ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK)

  

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN

HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK)

(Jurnal Penelitian)

  

Oleh:

MANGGARA GUIN TRICAHYO

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

  

2014

  

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN

HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK)

Oleh:

  

Manggara Guin Tricahyo, Sunarto, Budi rizki Husin

Email: manggara_guin@yahoo.com

ABSTRAK

  Putusan hakim adalah bersifat sangat penting, karena didalamnya terdapat sebuah nilai yang dapat bersentuhan langsung dengan hak-hak asasi manusia. Sehubungan dengan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan permasalahan : Apakah putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK ini sudah sesuai dengan syarat-syarat formil dan materiil sebagaimana yang dituangkan di dalam KUHAP dan Apakah akibat hukum atas putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK apabila tidak memenuhi syarat-syarat formil dan materiil. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa : Putusan Hakim harus sesuai dengan syarat materiil dan formil berdasarkan KUHAP, karena Perbedaan unsur dalam pasal yang digunakan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa dengan dakwaan yang di berikan penuntut umum akan berakibat terhadap putusan yang tidak berdasarkan bukti-bukti persidangan, sehingga batal demi hukum dan berpotensi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia. Akibat hukum atas putusan yang tidak memenuhi syarat-syarat formil dan materiil adalah batal demi hukum, karena tersurat dalam KUHAP bahwa setiap putusan hakim hendaknya memuat norma Pasal 197 ayat (1) KUHAP, agar putusan tersebut memiliki kedudukan hukum yang kuat. KUHAP juga memberi ketentuan ketika sebuah putusan yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada maka ia dianggap batal demi hukum.

  Kata kunci: Putusan Hakim berkekuatan hukum tetap, batal demi hukum

  

ANALYSIS JURIDICAL OF VERDICT WHO LEGALLY

BINDING FOR CRIMINAL OFFENSE NARCOTICS

(CASE STUDY: NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK)

  

By

Manggara Guin Tricahyo, Sunarto, Budi rizki Husin

Email: manggara_guin@yahoo.com

  

ABSTRACT

The Verdict is very important, because in it there is a value who may come into

direct contact with human rights. With respect to the description above,

researcher interested to do research by the problems : Is this verdict No.

281/Pid.B/2013/PN.TK has been accordance with the terms formal and material

as stated in KUHAP and Is the legal consequences of verdict No.

281/Pid.B/2013/PN.TK if it does not comply the terms of formal and material. The

results of research and discussions showed that : the verdict should be in

accordance with terms of material and formal based KUHAP, because differences

element in article who judges used the imposition of criminal against a defendant

with indictment given public prosecutor will result in the decision is not based on

trial evidence, so that null and void and the potential for Human Rights

violations. Legal consequences as decision that does not comply the terms of the

formal and material is null and void, because contained in KUHAP that each

judge's ruling there should be the norm in article 197 paragraph (1) KUHAP, that

the decision have a strong legal position. KUHAP also provides provisions when

a decision which is not in accordance with the existing provisions then it is

considered null and void.

  Keywords: The Verdict is legally binding, null and void

I. PENDAHULUAN

  Salah satu proses penegakan hukum adalah terdapat pada institusi pengadilan. Institusi pengadilan berperan untuk mengadili, dan kemudian memutuskan tentang bersalah atau tidaknya seseorang yang disertai dengan penetapan pertanggung jawaban pidananya. Disini diperlukan keahlian, integritas, dan kecermatan hakim dalam memutuskan sebuah perkara. Keahlian yang dimiliki oleh Hakim yang bersentuhan langsung dengan Hak Asasi Manusia adalah kecermatan. Hakim harus memiliki kecermatan yang tinggi dalam menganalisis setiap fakta per sidangan yang ada, untuk kemudian disimpulkan menjadi sebuah putusan. Kecermatan hakim juga diperlukan dalam membuat sebuah putusan, sebab putusan hakim akan berdampak besar bagi hak-hak seorang terpidana. Dalam memutuskan sebuah perkara, hakim harus cermat atas segala tuntutan jaksa dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Hakim diberikan kebebasan yang bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya dan tidak terlepas dari apa yang diperintahkan oleh undang-undang. Hakim juga memiliki hak untuk menggali berbagai informasi, baik yang bersumber kepada proses hukum sebelumnya, maupun atas dasar pengetahuan dan keyakinan nya.

  Putusan hakim adalah bersifat sangat penting, karena didalamnya terdapat sebuah nilai yang dapat bersentuhan langsung dengan hak-hak asasi manusia. Pada prinsipnya hanya kekuatan hukum tetap yang dapat dijalankan. Suatu putusan itu dapat dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila dikeluarkan melalui sebuah persidangan yang terbuka dan transparan dan tidak adanya upaya hukum lain yang diajukan. Terkait dengan putusan hakim yang memiliki pengaruh besar terhadap hak asasi seseorang, maka penulis merasa perlu untuk meneliti sebuah putusan dengan No : 281/Pid.B/ 2013/PN.TK. Dalam putusan ini, menurut penulis nampak perbedaan antara putusan hakim dengan tuntutan yang diajukan jaksa berdasarkan fakta-fakta yang ada. Padahal KUHAP telah mengatur ketentuan-ketentuan mengenai kerangka putusan hakim yang harus diikuti apabila hendak mendapatkan putusan yang legitimate. Pendekatan masalah yang digunakan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Narasumber dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah dengan langkah-langkah, yaitu klasifikasi, editing, interpretasi dan sistematis. Data yang diolah dianalisis secara kualitatif deskriptif. Penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif.

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  Sistem penegakkan hukum terdiri atas substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Substansi hukum adalah aturan- aturan yang mengatur perbuatan apa yang boleh atau dilarang dengan disertakan sanksi bagi yang melanggar. Disini hukum dapat ditinjau dari sisi living law (hukum berjalan) dan positifisme hukum.

  Living law adalah sebuah

  kesepakatan luhur dari sekelompok masyarakat atas norma-norma yang ingin ditegakkan dalam masyarakat, sedangkan positifisme hukum adalah sebuah paham yang menginginkan hukum dibuat secara tertulis oleh pejabat yang berwenang. Struktur hukum adalah institusi penegak hukum yang berfungsi untuk memastikan bahwa hukum berjalan sebagaimana semestinya dan diberikan hak untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan Undang-undang. Sedangkan budaya hukum adalah sikap masyarakat yang tunduk dan patuh terhadap hukum yang diberlakukan dengan semata- mata untuk ketertiban dan keadilan bersama-sama.

  Penegakkan hukum berupa penjatuhan pidana terhadap seseorang selalu terikat pada sistem dan aturan yang melibatkan pihak- pihak tertentu. Pihak-pihak yang dimaksud adalah tersangka, terdakwa, penyidik, jaksa penuntut

  Secara normatif kewenangan penyidik termaktub dalam Pasal 7 KUHAP ayat (1). Proses penegakkan hukum setelah berjalan di penyidik maka beralih kepada penuntut umum (Institusi Kejaksaan). KUHAP memberi uraian pengertian jaksa dan penuntut umum pada pasal 1 butir 6a dan b serta pasal 13. Ditegaskan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir 6a). Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim (Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13). Rumusan pengertian itu ditegaskan kembali dalam Pasal 1 butir (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI.

A. Putusan Hakim harus sesuai dengan syarat-syarat formil dan materiil berdasarkan KUHAP.

  Setelah melewati proses administrasi yang dilakukan oleh penuntut umum dan penyidik terkait dengan fakta- fakta yang didapatkan maka penuntut umum membuat surat dakwaan guna melakukan proses penuntutan terhadap terdakwa

  1

  . Hakikatnya surat dakwaan berfungsi sebagai dasar pemeriksaan bagi hakim didalam sidang pengadilan. Begitu pentingnya surat dakwaan ini sehingga KUHAP mengancam apabila tidak memenuhi persyaratan 1 Pasal 1 butir 7 memberikan pengertian,

  penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di tertentu maka batal demi hukum seorang hakim yang pada akhirnya (Pasal 143 ayat (3) KUHAP). akan bermuara kepada pemberian putusan yang adil terhadap seseorang Selengkapnya Pasal 143 KUHAP, yang telah disangkakan melakukan yang menegaskan sebagai berikut : perbuatan pidana. Wewenang hakim 1) antara lain dapat disimak dalam

  Penuntut Umum melimpah kan perkara ke Pengadilan Negeri KUHAP, Undang-undang Nomor 2 dengan permintaan agar segera Tahun 1986, dan Undang-undang mengadili perkara tersebut Nomor 14 Tahun 1970. disertai dengan surat dakwaan. 2)

  KUHAP menyatakan bahwa hakim Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan adalah pejabat peradilan negara yang ditandatangani serta berisi : diberi wewenang oleh undang-

  a) undang untuk mengadili (Pasal 1 Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, butir 8). Adapun yang dimaksud jenis kelamin, kebangsaan, mengadili adalah serangkaian tempat tinggal, agama, dan tindakan hakim untuk menerima, pekerjaan tersangka. memeriksa, dan memutus perkara

  b) pidana berdasarkan asas bebas, jujur Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai dan tidak memihak di sidang tindak pidana yang pengadilan dalam hal dan menurut didakwakan dengan cara yang diatur dalam undang- menyebutkan waktu dan undang (Pasal 1 butir 9). Tampak tempat tindak pidana itu jelas bahwa wewenang hakim dilakukan. utamanya adalah mengadili yang

  3) meliputi kegiatan-kegiatan

  Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan menerima, memeriksa, dan memutus sebagaimana dimaksud dalam perkara pidana. Dalam hal ini, ayat (2) huruf b batal demi pedoman pokoknya adalah KUHAP hukum. dan materi tuntutan yang dilandasi

  4) surat pelimpahan asas kebebasan, kejujuran, dan tidak Turunan perkara beserta surat dakwaan memihak. disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat Secara umum wewenang hakim hukumnya dan penyidik, pada adalah melakukan penahanan untuk saat yang bersamaan dengan kepentingan pemeriksaan disidang penyampaian surat pelimpahan pengadilan dengan penetapannya perkara tersebut ke Pengadilan berwenang melakukan penahanan Negeri. (Pasal 20 ayat 3 jo Pasal 26). Yang kedua adalah pengalihan jenis

  Pada proses persidangan, penuntut penahanan yang satu kepada jenis umum berkewajiban untuk penahanan yang lain. Hakim membuktikan fakta-fakta yang memiliki hak untuk memberikan termuat dalam surat dakwaan agar putusan pemidanaan sesuai dengan nantinya menjadi pertimbangan bagi surat dakwaan dan fakta persidangan hakim untuk menjatuhkan putusan. yang ada dalam pengadilan. Setelah dimulainya proses

  Putusan pemidanaan terjadi, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (Pasal 193 ayat 1 KUHAP). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan meyakinkan. Terbukti melalui sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim yakin terdakwa yang bersalah melakukan. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Tujuan undang- undang mengatur demikian adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang (Penjelasan Pasal 183 KUHAP). Sebagaimana paham negara hukum modern bahwa hukum adalah kaidah yang tertulis dan putusan hakim bersifat kongkrit dan individual maka dalam menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa berdasarkan keyakinan hakim harus dituangkan dalam sebuah putusan berdasarkan aturan KUHAP pasal 197 ayat (1) sebagai berikut : a)

  Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

  b) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.

  c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

  d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

  e) Tuntuan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.

  f) Pasal peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.

  g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.

  h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. i)

  Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. j)

  Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu. k)

  Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. l)

  Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, nama Hakim yang memutus, dan nama Menyimak rumusan muatan surat pemidanaan ternyata ada sepuluh poin, yang harus dipenuhi. Kesepuluh poin tersebut, apabila tidak dipenuhi mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP).

  Adapun ketentuan yang harus dipenuhi meliputi huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l, sedangkan yang dapat disimpangi adalah huruf g dan i. Ditentukan pula, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum, kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h (Penjelasan Pasal 197 ayat (2).

  Ketentuan tersurat didalam KUHAP bahwa setiap putusan hakim hendaknya memuat norma Pasal 197 ayat (1) KUHAP, agar putusan tersebut memiliki kedudukan hukum yang kuat. KUHAP juga memberi ketentuan ketika sebuah putusan yang tidak sesuai dengan ketentuan- ketentuan yang ada maka ia dianggap batal demi hukum.

  Putusan hakim No. 281/Pid.B/2013/PN.TK atas terdakwa Wahyudi Bin Rauf Mustofa yang telah diputus bersalah dan dijatuhi hukuman selama 4 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp. 800.000.000,- (Delapan Ratus Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan, namun tidak mencantumkan norma yang diatur

  H yakni “Pasal peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa” dan “Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan”, maka secara hukum memiliki konsekuensi sebagai berikut : 1.

  Pasal 197 ayat (1) KUHAP, meyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat antara lain huruf F. Jadi jika seorang terdakwa diadili dan diputus bersalah dan dijatuhi hukuman penjara maka pasal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhi putusan pemidanaan haruslah sesuai dengan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum dengan memperhatikan bukti dan fakta persidangan serta keyakinan hakim atas perbuatan pidana seorang terdakwa.

B. Akibat Hukum Atas Putusan Yang Batal Demi Hukum.

  Perbedaan unsur dalam pasal yang digunakan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa dengan dakwaan yang diberikan penuntut umum akan berakibat terhadap putusan yang tidak berdasarkam bukti-bukti persidangan dan berpotensi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jika ditelaah secara mendalam bagaimana mungkin seorang terdakwa disangkakan melakukan perbuatan tindak pidana namun bertentangan dengan perbuatan yang dilanggarnya.

  2. Pasal 197 ayat (1) huruf H, memerintahkan putusan pemidanaan memuat pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Jika kita berpedoman pada ketentuan ini, maka telah jelas putusan tersebut bertentangan dengan KUHAP karena hakim memutus seorang terdakwa dengan unsur pasal yang berbeda dengan dakwaan jaksa. Sesuai dengan dakwaan jaksa, terdakwa Wahyudi dituntut dengan menggunakan

  pasal 111 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika “setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam Bentuk

  Tanaman, dipidana dengan

  pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah)”, sedangkan hakim memutuskan dengan menggunakan pasal 111 ayat (1), akan tetapi dengan klausul jenis Narkotika Bukan Tanaman. Padahal kita semua tahu bahwa ganja adalah Narkotika Jenis

  Tanaman.

  3. Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf F dan H tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum. Putusan hukum , artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada. Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum sehingga dengan demikian putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh jaksa sebagai ekekutor putusan pengadilan.

  4. Oleh karena putusan yang batal demi hukum dalam perkara Wahyudi adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (tidak dilakukan upaya hukum lainnya), maka tidak ada upaya hukum apapun baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa, karena putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Namun mengingat bahwa putusan tersebut adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf F dan H KUHAP maka Jaksa tidak dapat melaksanakan atau mengeksekusi putusan tersebut. Jika jaksa memaksakan pelaksanaan putusan yang batal demi hukum tersebut, maka jaksa telah melakukan tindakan inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia yakni melanggar pasal 28D ayat (1) Undang-undang dasar 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

  Pada kasus ini banyak pihak yang hukum bukan berarti tidak ada akibat hukum terhadapnya (terpidana). Namun, menurut penulis pendapat seperti itu adalah keliru sebagaimana tertera dalam Pasal 76 KUHP yang berbunyi “ Kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah, orang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim di Indonesia d engan putusan yang telah tetap”. Ketentuan pasal ini dimaksudkan guna memberikan kepastian kepada masyarakat maupun kepada setiap individu agar menghormati putusan tersebut. Prinsip yang dimuat dalam

  pasal 76 KUHP tersebut dikenal dengan ne bis in idem, yang artinya tidak boleh suatu perkara yang sama yang sudah diputus, diperiksa, dan diputus lagi untuk kedua kalinya oleh Pengadilan.

  5. Demi kepastian hukum, putusan yang batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula tidak pernah ada, tidak membawa akibat hukum dan tidak dapat dieksekusi

  2

  . Karena itu, jika jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum dapat digolongkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan asasi negara hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang salah satu cirinya dalah mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi asas legalitas. Tindakan jaksa yang memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum juga melanggar pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi 2 Bambang Waluyo, Pidana dan

  Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004,

  Manusia yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif.

  6. Jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum, maka korban eksekusi itu berhak untuk melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena jaksa tersebut telah melanggar pasal 333 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja melawan hukum, merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”. Jaksa tersebut juga dapat dituntut berdasarkan pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

  Selain pendapat diatas, menurut penulis terdapat celah hukum lain yang dapat menghapuskan hukuman bagi terpidana sebagaimana menurut KUHAP hukuman terpidana adalah batal demi hukum. Langkah ini menurut penulis dapat dilakukan mengingat hukuman yang telah dijalankan oleh terpidana telah berjalan dan nampaknya kurang mendapat perhatian dari aparat penegak hukum khususnya Jaksa selaku eksekutor putusan Hakim. Langkah ini dapat dilakukan, ketika jaksa tidak mengindahkan prinsip batal demi hukum. Beberapa penghapusan pemidanaan yang tidak diatur dalam KUHP Presiden berdasarkan Undang- undang. Yang dimaksud dengan amnesti pada dasarnya ialah hak yang diberikan kepada Presiden untuk menghapuskan hak penuntutan dari penuntut umum dan penghentiannya dan sekaligus penghapusan hak (menyuruh) melaksanakan pidana dari penuntut umum (atau kewajiban pelaksanaan pidana dan terpidana) terhadap pelaku dari suatu tindak pidana demi kepentingan hak asasi dan Negara. Kesalahan seperti ini juga berdampak kepada hak asasi manusia, karena putusan hakim merupakan kehendak negara atas perampasan hak-hak dari seorang warga negara. Putusan hakim, adalah sesuatu yang dibacakan oleh hakim dalam sebuah persidangan formal, sehingga seketika itu juga putusan dapat dijalankan. Sekarang yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mungkin putusan tersebut dapat dijalankan, sedangkan hakim salah dalam memutuskan. Dakwaan jaksa dan bukti persidangan secara jelas membuktikan bahwa terpidana menggunakan narkoba jenis tanaman. Namun, hakim memutusnya dengan kesalahan bahwa menggunakan narkoba bukan jenis tanaman. Bagi penulis, disinilah letak pelanggaran terhadapa hak asasi, karena seorang warga negara telah dihukum bukan berdasarkan kebenaran formil yang ada. Kelainan seperti ini apabila dianggap sebagai hal yang biasa akan menjadi preseden buruk terhadap penegakkan hukum di Negara ini.

  III. SIMPULAN

  Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1.

  Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf F, bahwa putusan hakim hendaknya memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terpidana. Hal ini sama saja dengan kesimpulan bahwa seorang terpidana yang diadili dan diputus bersalah berdasarkan pertimbangan hakim harus sesuai dengan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum dengan memperhatikan bukti dan fakta persidangan serta keyakinan hakim atas perbuatan pidana seorang terpidana.

  2. Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf H, memerintahkan putusan pemidanaan memuat pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK bertentangan dengan KUHAP karena hakim telah memutus seorang terdakwa dengan unsur pasal yang berbeda dengan dakwaan jaksa. Dan dalam Pasal 197 ayat (2) ditentukan apabila putusan hakim yang tidak memenuhi dua syarat diatas maka putusan itu dianggap batal

  Nasution, Bahde Johan, 2008, Metode

  tersebut sejak semula dianggap

  Penelitian Hukum , Mandar

  tidak pernah ada sehingga tidak Maju, Bandung. mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat

  Oemar Seno Adji, 1985, Peradilan

  hukum. Dengan demikian

  Bebas Negara Hukum,

  putusan tersebut dengan Erlangga, Jakarta. sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan

  Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi

  oleh jaksa sebagai eksekutor

  Negara, Rajagrafindo Persada, putusan pengadilan.

  Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar

  Penelitian Hukum , Universitas DAFTAR PUSTAKA Indonesia UI-Press, Jakarta.

  Affandi, Wahyu, 1982, Berbagai

  Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun Masalah Hukum di Indonesia , 2009 Tentang Narkotika.

  Alumni, Bandung.

  Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun Bahder Johan Nasution, 2008, Metode 1981 Kitab Undang-Undang

  Penelitian Hukum, Mandar Hukum Acara Pidana.

  Maju, Bandung.

  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan

  Pemidanaan , Sinar Grafika, Jakarta.

  E.Y. Kanter, 1982, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya , Gunung Mulya, Jakarta.

  E.Y. Kanter, 2001, Etika Profesi Hukum , Storia Grafika, Jakarta. Hamzah, Andi, 1984, Pengantar Hukum

  Acara Pidana Indonesia, Ghali Indonesia, Jakarta.

  Harahap, Yahya, 2001, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP , Sinar Grafika, Jakarta.

  Leden Marpaung, 2008, Asas-Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

  Mulyadi, Lilik, 2002, Hukum Acara Pidana , Citra Aditya Bakti, Bandung.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KRIMINOLOGIS MODUS OPERANDI KEJAHATAN ANAK DI BANDAR LAMPUNG email: hadi_ryuyahoo.com

0 4 14

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT (STUDI KASUS PUTUSAN NO.30/PID/2013/PT.TK)

0 2 11

PENERAPAN PEMBERIAN SANKSI TERHADAP MAHASISWA YANG MELAKUKAN PELANGGARAN DISIPLIN DI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

0 4 17

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN PENADAHAN KENDARAAN BERMOTOR HASIL PENCURIAN (Studi Di Polresta Bandar Lampung) (Jurnal)

1 1 19

PENGAWASAN TERHADAP LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DIKABUPATEN TULANG BAWANG BARAT

0 0 12

UPAYA PENANGGULANGAN OLEH SAT RESKRIM POLRES LAMPUNG TIMUR TERHADAP KEJAHATAN PEMERASAN YANG DILAKUKAN KELOMPOK PREMAN DI JALAN LINTAS TIMUR (Study Kasus Wilayah Hukum Polres Lampung Timur)

0 0 8

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP PENGULANGAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH ANAK Oleh Hety Ratna Novitasari, Firganefi, Dona Raisa Monica (Email: hetyratnaymail.com) ABSTRAK - ANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP PENGULANGAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUN

0 1 12

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ORANG YANG MENGGUNAKAN IDENTITAS PALSU SEBAGAI DOKTER Oleh: INDRA SUKMA Email : Indrasukma.1992gmail.com ABSTRAK - PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ORANG YANG MENGGUNAKAN IDENTITAS PALSU SEBAGAI DOKTER

0 0 12

ANALISIS PRAKTIK DIVERSI PERKARA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS

0 0 8

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK YANG MEMBANTU PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 124Pid.2011PT.TK.) Oleh M. Fikram Mulloh Khan ABSTRAK - ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK YANG MEMBANTU PENCURI

0 0 11