Chapter I Pengaruh Pendidikan Dan Sosial Ekonomi Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Desa Saribu Asih Kecamatan Hatonduhan Kabupaten Simalungun

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan aspek yang penting dalam kehidupan suatu negara dan
bahkan menjadi tolak ukur kemajuan Negara. Secara umum, Indonesia merupakan
negara yang mutu pendidikannya masih tergolong rendah dibandingkan dengan
negara-negara lain. Bahkan sesama negara anggota ASEAN pun kualitas SDM
Indonesia masih masuk dalam peringkat yang paling rendah. Hal ini terjadi karena
pendidikan di Indonesia belum berjalan secara ideal. Oleh karena itu, pendidikan di
Indonesia harus segera diperbaiki agar mampu melahirkan generasi yang memiliki
keunggulan dalam berbagai bidang sehingga bangsa Indonesia dapat bersaing dengan
bangsa lain dan agar tidak tertinggal karena arus global yang berjalan cepat.
Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara yang memiliki rumpun yang
sama, wilayah yang berdekatan, bahasa yang hampir sama, serta berbagai budaya
yang juga hampir sama. Namun, pendidikan Malaysia dengan Indonesia sangat
berbeda jauh. Pada permulaan tahun 2010, Malaysia telah memiliki lebih dari 80,000
orang mahasiswa internasional yang berasal dari lebih dari 100 negara yang berbeda.
Beberapa alasan yang menjadikan Malaysia sebagai tujuan kuliah karena kualitas
pendidikan di Malaysia diakui secara internasioanal. Dalam hal ini banyak
universitas luar negeri yang melakukan kerjasama dengan berbagai universitas di
Malaysia. Selain itu, kurikulum pendidikan di Malaysia mengikuti standar industri

yang meningkatkan prospek kerja mahasiswa sehingga banyak institusi pendidikan
tinggi Malaysia yang bekerjasama dengan industri dan universitas luar negeri untuk
menjamin bahwa program yang ditawarkan mengadopsi kurikulum terbaru dan
14

relevan dengan perkembangan pasaran kerja terkini. Program-program tersebut tidak
hanya menekankan pengetahuan teoritis, tetapi juga mengajarkan keahlian praktikal
yang dibutuhkan di dunia kerja yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk
menghasilkan para lulusan yang siap kerja, suatu kriteria yang dicari-cari oleh
berbagai

perusahaan

(http://www.hotcourses.co.id/study-in-malaysia/destination-

guides/7-alasan-malaysia-populer-sebagai-negara-destinasi-kuliah/ diakses tanggal
10 Agustus 2015 pukul 14: 35 wib ).
Sedangkan Potret pendidikan tanah air saat ini tergolong gawat darurat,
karena data Kemendikbud mencatat bahwa pendidikan di Indonesia menunjukan
hasil buruk. Hal tersebut diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies

Baswedan, jumlah institusi pendidikan dasar dan menengah di Indonesia terus
meningkat. Demikian pula dengan jumlah anak Indonesia yang mendapatkan akses
pendidikan dasar dan menengah. Sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia tidak
memenuhi standar minimal. Menurut lembaga The Learning Curve untuk pemetaan
kualitas pendidikan, uji kompetensi guru yang diharapkan memiliki standar minimal
70, masuk dalam peringkat 40. Di dalam pemetaan di bidang pendidikan tinggi,
Indonesia berada di peringkat 49 dari 50 negara yang diteliti.
Menurut lembaga Programme for International Study Assessment (PISA),
kecenderungan kinerja pendidikan Indonesia pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan
2012, cenderung stagnan. Akibatnya pendidikan Indonesia masuk kedalam peringkat
64 dari 65 negara. Sedangkan minat membaca di Indonesia hanya 0,001 persen
menurut

data

UNESCO

pada

2012


(http://news.metrotvnews.com/read/2014/12/01/326124/pendidikan-indonesia-gawatdarurat, diakses tanggal 10 Agustus pukul 23: 14 wib).

15

Untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia diperlukan sistem pendidikan
yang responsif terhadap perubahan dan tuntutan zaman. Perbaikan itu dilakukan
mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Namun,
ini merupakan permasalahan sosial yang menyangkut tentang ekonomi yang menjadi
penghalang dalam meningkatkan pendidikan. Hal ini dikarenakan kondisi sosial
ekonomi sebagian besar masyarakat indonesia termasuk rendah, atau dengan kata
lain masih banyak orang miskin di Indonesia yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari ditambah lagi dengan biaya pendidikan yang mahal
tidak sesuai dengan pendapatan mengakibatkan banyak masyarakat Indonesia tidak
dapat menikmati dunia pendidikan. Sehingga ini menjadi faktor penyebab rendahnya
mutu pendidikan di Indonesia.
Pendidikan yang rendah akan berpengaruh terhadap pendapatan yang rendah
juga, sehingga kepala keluarga yang bertanggung jawab dalam pemenuhan
kebutuhan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Desakan biaya hidup
yang tinggi menimbulkan pertengkaran antar anggota keluarga yang menjadi tindak

kekerasan di dalam rumah tangga. Dalam tindak kekerasan yang sering menjadi
korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan dan anak. Dimana korban
kekerasan tidak mengetahui hukum yang berlaku tentang tindakan kekerasan yang
terjadi di dalam rumah tangga dan pelaku juga tidak mengetahui sanksi yang akan di
terima jika perbuatan tersebut dilaporkan kepada pihak berwenang. Ini merupakan
akibat dari minimnya pengetahuan tentang kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga
korban kekerasan tetap bertahan karena merasa bahwa istri harus tunduk kepada
suami. Faktor lain adalah karena adanya perasaan malu terhadap orang lain sehingga
tidak berniat untuk memberitahukan kepada pihak keluarga lain karena merasa itu
merupakan aib dari keluarga yang harus ditutupi.

16

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia
Sari Gumelar, mengungkapkan dalam tiga tahun terakhir kasus-kasus kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) termasuk kasus anak yang berhadapan dengan hukum
(ABH) mengalami peningkatan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat data kasus KDRT pada 2009 berjumlah
143.586 kasus, 105.103 (2010), dan 119.107 (2011). Menurut data Polri kasus anak
bermasalah dengan hukum dalam tiga tahun terakhir juga mengalami peningkatan.

Pada tahun 2007 berjumlah 3.145, tahun 2008 berjumlah 3.380, tahun 2009
berjumlah 4.213 (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9a5527a4556/tigatahun-terakhir-kasus-kdrt-meningkat, diakses tanggal 6 Agustus 2015 pukul 16 :23
wib).
Berdasarkan data Komnas Perempuan, pada tahun 2012, sedikitnya ada 8.315
kasus kekerasan dalam rumah tangga dalam setahun. Jumlah tersebut mengalami
peningkatan di tahun 2013 yang mencapai 11.719 kasus atau naik 3.404 kasus dari
tahun sebelumnya. Aktivis Perempuan asal Yogyakarta, Vera Kartika Giantari
mengatakan, meningkatnya kasus itu disebabkan karena banyak faktor. Salah satunya
dari dalam keluarga itu sendiri, seperti masalah-masalah pribadi dan antara anggota
keluarga. Faktor lainnya adalah masih adanya rasa memiliki sepenuhnya yang
tertanam pada jiwa kaum laki-laki. Rasa memiliki sepenuhnya itu memicu kaum
laki-laki untuk meminta istrinya melakukan hal yang sesuai dengan kemauan mereka
(http://daerah.sindonews.com/read/919676/22/angka-kdrt-di-indonesia-meningkatini-sebabnya-1415099048, diakses tanggal 8 Agustus 2015 pukul 19:23 wib).
Kekerasan pada perempuan terjadi karena adanya relasi atau hubungan yang
tidak seimbang antara perempuan dan laki- laki yang disebut sebagai ketimpangan
atau ketidakadilan gender. Ketimpangan gender adalah perbedaan peran dan hak
17

perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status
lebih rendah dari laki-laki. “Hak istimewa” yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah

menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk
diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat sepanjang tahun 2011.
Dalam laporan catatan tahunan Komnas Perempuan, jumlah kasus kekerasan yang
ditangani lembaga pengadaan layanan yang berada di 33 provinsi, mencapai 119.107
kasus. Dibandingkan dengan tahun 2010, yang mencapai 105.103 kasus.
Tidak hanya perempuan saja yang banyak mengalami kekerasaan dalam
rumah tangga, anak pun turut serta menjadi korban. Menurut Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, salah satu faktor yang berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak adalah kekerasan pada anak. Data
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA)
bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, menyebutkan bahwa
prevalensi kekerasan terhadap anak 3,02%. Artinya, di antara 100 anak terdapat 3
anak yang mengalami kekerasan. Kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan
terbanyak yang ditemukan. Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah,
mengatakan sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) 95,61 %. Sebanyak 4,3 % kasus terjadi di ranah publik dan sisanya
0.03% atau 42 kasus terjadi di ranah negara seperti pengambilan lahan, penahanan,
penembakan


dan

lain-lain

(http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2012/03/120307_komnasperempua
n.shtml, diakses tanggal 7 Agustus 2015 pukul 14:39).

18

Sedangkan pengaduan Komnas Perempuan dari 2011 hingga juni 2013
menunjukkan bahwa 60% korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami
kriminalisasi, 10 persen diantaranya dikriminalkan melalui Undang-undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT).
Sepanjang 2012 saja, tercatat 8.315 kasus KDRT terhadap istri, atau 66 persen dari
kasus yang ditangani. Hampir setengah atau 46 persen, dari kasus tersebut adalah
kekerasan psikis, 28 persen kekerasan fisik, 17 persen kekerasan seksual dan 8
persen

kekerasan


ekonomi

(http://www.voaindonesia.com/content/komnas-

perempuan-60-persen-korban-kdrt-hadapi-kriminalisasi/1750372.html, diakses pada
tanggal 6 Agustus 2015 pukul 23:00 wib).
Kasus kekerasan dalam rumah tangga semakin hari semakin meningkat,
untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga diperlukan suatu
perangkat hukum yang lebih terakomodir, yang ditanggapi Pemerintah dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga yang disahkan tanggal 14 september 2004.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga diharapkan dapat menjadikan solusi untuk mencegah
dan menanggulangi tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam upaya penegakan
hukum. Sesuai dengan asas yang diatur dalam pasal 3, yakni penghormatan hak asasi
manusia, keadilan kesetaraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban
(Yulia, 2010: 5-6).
Namun penetapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004


tidak dapat

diatasi oleh Pemerintah dalam penegakan hukum karena pelaku kekerasan dalam
rumah tangga masih banyak terjadi dan korban kekerasan juga semakin banyak
mengalami kekerasan baik fisik maupun psikologisnya. Dalam hal ini tidak bisa
19

diabaikan mengingat semakin meningkatnya korban kekerasan dalam rumah tangga
yang terjadi setiap tahunnya.
Oleh karena itu, kekerasan yang terjadi semakin meningkatkan kekhawatiran.
Padahal di dalam hidup berkeluarga, keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang
bahagia, aman tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah
tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung
pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan
pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan
pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan
dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap
orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut (Yulia, 2010: 5).
Desa Saribu Asih merupakan desa yang masih memiliki tingkat ekonomi

yang rendah, dengan sedikitnya masyarakat memiliki pekerjaan tetap seperti PNS
dan karyawan, sedangkan yang lainnya adalah petani dan pedagang. Perkembangan
sosial budaya cukup baik dengan masih dilaksanakannya pesta-pesta adat hingga saat
ini. Perikehidupan masyarakat di Desa Saribu Asih tertata sesuai dengan adat istiadat
dan kebiasaan leluhurnya, sehingga setiap pertikaian dan perselisihan paham
diupayakan akan dimusyawarahkan atau diselesaikan oleh penatua adat, dan jika
tidak terpecahkan selanjutnya diserahkan pada pihak berwajib.
Sesuai dengan pengamatan peneliti, sebagian besar kepala rumah tangga di
Desa Saribu Asih merupakan tamatan SMP, selebihnya tamatan SMA dan SD. Dan
hanya beberapa orang saja tamatan sarjana. Namun untuk saat ini, tingkat pendidikan
di Desa Saribu Asih sudah mulai meningkat dengan banyaknya anak-anak
20

bersekolah hingga tamat SMA dan bahkan menempuh pendidikan di jenjang
perguruan tinggi.
Seperti yang kita ketahui, bahwa sebagian besar kepala rumah tangga di Desa
Saribu Asih adalah tamatan SMP dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Hal inilah yang
dapat menimbulkan konflik dalam rumah tangga karena latar belakang pendidikan
dan ekonomi rendah. Suatu rumah tangga dapat harmonis dan rukun apabila suami
dan istri memiliki pendidikan yang baik ditambah lagi memperoleh pekerjaan tetap

hingga dapat menghasilkan pendapatan yang cukup untuk biaya kehidupan
keluarganya dalam sehari-hari.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis tertarik untuk
meneliti sejauh mana pengaruh pendidikan dan sosial ekonomi terhadap kekerasan
yang terjadi di dalam rumah tangga. Penelitian ini di rangkum dalam skripsi dengan
judul: “Pengaruh Pendidikan Dan Sosial Ekonomi Terhadap Tindakan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Desa Saribu Asih Kecamatan
Hatonduhan Kabupaten Simalungun”.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka masalah dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh pendidikan dan sosial
ekonomi terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga di Desa Saribu Asih
Kecamatan Hatonduhan Kabupaten Simalungun”?

21

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan dan
sosial ekonomi terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga di Desa Saribu
Asih Kecamatan Hatonduhan Kabupaten Simalungun.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam rangka :
1. Pemecahan masalah tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
2. Pengembangan teori yang berkaitan dengan konsep pendidikan dan sosial
ekonomi dalam keterkaitannya dengan kekerasan dalam rumah tangga.
1.4. Sistematika Penelitian
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I

: PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II

: TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan
masalah
dan objek yang akan di teliti, kerangka penelitian, hipotesa, defenisi
konsep dan defenisi operasional.

BAB III

: METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan
sampel
penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV

: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan sejarah singkat dan gambaran umum lokasi
22

penelitian yang berhubungan dengan masalah objek yang akan
diteliti.
BAB V

: ANALISIS DATA
Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil
penelitian dan analisisnya.

BAB VI

: PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penulis yang penulis berikan
sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

23