Nasionalisme Agama dan Globalisasi (1)

Nasionalisme, Agama, dan Globalisasi//
NASIONALISME. Ini adalah isu yang mulai banyak ‘digugat’ belakangan.
Setidaknya, mulai diragukan konsepnya. Termasuk, dibenturkan dengan isu-isu agama.
Sehingga, ada yang mulai cenderung berpendapat: nasionalisme tidak sejalan dengan
agama.
Bagi yang cenderung berpandangan bahwa nasionalisme tidak sejalan dengan agama,
barangkali beralasan bahwa nasionalisme adalah sempit, partikular; sedangkan agama
adalah luas, universal.
Kita tahu, ide nasionalisme muncul mulai abad 19-20 sebagai reaksi dari praktik
kolonialisme di berbagai belahan dunia. Kolonialisme telah menimbulkan kesadaran baru
bagi warga daerah terjajah. Yakni, bahwa mereka punya kesamaan nasib sebagai koloni
yang hidup/matinya ditentukan oleh orang asing yang datang ke wilayah mereka.
Padahal, sebagai penghuni wilayah itu yang sudah ada sejak awal, merekalah yang
mestinya berhak menentukan nasibnya sendiri di atas tanah dan air yang mereka diami
selama ini. Berdasar perasaan senasib sebagai warga terjajah itulah, mereka lantas
berjuang untuk memerdekakan diri.
Wilayah bekas kerajaan-kerajaan di kepulauan di Nusantara yang sama-sama dijajah
Belanda mendirikan NKRI. Wilayah bekas kesultanan-kesultanan Melayu yang samasama dijajah Inggris mendirikan Malaysia. Begitu seterusnya, terutama di wilayah Asia
yang banyak dijajah oleh negara-negara Eropa, satu per satu memerdekakan diri dan
membentuk negara sendiri.
Maka, nasionalisme datang membebaskan mereka dari kolonialisme yang menindas.

Dalam nasionalisme, kesamaan nasib sebagai warga jajahanlah yang menjadi perekatnya.
Di samping ikatan sebagai bangsa yang sama, budaya yang sama, dengan cita-cita dan
tujuan yang sama pula.
Dengan nasionalisme ini, para penduduk di bekas wilayah jajahan lantas bisa
menentukan nasibnya sendiri. Berkat nasionalisme pula NKRI berdiri dan bulan ini akan
mencapai usianya yang ke-70. Sebuah usia di mana nasionalisme semakin mendapat
tantangan berat.
Doktrin-doktrin semacam “right or wrong is my country” seperti diucapkan mantan
PM Inggris Winston Churchill dianggap sudah tidak relevan lagi. Demikian pula ajaran
swadesi ala Mahatma Gandhi.
Bagaimana mungkin kita dipaksa menggunakan mobil Esemka yang belum jelas
kualitasnya sementara negara ini membebaskan mobil-mobil keluaran Jepang dan Eropa
membanjiri pasaran? Itu artinya, my country can wrong. Dan (sehingga), kita tidak bisa
dipaksa untuk menggunakan produk sendiri.
Dunia semakin mengglobal. Batas-batas wilayah kenegaraan seolah tidak ada. Arus
informasi, budaya, bahkan barang dan jasa begitu bebas berlalu-lalang di antara kita
tanpa ada yang bisa membatasi. Kita pun tidak lagi sekadar menjadi warga negara. Akan
tetapi, sudah menjadi warga dunia.
Sebagai warga dunia, kita bisa melihat, mendengar, dan merasakan apa yang terjadi di
belahan bumi lain di luar negara ini. Termasuk, melihat, mendengar, dan menyimak lalu

lintas berbagai ide tentang keislaman –yang bahkan juga tidak sepakat terhadap
globalisasi.

Di titik ini, ada persinggungan nasionalisme dan Islam dalam menghadapi globalisasi.
Tapi, sekaligus pertentangan nasionalisme dan agama ketika menghadapi doktrin
partikularitas versus universalitas.
Dalam kondisi ini, lalu di manakah posisi nasionalisme kita seharusnya? Dan, masih
perlukah nasionalisme itu? (*)