Nasionalisme Globalisasi dan Globalisme pdf

Nasionalisme, Globalisasi dan Globalisme
Efrial Ruliandi Silalahi

Abstrak
Dalam logika kebudayaan, globalisasi tidak berarti tanggalnya
identitas lokal-nasional menuju satu identitas global, melainkan
lahirnya dialektika identitas global, nasional, lokal dan individual
yang disebut dengan glokalisasi. Globalisasi tidak meratakan jalan
bagi keseragaman cita rasa budaya, melainkan mendorong proses
kreolisasi dan hibridisasi. Kebudayaan lokal tidak tenggelam
dalam arus budaya global, melainkan terjadi interpenetrasi yang
particular ke dalam yang universal dan yang universal ke dalam
yang particular.
Kata kunci : Glokalisasi, Hibridisasi.
1. Memaknai Nasionalisme
Nasionalisme menurut Ernest Gellner , merujuk kepada keterkaitan
antara etnisitas dan negara. Nasionalisme menurut pandangan ini
adalah ideologi etnik yang dipelihara sedemikian sehingga
kelompok etik ini mendominasi suatu negara. Negara-bangsa
dengan sendirinya adalah negara yang didominasi oleh suatu
kelompok etnik, yang penanda identitasnya seperti bahasa atau


agama kerapkali terkandung dalam simbolisme resmi dan institusi
perundang-undangan.1
Dalam dimensi antropologi, nasionalisme dipandang sebagai
sistem budaya yang mencakup kesetiaan, komitmen, emosi,
perasaan kepada bangsa dan negara, dan rasa memiliki bangsa dan
negara itu. Dalam dimensi ini, Benedict Anderson mengatakan
bahwa nation (bangsa) adalah suatu komunitas politik yang
terbatas dan berdaulat yang dibayangkan (imagined communities).
Komunitas politik itu dikatakan sebagai imagined communities
sebab suatu komunitas tidak mungkin mengenal seluruh warganya,
tidak mungkin saling bertemu, atau saling mendengar. Akan tetapi,
mereka memiliki gambaran atau bayangan yang sama tentang
komunitas mereka. Suatu bangsa dapat terbentuk, jika sejumlah
warga dalam suatu komunitas mau menetapkan diri sebagai suatu
bangsa yang mereka angankan atau bayangkan.2
Anderson sendiri berupaya memberikan penjelasan terhadap apa
yang disebut anomali nasionalisme. Menurut pandangan Marxis
dan teori-teori sosial liberal tentang modernisasi, nasionalisme
seharusnya tidak lagi relevan di dunia individualis pasca

pencerahan, karena nasionalisme itu berbau kesetiaan primordial
dan solidaritas yang berbasis asal-usul dan kebudayaan yang sama.
1

Gellner, E. 1983, Nations and Nationalisme (Oxford: Blackwell), hal.1.
Anderson, Benedict, Imagined Communities Reflections on The Origin and
Spread of Nationalism, London: Thetford Press Limited, 1983. Hlm.15.
2

Maka, kalau kita kini menyaksikan goyahnya nasionalisme di
Indonesia, hal ini mungkin disebabkan antara lain oleh masuk dan
berkembangnya pemikiran liberal dalam ilmu sosial di Indonesia,
dan menjadi bagian dari cara ilmu sosial memikirkan negarabangsa dan nasionalisme kita sendiri.
Karena komitmen dan keinginan untuk mengikatkan diri dalam
komunitas bangsa ini, dapat muncul kesetiaan yang tinggi pada
nation state (negara kebangsaan). Bahkan, banyak warga suatu

negara kebangsaan rela mengorbankan jiwa-raga untuk membela
bangsa dan negara mereka. Senada dengan Benedict Anderson,
Ernest Renan mengatakan bahwa unsur utama dalam pembentukan


suatu bangsa adalah le desir de’etre ensemble (keinginan untuk
bersatu).3
Dalam dimensi politik, nasionalisme merupakan ideologi yang
meyakini bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan
kepada negara kebangsaan, yaitu suatu negara yang penduduknya
memiliki hak dan kewajiban sama serta mau mengikatkan dirinya
dalam suatu negara.4 Demikian juga Soekarno, mengatakan bahwa
bangsa adalah sebuah konstruksi yang dihasilkan oleh sebuah visi
yang diperjuangkan. Dalam pengertian politik ini, prinsip-prinsip

3

Abdullah, Taufik, Nasionalisme dan Sejarah , Bandung: Satya Historika, 2001.
Hlm. 49.
4
Kohn, Hans, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya , Jakarta: PT Pembangunan dan
Penerbit Erlangga, 1984. Hlm. 11.

utama dalam nasionalisme adalah kebebasan, kesatuan, keadilan,

dan kepribadian yang menjadi orientasi kehidupan kolektif suatu
kelompok untuk mencapai tujuan politik, yaitu negara nasional.5
Sebagai doktrin politik, nasionalisme merupakan basis serta
pembenaran ideologis bagi setiap bangsa di dunia untuk
mengorganisasi diri dalam entitas-entitas yang bebas atau otonom,
dan entitas itu mengambil bentuk negara nasional yang merdeka.6
Nasionalisme juga diartikan sebagai supreme loyality terhadap
kelompok bangsa. Kesetiaan ini muncul karena adanya kesadaran
akan identitas kolektif yang berbeda dengan yang lain. Pada
kebanyakan kasus, hal itu terjadi karena kesamaan keturunan,
bahasa atau kebudayaan. Akan tetapi, ini semua bukanlah unsur
yang substansial paling penting dalam nasionalisme adalah adanya
kemauan untuk bersatu. Oleh karena itu, bangsa merupakan konsep
yang selalu berubah, tidak statis, dan juga bukan pemberian,
sejalan dengan dinamika kekuatan-kekuatan yang melahirkannya.
Nasionalisme tidak selamanya tumbuh dalam masyarakat multi ras,
bahasa, budaya, dan bahkan multi agama. Amerika dan Singapura
misalnya, adalah bangsa yang multi ras, Switzerland adalah bangsa
dengan multi bahasa, dan Indonesia adalah bangsa yang


5

Kartodirdjo, Sartono, Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran
dan Kebudayaan Nasional,Yogyakarta: Aditya Media, 1993. Hlm. 3
6
Riff, Michael A., Kamus Ideologi Politik Modern , Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995. Hlm.194.

merupakan integrasi dari berbagai suku yang mempunyai aneka
bahasa, budaya dan juga agama.7
2. Globalisasi
Globalisasi sebagai sebuah kajian ilmiah dalam ilmu sosial
sebenarnya menempati posisi akademis yang cukup menarik
karena langsung berkaitan dengan realitas kehidupan yang
berlangsung saat ini. Secara teoritis memang belum ditemukan satu
kesepakatan diantara para pemikir sosial tentang defenisi
globalisasi. Hal itu menimbulkan perbedaan pandangan, apakah
globalisasi hanya sebuah fenomena atau dapat dibahas secara
teoritis.
Giovanni E. Reyes membaginya ke dalam dua kategori, pertama


sebagai sebuah fenomena, globalisasi mengimplikasikan bahwa
ketergantungan yang sangat kuat tengah berlangsung diantara
wilayah-wilayah dan negara-negara di dunia., terutama dalam hal
keuangan, perdagangan, dan komunikasi. Sebagai sebuah teori
perkembangan ekonomi, salah satu asumsi dasarnya adalah sebuah
level integrasi yang lebih besar berlangsung diantara wilayahwilayah dunia yang berbeda. Dimana integrasi ini menyebabkan

7

Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kyai, (Jogjakarta: LKIS, 2007). Cet.I hlm.
28-29

pengaruh yang cukup penting dalam pertumbuhan ekonomi dan
indikator-indikator sosial.8
Merujuk pendapat Reyes, bisa dikatakan bahwa globalisasi
awalnya memang sebuah fenomena, namun pada akhirnya bisa
dikaji secara teoritis. Adapaun elemen penting dari globalisasi
adalah keuangan, perdagangan dan komunikasi yang mempunyai
pengaruh penting dalam indikator sosial pada semua negara di

dunia yang terhubung dalam sistem global.
Merujuk logika berpikir diatas, paling tidak terdapat tiga kutub
pemikiran dalam setiap perdebatan yang sering hadir dalam
wacana-wacana akademis. Pertama, globalisasi sebagai proses
ekonomi. Para pemikir dalam kutub ini meyakini bahwa
globalisasi pada dasarnya merupakan sebuah proses meningkatnya
keterkaitan ekonomi nasional melalui perdagangan, aliran modal,
dan investasi asing (foreign direct investment/FDI), sehingga
kegiatan ekonomi yang ekspansif diidentifikasi sebagai aspek dan
mesin utama dibalik berlangsungnya globalisasi.9 Sebagai proses
ekonomi, globalisasi telah membuka kontestasi perdagangan antar
negara di dunia.

8

Giovanni E. Reyes. 2001. Theory of Globalization: Fundamental Basis , dalam
http://sincronia.cucsh.udg.mx/globaliz.htm, diakses pada 1 Agustus 2016 pukul
9.05 pm.
9
Manfred B. Steger. 2006. Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar terj. Heru

Prasetya (Yogyakarta: lafadl) hal.38-40

Kedua, globalisasi sebagai proses politik lahir dari pembacaan
ekspansi pasar terhadap kondisi negara bangsa. Ada beberapa
pemikiran yang berangkat dari asumsi tersebut. pertama, bahwa
kekuatan politik pemerintah sebuah negara bangsa menjadi tidak
berdaya menghadapi logika-logika technocapitalism.10 Pandangan
ini menganggap bahwa kombinasi antara kepentingan ekonomi dan
inovasi teknologilah (semisal internet) yang mengantarkan fase
baru sejarah dunia dimana peran pemerintah akan tereduksi
menjadi kaki tangan kapitalisme global.11 Konsekuensi dari realitas
ini adalah kinerja pasar kapital global yang lebih berperan dalam
mengendalikan ekonomi suatu negara. Kedua, ekspansi pasar
perusahaan transnasional tidak sepenuhnya meruntuhkan peran
politik pemerintah sebuah negara.12 Artinya, memang ada
pengaruh ekspansi pasar terhadap eksistensi lalu lintas ekonomi
antarnegara yang lebih teknologis sifatnya, lebih cepat dan praktis.
Namun, peran politik negara tetap menjadi faktor signifikan
sehingga


keputusan-keputusan

politiklah

yang

sebenarnya

membuka jalan bagi masuknya ekspansi ekonomi transnasional.
10

Technocapitalism merupakan sintesa antara kapital dan teknologi dalam
organisasi masyarakat kontemporer. Konsep ini menekankan pada
meningkatnya peran teknologi serta semakin kompleksnya relasi capital dalam
proses produksi. Struktur organisasi masyarakat, dengan demikian, tetap saja
berada dalam lingkaran produksi dan akumulasi capital dimana kaum kapitalis
semakin mendominasi proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Lihat, Douglas
Kellner, Theorizing Globalization , dalam
http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/
11

Steger.Op.cit.hal.45
12
Ibid. hal.47-48.

Ketiga, globalisasi sebagai proses kultural. Asumsi dasar dari
kutub pemikiran ini adalah bahwa berlangsungnya globalisasi akan
membawa dampak pada perubahan budaya dunia kontemporer.
Tomlison menyatakan bahwa globalisasi kultural sebagai semakin

meningkatnya jaringan kesalingterkaitan dan interdependensi
kultural yang kompleks yang menjadi ciri kehidupan manusia
modern.13 Ironisnya, saat ini kita melihat sebuah realitas betapa
globalisasi kultural sebenarnya lebih banyak memanfaatkan
kemajuan teknologi komunikasi massa untuk memasarkan produkproduk industri budayanya melampaui batas-batas negara dan
kebudayaan. Citra-citra budaya dibentuk oleh produk-produk
tersebut semisal tanyangan televisi maupun film. Pada akhirnya
akan mempengaruhi kultur bangsa lain. Inilah yang kemudian akan
melahirkan suatu kondisi dimana identitas kultural sebuah bangsa
tidak sepenuhnya berlandaskan pada lokalitas, namun juga
merefleksikan kecepatan perubahan budaya global. Dalam konteks

itulah, globalisasi diklaim sebagai penyebab lahirnya bentuk dunia
yang serba homogen karena digerakkan oleh satu poros kultural,
yaitu Amerika.
Globalisasi yang disebarluaskan oleh teknologi yang mampu
mentransfer barang dan informasi dengan tinggi dan efektif
cenderung mengarah pada McWorld yang serba homogen, dimana

13

Ibid. hal.54.

semua perbedaan bahasa dan budaya yang ada sebelumnya
berangsur menghilang dan menjelma budaya konsumsi global
dengan lingua franca Bahasa Inggris dan aktivitas utama
kulturalnya berupa perdagangan.14 Eropa, Jepang, Amerika Latin,
India maupun China juga kini menggerakkan perdagangan budaya
dunia. Bagi negara tersebut ekonomi tidak harus dipisahkan dari
budaya, karena budaya juga bisa menjadi alat akumulasi modal
yang cukup efektif karena langsung bersentuhan dengan kebutuhan
estetik manusia secara universal.
Sebaliknya, ada yang menganggap bahwa akan muncul variasi
budaya lokal sebagai akibat kuatnya budaya global. Robertson,
meramalkan lahirnya pluralitas dunia ketika kekuatan kultur lokal
melakukan tanggapan kultural yang unik terhadap kekuatankekuatan budaya global. Akibatnya bukanlah homogenisasi
cultural, tetapi glokalisasi, yakni sebuah interaksi yang kompleks
antara kultur global dan lokal yang bercirikan peminjaman budaya
(cultural borrowing) sehingga menghasilkan budaya baru yang
bersifat hibrid serta direfleksikan dalam bentuk film, music,
fashion, bahasa, dan bentuk-bentuk ekspresi simbolik lainnya.15

14

Dikutip dari Charles Ess. 2001. Introduction. Culture, Technology,
Communication: Toward an Intercultural Global Village (New York: State
University of New York Press). Hal. 2
15
Roland Robertson, 1995. Globalization and Glocalization: Time-Space and
Homogenity-Heterogenity, dalam Mike Featherstone, Scott Lash, and Roland
Robertson. Global Modernities. (London: Sage Publication).hal.22-24

Bisa ditarik satu defenisi tentang globalisasi dari perspektif
kultural bahwa globalisasi sebagai sebuah proses dimana terjadi
kesalingterkaitan dan kesalinghubungan negara-negara dalam
proses ekonomi-politik dan kultural serta ditunjang oleh eksistensi
institusi-institusi internasional dan teknologi komunikasi massaglobal yang kemudian melahirkan perubahan bentuk sosio-kultural
sebagai hasil dari proses adaptasi dan hibridasi.
3. Identitas Nasional
Identitas nasional adalah sebuah kesatuan yang terikat dengan
wilayah dan selalu memiliki wilayah (tanah tumpah darah mereka
sendiri), kesamaan sejarah, sistem hukum perundang-undangan,
hak dan kewajiban serta pembagian kerja berdasarkan profesi.
Demikian hal ini juga sangat ditentukan oleh proses bagaimana
bangsa tersebut terbentuk secara historis. Maka identitas nasional
suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri suatu bangsa
atau kepribadian suatu bangsa.16
Identitas nasional pada hakekatnya merupakan manifestasi nilainilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek
kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Diletakkan dalam
konteks Indonesia, maka identitas nasional itu merupakan
manifestasi nilai-nilai budaya yang sudah tumbuh dan berkembang
16

Ismaun, Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia , (Bandung: Carya
Remadja, 1981), hal. 6.

sebelum masuknya agama-agama besar di bumi nusantara ini
dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang kemudian
dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan
nasional dengan acuan Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal Ika
sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.17
Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang
majemuk. Kemajemukan itu merupakan gabungan unsur-unsur
pembentuk identitas nasional Indonesia,18 diantaranya pertama,
suku bangsa adalah kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari
kesatuan sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas
perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa. Kesadaran nasional
merupakan hal yang paling dasar menyatukan bangsa, yaitu sadar
berbangsa dan bernegara Indonesia, dengan semangat persatuan
dan kesatuan untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam satu
negara. Kedua, Indonesia merupakan negara yang multi agama.
Semua agama di Indonesia harus menganjurkan para umatnya
untuk bersatu dan saling menghormati dalam beragama. Indonesia
merupakan

negara

Theis

Demokratis

yakni

negara

yang

Berketuhanan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi semua agama,

17

Hamid Darmadi, Pengantar Pendidikan Kewargaan , (Bandung: Alfabeta,
2010), hal. 245.
18
Noor Ms Bakry, Pendidikan Kewarganegaraan , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012). Hal. 98-102.

melindungi dan menjamin agama-agama yang diberi kesempatan
yang

sama.

Ketiga,

kebudayaan

merupakan

keseluruhan

pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan
untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan menjadi
pedoman tingkah laku dan amal perbuatan.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat dikatakan bahwa
kebudayaan daerah merupakan kerangka dasar yang saling
berintegrasi menuju kesatuan budaya bangsa dan kebudayaan
nasional. Integrasi kebudayaan merupakan kerangka dasar untuk
mewujudkan integrasi bangsa atau integrasi nasional yang kukuh
dan tangguh. Integrasi nasional yang dimaksudkan adalah proses
penyatuan berbagai kelompok sosial budaya ke dalam kesatuan
wilayah dan pembentuk suatu identitas nasional. Keempat, bahasa
adalah sistem lambang yang dibentuk atas unsur-unsur bunyi
ucapan manusia dan digunakan sebagai sarana komunikasi untuk
melahirkan perasaan dan pikiran. Di Indonesia banyak terdapat
berbagai ragam bahasa daerah sebagai sarana interaksi antar
manusia yang mewakili banyak suku bangsa atau etnis. Negara
menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan
budaya nasional.
Dalam kaitannya antara identitas nasional dengan globalisasi
ditandai dengan pengaruh terhadap nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia. Globalisasi dapat diartikan sebagai proses integrasi

internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia,
produk, pemikiran dan aspek kebudayan lainnya. Era globalisasi
datang dan menggeser nilai-nilai yang telah ada. Nilai tersebut
bersifat positif dan negatif. Pergaulan antar bangsa semakin ketat,
batas negara dan batas wilayah tidak menjadi penghalang.
Dalam pergaulan antar bangsa yang semakin kental itu akan terjadi
proses akulturasi, saling meniru dan mempengaruhi antara budaya
masing-masing. Sehingga pada proses akulturasi dimungkinkan
dapat melunturkan tata nilai yang merupakan jati diri bangsa
Indonesia. Pengaruh negatif akibat proses akulturasi dapat
merongrong nilai-nilai yang telah ada di dalam masyarakat kita.
Untuk membendung arus globalisasi yang sangat deras itu, kita
harus berupaya menciptakan suatu kondisi agar ketahanan nasional
dapat terjaga dengan cara membangun sebuah konsep nasionalisme
kebangsaan yang mengarah kepada konsep identitas nasional.19
Dari aspek ideologi, Pancasila yang merupakan way of life bangsa
Indonesia saat ini menghadapi tantatangan serius, bukan saja orang
enggan bicara tentang Pancasila, tetapi justru nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya nyaris tidak lagi dihayati dan diamalkan.
Mungkin hal ini adalah akibat dan sikap traumatis dari pengalaman
masa lalu, atau dapat pula karena terlahir generasi baru yang telah

19

Heri dan Jumanta, Cerdas, Kritis dan aktif dalam berwarganegara (Jakarta:
Erlangga, 2010), hal. 37-39.

menganggap bahwa Pancasila sudah tidak bermakna lagi. Distorsi
pemahaman dan implementasi yang terjadi saat ini, dapat kita
amati

fenomenanya,

diantaranya

terjadinya

kemerosotan

(dekadensi) moral, watak, mental dan perilaku/etika hidup
bermasyarakat dan berbangsa terutama pada generasi muda. Gaya
hidup yang hedonistik, materialistik konsumtif dan cenderung
melahirkan sifat ketamakan atau keserakahan, serta mengarah pada
sifat dan sikap individualistik. Timbulnya gejala politik yang
berorientasi kepada kekuatan, kekuasaan dan kekerasan, sehingga
hukum sulit ditegakkan. Persepsi yang dangkal, wawasan yang
sempit, beda pendapat yang berujung permusuhan, anti terhadap
kritik serta sulit menerima perubahan yang pada akhirnya
cenderung anarkis. Serta birokrasi pemerintahan terlihat semakin
arogan, cenderung KKN dan sukar menempatkan diri sebagai
pelayan masyarakat. Pemberantasan korupsi yang berakar pada
birokrasi ini yang terasakan amat sulit karena telah membudaya.
Saat ini dapat kita lihat bahwa Indonesia telah mengalami krisis
identitas nasional. Banyak penduduk Indonesia telah melupakan
unsur-unsur kebudayaan yang merupakan basis dari identitas
nasional suatu bangsa. Budaya barat yang masuk melalui
globalisasi telah banyak mengubah pola hidup generasi muda saat
ini, salah satunya yaitu melupakan kultur budaya bangsa sendiri.
Ada puluhan budaya yang telah diklaim oleh negara lain, antara
lain: Naskah Kuno dari Riau, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tenggara, Masakan Rendang dari Sumatera Barat, Lagu
Rasa Sayang Sayange dari Maluku, Tari Reog Ponorogo, Lagu
Soleram dari Riau, Lagu Injit-Injit Semut dari Jambi, Alat Musik
Gamelan dari Jawa, Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur, Tari
Piring dari Sumatera Barat, Lagu Kakak Tua dari Maluku, Lagu
Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara, Motif Batik Parang dari
Yogyakarta, Badik Tumbuk

Lada, Musik

Indang Sungai

Garingiang dari Sumatera Barat, Kain Ulos dari Tapanuli,
Sumatera Utara, Alat musik Angklung dari Jawa Barat, Lagu JaliJali dari Betawi, Jakarta, Tari Pendet dari Bali yang diklaim oleh
pemerintah Malaysia.20
Kecenderungan akselerasi perekonomian global yang bebas
menembus batas negara, melalui banjirnya produk, jasa, dana dan
informasi ke berbagai pelosok dunia, menjadikan Indonesia hanya
sebagai sasaran dan arena pemasaran. Sementara produk dalam
negeri mengalami kelesuan sulit menembus pasar di luar negeri.
Produk-produk luar negeri dengan kualitas yang baik dan harga
yang relatif murah, terus masuk dengan dilandasi komitmen free
trade. Kondisi ekonomi yang melanda Indonesia saat ini juga

disebabkan oleh iklim politik, penegakan hukum, dan keamanan
yang tidak menunjang. Stabilitas nasional selalu terganggu,
keamanan usaha tidak dilindungi, akibatnya produktivitas anjlok.
20

http:// www.budaya-indonesia.org diakses pada 1 Agustus 2016 pukul 7:11
pm.

Sesungguhnya nilai-nilai nasionalisme (paham kebangsaan) itu
bersumber dari sosio-kultural dan bumi Indonesia. Sekalipun akan
mengalami interaksi dengan dunia luar dalam era globalisasi, tetapi
hakekatnya tidak boleh berubah.
4. Kritik Atas Otonomi Daerah dalam Arus Globalisasi
Otonomi daerah dan globalisasi sesungguhnya bukan sesuatu yang
bersifat saling menolak atau menegasikan satu sama lain. Memang
semangat desentralisasi adalah untuk mendorong peningkatan
kapasitas pemerintahan lokal dan kemandirian masyarakat lokal
dalam menjalankan urusan-urusan berskala lokal. Sebaliknya,
globalisasi bukan pula merupakan sesuatu yang superior terhadap
lokalisasi (segala sesuatu yang bersifat kedaerahan).
Idealnya, diantara keduanya dapat membentuk konvergensi
globalisasi atas otonomisasi, yakni kondisi dimana globalisasi
dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan gesekan terhadap
desentralisasi/otonomi. Kondisi ini oleh beberapa pakar menyebut
pula sebagai glokalisasi atau sintesa antara globalisasi dan
lokalisasi.
Dapatkah kita menolak globalisasi? Selain melawan sejarah
peradaban, menolak globalisasi berarti pula menolak berbagai
kemanfaatan yang menyertai proses integrasi ekonomi politik
dunia ini. Untuk itu, yang lebih kita butuhkan sesungguhnya

adalah bagaimana mengatasi dampak buruk globalisasi, sekaligus
mempromosikan lokalisme. Kongkritnya, segala sesuatu yang bisa
diproduksi di suatu negara atau daerah, harus dilakukan (jangan
mendatangkan produk asing). Hal ini penting agar meningkatkan
kontrol lokal atas ekonomi dan segala potensi untuk dapat
disebarkan secara lebih adil diantara penduduk lokal.
Ditengah tarik ulur antara globalisasi dan lokalisasi tadi, kebijakan
desentralisasi/otonomi daerah nampaknya merupakan jawaban
yang cukup ideal untuk membangun potensi daerah dan
memperkuat identitas lokal tanpa harus menolak mentah-mentah
arus globalisasi. Tentu saja, urgensi otonomi daerah disini
bukanlah untuk menghilangkan secara langsung dampak negatif
globalisasi. Esensi otonomi lebih pada upaya menciptakan
landasan politis-yuridis-sosiologis yang kuat bagi daerah untuk
membangun dirinya berdasarkan kebutuhan, karakteristik dan
potensi yang dimilikinya. Dari sini, diharapkan akan lahir dua
prasyarat penting untuk menghadapi globalisasi yaitu pertama,
kapasitas lokal baik dalam hal sumber daya manusia (SDM)
maupun kemampuan ekonomis, dan kedua, sebuah blue-print
pembangunan daerah jangka panjang yang inklusif, akomodatif,
visioner, dan berkesinambungan. Dengan kata lain, otonomi daerah
sesungguhnya hanya menyediakan anti-body terhadap virus
melalui dua hal tadi.

Pada gilirannya, blue-print pembangunan yang matang dan terarah,
ditunjang oleh kapasitas lokal yang mantap diharapkan akan
bermuara pada proteksi dan promosi tiga faktor strategis di daerah,
yakni: local culture and values, local commodities, dan local
resources. Disisi lain, daerah juga harus mampu mengenali dan

menggali potensi sendiri, agar sedikit demi sedikit makin
memperkecil ketergantungan kepada pusat atau juga dunia luar.
Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan adanya reorientasi
pembangunan industri yang berfokus pada daerah (district level
industrialization). Artinya, suatu industri hendaknya tidak melulu

dibangun di wilayah metropolitan dan sekitarnya, tapi perlu
digeser ke daerah pinggiran (periphery) dengan mengoptimalkan
bahan baku lokal, tenaga kerja lokal, serta untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat lokal. Strategi seperti ini telah berhasil di
negara-negara Eropa beberapa dekade lalu.
Satu hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah, untuk membangun
dan memperkokoh local identity dan local competitiveness di era
otonomi, harus dimulai dari reformasi birokrasi publik, terutama di
level daerah. Dalam hal ini, regulasi harus benar-benar dirumuskan
secara efektif demi merangsang majunya local entrepreneurs,
sementara korupsi, pungli serta retribusi ganda atau berlebih, harus
segera dihentikan. Reformasi birokrasi lokal, diyakini akan
menjadi

salah

satu

prasyarat

untuk

menunjang

proses

pembangunan daerah diantara arus globalisme dan lokalisme
secara harmonis.