Paper komunikasi lintas budaya dALAM

PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan mengalami
berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena permasalahan
silang budaya selalu terkait erat dengan curtural materialisme yang mencermati budaya dari
pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana pola temperamen ini banyak
ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), ketubuhan dan hubungan sosial tertentu.
Masyarakat indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural (jamak) dan
heterogen (aneka ragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan
adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok
masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan satu dengan yang lainnya, demikian pula
dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari
homogenitas mengindikasi suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidak samaan
dalam unsur-unsurnya.
Adapun dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui
masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam
penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain
sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling
pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Komunikasi dan
budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi
bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan
memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T.

Hall bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi. Yang kesemuanya
dapat diarahkan untuk mewujudkan terciptanya integrasi nasional atau pembangunan
nasional. Pembangunan Nasional tidak lepas dari aspek sosial budaya. Masyarakat Indonesia
yang majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena adanya kegiatan dan pranata khusus.

Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial
masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa,
telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan,
merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna
dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai
kepentingan politik. Berangkat dari pemaparan di atas, maka saya akan mencoba menelusuri
tentang: “Bagaimana peran komunikasi lintas budaya dalam pembangunan?”.

A. Komunikasi Lintas Budaya
Sebelum terlalu jauh membahas topik ini, ada baiknya dikemukakan bahwa dalam makalah
ini ada kalanya bahkan terlalu sering dipersamakan antara “komunikasi lintas budaya” dan
“komunikasi antar budaya”. Pernyataan ini perlu agar tidak terjebak terhadap munculnya
pertanyaan: “apakah kedua istilah tersebut sama atau tidak?”. Saya tidak ingin
mempertentangkan keduanya, sekalipun hal itu memang debatable”, hanya untuk tujuan agar
tidak terjadi kekeliruan pembahasan dalam makalah ini. Kata “budaya” berasal dari bahasa

Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi”
atau “akal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “hal-hal yang berkaitan dengan budi
atau akal”. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan
kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”,
yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata
colere yang kemudian berubah menjadi culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan
manusia untuk mengolah dan mengubah alam”. Seorang Antropolog yang bernama E.B.
Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai kebudayaan, yaitu “kebudayaan adalah
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,
lain kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia

sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan pula bahwa kebudayaan mencakup
semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup
segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak. Komunikasi antar budaya pada
dasarnya jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai
faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antar budaya. Komunikasi
antar budaya juga mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan
perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik
perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompokkelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi. Komunikasi
dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya

menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut
menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan
Edward T. Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada
satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma
budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya,
ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya
menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
Unsur pokok yang mendasari proses komunikasi antar budaya ialah konsep-konsep tentang
“Kebudayaan” dan “Komunikasi”. Hal ini pun digarisbawahi bahwa pengertian tentang
komunikasi antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikaasi
dan kebudayaan serta saling ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini
terbukti, apabila disadari bahwa pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau
berubah dalam suatu kelompok kebudayaan khusus tertentu. Kesamaan tingkah laku antara
satu generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya saranasarana komunikasi. Sementara Smith (1966), seperti yang ditulis oleh Lusiana, menerangkan

hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan yang kurang lebih
sebagai berikut: “Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang
dipelajari dan dimiliki bersama; untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan
komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang
harus dipelajari dan dimiliki bersama.” Hubungan antara individu dan kebudayaan saling

mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui
aktifitas komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif perilaku mereka secara
bersama-sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh
individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa antara komunikasi dan
kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat: Di satu pihak, jika bukan karena kemampuan
manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan,
makna, simbol-simbol, nilai-nilai, aturan-aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk
pada hubungan-hubungan, organisasi-organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung.
Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur-unsur kebudayaan
dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat lainnya.
Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar dan menyesuaikan
diri dengan subbudaya-subbudaya dan kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya.
Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan daan
dipelajari melalui komunikasi. Sebaliknya, pola-pola berpikir, berperilaku, kerangka acuan
dari individu-individu sebahagian terbesar merupakan hasil penyesuaian diri dengan caracara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka berada. Kebudayaan
tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana
komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi
pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam
pesan dapat dikirimkan dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu


terutama tergantung pada kebudayaanya. Karena itulah, menurut Alo Liliweri, bahwa
kebudayaan dibentuk oleh perilaku manusia, dan perilaku itu merupakan hasil persepsi
manusia terhadap dunia. Perilaku tersebut merupakan perilaku terpola karena tampilannya
berulang-ulang sehingga diterima sebagai pola-pola budaya. Dengan demikian, kebudayaan
merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan
menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula.

B. Komunikasi Dalam Pembangunan
Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat.
Kedudukan komunikasi dalam konteks pembangunan sebagaimana disebutkan Roy dalam
Jayaweera dan Anumagama (1987) adalah “as an integral part of development, and
communication as a set of variables instrumental in bringing about development “. Siebert,
Peterson dan Schramm (1956) menyatakan bahwa dalam mempelajari sistem komunikasi
manusia, seseorang harus memperhatikan beberapa kepercayaan dan asumsi dasar yang
dianut suatu masyarakat tentang asal usul manusia, masyarakat dan negara. Strategi
pembangunan menentukan strategi komunikasi, maka makna komunikasi pembangunan pun
bergantung pada modal atau paradigma pembangunan yang dipilih oleh suatu negara.
Peranan komunikasi pembangunan telah banyak dibicarakan oleh para ahli, pada umumnya
mereka sepakat bahwa komunikasi mempunyai andil penting dalam pembangunan. Everett
M. Rogers (1985) menyatakan bahwa, secara sederhana pembangunan adalah perubahan

yang berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak
dari suatu bangsa. Pada bagian lain Rogers menyatakan bahwa komunikasi merupakan dasar
dari perubahan sosial. Perubahan yang dikehendaki dalam pembangunan tentunya perubahan
ke arah yang lebih baik atau lebih maju keadaan sebelumnya. Oleh karena itu peranan
komunikasi dalam pembangunan harus dikaitkan dengan arah perubahan tersebut. Artinya

kegiatan komunikasi harus mampu mengantisipasi gerak pembangunan. Dari sekian banyak
ulasan para ahli mengenai peran komunikasi pembangunan, Hedebro sebagaimana dikutip
Zulkarimen Nasution mendaftar 12 peran yang dapat dilakukan komunikasi dalam
pembangunan, yakni:
1. Komunikasi dapat menciptakan iklim bagi perubahan dengan membujukkan nilai-nilai,
sikap mental, dan bentuk perilaku yang menunjang modernisasi.
2. Komunikasi dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan baru, mulai dari baca-tulis ke
pertanian, hingga ke keberhasilan lingkungan, hingga reparasi mobil (Schram,1967).
3. Media massa dapat bertindak sebagai pengganda sumber-sumber daya pengetahuan.
4. Media massa dapat mengantarkan pengalaman-pengalaman yang seolah-olah dialami
sendiri, sehingga mengurangi biaya psikis dan ekonomis untuk menciptakan kepribadian
yang mobile.
5. Komunikasi dapat meningkatkan aspirasi yang merupakan perangsang untuk bertindak
nyata.

6. Komunikasi dapat membantu masyarakat menemukan norma-norma baru dan
keharmonisan dari masa transisi (Rao,1966).
7. Komunikasi dapat membuat orang lebih condong untuk berpartisipasi dalam pembuatan
keputusan di tengah kehidupan masyarakat.
8. Komunikasi dapat mengubah struktur kekuasaan pada masyarakat yang bercirikan
tradisional, dengan membawa pengetahuan kepada massa. Mereka yang beroleh informasi
akan menjadi orang yang berarti, dan para pemimpin tradisional akan tertantang oleh
kenyataan bahwa ada orang-orang lain yang juga mempunyai kelebihan dalam hal memiliki
informasi.
9. Komunikasi dapat menciptakan rasa kebangsaan sebagai sesuatu yang mengatasi
kesetiaan-kesetiaan lokal.

10. Komunikasi dapat membantu mayoritas populasi menyadari pentingnya arti mereka
sebagai warga negara, sehingga dapat membantu meningkatkan aktivitas politik (Rao, 1966)
11. Komunikasi memudahkan perencanaan dan implementasi program-program
pembangunan yang berkaitan dengan kebutuhan penduduk
Komunikasi dapat membuat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik menjadi suatu proses
yang berlangsung sendiri (self-perpetuating).
Berdasarkan hal di atas dapat dipertegas bahwa point 8 dan 9 terkait langsung dengan
peranan komunikasi lintas budaya. Bahkan pada kedua point tersebut tidak boleh

meninggalkan peranserta komunikasi lintas budaya dalam pembangunan nasional.

C. Peran Komunikasi Antar Budaya dalam Pembangunan
Dengan mencermati berbagai permasalahan pluralitas dan kondisi masyarakat Indonesia yang
rawan disentegrasi nasional, di lapangan dapat kita temui adanya berbagai masalah yang
ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah. Adapun di antaranya, yaitu:
1. Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian
masyarakat yang dapat mengakibatkan rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang
negatif, dan keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif,
sekaligus mudah sekali terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam eksistensinya.
2. Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai mediator
dan korektor informasi.
3. Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual dengan
mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap moral, dan
penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan dan pembangunan yang pragmatis, yang
memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali
sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral.

4. Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring” (krisis pengasuhan dan kepedulian dalam
masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang ditangkap dan

diadopsi secara terbatas.
Sejalan dengan berbagai kendala yang ada, maka upaya penyelesaian permasalahan pluralitas
budaya sekaligus menunjukkan peran komunikasi antar budaya dalam terwujudnya
pembangunan nasional, yakni dapat dilakukan dengan:
1. Membangun kehidupan multi kultural yang sehat; dilakukan dengan meningkatkan
toleransi dan apresiasi antar budaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat
pengetahuan masyarakat tentang kebhinnekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan
ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat seperti pemahaman pola perilaku
khusus masyarakatnya.
2. Peningkatan peran media komunikasi, terutama untuk melakukan sensor secara substantif
yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang dominan. Salah
satu caranya dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar
dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan
kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus
disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara distributif,
berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam
teknik-teknik penyebaran maupun penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang
kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut
untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang bersifat apresiatif terhadap budaya
masyarakat lain.

3. Strategi pendidikan yang berbasis budaya dapat menjadi pilihan karena pendidikan
berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama,
sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan

upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses
pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya
pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model dan
strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi. Tujuannya adalah agar
pembelajar dapat melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan
ekologinya. Di mana mereka memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk
menghadapi tantangan globalisasi dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih
menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan
sensitivitas kedaulatan budaya. Harapannya dapat terbentuk manusia yang bisa mengelola
konflik, menghargai kemajemukan, serta dapat tegar menghadapi arus perubahan. Caranya
tidak lain, yakni dengan mempertajam sense of belonging, self of integrity, sense of
participation dan sense of responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal
tersebut. Pun transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, jadi hal ini bukanlah
merupakan revolusi yang dipaksakan.

PENUTUP

Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan masalahmasalah dalam komunikasi antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga lebih
penting lagi, kesulitan untuk mengakui perbedaan yang menyebabkan masalah serius dan
mengancam kelancaran komunikasi antar budaya yang dapat menjurus ke disentegrasi
nasional. Maka kesadaran akan variasi kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk
menghargai variasi tersebut akan sangat mendorong hubungan antar kebudayaan. Bhineka
Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan
yang manunggal dalam keekaan harus menjadi kunci penyelesaian masalah.
Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan

tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu
sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa
secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan nasional, yang sama mantapnya dengan
setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan nasional tersebut baru pada taraf
pembentukan. Maka, peran komunikasi antar budaya dalam mewujudkan integrasi nasional
harus ditingkatkan. Antara lain melalui sikap saling menghargai antar manusianya,
pendidikan, dan pelaksanaan ketertiban peraturan perundang-undangan yang adil dan
demokratis.