Otonomi Daerah dan Komunikasi Politik Ka

LAPORAN PENELITIAN

Otonomi Daerah dan Komunikasi Politik Kandidat Anggota Parlemen Pemilu 2009
(Analisis Gramcian Terhadap Affirmative Action, Kuota 30 Persen Keterwakilan
Perempuan Di Parlemen Di Daerah Pemilihan Provinsi DKI Jakarta.
Oleh:
Dr. Umaimah Wahid

DAFTAR ISI

1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................................13
1.4 Signifikansi Penelitian .........................................................................15
1.4.1 Signifikansi Akademis.......................................................................16
1.4.2 Signifikansi Praktis............................................................................16


BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 LIngkup Paradigma Teori …...............................................................17
2.2 Komunikasi Politik Kandidat Perempuan.............................................21
2.3 Otonomi Daerah dan Peran Politik Perempuan.....................................26
2.4 Media Massa dalam konstalasi Pertukaran Posisi
(war of position) antara Masyarakat Politik dan Masyarakat
Sipil.............................................................................................................30
2.5 Hegemoni – Counter Hegemoni Antonio Gramsci sebagai Kekuatan
Masyarakat Sipil..........................................................................................33
2.6 Ideologi Perjuangan Politik-Counter Hegemoni ..................................36
2.7. Kekuasaan dan Subyektivitas Perempuan dalam Gerakan Counter
Hegemoni .....................................................................................................37
2.8. Feminist Radikal dalam Memahami Marginalisasi Perempuan
di Politik ....................................................................................................39
2.9. Kerangka Konseptual.........................................................................40
2.10. Theoritical Framework………………………………………………45


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Unit Analisis …………. .....................................................................49
3.2 Metode dan Analisis...........................................................................51
3.3 Metode Pengumpulan Data dan Sumber
Data...........................................................................................................52
3.4 Kelebihan dan Kelemahan
Penelitian..................................................................................................55

BAB IV

ANALISIS DATA

4.1. Refleksi atas Temuan Data...............................................................................58

2

4.2. Kebijakan Affirmative action , Kuota 30 Persen UU Partai Politik 2008
keterwakilan perempuan di parlemen dalam pelaksanaan otonomi daerah...........74

4.3. Kualitas Komunikasi Politik Caleg Perempuan Dalam Pemilu Legislatif Daerah
Pemilihan (DAPIL) Provinsi DKI Jakarta tahun 2009.........................................101
4.4. Dukungan partai politik terhadap proses pemenuhan kuota 30 persen atas dasar UU
Pemilu 2009...........................................................................................................114
4.5. Dukungan Media Massa Dalam Proses Kandidat Perempuan
Dalam Pemilu 2009………………………………………………………………127
4.6. Bagaimana pandangan dan dunkungan pressure group dan group aliansi dalam
perjuangan dan keterlibatan perempuan di politik dan ketentuan
kuota 30 persen……………………………………………………………………132
4.7. Perjuangan Affirmative Action dalam Konteks Otonomi Daerah sebagai
Gerakan Counter Hegemoni…………………………………………………..139

BAB V Kesimpulan Dan Pertimbangan
5.1 Kesimpulan .................................................................................172
5.2 Pertimbangan...............................................................................180

3

Bab I
Pendahuluan


1.1.

Latar Belakang Masalah
Penerapan otonomi daerah sejak tahun 1999 belum membawa hasil yang positif bagi

pengembangan daerah termasuk didalamnya pengembangan sumber daya manusia (SDM)
perempuan sebagai salah satu stakeholders dalam pembangunan daerah. Justru pelaksanaan
otonomi daerah menjadi membawa dampak terhadap perempuan. Setidaknya ada tiga catatan
yang menyangkut dampak otonomi daerah terhadap perempuan. Pertama, kecenderungan
menguatnya politik identitas, politisasi agama, dan revitalisasi adat yang bernuansa pembatasan
terhadap peran publik perempuan. Kedua, otonomi daerah tidak serta-merta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Ketiga, partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan masih
minim, keterwakilan perempuan dalam institusi pengambilan keputusan turun signifikan, dan
kepemimpinan perempuan sebagai pemimpin daerah ditingkat lokal jumlahnya nyaris tidak ada.
(Kompas, Swara, Sabtu 29 Juli 2006).
Poin ketiga diatas menjadi sangat penting, karena dengan partisipasi perempuan dalam
pengambilan keputusan akan sangat menentukan bagi pemberdayaan perempuan itu sendiri.
Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan dapat dicapai dengan salahsatunya adalah
masuknya perempuan ke institusi politik yakni partai politik yang kemudian dapat mengantarkan

perempuan masuk ke institusi legislatif (Parlemen). Keterlibatan perempuan dalam badan
legislatif tersebut, akan memberikan warna dan bargaining positions bagi posisi perempuan
dalam

masyarakat

dengan

pemberdayaan perempuan.

4

cara

mengeluarkan

kebijakan-kebijakan

yang


menyangkut

Perjuangan perempuan dalam mencapai peran dalam politik telah dilakukan dengan
keluarnya affirmative action atau kebijakan sementara menyangkut kuota 30 persen keterwakilan
perempuan di parlemen. Perjuangan affirmative actions tersebut sudah diperjuangkan oleh aktivis
peduli perempuan dalam berbagai bentuk kegiatan serta didukung perjuangan tersebut oleh
bermacam organisasi yang mengusung isu tersebut. Perjuangan terhadap isu perlunya
keterwakilan perempuan 30 persen di politik dimulai tahun 2002 yang pada tahun 2003 ditandai
dengan lahirnya Pasal 65 Ayat 1 mengenai “dipandang perlunya keterwakilan perempuan dalam
dilegislatif dengan menggunakan sistem kuota 30 persen. Perjuangan kaum perempuan terus
dilanjutkan dan pada tahun 2008 menghasilkan UU Partai Politik dan UU Pemilu yang
mewajibkan kuota 30 persen dipenuhi oleh setiap partai politik.
Beragam alasan dikemukaan kaum perempuan pemerhati kuota 30 persen keterwakilan
perempuan di partai politik dan legislatif. Diantaranya adalah marjinalisasi terhadap kaum
perempuan sudah lama berlangsung dan menjadi integral dalam proses sosial budaya dan politik,
sehingga untuk mendobrak ketidakadilan atas marjinalisasi tersebut dibutuhkan sebuah kebijakan
khusus yang dalam waktu cepat mampu memberi terapi dari keadaan selama ini yang
termarjinalkan secara politik. Marjinalisasi perempuan merupakan persoalan klasik dan terjadi
sepanjang sejarah manusia dan terus berkembang dan mengakar dalam bentuk budaya yang
didukung sepenuhnya oleh struktur negara yaitu undang-undang.

Alasan lainnya adalah adanya sistem budaya patriarkhis yang sangat merugikan kaum
perempuan. Sistem budaya patriarkhis adalah sistem yang memiliki nilai-nilai yang dominan
berpihak kepada kaum laki-laki. Sistem patriarkhi semakin kuat berakar, menghegemoni, dan
seakan memiliki legalitas kebenaran ketika negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat,
ikut memelihara dan melakukan pembiaran terhadap nilai nilai yang terjadi dan merugikan kaum

5

perempuan. Sistem patriarkhi yang mendukung dominasi dan memandang bahwa laki-laki
dengan maskulinitasnya sebagai kekuatan yang lebih dari kaum perempuan, yang pandangan
tersebut memberi implikasi terhadap semua sektor kehidupan berdasarkan relasi antara
perempuan dan laki-laki.
Diatas semua itu, alasan demokrasi menjadi alasan yang melandasi perjuangan affirmative
action, kuota 30 persen. Demokrasi hakekatnya adalah merupakan milik semua pihak, jenis
kelamin, dan karenanya keterwakilan perempuan di politik dan legislatif adalah sama pentingnya
dengan keterwakilan laki-laki di politik/parlemen. Mengabaikan keterwakilan perempuan dalam
politik/parlemen, sama maknanya dengan belum sempurnanya demokrasi yang berlangsung.
Demokrasi tanpa melibatkan perempuan di dalamnya menurut Anie Soetjipto (2005:24), sudah
pasti bukan demokrasi yang sesungguhnya.
Satu decade atau 8 tahun perjuangan Affirmative Action, kuota 30 persen dapat dilihat

realitasnya bahwa berdasarkan hasil pemilu 2004, keterwakilan perempuan di politik/legislatif
hanya 11 persen, Hasil 11 persen keterwakilan perempuan di parlemen setelah didukung oleh
Undang Undang Pemilu No. 22 Tahun 2002 Pasal 65 Ayat 1, yang mensyaratkan 30 persen
keterwakilan perempuan di legislatif. Hasil tersebut menurun dari hasil pemilu tahun 1999 yang
mencapai 9 persen. Berdasarkan realitas tersebut, apakah hasil pemilu tahun 2009 hasilnya
meningkat secara significant keterwakilan perempuan di parlemen/legislatif, dengan semakin
kuatnya kekuatan hukum atau undang-undang yang menjadi payung pelaksanaan affirmative
action, kuota 30 persen ?
Pertanyaan tersebut sepantasnya muncul sebagai implikasi dari kekuatan hukum yang
termaktum dalam Undang-undang No.2/2008 tentang Partai Politik yang telah mengamanatkan
kuota 30 persen untuk perempuan dalam politik, terutama dalam Parlemen Pasal 8 Butir d UU

6

No. 10/2008, misalnya menyebutkan menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai 30 persen sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat
menjadi peserta pemilu. Dan hal tersebut dikuatkan oleh Pasal 53 UU tersebut juga mengatakan
bahwa daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
UU partai politik tersebut memang tidak memberikan kekuatan hukum yang mutlak.
Namun lebih sebagai persyarakatan yang dapat saja dipahami bahwa partai politik tidak mesti

memenuhi hal tersebut. Ketentuan persyarakatan kuota 30 persen hanya didukung oleh Pasal 57
UU Legislatif misalnya mengenai verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon, yang mana
jika parpol tidak memenuhi ketentuan kuota 30 persen, disebutkan bahwa KPU, KPU Propinsi,
KPU Kabupaten/Kota akan memberikan kesempatan kepada pada parpol untuk memperbaiki
bakal calon tersebut dan memberikan alasan tertulis.
Sebagaimana disebutkan diatas, ketentuan kuota 30 persen tidak memiliki kekuatan
hukum mutlak, namun hanya kekuatan moral bagi partal politik untuk mau tidak mau, mudah
atau sulit untuk memenuhi ketentuan kuota 30 persen. Kekuatan moral yang dimaksud didukung
dengan ketentuan lain bahwa partai politik harus mengumumkan bakal calon legislatif melalui
media massa cetak dan elektronik. Atas dasar kekuatan pengaruh dan daya jangkau media massa,
maka hal tersebut dapat di nilai merupakan tekanan yang memadai bagi partai politik unrtuk
memenuhi ketentuan kuota 30 persen.
Ketentuan jika parpol tidak memenuhi ketentuan tersebut sebagaimana yang termaktum
dalam Pasal 53 UU maka partai politik tersebut tidak dapat mengikuti pemilu 2009 memunculkan
masalah baru yang cukup krusial, baik masalah yang dihadapi secara langsung oleh partai politik
peserta pemilu 2009, maupun oleh kandidat perempuan yang dicalonkan oleh partai politik.

7

Dalam Pemilu 2009 akan bertarung 11.000 caleg yang diusulkan oleh 38 partai politik

seluruh Indonesia baik di tingkat naisonal, propinsi maupun kapupaten dan calon DPD. menurut
data dari Puskapol Fisip UI (Harian Umum KOMPAS, Selasa, 14 Oktober 2008) yang mengacu
pada Komisi Pemilihan Umum (KPU), bahwa terdapat lima partai yang menempatkan 40 persen
atau lebih keterwakilan perempuan dalam DCS (daftar calon sementara), yaitu Partai Karya
Peduli Bangsa (PKPB) 48 persen, Partai Kesatuan dan Keadilan Indonesia (PKPI) 45 persen,
Partai Demokrasi Pembangunan (PDP) 40 persen, Partai Matahari bangsa (PMB) 42 persen,
Partai Demokrasi Indonesia Kebangsaan (PDK) 40 persen, Partai Bintang Reformasi (PBR) 40
persen, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNU) 47 Persen.
Sementara pada sisi lain tujuh partai besar yang dipastikan lolos dalam Pemilu 2009
ternyata tidak memenuhi minimal keterwakilan perempuan kuota 30 persen di semua (daerah
pilihan dapil) untuk pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketujuh Partai tersebut adalah
Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Dan Partai Amanat Nasional (PAN) . Beberapa Partai Baru juga tidak
dapat memenuhi ketentuan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam Daftar calon
Sementara (DCS) menurut Sri Eko Wardani, yaitu : Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindra), dan Partai Patriot.
Latar belakang melegalkan affirmative action, kuota 30 persen keterwakilan perempuan di
parlemen ditandai dengan lahirnya UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Legislatif yang telah
‘mewajibkan’ affirmative action kuota 30 persen. Hal itu, memberikan kekuatan “tawar”

perempuan untuk aktif di politik dengan meningkatkan keterwakilan mereka di parlemen.
Legalisasi ini kemudian di perkuat dengan munculnya UU Partai Politil 2008 pasal 53 yang

8

mensyaratkan ketentuan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota
parlemen.
Tuntutan affirmative action, kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen yang
berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia telah memaksa sebagian partai politik yang ingin ikut
pemilu mengalami kesulitan untuk merekrut kandidat perempuan berkualitas sebagai pemenuhan
ketentuan UU Pemilu 2008.
Fenomena ini salah satunya di tandai dengan berbondong-bondongnya para artis maupun
selebritis perempuan yang mencoba peruntungan di ranah politik. Beberapa memang terbukti
mampu menunjukan kwalitasnya, namun lebih banyak yang tidak memiliki latar belakang politik
maupun pendidikan yang meyakinkan untuk maju sebagai kandidat anggota parlemen, Beberapa
partai besar seperti Golkar, PDI-P, PKB, PAN, Partai Demokrat dan PPP memanfaatkan kondisi
ini lebih untuk memenuhi ketentuan kuota 30 persen, disamping memanfaatkan popularitas
mereka untuk menjaring suara pemilih ditengah persaingan yang ketat. Strategis yang digunakan
pada akhirnya bukan lagi menggunakan individu yang telah dikenal oleh masyarakat, namun juga
siapa saja yang ‘mau’ mencalon diri menjadi kandidat partai dalam rangka memenuhi tuntutan
UU Pemilu. Sebagian besar para kandidat instant ini sudah barang tentu hampir tidak melewati
proses kaderisasi di Partai Politik maupun kiprah yang dapat dipertanggung jawabkan di tengah
masyarakat. Hal ini di tandai dengan banyaknya kandidat yang terkesan tidak memiliki konsep
atau flatform yang jelas yang mereka usung sebagai bargaining politik dengan rakyat.
Dilihat dari kondisi tersebut, maka perempuan dalam tataran kebijakan, dapat dikatakan
telah berhasil melawan tirani yang selama ini secara struktural dan cultural telah sangat
memarjinalkan kaum perempuan dalam politik. Namun dalam taraf yang substansial, masalah
pada level subyektivitas individu maupun komunal pada dasarnya belumlah terbongkar atau

9

terselesaikan. Bahkan pada tataran ideal dari perjuangan dasar perempuan itu sendiri, Sistem yang
ada dapat saja memperkuat peran dominasi ekonomi terhadap proses penentuan caleg, yang sejak
awal justru merupakan salah satu bagian yang mereka lawan sehingga memunculkan perjuangan
kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Parlemen.
Dalam hal ini, negara telah memberikan ruang yang sangat baik bagi kaum perempuan,
yaitu dengan lahirnya UU Pemilu 2003 dan disempurnakan dengan UU Pemilu 2008, dan
akhirnya klimak dari perubahan sistem ini, adalah ketentuan suara pemilihterbanyak yang akan
menentukan terpilih tidaknya seorang kandidat sebagai anggota parlemen, meski ketentuan nomor
urut tetap menjadi faktor yang juga ikut berperan. Situasi ini Dalam konteks Gramsci, telah
tercapai keseimbangan posisi tawar antara gerakan perempuan, yang direpresentasikan sebagai
masyarakat sipil, dengan negara, yang disebutnya sebagai masyarakat politik, dalam pertarungan
ide antara keduanya. Negara sebagai masyarakat politik selama ini dipercaya telah melakukan
hegemoni politik atas masyarakat sipil, yang dalam konteks ini adalah kaum perempuan.
Pada tataran Superstruktur, hegemoni negara telah dikalahkan oleh masyarakat sipil dan
pertarungan ide dimenangkan oleh kaum perempuan sehingga memunculkan nilai nilai baru yang
lebih berpihak kepada kaum perempuan. Pada fase ini Gramsci menyebutnya sebagai gerakan
‘counter hegemoni’, dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru
setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama. UU Pemilu 2008, dapat
dikatakann sebagai kemenangan perempuan sebagai mayarakat sipil.
Yang lalu menjadi persoalan adalah, dalam realitas di masyarakat yang didasarkan oleh
kondisi riil kaum perempuan yang telah terkonstruksi dengan sangat kuat oleh struktur budaya
patriarckhi yang sangat membela dominasi kaum laki-laki, maka masih sangat banyak persoalan
yang ditemukan berkaitan dengan perjuangan affirmative action, kuota 30 persen. Salah satunya

10

yang sering dipertanyakan dalam konteks politik adalah apakah perempuan berkualitas sebagai
caleg legislatif atau pemenuhan kuota 30 persen hanya merupakan pemenuhan pada taraf angkaangka semata, tidak lebih.
Dalam upaya melakukan ‘counter hegemoni’, kaum perempuan, sebagaimana di sebutkan
diatas, harus memiliki posisi tawar (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi
sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung yang salah satunya adalah Media.
Kebutuhan akan dukungan media Industri menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini
disebabkan Media Industri memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima
oleh publik dibanding media komunitas. Disamping itu Media industri juga mampu menempatkan
dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling
ketergantungan yang kuat antara media industri dengan masyarakat itu sendiri.
Yang menjadi masalah adalah ketika Media Industri, sebagai elemen penting untuk
menaikkan posisi tawar kaum perempuan terhadap negara, justru berperan sebagai pendukung
budaya patriarkhis yang berlaku ditengah masyarakat. Situasi menjadi semakin tidak
menguntungkan bagi gerakan kaum perempuan ketika negara, yang juga memiliki kepentingan
dengan media industri, memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan ‘perselingkuhan sosial
(social conspiration) dengan media industri. Perselingkuhan sosial antara negara dengan media
industri sangat mungkin terjadi terutama jika para pemilik media industri itu adalah bagian dari
masyarakat politik atau memiliki kepentingan dengan masyarakat politik yang berkuasa.
Media Industri, sebagai sebuah institusi yang memiliki ideologi kapital, memang bukan
tidak mungkin dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan ide ide nya,
terutama jika mengingat bahwa ideologi kapitalis sangat menekankan pada orientasi financial
(profit oriented). Orientasi financial itu sendiri sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak sebuah

11

media industri mampu meraih peminat dikalangan masyarakat. Masyarakat sendiri, meski dengan
pola budaya patriarkhis yang mereka miliki, sangat memiliki kepentingan akan pengetahuan yang
sebagian besar dapat mereka peroleh melalui media industri.
Rasa keingintahuan masyarakat terhadap hal-hal baru maupun situasi yang sedang
berkembang ditengah mereka merupakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh gerakan kaum
perempuan untuk ‘memaksa’ media industri berperan sebagai sarana sosialisasi perjuangan
mereka. Diperlukan upaya yang cerdas dan konsisten dari kaum perempuan untuk terus
mengangkat isu isu perjuangan agar mampu bermain dalam ‘arena pasar’ yang laku jual agar
dapat terus memaksa media industri berperan sebagai sarana sosialisasi mereka sehingga pada
akhirnya dapat tercipta opini publik yang lebih mendukung ide ide yang mereka perjuangkan.
Opini publik inilah yang lalu akan menjadi salah satu instrumen penting untuk menaikan posisi
tawar mereka terhadap negara.
Mengubah suatu konstruksi budaya memang tidak mudah, baik pada tataran wacana
maupun praktis. Meski demikian, hal itu tidak lalu berarti bahwa upaya kearah perubahan tidak
bisa dilakukan, bahkan menjadi semakin mendesak untuk memperjuangkan norma-norma hukum
dan kebijakan yang lebih membela perempuan (sensitive gender). Perjuangan ini diharapkan bisa
membuat kondisi perempuan secara perlahan dan pasti berubah menjadi lebih baik, terutama di
ruang politik, sehingga tidak tertinggal jauh dengan laki-laki. Dengan dilakukan secara terus
menerus mengupayakan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen meningkat sehingga
mencapai jumlah dan kualitas yang memadai dalam setiap setiap komisi di DPR (11 komisi).
Peningkatan kuantitas yang juga dibarengi dengan kualitas tersebut diharapkan mampu mewarnai
prilaku politik anggota legislatif laki-laki. Keterwakilan yang seimbang akan menjadi

12

mendukung proses perjuangan isu-isu perempuan lebih berhasil dan sekaligus representasi dari
sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Dalam perjuangan tersebut, dibutuhkan dukungan dari semua pihak, terutama tentu dari
kelompok perempuan itu sendiri dengan mengembangkan collective will berdasarkan kekuatan
subyektif perempuan. Menurut Shvedova (dalam Azza Karam,2001:17), kekuatan subyektif inilah
yang akan mampu menggerakkan perjuangan yang dilakukan sehingga dapat dikatakan bahwa
Affirmative action adalah suatu alat penting untuk memperjuangkan mencapai 30 persen
perempuan secara realistis di parlemen agar perempuan mampu bermain pada tingkat pembuatan
keputusan. Salah satu kekuatan penggerak lainnya adalah media massa. Media massa pada era
aktivitas politik modern adalah element penting dan bahkan sangat menentukan persepsi politik
yang berlangsung.
Media massa dengan segenap perangkatnya juga memiliki kepentingan dan ideologi
sendiri. Dalam Konsep Gramcsi, media massa diinterpretasikan sebagai instrument untuk
meyebarluaskan dan memperkuat hegemoni dominan, akan tetapi media sekaligus dapat juga
digunakan untuk menyebarluaskan dan memperkuat ide-ide dan gerakan counter hegemoni.
(Stillo, 1999:10) Dalam realitas ideologi kapitalisme, hegemoni dan dominasi laki-laki juga
berlangsung di media. Media tidak mungkin melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan
institusi pengelola media itu sendiri. Akibat kecenderungan media dikelola sebagai industri
adalah munculnya kapitalisme media. Kondisi tersebut diperkuat oleh cara berpikir pengelola
media itu sendiri yang dibentuk oleh pemahaman budaya patriarkhi mengakibatkan tayangantayangan mengenai perempuan hanya teks seputar rumah tangga dan fashion. Hal ini terjadi
bukan hanya pada tayangan yang besifat hiburan tapi juga pada tayangan berita yang semestinya
lebih netral. Gambaran atau prototipe perempuan pada umumnya lebih kepada apa yang disukai

13

dan laku dijual oleh media massa yang lalu mempengaruhi tulisan dan persepsi tentang
perempuan dan aktivitas mereka di politik.
Media massa merupakan salah satu perangkat diantara beberapa perangkat komunikasi
politik lainnya menurut Brian McNair (1997), Disamping perangkat-perangkat lainnya seperti
partai politik, pressure group dan warga Negara/masyarakat. Semua komponen tersebut sangat
diperlukan dalam perjuangan kaum perempuan aktif di politik. Media yang menjadikan
perhelatan politik menjadi gegap gempita, yang mebuat peristiwa politik, baik kandidat, proses
kampanye, dan propaganda simbol politik diketahui dengan sangat terbuka oleh masyarakat.
Masyarakat dengan sangat mudah dapat mengetahui siapa kandidat pemilu yang diusung oleh
partai politik.
Dalam proses pemilu, partai politik adalah wadah politik yang menjadi tempat dimana
para kader partai termausk kandidat politik belajar dalam arti yang sesungguhnya berhubungan
dengan masyarakat. Dalam konteks demokrasi di Indonesia berdasarakan UU Partai Politik dan
landasan sosial budaya, partai politik sangat dominan dalam menentukan caleg dalam setiap
pemilu. Besarnya kekuasaan partai tersebutlah yang sering menjadi kendala dominan dalam
proses rekruitmen caleg perempuan. Perempuan secara budaya masih dipandang sebagai warga
Negara yang lebih cocok ‘hanya’ aktif di wilayah domestic, dan politik yang merupakan wilayak
‘publik’ dipandang lebih cocok untuk kaum laki-laki.
Atas dasar beragam pandangan tersebut di atas, maka ketentuan affirmative action, kuota 30
persen dapat dipahami sebagai kebijakan yang penting dalam mendorong keterwakilan
perempuan di legislative. Namun kuota 30 persen yang telah dicanangnkan dan memiliki
kekuatan ‘memaksa’ partai politik untuk mencantumkan 30 persen atau lebih caleg perempuan
dinilai beberapa kalangan berbenturan dengan tuntutan terhadap kwalitas caleg perempuan yang

14

selama ini banyak diperdebatkan. Perdebatan tersebut secara rasional muncul dikarenakan alasan
filosofis affirmative action, kuota 3o persen, telah memaksa partai politik untuk memenuhi kuota
yang di haruskan untuk dapat mengikuti pemilu, sehingga proses penyaringan terhadap caleg
perempuan menjadi dinomor duakan. Sementara pada sisi lain peribahan dinamika masyarakat
yang terjadi sekarang ini telah menciptakan ruang public yang dianggap cukup bagi perempuan
untuk berkiprah di ranah public/politik tanpa terkendala oleh sebuah sistem pun, sehingga
memunculkan kesan affirmative action kuota 30 persen bagi kaum perempuan tidak lagi
diperlukan. Juga menarik untuk di cermatinya banyaknya perempuan berkualitas yang tidak dapat
bermain di ranah politik karena alasan mereka sebagai PNS ataupun jabatan lainnya, sehingga
kesempatan bagi parpol untuk merekrut kader perempuan terbaik menjadi semakin terbatas.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pertimbangan yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah penelitian
ini adalah :

15

1. Apakah kebijakan Affirmative action berdasarkan UU Pemilu 2003 dan UU Partai Politik
2008 merupakan kebijakan yan sesuai dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan di
parlemen dalam pelaksanaan otonomi daerah?
2. Bagaimana kualitas komunikasi politik caleg perempuan dalam pemilu legeslatif Daerah
3.

Pemilihan (DAPIL) Provinsi DKI Jakarta tahun 2009?
Bagaimana dukungan partai politik terhadap proses pemenuhan kuota 30 persen atas dasar

4.

UU Pemilu 2009?
Bagaimana peran media massa dalam proses politik kandidat perempuan dalam pemilu

5.

2009 ?
Bagaimana pandangan kelompok pressure group di masyarakat terhadap keterlibatan

6.

perempuan di politik dan ketentuan kuota 30 persen ?
Apakah perjuangan perempuan berkaitan dengan ketentuan kuota dan otonomi daerah
merupakan gerakan counter hegemoni ?

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah, teori, metodelogi dan analisis penelitian yang dipergunakan oleh
peneliti, maka tujuan penelitian adalah :
1. Mengungkapkan kebijakan Affirmative action berdasarkan UU Pemilu 2003 dan UU Partai
Politik 2008 merupakan kebijakan yan sesuai dalam upaya peningkatan keterwakilan
perempuan di parlemen dalam kerangka otonomi daerah.
Mengetahui dan mengkritisi kualitas komunikasi politik caleg perempuan dalam pemilu

2.

legeslatif DAPIL Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 .
3. Menjelaskan dukungan partai politik terhadap proses pemenuhan kuota 30
persen atas dasar UU Pemilu 2009 .
4. Menjelaskan dan mengkritisi peran media massa dalam proses politik
kandidat perempuan dalam pemilu 2009 .
5. Menjelaskan pandangan kelompok pressure group di masyarakat terhadap
keterlibatan perempuan di politik dan ketentuan kuota 30 persen .

16

6. Menjelaskan perjuangan perempuan berkaitan dengan ketentuan kuota dan
otonomi daerah merupakan gerakan counter hegemoni.

1.4. Signifikansi Penelitian
1.4.1. Signifikansi Akademis
Penelitian yang menggunakan landasan kerangka pemikiran kritikal yang dalam hal ini
analisis kritis berdasarkan pemikiran Antonio Gramsci, diharapkan mampu mengungkapkan
interaksi dinamis antara keberadaan dan sekaligus kekuatan media massa dalam proses
perjuangan perempuan menuju keterwakilan di parlemen yang signifikan dan memenuhi rasa
keadilan perempuan dan demokrasi modern sehingga dapat memberikan hasil penelitian dengan
pendekatan analisis Gramscian bagi bidang keilmuan komunikasi politik. Terutama pengkayaan
pemahaman teori dari kelompok kritikal yang selama ini masih sangat jarang dipergunakan
analisis Gramscian dalam kajian komunikasi di Indonesia sebagai alternatif pendekatan yang
penurut penulis justru akan mampu secara mendalam menjelaskan secara lebih mendalam dan
subtansial dalam menelaah masalah-masalah komunikasi, politik dan sosial budaya.

17

Penggunaan metode studi kasus, di harapkan menjadi sebuah alternatif metode yang juga
penting. Dilengkapi dengan Analisis Gramscian, yang setelah penulis teliti terhadap karya ilmiah
dalam bidang komunikasi khususnya tesis dan disertasi belum ada yang menggunakan, setidaknya
dalam telahan media massa, perempuan dan politik diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran alternatif sehingga semakin memperkaya pemikiran ilmu komunikasi.
Dapat memberikan asumsi-asumsi bahkan teori baru dalam proses pengembangan
perempuan dalam politik yang dianggap selama ini termarjinalkan oleh budaya dengan sistem
patriarchal dan struktur partai politik, Negara dan parlemen yang sangat dominan laki-laki.
Affirmative action yang merupakan kebijakan sementara, dan dilakukan untuk mempercepat
pemahaman dan tindakan praktis dalam waktu singkat, maka dengan penelitian ini dapat
menghasilkan alternatif konsep dan metode pemberdayaan perempuan di politik, dengan
mengedepankan kualitas dan kesadaran subyektif perempuan, sehingga mereka dapat menjadi
kandidat dan anggota parlemen yang memberi kontribusi maksimal bagi pengembangan kaum
perempuan, kaum marjinal dan bangsa secara umum.

1.4.2. Signifikansi Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif pandangan dalam
memahami dan menyelesaikan konflik sosial dan komunikasi politik di masyarakat umumnya dan
khususnya bagi para kandidat perempuan, partai politik, negara dengan masyarakat. Pemikiran ini
dapat menjadi alternatif konsep gerakan civil society sehingga memunculkan kesadaran bahwa
segala bentuk tirani dapat dilawan dengan perjuangan yang didasarkan pada kekuatan kolektif
masyarakat sipil.

18

Agar perjuangan itu menjadi kuat, maka jaringan aliansi adalah sesuatu yang sangat
penting agar tujuan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, otonomi dan independensi mampu
mendobrak hegemoni dominan sehingga melahirkan hegemoni baru dengan ideologi alternatif
yang membuka sebesar-besarnya ruang publik yang memungkinkan terciptanya dialog antara
civil society dengan political society, yaitu ruang perdebatan ide-ide yang diharapkan mampu
membentuk kekuatan civil society, hubungan dialektikal anatara civil society dan political society
sehingga hegemoni manapun yang memang dan berkuasa tidak akan melakukan kediktatoran
dengan menutup arena perdebatan. Kepatuhan yang tercipta adalah kepatuhan spontan (spontan
concents) masyarakat dan bukan dengan diperoleh dengan cara memaksa, melainkan muncul
sebuah kesadaran intelektual dan moral sehingga mempengaruhi ideologi, budaya, hubungan
social dan politik. Penelitian dan hasill penelitian dapat dipergunakan dan bermanfaat bagi
penyelesaian masalah-masalah praktis yang berhubungan dengan media massa, perempuan dan
politik. Perempuan terjun ke politik dengan kualitas yang memadai dan dapat mengubah beragam
kebijakan yang dihasilkan parlemen khususnya dalam kerangka otonomi daerah.

19

Bab II
Kerangka Pemikiran Teoritis

2.1. Lingkup Paradigma Teori
Paradigma adalah cara pandang terhadap realitas, dan merupakan sistem kepercayaan
mendasar yang mengarahkan alur pikir guna menentukan pilihan-pilihan pendekatan yang
digunakan dan bagaimana hal tersebut dilakukan di lapangan oleh peneliti (The Paradigma
Dialog, Egon C. Guba,edt, dalam The Alternatif Paradigm Dialog,1990:17). Lebih lanjut Guba
menyebutkan bahwa paradigma adalah hasill konstruksi manusia (human constructions) dimana
sangat mungkin terjadi kekeliruan dalam proses tersebut dan mungkin saja terdapat perbedaan
memahami sebuah realitas oleh peneliti berdasarkan pilihan paradigma yang akan digunakan
untuk memahami realitas atau fenomena.. Setiap orang/peneliti mempelajari realitas berdasarkan
berbagai pandangan yang diyakini sesuai dan cocok untuk memahami fakta yang dimaksud atau
menjadi obyek penelitian.
Pemahaman terhadap realitas sosial tidak dapat dilakukan sebagaimana adanya karena
realitas ‘real’ sulit ditentukan dan hal ini dipengaruhi oleh berbagai sudut pandang pihak yang
berupaya memahami realitas tersebut. Upaya itu dipengaruhi oleh berbagai pandangan
subyektifitas tertentu. Dalam ilmu sosial para ahli berusaha mengetahui prilaku interaksi orang
dengan orang dan orang dengan realitas yang melingkupi mereka serta berusaha mencari dan
menemukan penyebab timbulnya sebuah realitas dan manfaat yang dapat digunakan manusia dan
lingkungan dimana realitas itu muncul dan berkembang.

20

Kejelasan paradigma yang digunakan oleh peneliti dalam memandang fakta sosial sangat
penting karena akan mengarahkan dengan baik dan konsistens serta menyesuaikan langkahlangkah dan tindakan yang digunakan. Menurut Guba dan Lincoln (1994:109) dalam bukunya
Competiting Paradigma in Qualitative Research”, dijelaskan bahwa paradigma adalah
serangkaian kepercayaan mendasar (metaphysics) yang berkaitan dengan prinsip-prinsip pertama,
dimana diutarakan bagaimana realitas dipahami dan dipandang. Menurut mereka terdapat 4
paradigma yaitu Positivism, Postpositivisme, Critical Theory dan Contructivisme.
Paradigma yang dipakai dalam penelitian mengenai Otonomi Daerah dan Komunikasi Politik
Kandidat Anggota Parlemen Pemilu 2009 (Analisis Gramcian Terhadap Affirmative Action,
Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan Di Parlemen Di Daerah Pemilihan Provinsi DKI
Jakarta adalah “Paradigma Kritikal” atau Critical Theory, yaitu Paradigma yang bercirikan
Ideologically oriented inquiry seperti pendekatan neo-Marxism, materialism, feminism,
participatory inquiry dan beragam teory lainnya yang termasuk teori kritikal (Guba, 1990:23).
Paradigma Kritis adalah paradigma yang sangat menaruh perhatian terhadap upaya
pembongkaran aspek-aspek yang tersembunyi di balik realitas yang tampak guna dilakukan
sebuah kritik dan perubahan (critiqeu and transformation) terhadap struktur sosial (Guba and
Lincoln,1994:109). Asumsi-asumsi teori kritikal terkandung pada pemikiran Antonio Gramsci
yang dipergunakan oleh penulis, untu melihat, mengkritisi dan sekaligus menjelaskan fenomena
yang ada. Hal ini sebagaimana juga dijelaskan oleh Chantal Mouffe (1979:9) yang menyatakan
bahwa Analisis Gramscian membahas persoalan-persoalan mengenai kelas pekerja (the working
class), superstructure, civil society, collective will, class of struggle, political praxis hegemonicounter hegemoni dll, sehingga menempatkan pemikiran dan analisis Gramsci sebagai pemikir
Marxist, tepatnya Humanist Marxist. Pemahaman senada dinyatakan oleh Nabento Boobio yang

21

menyatakan bahwa tesis-tesis Gramcsi memiliki kaitan dengan tradisi Marxist (dalam,
Mouffe,1979:2)
Dalam tataran ontologi, paradigma Kritikal merupakan ‘historical realism’, dimana
dipahami bahwa sebuah realitas diasumsikan dapat dipahami sebagai realitas semu, yang dapat
dibentuk sepanjang waktu dan diciptakan melalui kekuatan dan kategori sosial, politik, budaya,
ekonomi, etnik dan nilai gender dan sebagainya, yang telah terkristalisasi dalam jangka waktu
yang lama dan terus menerus dalam sebuah nilai struktur-struktur tertentu yang dipahami dan
dikenal sebagai realitas. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian diatas, yaitu berupaya
mengungkapkan proses sosial yang telah terjadi sangat lama dan terus menerus dalam fenomena
saat ini serta perubahan sosial, politik, budaya, nilai gender yang terdapat di balik konstruksi
realitas perempuan dalam aktivitas politik.
Epistemologinya bersifat ‘transactional and subyectivist’, maksudnya adalah peneliti dan
obyek yang diteliti diasumsikan harus saling berinteraksi satu dengan lainnya. Antara peneliti dan
obyek dapat saling mempengaruhi atas nilai-nilai yang ada yang merupakan usaha untuk
memahami realitas sosial sebagai hasil rekonstruksi manusia dari proses sosial yang berlangsung.
Realitas harus dipahami sebagai kenyataan yang telah diperantarai oleh nilai-nilai (value
mediated findings) antara si subyek dengan realitas yang sebenarnya. Realitas sosial yang ada dan
lekat dengan pandangan atau pihak-pihak tertentu tidaklah ada dengan sendirinya, namun realitas
yang dimaksud merupakan fenomena hasil pembentukan atau kreasi manusia dalam proses
interaksi yang berlangsung. Interaksi dan transaksi dalam proses sosial inilah yang kemudian
menentukan bagaimana bentukan realitas sosial yang ada dan dipahami dengan pandangan apa
dan sebagai apa.

22

Sedangkan tataran metodologi menggunakan pendekatan ‘dialogic and dialectica’l, yaitu
transactional nature of inquiry, paradigma ini membutuhkan dialog antara peneliti dan subyek
penelitian, dimana diharapkan dialog yang berlangsung haruslah bersifat dialectikal secara
alamiah untuk mentransformasikan penolakan dan kesalahpemahaman sehingga menjadi lebih
tercapai kesadaran untuk melihat dan menciptakan perubahan sebuah struktur. Giroux (1988)
menyebut situasi tersebut dengan “as transformative intelectuals” (dalam Egon C. Guba and
Yvonna S. Lincoln, 1994: 110).
Kritikal teori, menurut Littlejohn (1996:227), cenderung tidak suka memisahkan
komunikasi dan elemen-elemen lain dari keseluruhan sistem yang merupakan bagian dari sebuah
kritik masyarakat secara keseluruhan. Pendekatan Kritis ini sering juga jdisebut Marxist, Kaum
Marxist sendiri, menurut Littlejohn, juga menolak validitas suatu teori dengan alasan karena
kaum Marxist menganggap atau memandang teori sebagai ide dasar yang harus dilengkapi
dengan kajian praktis. Teori hanyalah sebuah landasar pikir yang dapat saja dalam proses
praksisnya berubah dan kekuatan teori terletak pada tindakan praksis yang dilakukan.
Pemahaman tersebut dapat dijelaskan dalam memahami realitas real mengenai peran politik
perempuan dalam sistem politik Indonesia.
Dalam sistem politik Indonesia, laki-laki adalah kelompok dominan yang menentukan
keputusan-keputusan sosial, budaya dan politik. Secara struktural anggota parlemen laki-laki
masih sangat dominan, baik karena jumlah mereka 90,2 persen hasil pemilu 1999 dan sekitar 89
persen hasil pemilu 2004.) maupun karena asumsi sosio-kultural yang ada dan berpengaruh
ditengah masyarakat. Karenanya masuk akal jika keputusan dan kebijakan politik yang diambil
hampir tidak memperhatikan kepentingan perempuan. Realitas ini yang kemudian banyak sekali
berakibat pada ketidakadilan gender. Konkritnya adalah laki-laki lebih banyak mengambil

23

keputusan dan menentukan ‘kepentingan’ perempuan. Kondisi ini makin diperjelas bila melihat
kualitas anggota legislatif laki-laki dan perempuan. Anggota parlemen laki-laki rata-rata memiliki
pengalaman yang cukup berkat proses kaderisasi partai politik yang juga lebih berpihak kepada
laki-laki dibandingkan dengan aktor politik perempuan.
Sebagaimana dipahami bahwa pengaruh struktur sosial sangat mempengaruhi realitas
kognisi seseorang. Bila dalam sebuah struktur sosial laki-laki lebih dominan maka kebanyakan
perempuan hanya melaksanakan keputusan yang telah terlebih dahulu direncanakan oleh
kelompok dominan. Namun bila perempuan terlibat secara aktif dalam suatu proses pengambilan
keputusan, maka akan terbuka kemungkinan terjadinya alternatif pemikiran yang dapat lebih
mendukung kepentingan perempuan. Keseimbangan baik jumlah maupun kualitas anggota
legislatif perempuan dan laki-laki akan membuka ruang debat yang sehat sebelum sebuah
kebijakan diambil.
Littlejohn (1996; 226) menyatakan bahwa Teori Kritis mempunyai tiga hal mendasar yaitu:
b.

Teori Kritis percaya merupakan hal yang sangat penting untuk memahami pengalaman

c.

hidup orang menurut konteks persoalan dan peristiwa.
Pemahaman diatas kemudian akan menguji kondisi sosial yang selama ini tidak
terjangkau atau tersembunyi, disebabkan kondisi yang tidak equal. Dalam pemahaman
ini pengetahuan berfungsi sebagai kekuatan untuk memahami cara-cara manusia

d.

melakukan perubahan.
Membuat dan membangkitkan kesadaran untuk menjadikan teori sebagai kesadaran
dalam bertindak.

Komunikasi dalam proses tersebut menciptakan makna realitas sosial dan proses ini
tergantung atau dipengaruhi oleh kelompok dominan seperti partai politik, pemerintah, kelompok

24

sosial kemasyarakatan dan bahkan oleh media massa. Hal tersebut sesuai dengan pemahaman
bahwa realitas secara mendalam merupakan aplikasi dalam pemikiran sosial. Pemikiran sosial itu
yang membentuk realitas sosial dan kemudian menjadi fakta sosial melalui interaksi sosial
diantara anggota kelompok sosial.

2.2. Komunikasi Politik Kandidat Perempuan
Politik sebagai aktivitas yang melibatkan banyak aspek seperti aktor politik, sistem
politik, masyarakat/rakyat, media dan kampanye yang mentransformasikan kepada khalayak dan
pengikut mengenai misi, visi, isu-isu dan program politik. Transformasi pesan politilk tersebut
merupakan bagian dari kampanye politik yang memang berlangsung dalam proses komunikasi
politik antara dua pihak yang terlibat dalam proses politik.
Dalam proses politik, komunikasi dan media adalah sarana yang dipergunakan secara
besar-besaran untuk melakukan transformasikan ide, konsep dan pesan-pesan politilk berlangsung
sekaligus menjadi wahana komunikasi antara kandidat poliotikl dengan khalayak/pengikut
maupun masyarakat dalam, kampanye, media massa memegang peranan vital. Media massa
menjadi saluran transformasi pesan yang mampu menjangkau khalayak atau pengikut/masyarakat
dalam jumlah yang sangat luas, sekaligus media mampu mengkonstruksi image seorang kandidat
yang dapat mempengaruhi dipilih atau tidak o9leh masyarakat.
Aktivitas politik di era perkembangan terknologi komunikasi dan informasi hampir
mustahil tidak melibatkan media massa. Media menjelma menjadi sarana kampanye dan
propaganda yang dipahami sangat penting oleh para kandidat politik disebabkan kemampuan
media yang mampu menjangkau khalayak dalam jumlah besar dan juga kekuatan persuasi yang
integral yang dimiliki media. Dahsyatnya kekuatan media massa terutama media elektronik

25

seperti televisi dan internet saat ini menjadi kekuatan baru yang keberadaannya secara maksimal
walau membutuhkan dana yang tidak sedikit, dimanfaatkan oleh kandidat politilk untuk
memperkenalkan diri mereka dan konsep/isu politik para kandidat serta sebagai alat pembentuk
identitas partai politik dan kandidat.
Everett Roger dalam bukunya Communication Yearbook (2001:87), artikel Mass Media
Communication Research at The Down of 21 st century by Alan M. Rubin dan paul M. Haridakis,
menyatakan bahwa hubungan antara media dengan system politik merupakan hal yang integral
dalam sejarah, pengembangan dan operasional media.Artinya politik tidak mungkiun lepasa dari
media massa, juga sebaliknya. Dengan kata lain dapat dikatakan nbahwa peristiwa politik
semakin gegap gempita dikarenakan keterlibatan media massa yang sudah tidak mungkin
dihindari. Medialah yang menghantarkan secara gamblan dan terbuka kepada masyarakat setiap
hari dengan sangat cepat beragam aktivis politik dan kandidat politik.
Fenomena tersebut secara jelas dapat dilihat dalam pemilu 2004 dan proses pemilu 2009
mendatang. Gegap gempita politik tahun 2004 sangat terasa dengan keterlibatan media dalam
proses politik saat itu. Semua kandidat terutrama kandidat Capres/Cawapres berlomba-lomba
menggunakan media massa untk memperkenalkan diri mereka dengan khalayak, agar dikenal dan
dipilih oleh khalayak. Gegap gempita politik dikarenakan keterlibatan media semakin terasa
dalam proses 2009 sekarang ini. Mulai proses revisi UU Pemilu dan UU Partai Politik sebagai
kekuatan hukum pemilu 2009.
Para kandidat politik atau calon legislatif dan partai politik secara beramai-ramai
menggunakan media untuk memperkenalkan konsep dan isu politik yang diusung dalam pemiulu
2009 agar sampai kepada masyarakat. Media massa menjadi pilihan utama bagi siapa saja yang
terlibat dalam proses politik, tanpa mampuuntuk menolak keberadaan media yang memiliki

26

kekuatan dalam menjangkau publik. Dengan kata lain dalam era modern, yang mana kemajuan
media massa, maka hampir tidak mungkin memisahkan aktivitas politik dengan media massa.
Namun justru media dan poilitik keduanya saling mempengaruhi dan mendukung sehingga
aktiviotas politik membutuhkan media mengakampoanyekan isu-isu, program dan para kandidat
politik yang diharapkan mampu memperkenalkkan sekaligus membentuk persepsi positif
terhadap masyarakat.
Komunikasi politik adalah suatu kemestian bagi dalam proses politik yang dalam konteks
ini adalah kandidat politik perempuan yang mencalonkan diri sebagai calon anggota parlemen.
Komunikasi politik karenanya sangat diperlukan dalam aktivitas politik dan mustahil bagi para
kandidat mengabaikan peran media dalam proses politik yang berlangsung. Media yang diketahui
memiliki kekuatan untuk menjangkau dan mempengaruhi massa politik dalam jumlah yang luas,
juga bersifat ekonomis, meluas dan serempak. Keberadaan media massa bagaimanapun tentu saja
tidak akan menghapuskan komunikais face-to-face antara para aktor politik dengan pengikut atau
anggota masyarakat. Kekuatan dan keterlibatan media menjadi prasyarat dalam setiap proses dan
aktivitas poolitik dalam system politik di Indonesia. Menurut Brian McNair dalam bukunya An
Introduction to Political Communication, 1997:11) menyatakan bahwa media massa berfungsi
sebagai transformitter komunikasi politik yang berasal dari luar dari organisasi media itu sendiri,
dan sender pesan-pesan politik yang dikonstruksikan oleh pekerja media/jurnalis. (1997:11)
Media massa sebagaimana dipercaya selama ini telah mendukung proses sosialisasi nilainilai demokrasi. Demokrasi adalah syarat utama yang menyebabkan media dapat tumbuh bebas
dan leluasa dalam memenuhi informasi masyarakat. Sebaliknya media dalam era demokrasi
memberikan masyarakat keleluasaan mengakses beragam content media yang sesuai denga

27

kebutuhan mereka. Media menjadi pemain utama dan atas dasar pertimbangan ekonomi, media
dengan suka cita menjadi sarana promosi para kandidat politik.
Menurut McNair (1997:21), terdapat lima fungsi media komunikasi dalam tipe ideal
masyarakat demokrasi, yaitu:
1.

Media harus memberikan informasi kepada masyarakat (citizens) tentang apa yang

2.
3.

terjadi di sekitar mereka (fungsi surveillance ang monitoriung fuction of media).
Media harus mendidik sehingga informasi mempunyai signifikan dengan fakta.
Media harus memiliki platform untuk wacana politik publik, menfasilitasi bentuk-

4.

bentuk opini publik.
Media memberi publisitas beragam kegiatan pemerintah dan lembaga-lembaga

5.

politik- sebagai peran watchdog journalist.
Media dalam masyarakat demokrastis melayani sebagai channel advokasi
pandangan-pandangan politik.

Berkomunikasi berarti melakukan transformasi informasi untuk memperoleh respon,
koordinasi makna antara orang-orang, dan khalayak; saling berbagi informasi, ide atau tingkah
laku/sikap berbagai elemen-elemen perilaku atau gaya hidup melalui serangkaian aturan yang
ada/ditetapkan, yaitu pertemuan pikiran mengenai kesamaan simbol-simbol dalam pikiran
partisipan untuk memahami. Proses tersebut yang kemudian membawa pengalaman individu
secara internal berbagi dengan orang lain atau mentransformasikan informasi dari satu
orang/group kepada pihak lain. (Dan Nimmo, 1978:30
Proses transformasi tersebut saat sekarang lebih disukai dengan menggunakan media
massa berdasarkan pertimbangan berbagai kelebihan yang terkandung dalam media massa. Oleh
karenanya tindakan politik selalu berkaitan dengan media massa, dan hubungan antara proses
politik dan teknologi komunikasi adalah krusial. Hubungan media massa dan aktivitas politik

28

dinyatakan krusial karena memiliki konsekuensi penting bagi individu, lembaga, masyarakat dan
budaya (Media Power in Politics by Doris A. Graber, 1990:33). Atas dasar pertimbangan tersebut,
media massa digunakan dalam arti yang sesungguhnya secara maksimal untuk mengarahkan,
memiliki dan menggunakan media untuk menyampaikan pesan politik yang direncanakan.
Peran tersebut, semakin penting sebagaimana dikatakan oleh Curran Gurevich dalam
bukunya Massa Media and Society (1992:76), bahwa media mampu mengkonstruksi image
tentang dunia dan kehidupan sosial serta sekaligus mmapu mendefinisikan realitas sosial.
Masyarakat cenderung memahami realitas sosial dari tayangan media yang mereka konsumsi,
sebagai realitas social yang sesungguhnya, dan menjadi rujukan dalam memahami,
mempertimbangakan serta memutuskan sesuatu. Kondisi yang sama berlangssung dalam
kehidupan politik, kandidat politik memerlukan media massa untuk menyampaikan konsep dan
isu politik mereka kepada masyarakat dengan harapan masyarakat mengetahui dan memiliki
persepsi positif berkaitan dengan aktivitas politik.
Dengan kata lain, komunikasi politik sangat penting dalam proses politik kandidat
dalam mencalonkan diri sebagai bakal calon anggota parlemen. Kandidat politik perempuan harus
memiliki pemahaman dan kemampuan komunikasi politik sehingga dapat mengelola proses
politik yang sedang berlangsung. Tanpa kemampuan komunikasi yang memadai, maka cenderung
sulit untuk bersaing dengan pihak lain di era teknologi komunikais sekarang ini. Namun penggun
aan media dalam aktivitas kampanye, juga tidaklah murah,

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2