DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA

  PEMERINTAH KABUPATEN JEPARA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA  59401

  Jln. Ratu Kalinyamat, Demaan Jepara ( 0291 ) 591238, 593347 ( 0291 ) 591339

  Nomor : 005/3713 Jepara, 25 Juli 2013 Lamp. : 9 lembar Perihal : Lomba Baca Puisi Tingkat Kepada SD, SMP, SMA sederajat, Yth.

  1. Kepala UPT Disdikpora Kecamatan Peringatan HUT RI ke-68

  2. Kepala SMP, SMA sederajat Se Kabupaten Jepara. Dengan hormat kami beritahukan pada Saudara bahwa dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 68 tahun 2013 tingkat Kabupaten

  Jepara, akan dilaksanakan beberapa kegiatan lomba, yang salah satunya adalan “Lomba Membaca Puisi” mulai jenjang SD, SMP, SMA sederajat se Kab. Jepara.

  Sehubungan dengan hal tersebut agar kegiatan lomba Baca Puisi dapat berjalan dangan meriah, lancar dan sukses maka kami harapkan kepada Saudara dapat mengirimkan 2 peserta yang terdiri dari Putra dan Putri yang telah memiliki prestasi dibidang baca puisi .

  Adapun pelaksanaan lomba akan dilaksnaakan besok pada : Hari/tanggal : Kamis, 1 Agustus 2013 Jam : 07.15 wib

  • – selesai Tempat : Aula II Dinas Dikpora Kab. Jepara Pakaian : Seragam Sekolah (OSIS) Keterangan : Pelaksanaan lomba dimulai dari jenjang SD terlebih dahulu baru dilanjutkan jenjang SMP dan SMA.

  Pilihan Judul Puisi (lembar puisi terlampir) : 1.

  1. Kita Adalah Pemilik Syah Republik Ini (Taufiq Ismail) SD/MI

  2. Gadis Peminta Minta (Toto Sudarto Bachtiar)

  3. Gerilya (W.S. Rendra)

  2. SMP/MTs. 1. Majulah Pahlawan (Budiman S. Hartoyo)

  2. Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang (W.S. Rendra)

  3. Stasiun Tugu (Taufiq Ismail)

  3. SLTA

  1. Ingin Kusuarakan (Isbedy Stiawan Z.S)

  2. Doa Serdadu Sebelum Berperang (W.S. Rendra)

  3. Majulah Pahlawan (Budiman S. Hartoyo) Pendaftaran peserta dimulai sejak diumumkan sampai dengan pada 31 Juli 2013 lewat SMS ke 081 325 746 811 (Nama Peserta, Kelas dan Sekolah) atau langsung ke Sekretariat Lomba d/a. Subbag. Renval Dinas Dikpora Kab. Jepara.

  Demikian atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

  Kepala Dinas Dikpora Kab. Jepara,

  KITA ADALAH PEMILIK SYAH REPUBLIK INI Tidak ada pilihan lain. Kita harus Berjalan terus Karena berhenti atau mundur Berarti hancur Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga Akankah maukah kita duduk satu meja Dengan para pembunuh tahun yang lalu Dalam setiap kalimat yang berakhiran “Duli Tuanku?” Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara Dupukul banjir, gunung api, kutuk dan hama Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan Dan seribu pengeras suara yang hampa suara Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus (Taufiq Ismail)

  GADIS PEMINTA-MINTA Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil Senyummu terlalu kekal untuk kenaI duka Tengadah padaku, pada bulan merah jambu Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan Gembira dan kemayaan riang Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal Jiwa begitu mumi, terlalu murni. Untuk bisa membagi dukaku Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil Bulan di atas itu, tak ada yang punya Dan kotaku, ah kotaku Hidupnya tak lagi punya tanda (Toto Sudarto Bachtiar)

  GERILYA Tubuh biru tatapan mata biru lelaki berguling di jalan Angin tergantung terkecap pahitnya tembakau bendungan keluh dan bencana Tubuh biru tatapan mata biru lelaki berguling dijalan Dengan tujuh lubang pelor diketuk gerbang langit dan menyala mentari muda melepas kesumatnya Gadis berjalan di subuh merah dengan sayur-mayur di punggung melihatnya pertama Ia beri jeritan manis dan duka daun wortel Tubuh biru tatapan mata biru lelaki berguling dijalan Orang-orang kampung mengenalnya anak janda berambut ombak ditimba air bergantang-gantang disiram atas tubuhnya Tubuh biru tatapan mata biru

  MAJULAH PAHLAWAN Majulah pahlawan dengan dada terbuka. Majulah ! Berderapan musuh bersama maut menyerang. Sementara bintang-bintang pun bersaksi di kelam angkasa atas kejantananmu dan musuh-musuh yang berebahan. Telah bergelimang darah di lembah telah berebahan kawan-kawan di garis depan, di bawah langit mengancam suara lantang kemerdekaan. Semangat perkasa, – hari depan nusantara ! Segenap warga tanah ini pun menabikkan salam; salam cinta bumi dan bangsa yang lahir dalam revolusi. Sedang malam pun segera mengusap bendera merah putih yang mengibaskan berita pahlawan benam darah. Adalah cinta kami, itu warna kucuran darah. Adalah hati kami, itu warna putih butiran air mata. Dan cinta kami padamu menyejuk langit-langit kubur yang memutih cerlang surya atas gemeriap tugu kemerdekaan. Majulah pahlawan dengan dada terbuka, kala senja di kota ! Majulah demi kemerdekaan yang lahir atas nama cinta ! Kenangan padamu menggeleparkan doa di ambang arasj Tuhan Dan majulah kemudian berbondong ke lembah sorga sedang laras bedil masih di tangan dan darah mengucuri di jalan – jalan Maka bernyanyilah segenap malaikat dan bidadari Maka semaraklah wewangian sorga, tetes darah pahlawan, karna adalah saksi bagimu, – pejuang-pejuang kemanusiaan; sementara masih terkenang jua tentang kehidupan dan napas dunia dan manusia dalam kelaparan ! ( Budiman S. Hartoyo )

   DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG Tuhanku, WajahMu membayang di kota terbakar dan firmanMu terguris di atas ribuan kuburan yang dangkal Anak menangis kehilangan bapa Tanah sepi kehilangan lelakinya Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia Apabila malam turun nanti sempurnalah sudah warna dosa dan mesiu kembali lagi bicara Waktu itu, Tuhanku, perkenankan aku membunuh perkenankan aku menusukkan sangkurku Malam dan wajahku adalah satu warna Dosa dan nafasku adalah satu udara. Tak ada lagi pilihan kecuali menyadari -biarpun bersama penyesalan- Apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah ? Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai mendekap bumi yang mengkhianatiMu Tuhanku Erat-erat kugenggam senapanku Perkenankan aku membunuh Perkenankan aku menusukkan sangkurku

  STASIUN TUGU Tahun empatpuluh tujuh, suatu malam di bulan Mei Ketika kota menderai dalam gerimis yang renyai Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah Menunggu perlahan naiknya tanda penghabisan Kleneng andong terputus di jalan berlinangan Suram ruang setasiun, beranda dan tempat menunggu Truk menderu dan laskar berlagu lagu perjuangan Di Tugu seorang ibu menunggu, dua anak dipangku Berhentilah waJtu di stasiun Tugu, malam ini Di suatu malam yang renyai, tahun empatpuluh tujuh Para penjemput kereta Jakarta yang penghabisan Hujan pun aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah Anak perempuan itu dua tahun, melekap dalam pangkuan Malam makin lembab, kuning gemetar lampu stasiun Kakaknya masih menyanyi „Satu Tujuh Delapan Tahun‟ Udara telah larut tanda naik pelan-pelan Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat Ibu muda menjagakan anaknya yang kantuk dalam lena Berkata: lambaikan tanganmu dan panggillah bapa Wahai ibu muda, seharian atap-atap kota untukmu berbasah! Karena kezaliman militer pagi tadi terjadi di Klender Seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan resah Uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah terakhir.

  ( Taufiq Ismail )

  INGIN KUSUARAKAN ingin kusuarakan apa saja di sini, tapi angin punya telinga dan kata-kata. bahkan lampu-lampu taman ini akan merekam dan menyuarakan kembali dengan bahasa lain. lalu dinding memagar tubuhku, kesepian yang mendekam! ingin kumerdekakan apa saja di sini, tapi burung tak punya lagi sarang yang tenteram. pohon-pohon telah memburu kota demi kota, mengubah ketenteraman jadi kegaduhan, dan asap yang dimuntahkan beribu cerobong pabrik adalah oksigenku setiap detik. aku merokok limbah serta mengunyah beton! ingin kutulis apa saja di sini, tapi koran tak lagi punya suara. seribu iklan memadati halaman demi halamannya, seperti gula-gula yang dikunyah anak-anakku. aku hanya membaca bahasa angin di sana kemudian meliuk di balik bendera setengah tiang. kemudian hening… ingin kusuarakan kembali kemerdekaan di sini, tanpa granat dan senapan. ingin kuteriakkan penderitaan burung yang kehilangan kebebasan terbang. hingga di udara yang terbuka tak akan ada lagi kecemasan-kecemasan ( Isbedy Stiawan Z.S. )

  DOA SERDADU SEBELUM BERPERANG Tuhanku, WajahMu membayang di kota terbakar dan firmanMu terguris di atas ribuan kuburan yang dangkal Anak menangis kehilangan bapa Tanah sepi kehilangan lelakinya Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia Apabila malam turun nanti sempurnalah sudah warna dosa dan mesiu kembali lagi bicara Waktu itu, Tuhanku, perkenankan aku membunuh perkenankan aku menusukkan sangkurku Malam dan wajahku adalah satu warna Dosa dan nafasku adalah satu udara. Tak ada lagi pilihan kecuali menyadari -biarpun bersama penyesalan- Apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah ? Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai mendekap bumi yang mengkhianatiMu Tuhanku Erat-erat kugenggam senapanku Perkenankan aku membunuh Perkenankan aku menusukkan sangkurku

  MAJULAH PAHLAWAN Majulah pahlawan dengan dada terbuka. Majulah ! Berderapan musuh bersama maut menyerang. Sementara bintang-bintang pun bersaksi di kelam angkasa atas kejantananmu dan musuh-musuh yang berebahan. Telah bergelimang darah di lembah telah berebahan kawan-kawan di garis depan, di bawah langit mengancam suara lantang kemerdekaan. Semangat perkasa, – hari depan nusantara ! Segenap warga tanah ini pun menabikkan salam; salam cinta bumi dan bangsa yang lahir dalam revolusi. Sedang malam pun segera mengusap bendera merah putih yang mengibaskan berita pahlawan benam darah. Adalah cinta kami, itu warna kucuran darah. Adalah hati kami, itu warna putih butiran air mata. Dan cinta kami padamu menyejuk langit-langit kubur yang memutih cerlang surya atas gemeriap tugu kemerdekaan. Majulah pahlawan dengan dada terbuka, kala senja di kota ! Majulah demi kemerdekaan yang lahir atas nama cinta ! Kenangan padamu menggeleparkan doa di ambang arasj Tuhan Dan majulah kemudian berbondong ke lembah sorga sedang laras bedil masih di tangan dan darah mengucuri di jalan-jalan Maka bernyanyilah segenap malaikat dan bidadari Maka semaraklah wewangian sorga, tetes darah pahlawan, karna adalah saksi bagimu, – pejuang-pejuang kemanusiaan; sementara masih terkenang jua tentang kehidupan dan napas dunia dan manusia dalam kelaparan ! ( Budiman S. Hartoyo )