MEMPERTANYAKAN BEA KELUAR PRODUK PRIMER

MEMPERTANYAKAN BEA KELUAR PRODUK PRIMER PERTANIAN
Wayan R. Susila
Bagi kalangan yang bergerak di industri primer pertanian, khususnya perkebunan, kebijakan
pengenaan bea keluar (BK) merupakan salah satu kebijakan yang selalu dirindukan. Seperti
diketahui, dalam upaya mendorong pembangunan industri hilir perkebunan seperti CPO dan
kakao, pemerintah telah menerapkan BK. Bahkan ada wacana untuk mengenakan BK untuk
produk lainnya seperti mete.
Penerapan BK sebenarnya dilandasi oleh keinginan mulia untuk mengembangan industri hilir
perkebunan, dikenal dengan istilah hilirisasi. Dengan BK, industri hilir diharapkan dijamin
ketersedian bahan bakunya dengan harga yang yang lebih murah dari yang seharusnya. Dengan
demikian, industri hilir dapat tumbuh pesat sehingga meningkatkan nilai tambah, penciptaan
lapangan kerja, serta memperbaiki citra tidak lagi sebagai eksportir produk primer.
Namun akhir-akhir ini, semangat yang mulia tersebut sudah mulai agak kebablasan. Indikasinya
adalah produk yang sudah dikenakan BK, tingkat/tarif BK-nya diusulkan untuk ditingkatkan.
Produk yang belum dikenakan BK seperti mete, ada usulan untuk dikenakan BK.
Yang paling dikhawatirkan adalah pengenaan BK yang tidak tepat, baik itu komoditinya maupun
tarif BK-nya, akan membuat produsen bahan baku merasa tereksploitasi; Dengan perkataan
lain, industri bahan baku dikorbankan demi pengembangan industri hilirnya.
Sebagai contoh, untuk menstabilkan pasokan CPO di dalam negeri pemerintah mengenakan BK
untuk CPO. Memang setiap kenaikan 1% BK akan menyebabakan penurunana harga CPO di
pasar domestik sebesar 0.54% dan penurunan harga minyak goreng sekitar 0.49%.

Namun demikian, dampak negatif BK terhadap industri hulu perkebunan juga cukup substansial.
Pengenaan BK sekitar 5% untuk produk primer perkebunan akan menyebabkan penurunan harga
di tingkat petani sekitar 3.2%. Kebijakan tersebut berpotensi menekan investasi pada industri
hulunya sekitar 1.8%.

Resultan dari BK sebesar 5% adalah penurunan pendapatan petani

produsen berkisar antara 3.3 – 7.3 %, bergantung komoditinya.
Penurunan pendapatan petani yang umumnya berlokasi di pedesaan dan umunnya miskin,
kecualai pekebun kelapa sawit, jelas tidak sejalan dengan program pemerintah untuk menekan
jumlah orang miskin dan pembangunan pedesaan. Sementara pemerintah berjuang keras untuk
1

menekan angka kemiskinan, janganlah sampai ada kebijakan yang justru akan memicu kenaikan
jumlah orang miskin.
Dengan argumen seperti itu, tulisan ini bukanlah untuk menentang kebijakan pemerintah
menerapkan BK untuk produk primer pertanian. BK masih dapat diterapkan dengan beberapa
catatan sebagai berikut.
Pertama, BK janagnlah dijadikan instrumen kebijakan utama, apalagi satu-satunya instrumen
kebijakan, untuk mendorong industri hilir pertanian/perkebunan. BK sebaiknya ditempatkan

sebagai kebijakan yang komplementer dari satu paket kebijakan untuk mendorong industri hilir
perkebunan. Paket kebijakan tersebut hendaknya memecahkan masalah-masalah yang tengah
dihadapi industri hilir perkebunan seperti kebijakan untuk (i) memperluas akses pasar serta
mengatasi hambatan tarif dan non-tarif di pasar internasional; (ii) menurunkan bea masuk untuk
barang modal/mesin untuk industri hilir; (iii) harmoniasai tarif impor/tarif eskalasi; serta (iv)
menyediakan insentif-insentif investasi seperti di bidang perpajakan, transparansi prosedur
investasi, dan penyediaan infrastuktur yang memadai.
Kedua, pengenaan BK hendaknya mempertimbangkan sisi kelayakan finansial dari komoditi
tersebut. Untuk produk CPO, pengenaan BK masih dapat dijustifikasi karena sebagaian besar
pekebun kelapa sawit rakyat memiliki kebun sekitar 2 ha atau bahkan lebih. Di samping itu,
tingkat keuntungan usahatani kelapa sawit relatif tinggi. Dengan demikian, pengenaan BK hanya
menurunkan keuntungan pekebun, tidak sampai membuat usaha mereka merugi.
Hal yang sebaliknya berlaku untuk mete. Dengan rata-rata pengusaan kurang dari 0.5 ha per
petani serta tingkat keuntungan yang pas-pasan, adalah tidak tepat jika mereka dikenakan BK.
Pengenaan BK sama saja dengan menyuruh mereka untuk berhenti untuk berproduksi.
Ketiga, tarif BK yang akan dikenakan kepada produk yang pantas dikenakan, hendaknya cukup
memenuhi azas keadilan. Tariff BK untuk CPO yang sangat progresif sehingga dapat mencapai
25% jika harga CPO seperti sekarang ini, dinilai tidak adil. Tariff BK yang sangat tinggi tersebut
membuat penerimaan negara berupa penerimaan dari BK dan pajak penghasilan perusahaan
lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan perusahaan. Hal ini tentu tidak fair karena mereka

melakukan investasi dengan segala risiko, seperti resiko harga, penyakit, dan kebakaran.

2

Dengan tiga catatan tersebut, BK masih tetap dapat dikenakan asal diterapkan secara selektif
dengan tarif yang fair.

Pada saat yang sama, pengenaan BK yang fair akan dapat terus

memelihara momentum kejayaan kembali industri hulu

perkebunan Indonesia.

Untuk

membangun industri hilirnya, industri hulunya jangan dipajaki secara berlebihan, namu dijadikan
sebagai pelengkap dari satu paket kebijakan yang utuh untuk membangun industri hilir
perkebunan.

3