Menolak Bodoh Pemilu dan Korupsi (1)
[Menolak Bodoh] Pemilu dan Korupsi
Selamat malam. Kali ini, Kajian Strategis Dema Fisipol hadir ke hadapan pembaca dengan
membawa tema “Pemilu dan Korupsi”. Tulisan kali ini akan menjadi pamungkas dari seri
pertama gerakan menolak bodoh yang diharapkan mampu mengubah cara pandang temanteman dalam menanggapi Pemilu dan proses partisipasi yang mencirikan kita sebagai
seorang yang tahu dan mau tahu dalam rangka meningkatkan partisipasi demokrasi yang
menjadi esensi dari gerakan ini. Tulisan ini merupakan hasil riset dan diskusi yang kemudian
ditulis oleh Staf Kajian Strategis ................... .Terima kasih kepada ........................ atas
diskusi yang ..................... Konten tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kajian
Strategis Dema Fisipol.
Pembuka
Setelah sebelumnya kita telah berbicara mengenai intoleransi, bencana alam, dan
ekonomi, Gerakan Menolak Bodoh kali ini akan berbicara mengenai topik: “Pemilu dan
Korupsi”. Sebuah topik yang sekiranya layak menjadi tema besar dalam sebuah pertunjukan
drama di Indonesia. Mengapa? Pasalnya, tindakan yang bernama korupsi ini selalu hadir
ditengah kita menampilkan drama yang mengharu biru dan penuh menegangkan layaknya
drama sinetron di televisi yang ceritanya tak kunjung selesai, yang kemudian membuat
sebagian orang pun ingin mengetahui bagaimana akhir dari ceritanya. Namun sebagian
lainnya menjadi muak karena cerita dari drama ini tak kunjung selesai. Pemain drama (baca:
koruptor) yang sangat piawai dalam beraksi ini tidak lain adalah para aktor-aktor politisi,
birokrat, pegawai negara sipil, dsb. Mereka adalah orang-orang terpilih yang memiliki
kewenangan dalam mengambil pelbagai kebijakan yang hendak diembannya. Akan tetapi
yang terjadi adalah, mereka mengabaikannya. Ini adalah cermin yang menunjukkan bahwa
politik yang seharusnya menjadi ladang pengabdian kini telah berubah maknanya menjadi
ladang pengabaian.
Korupsi: Kejahatan Yang Tidak Termaafkan
Berbicara tentang korupsi, nampaknya kita harus merujuk setidaknya kepada dua hal.
Pertama, melalui pendekatan historis. Fiona Robertson-Snape1 (1999) memperkenalkan
cultural determinisme dimana pendekatan ini seringkali digunakan sebagai acuan ketika
mempelajari penyebab terjadinya korupsi bahwa penjelasan kultural praktik korupsi di
Indonesia selalu dihubungkan dengan bukti-bukti kebiasaan-kebiasaan kuno orang jawa
1
Adalah seorang seorang penyokong determinisme kultural penyebab korupsi di Indonesia. Dalam sebuah
artikelnya, dia mengungkapkan penjelasan kultural praktik korupsi di Indonesia dihubungkan dengan buktibukti kebiasaan kuno orang Jawa.
dimana pada waktu itu, kebiasaan yang mereka lakukan adalah menghisap orang lain melalui
cara-cara yang tidak manusiawi sepeti: pemberian upeti kepada penguasa, kerja paksa, lintah
darat, dsb. Kedua, secara teoritik, ada seorang ilmuwan bernaman Ramirez Torres. Dia
memiliki rumus (Hasil > Hukuman x Kemungkinan). Dari persyaratan tersebut terlihat
bahwa korupsi adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan, bukan hanya sekedar hasrat.
Seseorang akan berlaku korupsi jika hasil yang didapat dari hasil korupsi lebih tinggi dari
hukuman yang diperoleh dengan kemungkinan tertangkapnya yang kecil.
Dari kedua hal tersebut dapat dikatakan bahwa sebenarnya tradisi korupsi itu sudah
ada didalam tubuh masyarakat Indonesia. Tradisi yang kemudian membudaya ini telah
menjadi satu dengan struktur yang ada di masyarakat karena sudah berlangsung dari generasi
terdahulu ke generasi selanjutnya hingga akhirnya sampai pada generasi kita hari ini. Dalam
konteks negara modern, nampaknya korupsi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang
cerdik. Seiring majunya pola pikir manusia, mereka para pemain drama ini berakting secara
pintar. Namun jika kita mendengar istilah: sepintar-pintarnya tupai melompat, pasti akan
terjatuh juga, kita akan dengan mudahnya menganalogikan istilah tersebut dalam konteks
drama korupsi yang dilakukan oleh para politisi di negera ini. Mereka telah mencipta banyak
kekacauan di negara ini yang pada akhirnya telah merugikan keuangan negara, bahkan jika
kita telusuri jauh lebih dalam, pihak yang sesungguhnya dirugikan adalah rakyat.
Dari penjelasan diawal, dapat kita katakan bahwa korupsi adalah perbuatan mencuri,
mengambil yang bukan haknya, menyelewengkan uang negara dan masih banyak pengertian
lain tentang korupsi yang intinya adalah tindakan tidak terpuji. Pendanaan yang berasal dari
rakyat berupa pajak telah disulap oleh para pemain drama ini menjadi mobil mewah, rumah
mewah, dan segala pilihan yang tersedia akan kemewahan dunia.
Ketika uang rakyat yang berupa pajak itu di korupsi, maka sama saja para pemain
drama ini mengkhianati rakyat. Ini adalah sebuah kejahatan yang tidak termaafkan.
Demikian, korupsi menjadi sebuah fenomena yang marak terjadi akhir-akhir ini. Korupsi
akan terus berlangsung selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan.
Ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih
“mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi. 2
Semakin banyak orang salah dalam memandang kekayaan, semakin besar pula kemungkinan
orang melakukan kesalahan dalam mengakses kekayaan.
Kemudian, kesalahan dalam memahami arti sukses juga memiliki dampak yang cukup
luar biasa. Sejak kecil, kita selalu dicekoki oleh doktrin-doktrin yang mengatakan bahwa
2
Ansari Yamamah, “Sistem Politik Mendewakan Materi Penyebab Korupsi”, Republika, 14 Desember 2009,
pukul 23:14 WIB. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/12/14/95776-sistem-politikmendewakan-materi-penyebab-korupsi, diakses tanggal 05 April 2014, pukul 16:30 WIB.
sukses itu adalah ketika kamu punya uang banyak, sehinga kamu dapat membeli apapun yang
kau mau. Mobil mewah, rumah mewah, dan segala kemewahan yang selalu dipandang dalam
arti sukses. Padahal, arti sukses tidaklah sesempit dan sesederhana kata kemewahan. Perlu
kalian ketahui, bahwa arti sukses pada hakikatnya tidaklah selalu identik dengan kemewahan.
Sebut saja Bill Gates, seorang pengusaha terkaya didunia. Dia mengartikan kata sukses
adalah ketika setiap orang di dunia memiliki personal computer dirumahnya. Beda lagi
ceritanya dengan Gadjah Mada, seorang patih Kerajaan Majapahit. Sukses menurutnya
adalah ketika dia berhasil mempersatukan nusantara. Inilah sikap yang seharusnya diubah
agar tidak terjadi kesalahan dalam mendefinisikan sukses dan tidak melulu menjadikan
sukses sebagai keadaan dimana kita memiliki segala kemewahan. Selain itu, sifat tamak,
moral yang kurang kuat menghadapi cobaan dan godaan, gaya hidup yang konsumtif, atau
bahkan sikap malas bekerja yang selalu ingin mendapatkan hasil yang instan. Itu semua
adalah faktor internal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan korupsi.
Untuk melihat faktor eksternal, Indonesia Corruption Watch (ICW) telah
menghimpun empat indikator penting3. Pertama, faktor politik. Perilaku korup seperti
penyuapan, politik uang adalah sebagian kecil dari tindakan tidak terpuji. Hal ini terjadi
karena kondisi politik di Indonesia yang sangat semrawut. Sebagai contohnya, pemilu.
Pemilu yang seharusnya menjadi tempat memilih calon wakil rakyat yang bersih dan amanah
justru menghasilkan tokoh-tokoh yang tidak sesuai dengan harapan. Ada jual beli suara,
adapula kegiatan politik uang, dan masih banyak tindakan lainnya. Hal ini membuat makna
demokrasi menjadi berubah. Demokrasi kini identik dengan kata mahal. Setiap orang yang
tidak memiliki uang atau modal yang cukup akan kalah dengan sendirinya. Jika mereka
berhasil lolos ke kursi parlemen, tentunya mereka akan cenderung bergerak ke arah
pemikiran bahwa saat saya kampanye dulu, saya telah mengeluarkan biaya sekian banyak.
Dan saat ini saya sudah duduk di kursi parlemen, maka setidaknya saya harus mendapatkan
uang yang lebih besar dari yang saya keluarkan saat saya kampanye dulu. Lebih menyakitkan
lagi adalah ketika melihat banyak caleg yang gagal. Mereka telah mengeluarkan sekian
banyak modal dalam kampanye, namun pada kenyataannya mereka tidak berhasil duduk di
kursi parlemen. Jika tidak siap, depresi dan frustasi mengancam psikologis para caleg yang
kalah bertarung4. Inilah dampak yang kemudian dikenal bernama post electoral depression.
3
4
Indonesia Corruption Watch (2000), “Peran Parlemen Dalam Membasmi Koruptor”.
Maya Sofia, Marlina Irdayanti, “Daftar Rumah Sakit Yang Sediakan Kamar Untuk Caleg Stres”, Viva News,
Kamis, 20 Maret 2014, 12:34 WIB, http://m.news.viva.co.id/news/read/490114-daftar-rumah-sakit-yangsediakan-kamar-khusus-caleg-stres, diakses tanggal 05 April 2014.
Kedua, faktor hukum. Agak riskan dalam melihat kenyataan hukum di Indonesia.
Banyak opini yang mengatakan bahwa hukum yang ada di Indonesia hanya ada untuk si
miskin. Tidak ada penegakan hukum yang seadil-adilnya. Mereka yang memiliki
jabatan/pangkat tinggi, kelebihan harta, dan lainnya kerap kali menjadi aktor yang sulit untuk
di lawan meskipun dengan hukum. Ini adalah salah satu bentuk kelemahan dalam proses
penegakan hukum di Indonesia. Selain itu, ada satu hal lain yang membuat hukum di
Indonesia itu menjadi lemah, yakni lemahnya perundang-undangan. Banyak hal yang
membuat lemahnya perundang-undangan misal: tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga
menimbulkan multi-tafsir diantara pakar hukum dan masyarakat luas. Selain itu peraturan
perundang-undangan juga sering kontradiktif dan overlapping, sehingga menimbulkan
pertentangan antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lainnya.
Ketiga, faktor ekonomi. Sistem penggajian yang tidak layak juga bisa mendorong
seseorang untuk melakukan korupsi. Oleh karena itu, pihak penyelenggara negara sebaiknya
menerapkan sistem penggajian yang layak disertai dengan program reward and punishment.
Ini akan sangat membantu dan menimbulkan konsekuensi logis. Ketika seseorang telah
melakukan suatu tindakan yang mendorong kemajuan organisasi tempat dia bernanung, maka
dia berhak untuk menerima reward tetapi sebaliknya, jika dia melakukan pelanggaran atas
dasar tata tertib yang telah disepakati bersama, maka dia harus mendapatkan punishment
sesuai dengan perbuatannya.
Keempat, faktor organisasi. Organisasi dalam hal ini adalah organisasi yang luas
termasuk pengorganisasian masyarakat. Organisasi biasanya mengambil andil dalam
terjadinya proses korupsi. Maksudnya adalah ketika semua orang yang ada dalam organisasi
tersebut bertindak salah dan menyeleweng tetapi tidak ada seorangpun yang merasa dirinya
salah atau bahkan mereka merasa tetapi tidak mampu keluar dari sikap salah tersebut
dikarenakan mereka tidak mampu untuk menanggung beban diasingkan atau dikucilkan yang
akan didapat ketika mereka tidak ikut serta dalam sistem organisasi yang salah. Dapat
dikatakan bahwa strukturlah yang mendorong kita untuk berlaku salah yang dalam konteks
ini kita sebut korupsi.
Penutup
Berbicara mengenai korupsi, agaknya menimbulkan banyak suara yang senantiasa
menghakimi mereka-mereka yang bersalah. Namun ada perihal yang kerap kali luput dari
penglihatan kita. Sekalipun kita jarang atau bahkan sulit melakukan pengawasan atau
tindakan yang semestinya dapat mereduksi tindakan korupsi, namun bukankah seharusnya
kita juga memberikan solusi dari permasalahan yang ada.
Melalui gerakan menolak bodoh ini, kami mengajak teman-teman sekalian untuk
tidak melulu mengutuk kegelapan. Kami lebih senang mengajak teman-teman sekalian untuk
sama-sama menyalakan lilin. Gerakan menolak bodoh membuat alternatif solusi yang rasarasanya mudah untuk dilakukan tetapi memiliki dampak yang cukup signifikan jika
diterapkan atau dilakukan secara berjamaah.
Gerakan menolak bodoh memiliki esensi untuk meningkatkan partisipasi. Dalam hal
ini bukan sikap sok tahu dan tidak mau tahu yang menjadi rujukan, melainkan sikap tahu dan
mau tahu. Kami mengajak teman-teman sekalian untuk menerima strategi partai yang tidak
memakai uang sebagai instrumen utama dalam berkampanye. Jauhi politik uang, karena
politik uang tidaklah mencerdaskan kita semua. Politik uang selalu hadir ditengah masyarakat
karena uang merupakan instrumen utama dalam kegiatan berdemokrasi di Indonesia. Inilah
yang membuat persepsi bahwa yang namanya demokrasi itu mahal harganya. Oleh karena itu,
sejak hari ini, mulai detik ini, jangan pilih caleg yang melakukan kampanye dengan
instrumen uang, sembako, atau lainnya. Percayalah bahwa suara kita jauh lebih mahal
ketimbang harga sembako atau sejumlah uang yang diberikan oleh para caleg.
Jika kita sebagai masyarakat memiliki keinginan untuk melakukan korupsi melalui
cara menghisap uang para caleg. Maka begitu pula logika yang akan digunakan para caleg
ketika duduk di kursi parlemen nanti. Karena kita korupsi, maka dewan pun ikut korupsi.
Oleh sebab itu, mari kita bersama-sama mengawasi proses Pemilu agar memiliki esensi
penting dalam pembangunan kehidupan berdemokrasi. Sehingga pada akhirnya negeri ini
bukanlah menjadi ajang tempat pementasan drama klasik dengan tema: korupsi. Tetapi lebih
jauh lagi adalah harapan akan pencapaian untuk mendapatkan pemimpin politik yang
mengedepankan pengabdiannya untuk negara, bukan pengabaian atau kepentingan pribadi
semata.
Selamat malam. Kali ini, Kajian Strategis Dema Fisipol hadir ke hadapan pembaca dengan
membawa tema “Pemilu dan Korupsi”. Tulisan kali ini akan menjadi pamungkas dari seri
pertama gerakan menolak bodoh yang diharapkan mampu mengubah cara pandang temanteman dalam menanggapi Pemilu dan proses partisipasi yang mencirikan kita sebagai
seorang yang tahu dan mau tahu dalam rangka meningkatkan partisipasi demokrasi yang
menjadi esensi dari gerakan ini. Tulisan ini merupakan hasil riset dan diskusi yang kemudian
ditulis oleh Staf Kajian Strategis ................... .Terima kasih kepada ........................ atas
diskusi yang ..................... Konten tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kajian
Strategis Dema Fisipol.
Pembuka
Setelah sebelumnya kita telah berbicara mengenai intoleransi, bencana alam, dan
ekonomi, Gerakan Menolak Bodoh kali ini akan berbicara mengenai topik: “Pemilu dan
Korupsi”. Sebuah topik yang sekiranya layak menjadi tema besar dalam sebuah pertunjukan
drama di Indonesia. Mengapa? Pasalnya, tindakan yang bernama korupsi ini selalu hadir
ditengah kita menampilkan drama yang mengharu biru dan penuh menegangkan layaknya
drama sinetron di televisi yang ceritanya tak kunjung selesai, yang kemudian membuat
sebagian orang pun ingin mengetahui bagaimana akhir dari ceritanya. Namun sebagian
lainnya menjadi muak karena cerita dari drama ini tak kunjung selesai. Pemain drama (baca:
koruptor) yang sangat piawai dalam beraksi ini tidak lain adalah para aktor-aktor politisi,
birokrat, pegawai negara sipil, dsb. Mereka adalah orang-orang terpilih yang memiliki
kewenangan dalam mengambil pelbagai kebijakan yang hendak diembannya. Akan tetapi
yang terjadi adalah, mereka mengabaikannya. Ini adalah cermin yang menunjukkan bahwa
politik yang seharusnya menjadi ladang pengabdian kini telah berubah maknanya menjadi
ladang pengabaian.
Korupsi: Kejahatan Yang Tidak Termaafkan
Berbicara tentang korupsi, nampaknya kita harus merujuk setidaknya kepada dua hal.
Pertama, melalui pendekatan historis. Fiona Robertson-Snape1 (1999) memperkenalkan
cultural determinisme dimana pendekatan ini seringkali digunakan sebagai acuan ketika
mempelajari penyebab terjadinya korupsi bahwa penjelasan kultural praktik korupsi di
Indonesia selalu dihubungkan dengan bukti-bukti kebiasaan-kebiasaan kuno orang jawa
1
Adalah seorang seorang penyokong determinisme kultural penyebab korupsi di Indonesia. Dalam sebuah
artikelnya, dia mengungkapkan penjelasan kultural praktik korupsi di Indonesia dihubungkan dengan buktibukti kebiasaan kuno orang Jawa.
dimana pada waktu itu, kebiasaan yang mereka lakukan adalah menghisap orang lain melalui
cara-cara yang tidak manusiawi sepeti: pemberian upeti kepada penguasa, kerja paksa, lintah
darat, dsb. Kedua, secara teoritik, ada seorang ilmuwan bernaman Ramirez Torres. Dia
memiliki rumus (Hasil > Hukuman x Kemungkinan). Dari persyaratan tersebut terlihat
bahwa korupsi adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan, bukan hanya sekedar hasrat.
Seseorang akan berlaku korupsi jika hasil yang didapat dari hasil korupsi lebih tinggi dari
hukuman yang diperoleh dengan kemungkinan tertangkapnya yang kecil.
Dari kedua hal tersebut dapat dikatakan bahwa sebenarnya tradisi korupsi itu sudah
ada didalam tubuh masyarakat Indonesia. Tradisi yang kemudian membudaya ini telah
menjadi satu dengan struktur yang ada di masyarakat karena sudah berlangsung dari generasi
terdahulu ke generasi selanjutnya hingga akhirnya sampai pada generasi kita hari ini. Dalam
konteks negara modern, nampaknya korupsi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang
cerdik. Seiring majunya pola pikir manusia, mereka para pemain drama ini berakting secara
pintar. Namun jika kita mendengar istilah: sepintar-pintarnya tupai melompat, pasti akan
terjatuh juga, kita akan dengan mudahnya menganalogikan istilah tersebut dalam konteks
drama korupsi yang dilakukan oleh para politisi di negera ini. Mereka telah mencipta banyak
kekacauan di negara ini yang pada akhirnya telah merugikan keuangan negara, bahkan jika
kita telusuri jauh lebih dalam, pihak yang sesungguhnya dirugikan adalah rakyat.
Dari penjelasan diawal, dapat kita katakan bahwa korupsi adalah perbuatan mencuri,
mengambil yang bukan haknya, menyelewengkan uang negara dan masih banyak pengertian
lain tentang korupsi yang intinya adalah tindakan tidak terpuji. Pendanaan yang berasal dari
rakyat berupa pajak telah disulap oleh para pemain drama ini menjadi mobil mewah, rumah
mewah, dan segala pilihan yang tersedia akan kemewahan dunia.
Ketika uang rakyat yang berupa pajak itu di korupsi, maka sama saja para pemain
drama ini mengkhianati rakyat. Ini adalah sebuah kejahatan yang tidak termaafkan.
Demikian, korupsi menjadi sebuah fenomena yang marak terjadi akhir-akhir ini. Korupsi
akan terus berlangsung selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan.
Ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih
“mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi. 2
Semakin banyak orang salah dalam memandang kekayaan, semakin besar pula kemungkinan
orang melakukan kesalahan dalam mengakses kekayaan.
Kemudian, kesalahan dalam memahami arti sukses juga memiliki dampak yang cukup
luar biasa. Sejak kecil, kita selalu dicekoki oleh doktrin-doktrin yang mengatakan bahwa
2
Ansari Yamamah, “Sistem Politik Mendewakan Materi Penyebab Korupsi”, Republika, 14 Desember 2009,
pukul 23:14 WIB. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/12/14/95776-sistem-politikmendewakan-materi-penyebab-korupsi, diakses tanggal 05 April 2014, pukul 16:30 WIB.
sukses itu adalah ketika kamu punya uang banyak, sehinga kamu dapat membeli apapun yang
kau mau. Mobil mewah, rumah mewah, dan segala kemewahan yang selalu dipandang dalam
arti sukses. Padahal, arti sukses tidaklah sesempit dan sesederhana kata kemewahan. Perlu
kalian ketahui, bahwa arti sukses pada hakikatnya tidaklah selalu identik dengan kemewahan.
Sebut saja Bill Gates, seorang pengusaha terkaya didunia. Dia mengartikan kata sukses
adalah ketika setiap orang di dunia memiliki personal computer dirumahnya. Beda lagi
ceritanya dengan Gadjah Mada, seorang patih Kerajaan Majapahit. Sukses menurutnya
adalah ketika dia berhasil mempersatukan nusantara. Inilah sikap yang seharusnya diubah
agar tidak terjadi kesalahan dalam mendefinisikan sukses dan tidak melulu menjadikan
sukses sebagai keadaan dimana kita memiliki segala kemewahan. Selain itu, sifat tamak,
moral yang kurang kuat menghadapi cobaan dan godaan, gaya hidup yang konsumtif, atau
bahkan sikap malas bekerja yang selalu ingin mendapatkan hasil yang instan. Itu semua
adalah faktor internal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan korupsi.
Untuk melihat faktor eksternal, Indonesia Corruption Watch (ICW) telah
menghimpun empat indikator penting3. Pertama, faktor politik. Perilaku korup seperti
penyuapan, politik uang adalah sebagian kecil dari tindakan tidak terpuji. Hal ini terjadi
karena kondisi politik di Indonesia yang sangat semrawut. Sebagai contohnya, pemilu.
Pemilu yang seharusnya menjadi tempat memilih calon wakil rakyat yang bersih dan amanah
justru menghasilkan tokoh-tokoh yang tidak sesuai dengan harapan. Ada jual beli suara,
adapula kegiatan politik uang, dan masih banyak tindakan lainnya. Hal ini membuat makna
demokrasi menjadi berubah. Demokrasi kini identik dengan kata mahal. Setiap orang yang
tidak memiliki uang atau modal yang cukup akan kalah dengan sendirinya. Jika mereka
berhasil lolos ke kursi parlemen, tentunya mereka akan cenderung bergerak ke arah
pemikiran bahwa saat saya kampanye dulu, saya telah mengeluarkan biaya sekian banyak.
Dan saat ini saya sudah duduk di kursi parlemen, maka setidaknya saya harus mendapatkan
uang yang lebih besar dari yang saya keluarkan saat saya kampanye dulu. Lebih menyakitkan
lagi adalah ketika melihat banyak caleg yang gagal. Mereka telah mengeluarkan sekian
banyak modal dalam kampanye, namun pada kenyataannya mereka tidak berhasil duduk di
kursi parlemen. Jika tidak siap, depresi dan frustasi mengancam psikologis para caleg yang
kalah bertarung4. Inilah dampak yang kemudian dikenal bernama post electoral depression.
3
4
Indonesia Corruption Watch (2000), “Peran Parlemen Dalam Membasmi Koruptor”.
Maya Sofia, Marlina Irdayanti, “Daftar Rumah Sakit Yang Sediakan Kamar Untuk Caleg Stres”, Viva News,
Kamis, 20 Maret 2014, 12:34 WIB, http://m.news.viva.co.id/news/read/490114-daftar-rumah-sakit-yangsediakan-kamar-khusus-caleg-stres, diakses tanggal 05 April 2014.
Kedua, faktor hukum. Agak riskan dalam melihat kenyataan hukum di Indonesia.
Banyak opini yang mengatakan bahwa hukum yang ada di Indonesia hanya ada untuk si
miskin. Tidak ada penegakan hukum yang seadil-adilnya. Mereka yang memiliki
jabatan/pangkat tinggi, kelebihan harta, dan lainnya kerap kali menjadi aktor yang sulit untuk
di lawan meskipun dengan hukum. Ini adalah salah satu bentuk kelemahan dalam proses
penegakan hukum di Indonesia. Selain itu, ada satu hal lain yang membuat hukum di
Indonesia itu menjadi lemah, yakni lemahnya perundang-undangan. Banyak hal yang
membuat lemahnya perundang-undangan misal: tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga
menimbulkan multi-tafsir diantara pakar hukum dan masyarakat luas. Selain itu peraturan
perundang-undangan juga sering kontradiktif dan overlapping, sehingga menimbulkan
pertentangan antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lainnya.
Ketiga, faktor ekonomi. Sistem penggajian yang tidak layak juga bisa mendorong
seseorang untuk melakukan korupsi. Oleh karena itu, pihak penyelenggara negara sebaiknya
menerapkan sistem penggajian yang layak disertai dengan program reward and punishment.
Ini akan sangat membantu dan menimbulkan konsekuensi logis. Ketika seseorang telah
melakukan suatu tindakan yang mendorong kemajuan organisasi tempat dia bernanung, maka
dia berhak untuk menerima reward tetapi sebaliknya, jika dia melakukan pelanggaran atas
dasar tata tertib yang telah disepakati bersama, maka dia harus mendapatkan punishment
sesuai dengan perbuatannya.
Keempat, faktor organisasi. Organisasi dalam hal ini adalah organisasi yang luas
termasuk pengorganisasian masyarakat. Organisasi biasanya mengambil andil dalam
terjadinya proses korupsi. Maksudnya adalah ketika semua orang yang ada dalam organisasi
tersebut bertindak salah dan menyeleweng tetapi tidak ada seorangpun yang merasa dirinya
salah atau bahkan mereka merasa tetapi tidak mampu keluar dari sikap salah tersebut
dikarenakan mereka tidak mampu untuk menanggung beban diasingkan atau dikucilkan yang
akan didapat ketika mereka tidak ikut serta dalam sistem organisasi yang salah. Dapat
dikatakan bahwa strukturlah yang mendorong kita untuk berlaku salah yang dalam konteks
ini kita sebut korupsi.
Penutup
Berbicara mengenai korupsi, agaknya menimbulkan banyak suara yang senantiasa
menghakimi mereka-mereka yang bersalah. Namun ada perihal yang kerap kali luput dari
penglihatan kita. Sekalipun kita jarang atau bahkan sulit melakukan pengawasan atau
tindakan yang semestinya dapat mereduksi tindakan korupsi, namun bukankah seharusnya
kita juga memberikan solusi dari permasalahan yang ada.
Melalui gerakan menolak bodoh ini, kami mengajak teman-teman sekalian untuk
tidak melulu mengutuk kegelapan. Kami lebih senang mengajak teman-teman sekalian untuk
sama-sama menyalakan lilin. Gerakan menolak bodoh membuat alternatif solusi yang rasarasanya mudah untuk dilakukan tetapi memiliki dampak yang cukup signifikan jika
diterapkan atau dilakukan secara berjamaah.
Gerakan menolak bodoh memiliki esensi untuk meningkatkan partisipasi. Dalam hal
ini bukan sikap sok tahu dan tidak mau tahu yang menjadi rujukan, melainkan sikap tahu dan
mau tahu. Kami mengajak teman-teman sekalian untuk menerima strategi partai yang tidak
memakai uang sebagai instrumen utama dalam berkampanye. Jauhi politik uang, karena
politik uang tidaklah mencerdaskan kita semua. Politik uang selalu hadir ditengah masyarakat
karena uang merupakan instrumen utama dalam kegiatan berdemokrasi di Indonesia. Inilah
yang membuat persepsi bahwa yang namanya demokrasi itu mahal harganya. Oleh karena itu,
sejak hari ini, mulai detik ini, jangan pilih caleg yang melakukan kampanye dengan
instrumen uang, sembako, atau lainnya. Percayalah bahwa suara kita jauh lebih mahal
ketimbang harga sembako atau sejumlah uang yang diberikan oleh para caleg.
Jika kita sebagai masyarakat memiliki keinginan untuk melakukan korupsi melalui
cara menghisap uang para caleg. Maka begitu pula logika yang akan digunakan para caleg
ketika duduk di kursi parlemen nanti. Karena kita korupsi, maka dewan pun ikut korupsi.
Oleh sebab itu, mari kita bersama-sama mengawasi proses Pemilu agar memiliki esensi
penting dalam pembangunan kehidupan berdemokrasi. Sehingga pada akhirnya negeri ini
bukanlah menjadi ajang tempat pementasan drama klasik dengan tema: korupsi. Tetapi lebih
jauh lagi adalah harapan akan pencapaian untuk mendapatkan pemimpin politik yang
mengedepankan pengabdiannya untuk negara, bukan pengabaian atau kepentingan pribadi
semata.