milik perorangan? Keluarga?

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

RinKs (tempat pemanenan hasil hutan non-kayu)

Hak komunal lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku Kecil?

Individu

Tangiran (pohon madu)

Hak individu (oleh penemu). Bagaimana dgn tanah di
sekitarnya?

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Sepan (mata air)

Hak komunal lewu? Antar lewu? Suku besar? Suku kecil?

Individu

Petak bahu (bekas ladang)

Hak individu

Individu atau ‘warga llewu’?

Kaleka (bekas pemukiman)

Hak individu atau hak komunal?

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Pasahan raung dan pambak (komplek
pemakaman)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Petak rutas (hutan larangan)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Tajahan (tempat keramat)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Pahewan (hutan angker)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Tawun elai (hutan tempat pembuang sial)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Sungei, anak sungei, saka (anak sungai yg lbh kecil
lagi)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Tatas (kanal buatan)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Baruh atau talaga (danau alam kecil) & Tasik
(danau alam lbh besar)

Hak komunal

Individu pembuka

Handel (parit, kiri-kanannya jadi tempat usaha)

Hak individu


Pertanyaannya kemudian adalah, mengikuti logika hukum Putusan MK 35 Tahun
2012, yang sejatinya mengukuhkan logika hukum yang terkandung pada Pasal
67 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, apakah
dibutuhkan satu Peraturan Daerah untuk setiap kaum/buah gadang, suku, atau
pun nagari, agar masing-masing pusako (baca: harta kekayaan bersama yang
berupa tanah ulayat) dapat diakui oleh negara sebagaimana dimaksudkan oleh
Putusan MK 35/2012 itu? Demikian pula apakah perlu sebuah Peraturan Daerah
agar bius, partolian, golat, dan huta, marga raja berikut marga boru-nya agar
tanah-tanah adat mereka diakui oleh negara? Jika jawabannya ‘ya’, maka bisa
dibayangkan betapa sibuknya masyarakat adat dan Pemerintah di negeri ini
untuk memenuhi amanat konstitusi. Bukankah itu sama saja dengan
‘membunuh’ masyarakat adat?




18 Sayangnya sejauh data yang tersedia, kita tidak dapat merinci hubungan yang pasti antara satu

objek hak dengan suatu subyek (apakah berhubungan dengan lewu, satuan pemukiman
berdasarkan garis genelogi dan territorial, atau dengan suku kecil dan suku besar) dan juga jenis
hak untuk masing-masing obyek hak itu (apakah hak pribadi, komunal privat atau komunal
publik).



6

Kebijakan Daerah tentang Tata Cara Pengakuan Hak Adat Atas Tanah
sebagai Upaya Mempercepat Penyelesaian Konflik Agraria di Tingkat
Daerah
Dalam bagian terdahulu telah disinggung bahwa saat ini terdapat 5 peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengakuan keberadaan dan hak
masyarakat adat. Jika dikaitkan dengan penggunaannya, kelima peraturan
perundang-undangan itu dapat dipilah ke dalam 3 tujuan.
Pertama adalah peraturan perundang-undangan untuk mengakui hak politik
masyarakat adat, khususnya untuk menyelenggarakan pemerintahan nasional di
tingkat desa oleh desa adat, sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa.
Kedua adalah peraturan perundang-undangan untuk mengakui keberadaan
suatu masyarakat adat, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Peraturan Menteri
Nomor 52 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Pelindungan
Masyarakat Hukum Adat. Peraturan perundang-undangan ini merupakan
respons Pemerintah, khususnya Kemneterian Dalam Negari, yang dimaksudkan
Pemerintah untuk membantu masyarakat adat untuk memanfaatkan peluang
hukum untuk pengakuan haknya, sebagaimana yang dibukakan peluangnya oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi 35/2012. Sebagaimana diatur oleh putusan
tersebut, hak masyarakat adat adat hutan adat diakui jika keberadaan
masyarakat adat yang bersangkutan telah ditetapkan dengan peraturan
daerah.19
Ketiga, adalah beberapa peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk
pengakuan hak masyarakat adat atas hutan dan tanah. Sebagaimana yang diatur
oleh (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas
Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan
Tertentu; (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32
Tahun 2015 tentang Hutan Hak; dan (3) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun
2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Menurut
ketiga peraturan perundang-undangan ini, untuk mengakui hak masyarakat adat
atas suatu persil tanah atau kawasan hutan, masyarakat adat yang bersangkutan
harus ditetapkan dengan perda (jika tanah/hutan yang akan diakui itu berada di
dalam kawasan hutan) atau cukup dengan Surat Keputusan Bupati dan/atau
Surat Keputusan Gubernur).
Terkait kebijakan-kebijakan ini, setidaknya ada 3 masalah krusial yang pada
akhirnya menghambat laju pengakuan hak masyarakat adat itu, khususnya yang
berkaitan dengan hak atas tanah. Masalah pertama adalah persoalan kuantitas.

19 Anehnya, tidak sebagaimana yang diputuskan dalam Putuskan MK 35/2012, dalam Peraturan

Menteri Dalam negeri Nomor 52 Tahun 2015 ini penetapan keberadaan masyarakat adat itu
cukup dengan Surat Keputusan Bupati dan/atau Surat Keputusan Gubernur (jika wilayah
masyarakat adat yang bersangkutan berada di dalam dua kabupaten yang bersebelahan).



7

Sebagaimana telah dijelaskan, jenis tanah ulayat (disebut sako atau pusako) di
Minangkabau sangat beragam. Ada tanah ulayat kaum/buang gadang, suku/buek,
atau nagari. Masing-masing tanah ulayat itu memiliki organisasi pengurusannya
sendiri-sendiri. Perlu dicatat, sebuah nagari bisa terbentuk bila sudah ada urang
ampek jinih (ada sejumlah orang yang terbagi-bagi ke dalam empat suku). Agar
bisa dikategorikan sebagai suatu ‘faksi’ dari suku tertentu dalam pembentukan
nagari, pada suku tertentu itu sudah terdapat beberapa kaum (rata-rata saat ini
setiap suku di suatu nagari terdapat sekitar 10 kaum). Saat ini ada sekitar 800
nagari. Maka akan terdapat pula sekitar 3.200 suku, dan 32.000 kaum. Situasi
yang kurang lebih sama juga terjadi dalam konteks tanah adat di dalam
masyarakat Batak Toba dan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Dengan
kata lain, kebijakan yang ada saat ini terhalang pelaksanaannya karena begitu
banyaknya produk hukum daerah yang harus dihasil.
Masalah kedua menyangkut kapasitas subyek hak untuk dapat mendorong
proses proses-proses politik untuk menghasilkan peraturan daerah ataupun
sekedar surat keputusan kepala daerah. Model pengakuan seperti yang ada saat
ini tidak saja akan membebani biaya negara (Pusat dan Daerah), tetapi lebihlebih lagi akan membebani masyarakat adat itu sendiri. Faktanya, dari belasan
hutan adat yang telah diakui pemerintah hingga tahun 2017 lalu, semua
mengandalkan pendampingan organisasi masyarakat sipil yang mendapatkan
dukungan dana dari luar negeri.20
Hambatan ketiga menyangkut persoalan kualitas, dalam arti akumulasi
pengetahuan aparatur pemerintahan di tingkat daerah tentang subyek dan
obyek tanah/hutan adat di wilayah kerjanya. Jika diamati puluhan peraturan
daerah yang bermaksud mengatur pengakuan hak-hak masyarakat adat di
daerah yang bersangkutan hanya sedikit yang memuat rincian subyek dan obyek
hak masyarakat adat yang akan diakui oleh peraturan daerah yang
bersangkutan. Dengan kata lain, aparatur pemerintahan di tingkat daerah itu
banyak yang mengalami illetaracy ethnography (buta huruf etnografi) terkait
hak-hak masyarakat adat di wilayah kerjanya. Tidak terkecuali tentang sistem
penguasaan tanah adat.
Oleh sebab itu, perlu terobosan untuk mengatasi hambatan ini. Terobosan itu
dapat dilakukan melalui pemberlakuan “Peraturan Daerah tentang Tata Cara
Pengakuan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah”.
Strategi pengakuan hak masyarakat adat semacam ini pernah terjadi dalam
kasus Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor .. Tahun .. tentang .... Dalam

20 Untuk memahami betapa rumitnya proses yang dilewati untuk mendapatkan pengakuan

beberapa hutan adat yang Surat Keputusannya langsung diserahkan oleh Presiden Jokowi, yang
dimulai dengan kegiatan-kegiatan riset dan seminar hasil riset, proses pengajuan permohonan,
kegiatan verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh pihak Direktorat PKTHA, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, silahkan pelajari Perkumpulan HuMa, “Agenda Percepatan
Penetapan Hutan Adat. Academic Paper”. Kertas Kerja yang diproduksi untuk Rapat Koordinasi
dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta tanggal 19 Maret 2018.



8

kasus di Kabupaten Lebak itu, melalui sebuah peraturan daerah, sejumlah
kesatuan masyarakat (hukum) adat yang disebut di daerah itu sebagai
kasepuhan ditetapkan keberadaannya.
Namun demikian, ‘Jalan Lebak’, sebut saja begitu, mengandung dua resiko
sekaligus kerumitan yang akan dihadapi di tingkat pelaksanaan. Resiko pertama,
jika dapat dikatakan begitu adalah bahwa ‘Jalan Lebak’ mengandaikan
keberadaan kasepuhan itu tetap adanya. Padahal, masyarakat adat tidaklah imun
dari perubahan. Penetapan keberadaan subyek yang bersangkutan seperti
menutup munculnya subyek hak baru di belakangan hari.
Resiko kedua lebih rumit dari resiko yang pertama. Yakni, ‘Jalan Lebak’
mengandaikan bahwa dengan pengakuan keberadaan kasepuhan maka seluruh
hak yang melekat padanya dengan sendirinya terakui. Untuk kasus kasepuhan,
boleh jadi asumsi itu benar adanya. Namun, jika logika itu dibawa ke ranah
minang, situasinya boleh jadi tidak sesuai atau tidak cukup. Sebab, subyek hak
atas ulayat nagari, ulayat suku, dan ulayat kaum, berbeda satu sama lainnya.
Masing-masing memiliki organisasi kepengurusannya tersendiri.
Logika dimaksud makin tidak sesuai lagi jika logika itu di bawa ke dalam konteks
masyarakat Batak Toba. Sebagaimana ditemukan oleh Pandjaitan-Sjahrir, et.al.
(2018), kelembagaan masyarakat adat yang memiliki otoritas publik yang
dikenal oleh masyarakat yang bersangkutan, yakni huta dan/atau bius, tidak lagi
hadir secara merata. Kalaupun masih ada yang eksis dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari, otoritas kepublikannya relatif telah memudar. Lebih dari
itu, hak masyarakat adat yang bersangkutan atas tanah misalnya, pada dasarnya
tidak (lagi?) berhubungan dengan keberadaan huta dan/atau bius, melainkan
berhubungan langsung dengan keberadaan suatu marga tertentu yang memiliki
status marga raja atas sebidang tanah adat dimaksud.21
Dalam konteks yang demikian, tentu saja kemampuan mengumpulkan
pengetahun tentang seluruh marga yang memiliki hak atas tanah di daerah itu
dan ditetapkan secara sekaligus dalam sebuah peraturan tentulah merupakan
suatu yang tidak mungkin untuk dilakukan.



pengelompokan sosial berdasarkan hubungan genealogis
berdasarkan garis keturunan ayah. Dalam konteks penguasaan atas tanah secara
adat, penguasaan marga yang bersangkutan di batasi pada suatu bona pasogit
(kampung asal-usul) tertentu. Oleh sebab itu, misalnya, tidak semua warga
marga Simbolon dapat menguasai tanah yang sama, melainkan hanya keturunan
Simbolon yang memiliki bona pasogit yang memiliki hak bersama atas tanah di
bona pasogit-nya itu. Dengan demikian, misalnya, warga marga Simbolon yang
berasal dari kampung X sebagai bona pasogit-nya, hanya berhak atas tanahtanah di kampung X itu, dan tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasai oleh
marga Simbolon yang lain yang berada di kampung Y.
21 Marga adalah



9

Oleh sebab itu, yang diperlukan kemudian adalah kebijakan yang dapat
menampung proses pendaftaran obyek hak, dalam hal ini adalah hak atas tanah,
yang terbuka sepanjang waktu. Tidak dibatasi oleh sekali atau beberapa kali
penetapan subyek saja.
Langkah-langkah Penyusunan Peraturan Daerah tentang Tata Cara
Pengakuan dan Pendaftaran Tanah Adat
1. Kajian Kerangka Hukum Pendukung di Tingkat Nasional
2. Studi Etnografi Tanah Adat22
3. Penyusunan Naskah Akademik, dengan Ruang Lingkup Pengaturan:
a. Landasan Hukum
b. Rincian Obyek dan Subyek Hak Atas Tanah Adat
c. Kelembagaan
d. Pendanaan
e. Mekanisme Penyelesaian Sengketa
4. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pengakuan
dan Pendaftaran Tanah Adat.
Landasan Hukum (Kajian Awal)
Pada dasarnya, Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria (UUPA 1960) sudah sejak awal mengatur tata cara pelaksanaan amanat
konstitusi yang berkenaan dengan hak masyarakat adat atas tanah. Hal ini
tergambarkan dengan sangat jelas pada pasal-pasal UUPA 1960 berikut.


Pasal 2 ayat (1):
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.



Pasal 2 ayat (4):
Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah.



22 Lebih lanjut silahkan taut ke

https://www.academia.edu/29405777/Etnografi_Tanah_Adat_KonsepKonsep_Dasar_dan_Pedoman_Kajian_Lapangan



10



Pasal 3:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.

Meski begitu, setidaknya hingga sebelum reformasi 1998, bagaimana amanat
UUPA 1960 ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya, memang
belum pernah jelas wujudnya. Perubahan politik yang dibawa oleh
pemerintahan pasca-reformasi 1998 membawa angin baru. Pada pertengahan
tahun 1999, pasca-kongras masyarakar adat 1999 yang melahirkan Aliansi
Masyarakat Hukum Adat (AMAN), Pemerintah memberlakukan Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
tentang ....... Pasal-pasal berikut, antara lain, mengandung arahan bagaimana
mekanisme pengakuan hak masyarakat adat atas tanah itu seharusnya
dilakukan.
Pada BAB II (PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH ULAYAT) antara lain
dinyatakan pula bahwa:


Pelaksanann hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada
dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adat setempat.



Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
– terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh
tatanan hukm adatnya sebgai warga bersama suatau persekutuan
hukum tertentu, yang mengakui dan menerpkan ketentuanketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
– terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup
para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
– terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan
dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para
warga persekutuan hukum tersebut.

Sementara itu, pada BAB III (PENENTUAN MASIH ADANYA HAK ULAYAT DAN
PENGATURAN LEBIH LANJUT MENGENAI TANAH ULAYAT YANG
BERSANGKUTAN) diatur pula hal-hal sebagai berikut.



11



Pasal 5
– Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah
dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat
hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga
Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber
daya alam.
– Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dinyatakan dalam peta dasar
pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi
dan, apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya
serta mencatatnya dalam daftar tanah.



Pasal 6
– Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur
dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan.

Penutup
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pandjaitan-Sjahrir, et.al., 2017 dan lainnya
sebagaimana telah diuraikan di atas, untuk sekedar menyebut satu contoh,
dengan jelas menunjukkan bahwa berbagai ketentuan yang disebutkan dalam
Permenagraria/Ka BPN 5/1999 di atas telah/dapat terpenuhi.
Oleh sebab itu, upaya untuk melaksanakan perintah konstitusi di Kabupaten
Humbang Hasundutan ini misalnya layak untuk dilanjutkan dengan kegiatan
penyusuan Naskah Akademik dan Rencana Peraturan Daerah tentang Tatacara
Pendaftaran dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah.***



12