Analisis Dalam Pengembangan Coalbed Meth

ANALISIS DALAM PENGEMBANGAN KEEKONOMIAN COALBED METHANE DI INDONESIA TUGAS AKHIR

Oleh PETRA VITARA WIMAR PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2016

ANALYSIS ON ECONOMY DEVELOPMENT OF COALBED METHANE IN INDONESIA FINAL ASSIGNMENT

Submitted by PETRA VITARA WIMAR

DEPARTMENT OF PETROLEUM ENGINEERING FACULTY OF EARTH TECHNOLOGY AND ENERGY TRISAKTI UNIVERSITY JAKARTA 2016

ANALISIS DALAM PENGEMBANGAN KEEKONOMIAN COALBED METHANE DI INDONESIA TUGAS AKHIR

Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Teknik Pada Program Studi Teknik Perminyakan Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi

Universitas Trisakti

Oleh Petra Vitara Wimar 071.11.275 PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2016

ANALYSIS ON ECONOMY DEVELOPMENT OF COALBED METHANE IN INDONESIA FINAL ASSIGNMENT

To Fulfill of Requirement To Achieve S-1 Degree At Petroleum Engineering Department Faculty Of Earth

and Energy Technology Trisakti University

Submitted by Petra Vitara Wimar 071.11.275 DEPARTMENT OF PETROLEUM ENGINEERING FACULTY OF EARTH TECHNOLOGY AND ENERGY TRISAKTI UNIVERSITY JAKARTA 2016

ANALISIS DALAM PENGEMBANGAN KEEKONOMIAN COALBED METHANE DI INDONESIA TUGAS AKHIR DISETUJUI UNTUK PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN

Pembimbing II Pembimbing I

Ir. M.G. Sri Wahyuni, MT Dr. Ir. Ratnayu Sitoresmi, MT

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi berjudul

PENGEMBANGAN KEEKONOMIAN COALBED METHANE DI INDONESIA” oleh PETRA VITARA WIMAR

“ANALISIS

DALAM

(071.11.275), PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN, FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI, telah dipertahankan di depan komisi penguji pada hari Rabu tanggal 23 Maret 2016

KOMISI PENGUJI

1. Ir. Abdul Hamid, M.T

Ketua

2. Ir. M. G. Sri Wahyuni, M.T

Sekretaris

3. Dr. Ir. Ratnayu Sitaresmi, M.T

Anggota

4. Ir. Bayu Satiyawira, M. Si

Anggota

5. Ir. Mu’min Prijono Tamsil, M.S Anggota

Mengetahui, Program Studi Teknik Perminyakan Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Ketua,

Ir. H. Abdul Hamid, M.T

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama

: PETRA VITARA WIMAR NIM

: 07111275 Konsentrasi : Ekonomi Migas

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tugas Akhir dengan judul:

ANALISIS DALAM PENGEMBANGAN KEEKONOMIAN COALBED METHANE DI INDONESIA

yang saya buat ini adalah hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan duplikasi, serta tidak mengutip sebagian atau seluruhnya karya orang lain, kecuali yang telah

disebutkan sumbernya dan sesuai dengan batasan serta tata cara pengutipan. Apabila didapati pelanggaran atas pernyataan saya ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Jakarta, 26 Januari 2016 Penulis (Materai 6000) Petra Vitara Wimar

RINGKASAN

Alternatif energi seperti Coalbed Methane menjadi sangat diperlukan. Namun, belum banyak kontraktor yang melirik industri ini. Peneliti melakukan studi analisis mengenai metode untuk mempercepat pengembangan CBM di Indonesia. Hasil dari analisis SWOT, total faktor internal mendapatkan skor 0.98 dan total faktor eksternal mendapatkan skor 1.55 sehingga apabila dimasukan kedalam Matrik SWOT terletak pada kordinat (0.49, 0.77) yang berarti CBM di Indonesia berada pada Kuadran 1 yang mendukung strategi agresif, perlu dilakukan karena besarnya kekuatan dan peluang dibidang CBM. Alternatif strategi yang dapat digunakan seperti kerjasama dengan sektor pertambangan, memperbanyak kompetitor sektor CBM, dengan mempermudah perizinan, memberikan berbagai insentif, memodifikasi beberapa ketentuan dan standarisasi yang menyamakan antara konvensional dengan CBM. Diperlukan adanya penghapusan atau modifikasi dari PTK 007, menyetarakan prioritas konvensional dan non konvensional, partisipasi dalam proyek downstream , kerjasama lintas sektor, tidak ada pembatasan alokasi gas CBM, melaksanakan pembuatan multi well pilot , statement formal pemerintah mengenai harga gas CBM, membutuhkan insentif untuk stimulasi reservoir, pemerintah menunjuk calon pembeli gas CBM, buat kerangka ketentuan KKS khusus CBM, penghapusan standar Migas konvensional, Penerapan standar dari industri minyak dan gas konvensional, m enerapkan kebijakan “Satu Pintu, Satu Ijin”, gunakan kontrak alternatif Gross PSC with Sliding Scale.

Hasil analisis keekonomian juga menyatakan sistem bagi hasil di Indonesia perlu diubah menggunakan Gross PSC with Sliding Scale. Kontraktor bisa mendapatkan IRR yang cukup tinggi seperti 12.4% pada skala kecil, 12.6% pada skala sedang, dan 12.22% pada skala besar sehingga POT yang didapatkan semakin cepat sekitar 16 – 17 tahun. Modifikasi PTK-007, PTK-029, KKS, membedakan standard migas konvensional dengan non-konvensional penting dilakukan. Gross PSC with Sliding Scale sensitif dengan perubahan harga dan produksi. Pada 1,500 BCF, apabila harga turun 30% maka IRR turun sampai - 11.70%, sedangkan apabila harga meningkat 30% maka IRR akan menjadi 12.63%. Dan apabila produksi turun 30% maka IRR akan turun sampai -3.00% sedangkan apabila produksi meningkat 30% maka IRR akan menjadi 12.11%. Gross PSC with Sliding Scale akan memberikan keuntungan yang besar kepada pemerintah apabila jumlah produksinya diatas 1,000 BCF. Pada 1,500 BCF keuntungan kepemerintah sekitar US$ 5,594,000,000.

ABSTRACT

Alternative energy like Coalbed Methane becomes indispensable. However, many Contractor s haven’t glanced at this industry. Researcher makes analysis studies about methods to accelerate the development of CBM in Indonesia. Result from SWOT analysis, total internal factors get score 0.98 and total external factors get a score 1:55 so when inserted into the SWOT matrix that located at coordinates ( 0:49 , 0.77 ) which means CBM in Indonesia located in Quadrant 1, which supports an aggressive strategy , necessary because of the size of the strengths and opportunities in the field of CBM. Alternative strategies that can be used like cooperation with the mining sector , competitors multiply the CBM sector , to facilitate the licensing , provides a variety of incentives , modify some of the provisions and standards that equate between conventional and CBM . Required the elimination or modification of PTK 007 , equalizes the priority of conventional and non-conventional , participation in the project downstream , cross-sector cooperation , there are no restrictions on the allocation of CBM gas , carry out the manufacture of multi- well pilot , statement formal government regarding gas prices CBM , need incentives to stimulate reservoir , the government appointed prospective buyer CBM gas , create the framework of special provisions CBM PSC , the elimination of conventional oil and gas standards , adoption of the standard of conventional oil and gas industry , implement the policy of " One Stop , One Permit " , use an alternative contract with Sliding Scale Gross PSC .

Economic analysis too, prove that p roduction sharing contract in Indonesia needs to be changed into Gross PSC with Sliding Scale. Contractors can get fairly high IRR like 12.4 % on a small scale, 12.6 % on a medium scale, and 12:22 % on a large scale so obtained POT more quickly around 16 – 17 years. Modification of PTK- 007, PTK-029, repair KKS, distinguish conventional oil and gas standards with oil and gas non – conventional. Gross PSC with Sliding

Scale sensitive with change on prices and production. At 1,500 BCF if the price down to 30 %, the IRR down to -11.70 %, but if the price increased 30 %, IRR would be 12.63 %. And when production down to 30 %, IRR down to -3.00 % while production was up 30 % when the IRR will be 12.11 %. Gross PSC with Sliding Scale provide great benefits to the government if the amount of production above 1,000 BCF. At 1,500 BCF profits to government around US$ 5,594,000,000.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat-Nya saya dapat

menyelesaikan tugas akhir dengan judul “ANALISIS DALAM PENGEMBANGAN KEEKONOMIAN COALBED METHANE DI

INDONESIA”. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana teknik pada Program Studi Teknik Perminyakan Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti.

Dalam penulisan dan penyelesaian Tugas Akhir ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua Orang Tua tercinta, Bapak Bambang Sulistiana dan Ibu Hartanti Sri Andini, serta adik tercinta Ficotara Wimar yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tidak pernah putus pada penulis baik secara moril maupun materi dalam pelaksanaan Tugas Akhir.

2. Dr. Bambang Widarsono, M. Sc selaku kepala pusat penelitian dan pengembangan minyak dan gas bumi.

3. Ir. Daru Siswanto selaku kepala bidang afiliasi dan informasi pusat penelitian dan pengembangan minyak dan gas bumi.

4. Heru Prasetio, S. Si, M. Sc selaku Pembimbing kantor yang telah memberikan waktu dan kesempatan sehingga penulis dapat melaksanakan Tugas Akhir.

5. Dr. Ir. Ratnayu Sitaresmi, MT selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan pengarahan, nasihat, dan ilmu kepada penulis selama mengerjakan Tugas Akhir.

6. Ir. M.G. Sri Wahyuni, MT selaku Co-Pembimbing Tugas Akhir penulis yang telah memberikan pengarahan, nasihat, dan ilmu kepada penulis selama mengerjakan Tugas Akhir.

7. Dr. Ir. Sugiatmo Kasmungin, MT selaku Dekan Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti.

8. Ir. Abdul Hamid, MT selaku Ketua Jurusan Program Studi Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti.

9. Ir. Harin Widiyatni selaku Penasihat Akademik penulis yang telah mengarahkan penulis hingga sampai menyelesaikan Tugas Akhir ini.

10. Prof. Dr. Gatot Suradji, M.Sc atas bantuanya dalam memberikan pembelajaran mengenai Analisis SWOT dalam mengerjakan skripsi ini.

11. Ir. Siti Nuraeni, M.T atas bantuanya dalam pembuatan skripsi ini dan bimbingan nya terhadap aspek keekonomian nya.

12. Ir. Bayu Satiyawira, M.Sc atas bantuanya dalam pembuatan skripsi ini dan bimbingan nya terhadap aspek keekonomian nya.

13. Seluruh Dosen Program Studi Teknik Perminyakan Universitas

Trisakti yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama penulis menjalankan kuliah hingga akhir masa studi.

14. Seluruh teman-teman perminyakan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Jakarta, 26 February 2016

Penulis

DAFTAR GAMBAR (Lanjutan)

Gambar Halaman

C.1 Grafik IRR Sensitivitas Current PSC 132

C.2 Grafik NPV Sensitivitas Current PSC 132

C.3 Grafik IRR Sensitivitas Current PSC With Sliding Scale 133

C.4 Grafik NPV Sensitivitas Current PSC With Sliding Scale 133

DAFTAR TABEL (Lanjutan)

Halaman

B.3 Tabel Keekonomian Skenario 3 119

B.4 Tabel Produksi 120

B.5 Tabel Rincian Harga 120

B.6 Tabel Capital dan Operating Expenditure Skenario 1 121

B.7 Tabel Capital dan Operating Expenditure Skenario 2 122

B.8 Tabel Capital dan Operating Expenditure Skenario 3 123

B.9 Tabel Depresiasi Skenario 1 124

B.10 Tabel Depresiasi Skenario 2 125

B.11 Tabel Depresiasi Skenario 3 126

B.12 Tabel Current PSC 127

B.13 Tabel Current PSC with Sliding Scale 128

B.14 Tabel Gross PSC 129

B.13 Tabel Gross PSC with Sliding Scale 130

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

91

A KUESIONER ANALISIS SWOT

B TABEL KEEKONOMIAN 116 C GRAFIK KEEKONOMIAN 131

BAB I PENDAHULUAN

Pertumbuhan produk domestik bruto di Indonesia yang kuat berbanding lurus dengan peningkatan permintaan domestik di Indonesia. Akibatnya, permintaan energi dari berbagai sektor mengalami kenaikan dari tahun 2000 sampai saat ini, bahkan diperkirakan akan terus naik sampai 2025 (IEA, Wood Mackenzie Markets Service, 2003 ) . Pertahunnya Average Annual Growth Rate (AAGR)

mencapai sekitar angka 6% (National Energy Council’s low case scenario of energy demand, 2014 ) . Sehingga, energi alternatif lain seperti Coalbed Methane (CBM) sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia. Pada tahun 1990

– 2008 banyak investor mulai tertarik pada pengembangan CBM. Hal tersebut dikarenakan jumlah cadangannya yang mencapai sekitar 453 Tcf ( Advanced Resources International , 2003). Sehingga, pada tahun 2008 pertama kalinya CBM mulai di kembangkan di Indonesia dan di tandatangani kontrak. Kontrak yang

ditandatangani tersebut menggunakan sistem Production Sharing Contract (PSC). Namun pada tahun 2012, beberapa reservoir ditemukan dengan permeabilitas dan kemampuan produksi yang kecil. Selain itu biaya eksplorasi yang tinggi menyebabkan beberapa perusahaan keluar dan membuat banyak investor berfikir

ulang. 6 Untuk itu, peneliti terdorong untuk melakukan analisis dalam

pengembangan CBM. Peneliti memilih judul skripsi “ANALISIS DALAM ______________

6 Angka menunjukan Nomor Urut Daftar Pustaka

METHANE DI

INDONESIA” dengan maksud dan tujuan agar dapat memberikan masukan kepada pemerintah mengenai Production Sharing Contract yang dapat memberikan pemain yang sebagian besar perusahaan – perusahaan kecil untuk bertahan hidup dengan menyediakan cash flow positif secepat mungkin. Untuk itu, berbagai Production Sharing Contract di analisis untuk memberikan masukan kepada pemerintah mengenai sistem bagi hasil yang terbaik untuk digunakan dalam mengembangkan Coalbed Methane di Indonesia. Selain itu, alternatif strategi yang tepat perlu dilakukan untuk mempercepat pengembangan Coalbed Methane di Indonesia.

Batasan masalah dari tugas akhir ini yaitu strategi pengembangan, Production Sharing Contract, Internal Rate of Returns. Dengan jumlah potensi yang cukup besar, yakni 453 TCF strategi pengembangan dibuat untuk dapat memberikan keuntungan bagi negara Indonesia. Untuk itu berbagai macam Production Sharing Contract seperti Current PSC, Current PSC with Sliding Scale, Gross PSC, dan Gross PSC with Sliding Scale dianalisis untuk mencari sistem bagi hasil yang paling baik dengan memperhatikan Internal Rate of Returns yang menarik untuk kontraktor . Penelitian ini tidak membahas mengenai teknik reservoir dari CBM.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode Analisis SWOT ( Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat ) dan metode Analisis kelayakan tekno - ekonomi dengan menggunakan arus kas pada skema PSC ( Spreadsheet).

BAB II TINJAUAN UMUM

Berdasarkan database LEMIGAS pada tahun 2014, proyek pengembangan CBM telah dilakukan pada 40 negara di seluruh dunia yaitu Argentina, Australia, Austria, Bangladesh, Belgia, Bostwana, Kanada, Chili, Cina, British Columbia, Republik Ceko, Perancis, Jerman, Hungaria, India, Indonesia, Irlandia, Italia, Jepang, Kazakhstan, Malaysia, Meksiko, Mongolia, Belanda, Selandia Baru, Filipina, Polandia, Rumania, Rusia, Afrika Selatan, Spanyol, Taiwan, Turki, Ukraina, United Kingdom, Amerika Serikat, Venezuela, Vietnam, Yugoslavia, dan Zimbabwe. 2

Perkembangan CBM di Indonesia belum sampai tahap komersial. Padahal Indonesia memiliki jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangannya yang sekitar 453 Tcf, cukup besar untuk dapat dimanfaatkan sebagai pemenuh permintaan energi di Indonesia (Dirjen ESDM dan Advanced Resources International , 2003). Cadangan tersebut tersebar kedalam sebelas basin yang dapat dikelompokkan menjadi 3 prospek yaitu high, moderate dan low dengan konsentrasi Potensi

terbesar terletak pada dua pulau yaitu Kalimantan dan Sumatera. 13 Ke sebelas basin lokasi CBM itu adalah Sumatera Selatan (183 Tcf), Barito

(101.6 Tcf), Kutai (80.4 Tcf) dan Sumatera Tengah (52.5 Tcf) yang memiliki kategori high prospective . Basin Tarakan Utara (17.5 Tcf), Berau (8.4 Tcf), Ombilin (0.5 Tcf), Pasir/Asam-Asam (3.0 Tcf) dan Jatibarang (0.8 Tcf) memiliki kategori moderate . Sedangkan basin Sulawesi (2.0 Tcf) dan Bengkulu (3.6 Tcf) low prospective memiliki kategori 6 .

Pada tahun 2014 ada 54 Wilayah Kerja (WK) aktif, yaitu 22 WK di sumatra sebanyak 43,601 Tcf dan 32 WK di Kalimantan sebanyak 94,761 Tcf, sehingga

totalnya 138,362 Tcf (SKK Migas). 13 Potensi nya cukup besar. Bahkan, apabila angka sumber dayanya ternyata lebih kecil dari perkiraan awal, CBM masih

berpotensi untuk mengurangi defisit di Indonesia. 6 Pada tahun 1990 – 2008 banyak investor mulai tertarik pada pengembangan

CBM. Hal tersebut dikarenakan jumlah cadangannya yang mencapai sekitar 453 Tcf (ARI, 2003). Sehingga, pada tahun 2008 pertama kalinya CBM mulai dikembangkan di Indonesia dan ditandatangani kontrak. Kontrak yang ditandatangani tersebut menggunakan sistem Production Sharing Contract ( PSC ) . Kegiatan eksplorasi CBM mulai banyak dikembangkan dan memuncak pada tahun 2011, sebanyak 42 kontrak baru telah dibentuk. Perusahaan yang terikat kontrak

mulai dapat menentukan keberadaan dan kualitas dari batubara. 6 Namun pada tahun 2012 sampai sekarang beberapa perusahaan mengalami

permasalahan. Beberapa sumur ditemukan dengan kondisi permeabilitas dan kemampuan produksi yang kecil dengan biaya eksplorasi yang tinggi. Pada tahun 2013 telah dilakukan pembuatan 80 sumur, namun dari ke 80 sumur tersebut hanya

12 sumur yang menjadi sumur pilot. Dari 80 sumur tersebut diperlukan biaya sekitar US$ 600 – 700 million , setara dengan rata – rata US$ 8 – 9 Million/well . Sedangkan standar nya hanya sekitar US$ 1-2 Million/well . Hal tersebut membuktikan bahwa jumlah investasi yang signifikan tidak dapat mewujudkan potensi CBM. 6

Hal tersebut mempengaruhi banyak perusahaan besar untuk meninggalkan industri CBM. Sehingga, Negara harus melakukan kegiatan impor minyak dan gas.

Contohnya adalah Exxon (Barito), BP (Barito), Total (Kutai), Santos (Sumatra), dan Dart (Sumatra dan Kutai). 6 Maklum saja industri CBM di Indonesia masih

memasuki tahap awal dan masih memiliki jalan panjang untuk mencapai komersialisasi penuh. Berbeda dengan negara- negara lain yang telah lama berkecimpung di industri ini. Contoh nya adalah Cina, Australia dan Amerika Serikat. Selain itu tentu bukan hanya waktu tetapi intervensi pemerintah mempunyai peranan penting untuk mencapai komersialisasi. Di Cina, Australia dan Amerika Serikat Industri CBM mendapatkan intervensi pemerintah berupa insentif

fiskal. Kedua hal tersebut lah yang ikut mendukung dalam proses komersialisasi. 2 Berdasarkan pengalaman dari Negara tersebut, Indonesia masih

membutuhkan waktu lama beserta intervensi dari pemerintah berupa insentif fiskal untuk mencapai komersialisasi penuh. Terutama pada sistem bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor yang dapat memacu kontraktor untuk mengembangkan CBM di Indonesia. Saat ini kontrak bagi hasil CBM diturunkan dari ketentuan migas. Ketentuan kontrak bagi hasil berisi prinsip - prinsip yang umumnya diterima yaitu royalti dan perpajakan. Beberapa kontrak memerlukan tambahan bagi keuntungan (faktor x) dengan pemerintah setelah pembayaran semua pengeluaran, royalti, tarif dan pajak. Dalam bentuk lainnya beberapa kontrak bagi hasil membatasi laju pengembalian maksimum tahunan yang bisa didapatkan perusahaan asing atas produksi gas. Untuk semua kontrak bagi hasil, perusahaan asing menanggung sebagian besar atau bahkan semua dari resiko keuangan selama eksplorasi dan appraisal . Beberapa negara membatasi kepemilikan dari bagian produksi yang dapat diperoleh perusahaan asing, menjaga agar perusahaan itu tetap membutuhkan waktu lama beserta intervensi dari pemerintah berupa insentif fiskal untuk mencapai komersialisasi penuh. Terutama pada sistem bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor yang dapat memacu kontraktor untuk mengembangkan CBM di Indonesia. Saat ini kontrak bagi hasil CBM diturunkan dari ketentuan migas. Ketentuan kontrak bagi hasil berisi prinsip - prinsip yang umumnya diterima yaitu royalti dan perpajakan. Beberapa kontrak memerlukan tambahan bagi keuntungan (faktor x) dengan pemerintah setelah pembayaran semua pengeluaran, royalti, tarif dan pajak. Dalam bentuk lainnya beberapa kontrak bagi hasil membatasi laju pengembalian maksimum tahunan yang bisa didapatkan perusahaan asing atas produksi gas. Untuk semua kontrak bagi hasil, perusahaan asing menanggung sebagian besar atau bahkan semua dari resiko keuangan selama eksplorasi dan appraisal . Beberapa negara membatasi kepemilikan dari bagian produksi yang dapat diperoleh perusahaan asing, menjaga agar perusahaan itu tetap

pemerintah pada waktu tertentu di masa depan. 2 Ketentuan kontrak bagi hasil juga berisi persyaratan kinerja yang mana

operator asing berkewajiban untuk mengikutinya. Ketentuan ini mewajibkan pelatihan untuk tenaga kerja dalam negeri dan atau persentase tetap pekerjaan hanya untuk pekerja dalam negeri. Kontrak berisi klausa kandungan lokal berupa persentase tetap untuk material, tenaga kerja dan jasa harus berasal dari dalam negeri daripada mendapatkannya melalui pasar global. Ketentuan kontrak bagi hasil juga dapat berisi klausa back-in yang mana membolehkan perusahaan domestik untuk mengambil bagian kepemilikan dalam reservoir CBM tersebut setelah dapat menunjukkan komersial. 2

BAB III TEORI DASAR

Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) Indonesia dijalankan berdasarkan Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC). Skema ini mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus melindungi dari paparan risiko tinggi terutama pada fase eksplorasi. Bisnis hulu migas memiliki empat karakter utama. Pertama, pendapatan baru diterima bertahun-tahun setelah pengeluaran direalisasikan. Kedua, bisnis ini memiliki risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih. Ketiga, usaha hulu migas memerlukan investasi yang sangat besar. Namun, di balik semua risiko tersebut, industri ini memiliki karakter ke empat, yaitu menjanjikan keuntungan yang sangat besar. Idealnya, kontrak yang digunakan adalah yang mampu menyiasati tantangan dan meraih peluang dari empat karakter tersebut. Penerapan PSC di Indonesia dilatarbelakangi

oleh keinginan supaya negara berperan lebih besar dengan mempunyai kewenangan manajemen kegiatan usaha hulu migas. 17

PSC dapat diibaratkan dengan model usaha petani penggarap yang banyak dipraktikkan di nusantara. Pemerintah adalah pemilik “sawah” yang mengamanatkan pengelolaan lahan kepada “petani penggarap”. Dalam bisnis hulu

migas, “petani penggarap” ini adalah perusahaan migas baik nasional maupun asing. Penggarap ini menyediakan semua modal dan alat yang dibutuhkan. Semua pengeluaran ini tentunya harus disetujui pemilik sawah, karena modal tersebut akan dikembalikan kelak saat panen. Penggantian ini didalam dunia migas sering disebut migas, “petani penggarap” ini adalah perusahaan migas baik nasional maupun asing. Penggarap ini menyediakan semua modal dan alat yang dibutuhkan. Semua pengeluaran ini tentunya harus disetujui pemilik sawah, karena modal tersebut akan dikembalikan kelak saat panen. Penggantian ini didalam dunia migas sering disebut

produksi akan dikurangkan terlebih dahulu dengan modal yang harus dikembalikan, baru kemudian dibagi antara pemilik sawah dengan penggarap sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Demikianlah PSC bekerja. Dengan pola ini, negara bisa memanfaatkan anugrah sumber daya migas karena modal dan teknologi disediakan

oleh investor. 17 Di sisi lain, negara tidak terpapar risiko kegagalan eksplorasi karena biaya

modal dalam kondisi tersebut tidak diganti dalam skema Cost Recovery . Pemerintah sebagai perwakilan negara juga memiliki kontrol baik atas manajemen operasional maupun kepemilikan sumber daya migas. Manajemen operasional hulu migas dipegang oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau SKK Migas (dulu BP MIGAS) sebagai perwakilan pemerintah dalam PSC. Dengan adanya institusi ini, kendali atas bisnis hulu migas sepenuhnya di tangan negara. Dan juga PSC mengatur bahwa sumber daya migas tetap milik negara sampai titik serah. Berbeda dengan Kontrak Karya yang membagi hasil penjualan migas, dalam sistem PSC, yang dibagi adalah produksi. Selama sumber daya migas masih berada dalam wilayah kerja pertambangan atau belum lepas dari titik penjualan yaitu titik penyerahan barang, maka sumber daya alam migas tersebut masih menjadi milik pemerintah Indonesia. 17

3.1 Jenis – Jenis PSC

Banyak kontrak bagi hasil yang pernah direkomendasikan di Indonesia. Setiap PSC memiliki ciri khas yang berbeda serta kekurangan dan kelebihan nya masing masing. Jenis PSC tersebut sebagai berikut:

3.1.1 Current Production Sharing Contract

PSC yang digunakan di Indonesia pada saat ini adalah Production Sharing Contract (PSC) generasi IV. Momentum di mulainya PSC generasi IV ini yaitu pada saat di berlakukanya undang-undang nomer 22 tahun 2001 tentang minyak gas bumi). 19 Berikut ini adalah bagan alur mengenai Current PSC :

Current PSC

Gross Revenue

FTP Recoverable Cost

DMO DMO Fee Taxable

Income Tax

Net CS

Gov. Take Cont. Take

Gambar 3. 1 Sistem Kontrak 19 Current PSC

Struktur dan prinsip bagi hasil dalam undang-undang ini berbeda dengan undang-undang yang lama. Pada undang-undang lama, yang menjadi para pihak adalah pertamina dan kontraktor sedangkan dalam undang-undang nomer 22 tahun 2001 minyak dan Gas Bumi, yang menjadi para pihaknya adalah Badan Pelaksana

dengan Badan Usaha dan atau Badan Usaha Tetap. 8 Badan Pelaksana ini terpisah dengan Pertamina. Badan Pelaksana ini

terbentuk pada Agustus tahun 2002 dengan nama Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), dikepalai oleh Rachmat Soedibjo (republika, 31 desember 2002). Di dalam undang-undang nomer 22 tahun 2001 tidak diatur secara khusus tentang komposisi pembagian hasil antara Badan Pelaksana dengan Badan Usaha dan atau Badan Usaha Tetap. Pembagian ini diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah serta dituangkan dalam PSC. Apabila kita mengacu pada pasal 66 ayat (2) hukum nomer 22 tahun 2001, maka jelas pada pasal ini disebutkan bahwa segala peraturan pelaksaanaan dari undang-undang nomer 44 Prp tahun 1960 tentang pertambangan minyak dan gas bumi dan undang-undang nomer 8 tahun 1971 tentang pertamina tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum di ganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Di dalam pasal 16 peraturan pemerintah nomer 35 tahun 1994 tentang syarat-syarat dan pedoman kerja sama kontrak bagi hasil minyak dengan bumi ditentukan bahwa yang menetapkan pembagian hasil adalah menteri pertambangan dan energi, PSC ini memiliki ketentuan pembagian hasil ( after Tax ) sebagai berikut: 8

a. Minyak

: 85% untuk badan pelaksana

15% untuk Badan Usaha dan / atau badan Usaha Tetap 15% untuk Badan Usaha dan / atau badan Usaha Tetap

: 70% untuk badan pelaksana

30% untuk Badan Usaha dan / atau badan Usaha Tetap PSC yang diberlakukan untuk CBM pada saat ini prinsipnya sama dengan yang dipakai pada minyak dan gas konvensional namun dengan porsi bagian yang berbeda, 55% untuk badan pelaksana dan 45% untuk Badan Usaha dan / atau badan

Usaha Tetap. 4 Dalam undang-undang tersebut juga diatur tentang penyerahan pembagian hak badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk memenuhi kebutuhan

dalam negeri paling banyak 25%. 15

3.1.2 Current Production Sharing Contract With Sliding Scale

Current PSC with Sliding Scale sama dengan PSC yang digunakan di Indonesia pada saat ini namun perbedaan nya berada pada FTP ( First Trench Petroleum ) dan split (bagi hasil) yang disesuaikan dengan kenaikan jumlah produksi. 11

Jika produksi per tahun nya dibawah 5 BCF, FTP untuk pemerintah sebesar 5%, jika produksi per tahun nya berkisar 5 – 50 BCF, FTP untuk pemerintah sebesar 7.5% dan jika produksi per tahun nya diatas 50 BCF, FTP untuk pemerintah sebesar 10%. Dibawah ini adalah bagan yang berisi alur mengenai sistem bagi hasil

pada Current PSC with Sliding Scale . 11

Sedangkan jika produksi per tahun nya dibawah 1 BCF maka share untuk pemerintah sebesar 1%, jika produksi per tahun nya berkisar 1 – 10 BCF maka share untuk pemerintah sebesar 5%, jika produksi per tahun nya berkisar 10 – 20 BCF maka share untuk pemerintah sebesar 10%, jika produksi per tahun nya Sedangkan jika produksi per tahun nya dibawah 1 BCF maka share untuk pemerintah sebesar 1%, jika produksi per tahun nya berkisar 1 – 10 BCF maka share untuk pemerintah sebesar 5%, jika produksi per tahun nya berkisar 10 – 20 BCF maka share untuk pemerintah sebesar 10%, jika produksi per tahun nya

with Sliding Scale 11 .

Current PSC with Sliding Scale

Gross Revenue

(x)

FTP SPLIT

FTP

(1-x) Recoverable

Annual FTP Cost

Production Split

ETS

(bcf) (x)

(y)

Gov.

(1-y)

Cont.

50 7.50% Share Share 50<

DMO

ETS SPLIT

DMO Fee

Annual ETS Taxable Production Split

Income

Tax

10 5% Net CS

Gov. Take

50 15% Cont. Take 100

Gambar 3. 2

Sistem Kontrak 11 Current PSC With Sliding Scale

3.1.3 Gross Production Sharing Contract

Pada dasarnya sistem kontrak Gross PSC hampir mirip dengan kontrak Current PSC yang telah dijelaskan di atas. Bedanya dengan PSC yang sekarang adalah dengan menghilangkan penerapan Cost Recovery pada kontrak PSC. Dengan kata lain disini kontraktor bertanggung jawab penuh atas biaya yang dikeluarkan untuk proyek. Gambar dibawah ini adalah bagan yang berisi alur mengenai sistem bagi hasil pada 11 Gross PSC .

Gross PSC

Gross Revenue FTP

Cont. Share

Deductible

Opex

Expenses

Depresiasi Tax

Taxable

Capex Gov. Take

Income Tax

Exploration,

Cont. Take

Development, dan Production Expenditure

Gambar 3. 3 Sistem Kontrak Gross PSC 11

3.1.4 Gross Production Sharing Contract With Sliding Scale

Gross PSC with Sliding Scale , yaitu dengan menghilangkan penerapan Cost Recovery pada kontrak Sliding Scale PSC. Sliding Scale pada dasarnya merupakan modifikasi dari tipe PSC. Jenis Sliding Scale ini sudah banyak digunakan di negara- negara lain seperti Oman. Sedangkan di Indonesia, memodifikasi PSC dengan Sliding Scale baru sekedar wacana dan kajian. Bagan dibawah menjelaskan sistem kontrak Gross PSC with Sliding Scale .

Gross PSC with

Gross

Sliding Scale

Revenue

(x) (1-x)

FTP

Cont. Share

FTP Split

Deductible

Opex Kumulatif FTP

Expenses

Produksi Split Depresiasi (bcf) (x)

Tax

Taxable

<200 1% Capex 200 - 500 5%

Gov. Take

Income Tax

500 - 1000 19% Exploration, 1000 - 1500 35%

Cont. Take Development, dan Production Expenditure

Gambar 3. 4 Sistem Kontrak 2 Gross PSC With Sliding Scale

Hampir mirip dengan Gross PSC namun perbedaan nya berada pada FTP ( First Trench Petroleum ) yang disesuaikan dengan kenaikan jumlah produksi kumulatif. Jika produksi kumulatif nya dibawah 200 BCF, share untuk pemerintah sebesar 1%, jika kumulatif produksi berkisar 200 – 500 BCF, share untuk pemerintah sebesar 5%, jika kumulatif produksi diatas 500 – 1.000 BCF, share untuk pemerintah sebesar 19% dan jika kumulatif produksi diatas 1.000 – 1.500

BCF, 2 share untuk pemerintah sebesar 35%.

3.2 Parameter – Parameter Perhitungan

Dalam kontrak bagi hasil terdapat beberapa parameter – parameter yang digunakan dalam perhitungan indikator keekonomian suatu proyek. Parameter tersebut perlu dicari agar dapat dimasukan kedalam rumus sehingga keekonomian dari proyek dapat dianalisis. Parameter – parameter tersebut adalah sebagai berikut:

3.2.1 Investasi

Kontraktor melakukan investasi berupa capital dan juga non capital . Istilah capital dan non capital digunakan untuk mendefinisikan nilai suatu barang atau

modal sebagai fungsi dari waktu. Barang – barang yang digolongkan sebagai capital adalah barang – barang yang dianggap memiliki pengurangan nilai atau depresiasi terhadap waktu, sedangkan barang – barang non capital dianggap tidak memiliki nilai depresiasi. Istilah barang / aset capital didefinisikan sebagai nilai uang dari suatu modal (aset) yang tangible , hai ini meliputi bangunan- bangunan, modal sebagai fungsi dari waktu. Barang – barang yang digolongkan sebagai capital adalah barang – barang yang dianggap memiliki pengurangan nilai atau depresiasi terhadap waktu, sedangkan barang – barang non capital dianggap tidak memiliki nilai depresiasi. Istilah barang / aset capital didefinisikan sebagai nilai uang dari suatu modal (aset) yang tangible , hai ini meliputi bangunan- bangunan,

Sedangkan istilah barang non capital adalah modal yang meliputi semua tipe dari material, biaya - biaya operasi dan pemeliharaaan. Tidak ada nilai yang dapat ditetapkan pada saat pemeriksaan dan modal tidak mengalami depresiasi terhadap waktu. Penggolongan suatu barang apakah termasuk capital atau non capital

bersifat tidak pasti, tergantung pada perjanjian yang dilakukan. 16

3.2.2 Depresiasi

Suatu barang atau modal capital mengalami pengurangan nilai karena waktu atau pemakaian. Faktor - faktor yang harus diperhitungkan dalam menghitung periode depresiasi dari suatu barang atau modal adalah biaya awal ( initial cost ), harga / biaya yang dapat diperoleh ( Recoverable Cost ) pada waktu barang - barang selesai atau tak dapat dipakai lagi dan lama waktu pemakaian. Beberapa metode depresiasi yang sering dipakai adalah straight line, decline

balance , dan double decline balance. 16

3.2.2.1 Metode Straight Line

Pada metode ini depresiasi dihitung dengan menganggap penurunan nilai barang tiap tahunnya dianggap konstan dari awal tahun sampai akhir periode depresiasi. Secara matematis, metode ini dapat ditulis sebagai berikut: 16 Depresiasi = Ieai

Wa

e e ia i

3.2.2.2 Metode Decline Balance (DB)

Pada metode ini depresiasi dihitung dengan menganggap penurunan nilai barang berubah dari tahun ke tahun. Pada awal penurunan nilai barang lebih besar dibanding pada tahun berikutnya. Secara matematis, metode ini dapat ditulis sebagai berikut: 16

3.2 Dimana:

Depresiasi = T Investasi − Depresiasi −

i= waktu perhitungan T= lama waktu depresiasi

3.2.2.3 Metode Double Decline Balance (DDB)

Metode ini menyerupai metode declining balance , hanya saja nilai suatu barang berkurang dua kali lebih cepat daripada metode declining balance . Secara matematis, metode ini dapat dituliskan sebagai berikut: 16

Depresiasi =

Investasi − Depresiasi −

3.2.3 Gross Revenue

Gross Revenue adalah pendapatan atau penerimaan kotor dari suatu proyek migas yang dapat diperoleh melalui hasil penjualan produksi. 5 Secara matematis,

Gross Revenue ini dapat dicari melalui rumus sebagai berikut: = Produksi × Harga

Produksi yang diperoleh merupakan produksi bersih tiap tahun dari suatu lapangan. 5 Sedangkan Harga yang dibutuhkan dalam perhitungan keekonomian

suatu proyek ditentukan berdasarkan kebijakan Pemerintah / pihak yang berwenang. 16

3.2.4 F irst Trench Petroleum (FTP)

Pada tahun 1987 telah terasa timbulnya gejala permasalahan dalam perjanjian Production sharing contract yang berlaku saat itu, terutama dari sudut pandang keekonomiannya. Permasalahan tersebut muncul akibat: 16

• Tingkat pemasaran dan harga minyak bumi yang rendah dan tak menentu. • Ukuran penemuan cadangan yang semakin mengecil. • Peraturan pelaksanaan perundangan yang kemudian dikeluarkan tidak

mendukung kelancaran operasi dan cenderung mengabaikan sifat strategis minyak dan gas.

Dengan latar belakang permasalahan tersebut, timbul kekhawatiran terjadinya hal - hal yang menghambat kelangsungan industri migas, sehingga mempengaruhi penerimaan Indonesia dari sektor minyak dan gas bumi. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, maka dilakukan modifikasi terhadap bentuk perjanjian Production sharing contract . Konsep yang diajukan sebagai hasil modifikasi PSC adalah First Trench Petroleum (FTP). FTP adalah bagian dari minyak yang diproduksi, yang dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor sebelum dikurangi dengan Cost Recovery . Besar FTP ini adalah 20% dari Gross Revenue dan mulai diberlakukan untuk kontrak lapangan - lapangan baru ataupun kontrak Dengan latar belakang permasalahan tersebut, timbul kekhawatiran terjadinya hal - hal yang menghambat kelangsungan industri migas, sehingga mempengaruhi penerimaan Indonesia dari sektor minyak dan gas bumi. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, maka dilakukan modifikasi terhadap bentuk perjanjian Production sharing contract . Konsep yang diajukan sebagai hasil modifikasi PSC adalah First Trench Petroleum (FTP). FTP adalah bagian dari minyak yang diproduksi, yang dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor sebelum dikurangi dengan Cost Recovery . Besar FTP ini adalah 20% dari Gross Revenue dan mulai diberlakukan untuk kontrak lapangan - lapangan baru ataupun kontrak

3.2.5 Cost Recovery

Cost Recovery adalah Permasalahan menyangkut pengembalian biaya operasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas. Cost Recovery itu

sendiri terdiri atas: 16 • Non capital cost tahun tersebut.

• Depresiasi capital cost tahun tersebut. • Operating cost tahun tersebut. • Unrecovered cost ( uncovered operating cost tahun sebelumnya).

Non capital cost merupakan operating cost yang berhubungan dengan operasi selama tahun yang bersangkutan termasuk biaya pekerja, material, survei seismik dan intangible cost dari peralatan pemboran meliputi lumpur pemboran dan bahan kimia, bit , casing serta work over . 16

Operating cost untuk tiap volume hidrokarbon yang dihasilkan merupakan pembagian biaya - biaya yang berlangsung dengan jumlah hidrokarbon yang

dihasilkan. Biaya yang dapat dibayarkan pada tahun yang bersangkutan disebut Recovered. 16

Recovered dari Kontraktor dapat diperoleh kembali dari pendapatan kotor hasil penjualan hidrokarbon ( Gross Revenue ) pada tahun bersangkutan. Bila Cost Recovery kontraktor melebihi pendapatan ( Gross Revenue ), maka kekurangan tersebut dapat diperoleh pada tahun berikutnya. Kekurangan pada tahun yang bersangkutan disebut dengan carry forward , sedangkan kekurangan pada tahun

sebelumnya disebut sebagai unrecovered prior years . 16

Secara matematis, kondisi diatas dinyatakan sebagai berikut: 16 Jika, �

3.10 Jika tidak maka, R

3.2.6 Equity To Be Split

Equity to be Split adalah 5 Gross Revenue dikurangi FTP dan Recovered . ETS =

3.13 Jumlah ini yang akan dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor. ETS dapat juga didefinisikan sebagai pembagian hasil produksi dari wilayah kerja antara Pemerintah dan Kontraktor ditentukan atas dasar persentase bagi hasil yang telah

− FTP −

disepakati bersama. 5

3.2.7 Tax

Besarnya Tax yang harus ditanggung adalah sebesar total % Tax dari sejumlah pendapatan atau revenue yang dapat dihitung secara matematis sebagai berikut: 5 Tax = %

3.14 Government Tax adalah pajak pemerintah yang dikenakan pada seluruh penghasilan kontraktor. Besarnya Tax tersebut dapat sebesar 56%, 48% ataupun 44% tergantung dengan kesepakatan dalam kontrak. Penghasilan kontraktor yang dikenakan Tax adalah sebagai berikut : 5

• Total bagian kontraktor setelah dipotong DMO ( Contractor Share After DMO) • Investment Credit • DMO

3.2.8 Taxable Income

Taxable Income adalah bagian pendapatan Kontraktor yang dikenal dengan istilah pajak. Kriteria pajak yang dikenakan adalah seluruh bagian Kontraktor yang merupakan keuntungan. Pada kontrak bagi hasil di Indonesia berapa pun besarnya tarif pajak hasil, bagi hasilnya tetap. Taxable Income dapat dihitung secara

matematis sebagai berikut: 5 � =� +� ℎ + FTP 3.15

3.2.9 Contractor Share

Bagian kontraktor merupakan hak bagian kontraktor yang berasal dari pendapatan kotor setelah dipotong biaya sebelum pajak dikalikan dengan Equity to

be Split. Hak bagian kontraktor ini setelah dipotong pajak pembagian sebelum Cost Recovery disebut Net Contractor Share dan apabila ditambah dengan seluruh

bagian yang dikeluarkan maka disebut 5 Total Contractor Share.

3.2.10 Government Take

Government Take adalah total bagian pendapatan Pemerintah yang diperoleh dalam pengembangan suatu lapangan. Government Take dapat dihitung secara matematis sebagai berikut: 5

. = . ETS + DMO − DMO + . 3.16

3.3 Contractor Cash F low

Dari sisi Kontraktor, untuk menghitung parameter keekonomian proyek, seperti: IRR, NPV dan lain – lain, maka diperlukan pembuatan lembar kerja spreadsheet ( 5 ).

Secara umum, cash flow/ jumlah arus kas adalah jumlah kas masuk ( Cash In

) dikurangi dengan jumlah kas yang keluar ( 5 Cash Out ). �ℎ

3.3.1 Cash In

Cash In / jumlah kas yang masuk sebagai pendapatan kontraktor, dapat dihitung secara matematis sebagai berikut: 5

3.3.2 Cash Out

Cash Out / jumlah kas yang keluar sebagai faktor pengurang dari pendapatan yang didapat oleh kontraktor. Yang termasuk faktor pengurang pendapatan Kontraktor adalah Biaya Investasi, Pengeluaran untuk operasional

( 5 Operating Expenditure ) dan Pembayaran pajak ( Tax Payment ).

3.4 Indikator – Indikator Keekonomian

Analisis aspek ekonomi dilakukan dengan menganalisis indikator - indikator kelayakan suatu proyek. Indikator kelayakan proyek adalah parameter – parameter untuk dapat menilai kelayakan suatu proyek investasi secara objektif. Indikator kelayakan proyek ini secara kuantitatif dapat digunakan sebagai petunjuk atau alat eveluasi dalam mengambil keputusan mengenai kelayakan proyek.

Indikator - indikator kelayakan proyek tersebut adalah: 5

3.4.1 NPV ( Net Present Value )

NPV dapat dikatakan sebagai jumlah keuntungan bersih yang dinilai pada waktu sekarang yang dihitung berdasarkan suatu harga bunga ( interest rate ) tertentu. Dari nilai NPV dapat dinilai kelayakan suatu proyek. Apabila NPV NPV dapat dikatakan sebagai jumlah keuntungan bersih yang dinilai pada waktu sekarang yang dihitung berdasarkan suatu harga bunga ( interest rate ) tertentu. Dari nilai NPV dapat dinilai kelayakan suatu proyek. Apabila NPV

NPV = C + n 3.19

3.4.2 IRR (Internal Rate of Return )

Internal Rate of Return (IRR) didefinisikan sebagai harga bunga yang menyebabkan harga semua Cash Inflow besarnya serupa dengan Cash Outflow bila cash flow ini didiskon untuk suatu waktu tertentu. Dengan kata lain IRR adalah tingkat suku bunga yang menyebabkan NPV = 16 0. IRR dapat dinyatakan dengan:

+IRR n =

Untuk menghitung IRR umumnya dilakukan dengan pendekatan coba - coba ( trial and error ) yaitu menentukan NPV pada beberapa tingkat diskon sampai diperoleh nilai NPV negatif dan positif, kemudian dilakukan interpolasi dimana NPV sama dengan nol. Kelemahan konsep IRR adalah pada kenyataan bahwa IRR tidak dapat dipakai untuk mempertimbangkan resiko secara eksplisit. IRR juga tidak memberikan informasi mengenai jumlah biaya yang terlibat dalam proyek dan berapa lama Pay Out Time akan tercapai. 16

3.4.3 POT ( Pay Out Time )

Pay Out Time adalah lamanya jangka waktu sampai investasi kembali. Investor selalu menginginkan modal yang ditanamkan cepat kembali, yaitu proyek yang mempunyai POT yang lebih pendek. Namun indikator POT ini mempunyai kelemahan yaitu tidak memberikan gambaran yang terjadi setelah POT tercapai. Dengan kelemahan indikator ini maka POT jarang digunakan sebagai parameter

utama dalam pemilihan proyek tapi hanya sebagai pertimbangan tambahan. 16

3.4.4 PIR ( Profit Investment Ratio )

Profit Investment Ratio adalah suatu indikator keekonomian yang menggambarkan kesanggupan untuk memberikan keuntungan total. Definisi dari Profit Investment Ratio adalah perbandingan antara jumlah keuntungan bersih yang didapat terhadap jumlah investasi yang ditanamkan. Profit Investment Ratio juga dapat dilihat dari kesanggupan memberi keuntungan yang diperoleh dari total Net Revenue dikurangi Total Investment. 5

PIR juga dapat menggambarkan jumlah keuntungan yang dihasilkan dari suatu investasi untuk tiap dollar atau rupiah yang diinvestasikan. PIR juga tidak menggambarkan mengenai pola laju cash flow yang merupakan bagian penting untuk menganalisa kelayakan (keuntungan) dari suatu proyek dan tidak mempertimbangkan Discount Factor (nilai waktu uang). Sedangkan pertimbangan pola laju cash flow dan discount factor merupakan salah satu bagian terpenting dari

analisa ekonomi. Secara matematis PIR dapat dihitung sebagai berikut: 5 PIR = T a �� �� ℎ �

PIR merupakan salah satu indikator keekonomian yang dapat memberikan gambaran apakah proyek tersebut dapat memberikan keuntungan atau tidak. Kelemahan dari konsep PIR ini adalah tidak dapat merefleksikan pola cash flow project sehingga dua kesempatan investment bisa saja mempunyai Pay Out Time dan Profit Investment Ratio yang sama walaupun memiliki cash flow yang berbeda. 5

3.4.5 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah suatu metode yang digunakan untuk melihat pengaruh perubahan – perubahan terhadap indikator keekonomian. Analisis sensitivitas dapat juga menunjukan bagaimana pengaruhnya terhadap keuntungan yang didapat dari suatu investasi. . Gambar dibawah ini merupakan contoh dari Spider chart.

Gambar 3. 5 Spider Chart Contoh 18

Pada contoh spider chart diatas menjelaskan bahwa harga gas paling berpengaruh terhadap nilai IRR pada proyek tersebut, karena grafik yang menunjukkan harga gas paling miring atau paling mendekati sudut 90 o . Bermanfaat untuk menyajikan data atau informasi yang memberikan gambaran mengenai

perbandingan elemen dari dua atau lebih objek yang hendak diperbandingkan. 18

3.5 Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah suatu metode menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal menjadi langkah-langkah strategi dalam pengoptimalan usaha yang lebih menguntungkan. Dalam analisis, faktor-faktor internal dan eksternal dipilih aspek-aspek yang menjadi kekuatan ( Strength ), kelemahan ( Weakness ), kesempatan ( Opportunity ), dan ancaman ( Threat ). Dengan begitu dapat ditentukan berbagai kemungkinan alternatif strategi yang dapat dijalankan ( Freddy Rangkuti , 2005:19). 1

Dalam Pengelolaan dan pengembangan suatu aktifitas memerlukan suatu perencanaan strategis, yaitu suatu pola atau struktur sasaran yang saling mendukung dan melengkapi menuju ke arah tujuan yang menyeluruh. Sebagai persiapan perencanaan, agar dapat memilih dan menetapkan strategi dan sasaran maka diperlukan suatu analisis yang tajam sehingga tersusun program-program

dan proyek-proyek yang efektif dan efisien. 1 Maksud dari analisis SWOT ini adalah meneliti dan menentukan dalam hal

yang kuat (sehingga dapat dioptimalkan), lemah (sehingga dapat segera dibenahi), kesempatan-kesempatan di luar (untuk dimanfaatkan), ancaman-ancaman dari luar

(untuk diantisipasi). Dalam penelitian ini, langkah-langkah analisis data dilakukan sebagai berikut: 1

1. Melakukan pengklasifikasian data, faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan sebagai faktor internal, peluang dan ancaman sebagai faktor eksternal. Pengklasifikasian ini menghasilkan tabel informasi SWOT.

2. Melakukan analisis SWOT, yaitu membandingkan antara faktor eksternal Peluang ( Opportunity ) dan Ancaman ( Threat ) dengan faktor internal Kekuatan ( Strength ) dan Kelemahan ( Weakness ).

3. Dari hasil analisis kemudian diinterpretasikan dan dikembangkan menjadi keputusan pemilihan strategi yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Strategi yang dipilih biasanya hasil yang paling memungkinkan (paling positif) dengan resiko dan ancaman yang paling kecil.

BAB IV HASIL ANALISIS

Prospek dari CBM sangat luar biasa. Bisa dibilang CBM merupakan investasi yang sangat menjanjikan dimasa mendatang. Apalagi melihat cadangan dari minyak dan gas konvensional yang sudah menipis. Maka Indonesia memerlukan energi alternatif lain agar dapat memenuhi kebutuhan energi masyarakatnya. Menurut peneliti pengembangan CBM di Indonesia sangatlah lamban. Untuk itu, peneliti melakukan analisis untuk mengetahui penyebab permasalahan pengembangan CBM di Indonesia dengan metode SWOT. Berdasarkan data, informasi, policy paper yang pernah ada, serta kuesioner yang diisi oleh expert judgement . Peneliti dapat mengindentifikasi fungsi yang berperan dalam pengembangan CBM di Indonesia.

4.1 Analisis SWOT