REFORMULASI PESANTREN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI Ahmad Hariandi Dosen Agama Islam Pada FKIP Universitas Jambi Abstract - View of REFORMULASI PESANTREN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

3 REFORMULASI PESANTREN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

Ahmad Hariandi

* Dosen Agama Islam Pada FKIP Universitas Jambi

Abstract

Boarding School is one institution that has a significant contribution in maintaining and developing the culture of Islam in Indonesia. Because schools grow and develop the culture of indigenous peoples in Indonesia. Boarding school with all its advantages and disadvantages, is considered able to keep students-santrinya morality, thus recognized can counteract the negative impact of globalization is threatening the nation's morale. But on the other hand has the disadvantage schools in improving the quality of its output to meet the professional work that is expected to answer the challenges of globalization. It is necessary for reformulation of boarding schools, so that human excellence resaurces (human resources) to be achieved pesantren can be realized in a comprehensive manner. Namely by preparing students are of good quality in terms of cognitive, affective and psychomotor so as to master the development of science and technology. But by not leaving the distinctive nature and diversitatifnya as an Islamic educational institution that has a distinctive subculture anyway. With the principle of al muhafadzah 'ala al qadim al Salih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah (retain the tradition of positive and take on new things positive), schools are expected to be the first milestone for the rebirth of Islam in Indonesia capable of challenging the current globalization.

Keyword: School, globalization

Abstrak

Pesantren merupakan salah satu lembaga yang memiliki kontribusi cukup signifikan dalam menjaga dan mengembangkan kultur Islam di Indonesia. Karena pesantren tumbuh dan berkembang dari kebudayaan asli bangsa Indonesia. Pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya, selama ini dianggap mampu menjaga moralitas santri-santrinya, sehingga diakui dapat menangkal dampak negatif dari arus globalisasi yang mengancam moral bangsa. Tetapi di sisi lain pesantren memiliki kelemahan dalam meningkatkan kualitas outputnya untuk menghadapi profesionalitas kerja yang diharapkan mampu menjawab tantangan

Reformulasi Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi- A.Hariandi 46

globalisasi. Untuk itu perlu dilakukan reformulasi pesantren, agar keunggulan human resaurces (sumber daya manusia) yang ingin dicapai pesantren dapat terwujud secara komprehensif. Yaitu dengan mempersiapkan santri yang berkualitas baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotoriknya sehingga mampu menguasai perkembangan iptek. Tetapi dengan tidak meninggalkan sifat distingtif dan diversitatifnya sebagai sebuah lembaga pendidikan islam yang mempunyai subkultur distingtif pula. Dengan prinsipnya al muhafadzah „ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah (tetap memegang tradisi yang positif dan mengambil hal-hal baru yang positif), pesantren diharapkan menjadi tonggak awal bagi kelahiran kembali Islam di Indonesia yang mampu menantang arus globalisasi.

Keyword: Reformulasi, Pesantren, globalisasi

Pendahuluan

Perkembangan Islam saat ini di Indonesia mengalami progresifitas yang cukup mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari munculnya gerakan- gerakan Islam radikal ataupun Islam garis keras. Islam radikal muncul tidak saja dalam bentuk pemikiran yang rigid dan tekstualis, tetapi juga menjelma menjadi sebuah gerakan yang bersifat massal. Salah satu contohnya adalah FPI yang terkenal dengan ajaran mainstreamnya sehingga menimbulkan citra negatif bagi agama Islam. Belum lagi sederetan teroris yang beraksi dengan mengatasnamakan Islam. Lalu, apakah Islam seperti itu yang perlu eksis di Indonesia yang plural dengan beraneka ragam budaya, suku, bahasa bahkan agama.

Idealnya, dengan kemajemukan yang ada, jangan sampai umat Islam melihat fenomena agamanya dari kacamata normatif doktrinal saja, sehingga melahirkan sikap apologetik secara berlebihan. Sikap tersebut, pada taraf tertentu, sampai pada klaim kebenaran (truth claim) dan terjebak pada perspektif sepihak (one side) yang akhirnya menjustifikasi Islam sebagai agama yang paling benar dan menuduh agama lain kafir/sesat. Sikap seperti inilah yang mengerdilkan makna Islam secara substansial.

47 At-Tasyrih, Volume 2, Nomor 2, Maret 2017 : 45 - 69

Islam sebagai agama yang sempurna telah didesain Tuhan sampai akhir zaman, jadi Islam pasti relevan bagi setiap perkembangan zaman dan tempat (shalih li kulli zaman dan makan). Walaupun Islam lahir di Jazirah Arab, bukan berarti Islam yang ada di Indonesia juga harus mengikuti kultur asli Arab, kecuali untuk masalah fundamental Islam. Al-

Qur‟an juga telah menegaskan bahwa Rasulullah SAW diutus ke dunia untuk seluruh umat manusia (Q.S. 4: 79).

Karena itulah, saat ini penting untuk menemukan kembali (reinvent) Islam autentik Indonesia. Islam yang bisa hidup dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Tentu saja tidak menafikan gerakan Islam radikal sekalipun. Namun berbahaya jika Islam radikal yang mendominasi dan memframe warna Islam Indonesia. Sebabnya hanya satu, Indonesia bukan negara Islam. Indonesia adalah negara yang sangat plural baik dari segi suku, agama dan ras. Apa yang terjadi jika Islam radikal mendominasi bahkan menguasai gerakan Islam Indonesia. Bisa saja akan terjadi disharmonisasi antar kehidupan umat beragama. Bahkan dalam tingkat tertentu akan menimbulkan disintegrasi bangsa.

Oleh sebab itu, melihat Indonesia yang sangat pluralistik, Islam Indonesia yang relevan pada masa depan adalah Islam yang menghidupkan kultur Indonesia, Islam yang damai dan sejuk namun dinamis. Dari fenomena diatas, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa pesantren merupakan salah satu lembaga yang memiliki kontribusi cukup signifikan dalam menjaga dan mengembangkan kultur Islam di Indonesia. Karena pesantren tumbuh dan berkembang dari kebudayaan asli bangsa Indonesia.

Selain itu, derasnya arus globalisasi juga menjadi hal penting yang jadi perhatian. Di sisi lain, globalisasi bisa berdampak positif bila melihat kemajuan-kemajuan yang ada dari segala bidang. Tetapi di sisi lain globalisasi akan mendatangkan bencana bila tidak siap dalam

Reformulasi Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi- A.Hariandi 48

menghadapi segala dampak negatif yang muncul. 1 Pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya, selama ini dianggap mampu

menjaga moralitas santri-santrinya, sehingga diakui dapat menangkal dampak negatif dari arus globalisasi yang mengancam moral bangsa. Meskipun di sisi lain pesantren memiliki kelemahan dalam meningkatkan kualitas outputnya untuk menghadapi profesionalitas kerja yang diharapkan mampu menjawab tantangan globalisasi.

Karena itulah, tulisan ini ingin membahas lebih lanjut tentang pesantren yang dikatakan sebagai indigenous kultur Islam Indonesia. Lalu bagaimana eksistensinya sebagai learning society, implementasi pendidikan karakternya, serta bagaimana merumuskan kembali (reformulasi) pesantren agar mampu menghadapi tantangan globalisasi saat ini, tapi tetap mempertahankan tradisi kepesantrenannya yang positif ( al muhafadzah „ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah). Mengingat arus globalisasi perlahan tapi pasti telah menggerus kebudayaan bangsa sendiri lewat westernisasi dan modernisasi, yang semakin hari semakin mengerdilkan moral anak bangsa.

Globalisasi diakselerasi dengan kemajuan yang luar biasa dalam teknologi telekomunikasi dan informatika. Via teknologi ini gaya hidup barat telah dijadikan gaya hidup dunia yang diharapkan mengerut menjadi global village dengan budaya monokultur dari Barat. (Fahmi Amhar, Politik Global; Penjajahan Ekonomi Indonesia, Implikasi dan Strategi dalam Menghadapinya, dalamAl-Insan, Jurnal Kajian Islam, Vol. 3, Depok, Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan, 2008, hlm. 31).

49 At-Tasyrih, Volume 2, Nomor 2, Maret 2017 : 45 - 69

Pembahasan

1. Pesantren; Indigenous Dan Distingtif

Nurcholis Madjid dalam Dawam menyebut pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tapi juga keaslian (indigenous)

Indonesia. 2 Sementara Azyumardi Azra mengidentikkan pesantren dengan istilah distingtif. 3 Kedua istilah tersebut secara substansial

memang melekat pada pesantren. Dikatakan indigenous, karena secara historis pesantren jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang asli. Bahkan Nurcholis Majid sampai mengatakan kalau seandainya negeri ini tidak mengalami penjajahan, tentunya pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren

itu. 4 Hadi Supeno menyebutkan bahwa pesantren berasal dari kata

santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan

Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. 5 Hal inilah yang menyebabkan banyak penulis sejarah pesantren berpendapat

bahwa pesantren merupakan hasil adopsi dari model perguruan yang diselenggarakan orang-orang Hindu dan Budha.

Nurcholis Madjid dalam Dawam Raharjo, edt, Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: 3 P3M, 1985, hlm. 3

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 48. Sejalan dengan hal tersebut, Husni Rahim, juga mengatakan bahwa sejarah pertumbuhan pesantren tersebut menunjukkan bahwa lembaga ini memiliki akar tradisi sangat kuat di masyarakat. Meskipun berjalan seiring proses Islamisasi yang sekaligus sebagai simbol Islam, pesantren pada dasarnya lebih merupakan produk budaya masyarakat Indonesia yang orisinal. (Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: 4 Logos, 2001, hlm. 145)

5 Nurcholis Majid dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia, hlm. 3 Hadi Supeno, Pendidikan dalam Belenggu Kekuasaan, Magelang: Pustaka ParaMedia,

1999, hlm. 98

Reformulasi Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi- A.Hariandi 50

Sebagaimana diketahui, sewaktu Islam datang dan berkembang di Pulau Jawa telah ada lembaga perguruan Hindu dan Budha yang menggunakan sistem biara dan asrama sebagai tempat para pendeta dan bhiksu melakukan kegiatan pembelajaran kepada para pengikutnya. Bentuk pendidikan seperti ini kemudian menjadi contoh model bagi para wali dalam melakukan kegiatan penyiaran dan pengajaran Islam kepada masyarakat luas, dengan mengambil bentuk sistem biara dan asrama serta merubah isinya dengan pengajaran agama Islam yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren.

Sementara itu, pesantren dikatakan distingtif, karena memang secara spesifik pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbeda dan memiliki kekhasan tersendiri yang tidak akan dijumpai di lembaga- lembaga pendidikan lainnya. Zamakhsari Dhofier dalam Hasbullah menyebutkan bahwa pesantren setidak-tidaknya ditandai dengan lima elemen pendukungnya, yaitu: pondok, masjid, santri, kitab klasik dan

kyai. 6 Satu kesatuan dari elemen-elemen inilah yang membuat pondok pesantren bersifat distingtif.

Elemen yang paling menarik yang tidak dijumpai di lembaga lain adalah mata pelajaran bakunya yang ditekstualkan pada kitab-kitab salaf (klasik), yang terintroduksi secara populer dengan sebutan kitab kuning. Ciri-cirinya yang melekat sebagaimana dikatakan M.Sahal Mahfudz, antara lain bukan saja karena kertasnya yang berwarna kuning, tapi juga tidak menggunakan tanda baca yang lazim, sehingga untuk memahaminya memerlukan keterampilan tertentu yang tidak cukup hanya

penguasaan bahasa Arab saja. 7 Sementara itu dalam proses pendidikannya, pesantren memiliki

model-model pembelajaran yang bersifat klasikal. 8 Model pembelajaran tersebut menggunakan metode sorogan (individual learning process) dan

7 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3Es, 1984, hlm. 138 8 M.Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LkiS, 2004, hlm. 258. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah, pertumbuhan dan

perkembangannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, hlm. 145

51 At-Tasyrih, Volume 2, Nomor 2, Maret 2017 : 45 - 69

metode bandongan atau wetonan (collective learning process). 9 Dimana pelajaran yang dipelajari meliputi pelajaran tafsir, „ulum at tafsir, asbab al-

nuzul, hadits, „ulum al-hadits, asbab al-wurud, fiqh, qawa‟id al-fiqhiyah, tauhid, tashawuf, nahwu, sharaf, balaghah, dan ilmu-ilmu keislaman

lainnya. 10 Secara historis, tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren

adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim (1419) yang berasal dari Gujarat India sekaligus tokoh pertama yang mengislamkan Jawa. 11 Meskipun

bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.

Perkembangan pesantren, seperti apa yang diungkapkan oleh Azyumardi Azra sejak akhir 1970-an pesantren telah menemukan momentumnya dimana modernisasi pesantren telah banyak mengubah sistem dan kelembagaan pendidikan pesantren. Dulunya pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional yang hanya mengajarkan ilmu- ilmu agama, tapi akhirnya pesantren mau menerima mata pelajaran umum, bahkan banyak pesantren yang mengembangkan sekolah-sekolah umum dan universitas umum. Dengan perkembangan ini, apa yang tersisa

dalam aspek kelembagaan pesantren itu adalah boarding sistemnya. 12

Lembaga pendidikan yang awalnya berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18, bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren(Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003, hlm. 10 3)

11 M. Sahal Mahfudz, Nuansa, hlm. 258) Alwi Shihab dalam HS. Mastuki, dan M. Ishom el-Saha, Intelektualisme Pesantren;

Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Jakarta: 12 Diva Pustaka, 2003, hlm. 8

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, hlm. 39

Reformulasi Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi- A.Hariandi 52

Sejalan dengan perubahan pesantren, perkembangan fisik bangunan pesantren juga mengalami progresifitas yang sangat observable. Banyak pesantren diberbagai tempat, apakah itu wilayah urban maupun pedesaan yang sudah mempunyai gedung-gedung dan bangunan megah. Yang lebih penting lagi, bangunan itu sehat dan kondusif bagi keberlangsungan proses pembelajaran yang baik. Dengan demikian citra yang pernah disandang pesantren sebagai kompleks bangunan yang reot dan tidak higienis semakin memudar.

Sementara itu setelah modernisasi pesantren, pesantren mengalami perubahan yang sangat signifikan yang tampak dalam beberapa hal, yaitu: Pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384 orang. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2001 dan menunjukan pesantren seluruh Indonesia sudah mencapai 11.312 buah dengan santri sebanyak 2.737.805 orang.

Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: 1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum; 2). Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional. Dengan kata lain, ia mengunakan kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta; 3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah seperti Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri, dan lain sebagainya; 4).

Pesantren 13 yang hanya sekedar manjadi tempat pengajian.

Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen, hlm. 5

53 At-Tasyrih, Volume 2, Nomor 2, Maret 2017 : 45 - 69

Dari gambaran di atas, tampak jelas bahwa dewasa ini pesantren telah mengalami perkembangan dan pergeseran. Dimana pesantren mau lebih terbuka dengan hal-hal baru yang positif. Meskipun demikian, semua perubahan itu tidak mencabut akar kultural pesantren sebagai lembaga tafaqquh fid diin, dan transfer Islami values.

Kajian tentang pesantren di atas, tentunya sangat memenuhi unsur Islam autentik Indonesia. Karena bagaimanapun juga, seperti yang dikatakan Abdul Qadir bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari konteks

budaya setempat. 14 Terlepas dari keberadaan risalah Islam yang bersifat universal (seluruh dunia) atau mondial (seantero dunia), dan eternal (sampai akhir zaman), pada intinya Islam diturunkan Tuhan tidak dalam kevakuman sejarah atau budaya. Dengan demikian, seperti

dikatakan Thohari dalam madjid, 15 bahwa Islam dalam menghadapi realitas budaya bersikap eklektif (terbuka menerima budaya yang sudah

ada) sekaligus selektif. Budaya apapun selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, terutama ketauhidan, dapat diterima. Hal inilah yang disebutkan dalam al- Qur‟an secara spesifik, bahwa Islam datang untuk memberikan kemudahan, dan tidak ada kesukaran dalam Islam. (Q.S. 22: 78).

Karena itulah, Islam di Indonesia memiliki karakteristik yang sesuai dengan budaya Indonesia itu sendiri. Indonesia memiliki kultur khas sebelum Islam datang, yang sekiranya memang menunjukkan identitasnya. Dimana setelah Islam datang dengan jalur damai, proses akulturasi dan asimilasi budaya menyatu dengan budaya Islam itu sendiri. Karena itulah, wali songo ketika menyebarkan agama Islam di pulau Jawa menggunakan

yang ternyata menunjukkan hasil. Selagi kultur tersebut tidak menyalahi hal yang

Abdul Qadir, Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: 15 Pustaka Setia, 2004, hlm. 47

Hajriyanto Y. Thohari dalam Nurcholis Madjid, et.al, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Jakarta: Media Cipta, 2000, hlm. 312

Reformulasi Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi- A.Hariandi 54

fundamental dari ajaran Islam, maka tidak ada salahnya tetap dijadikan ciri khas Islam di Indonesia.

Seperti itulah adanya Islam di Indonesia. Islam mampu diterima di Indonesia dengan jalur damai, karena Islam di Indonesia mampu bersikap eklektif dengan budaya yang ada di Indonesia. Apalagi Indonesia dengan kemajemukannya. Hal inilah yang digambarkan al- Qur‟an bahwa Islam adalah agama rahmat lil „alamin. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “Dan tidaklah kami (Allah) mengutusmu (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh umat.” (Q.S. al-Anbiya‟: 107)

M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah memberikan penafsiran bahwa ayat di atas, merupakan ayat yang mengklaim bahwa pengutusan Muhammad sebagai pembawa risalah Islam menjadi rahmat bagi semesta alam. Rahmat yang dimaksudkan disini, bukan saja kedatangan Muhammad sebagai pembawa risalah dan ajaran Islam yang mampu membawa keselamatan hidup bagi manusia fi ad-daraini, tetapi sosok dan kepribadian beliau juga adalah rahmat yang dianugerahkan Allah kepada

beliau. 16 Rahmat itu sendiri merupakan sebuah karunia. Jadi, dengan

menganut Islam, diharapkan manusia menjadi karunia bagi semesta, maksudnya dengan memeluk Islam manusia akan bermanfaat bagi alam semesta ini. Hal tersebut terwujud karena memang dalam Islam diajarkan bagaimana berhubungan dengan Allah (hablun minallah), berhubungan dengan manusia (hablun minannas), dan tak terkecuali dengan alam semesta ini.

Maka dari itulah, pesantren diharapkan mampu mewujudkan ketiga macam hubungan di atas, sekaligus juga menjaga dan mengembangkan

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al- Qur‟an, Vol. 8, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 133

55 At-Tasyrih, Volume 2, Nomor 2, Maret 2017 : 45 - 69

kultur Islam di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Husni Rahim, 17 bahwa pesantren memiliki peran penting dalam

masyarakat Indonesia, yaitu: pertama, sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam (transmission of Islamic knowledge). Pada tataran ini, ilmu-ilmu keislaman memang menjadi prioritas utama sebagaimana perannya sebagai lembaga tafaqquh fid din nya.

dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional (maintenance of Islamic tradision). Hal ini jelas, karena di pesantrenlah ditemui kultur Islam Indonesia sesungguhnya, dimana pesantren tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Ketiga, pesantren sebagai pusat reproduksi ulama (reproduction of ulama). Peran ini melekat pada pesantren karena pesantrenlah satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang siap mendidik dan mempersiapkan ulama. Ulama inilah yang diharapkan dapat mendidik umatnya tentang ulumud diin yang bertujuan untuk keselamatan manusia di dunia dan akhirat.

Kedua, pesantren

sebagai

penjaga

2. Eksistensi Pesantren Sebagai Learning Society

Pada awal pertumbuhannya, pesantren merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai (Islamic values) dan penyiaran agama Islam (Islamic Publications). Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran social). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian masyarakat (society- based curriculum).

Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi

Husni Rahim, Arah Baru, hlm. 147

Reformulasi Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi- A.Hariandi 56

lembaga sosial yang hidup dan terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya. Adalah keliru bila ada anggapan bahwa selama ini pesantren hanya mengajarkan membaca menulis al- Qur‟an dan ilmu agama yang lain seperti Fiqih, Tauhid, Tarikh dan semacamnya. Cakupan pesantren lebih luas dari itu, yang meliputi masalah-masalah hidup dan kehidupan, kemasyarakatan, kebudayaan dan berbagai hal yang dihadapi sehari-hari. Dengan intensitas pembelajaran 24 jam penuh, memang pantas bila dikatakan bahwa pesantren adalah miniatur kehidupan bermasyarakat.

tentang kehidupan bermasyarakat yang dilakoni dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Kebersamaan yang dilalui di pesantren, membuat para santri belajar untuk saling memahami dan menghargai. Belum lagi aturan-aturan yang ada di pesantren yang merupakan pembelajaran nyata tentang cara berorganisasi. Dengan berorganisasi, santri akan tahu bagaimana cara menjadi pemimpin yang baik sesuai dengan ajaran Islam, dan bagaimana menjadi rakyat yang patuh dan taat pada pemimpin.

Dari perjalanan dan fenomena kehidupan pesantren tersebut, maka tidaklah berlebihan kalau dikatakan pesantren bukan hanya sekedar learning school tapi lebih dari itu. Pesantren adalah learning society, sebab disanalah santri belajar hidup bersama, seperti sebuah komunitas masyarakat. Selain itu, karena keberadaan pesantren yang tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakat, maka para santri bisa belajar banyak dari masyarakat, begitu pula sebaliknya. Karena itu pembelajaran dalam pesantren bersifat andragogi bukan paedagogi.

Sejalan dengan pernyataan diatas MM. Billah dalam Dawam mengatakan bahawa Pesantren diharapkan dapat berperan aktif dan memberikan kontribusi yang berbobot dalam social engineering dan transformasi nilai kultural. Untuk itu ada tiga dimensi yang tidak bisa dipisahkan dari pesantren jika ingin berperan dalam proses social

57 At-Tasyrih, Volume 2, Nomor 2, Maret 2017 : 45 - 69

engineering dan memberi arah transformasi sosio kultural, yaitu dimensi edukatif, kultural, dan sosial. 18

Seperti juga yang dikatakan oleh Hadi Supeno, jika saat ini banyak yang mempertanyakan relevansi kurikulum pendidikan dengan kebutuhan masyarakat, maka pesantren telah memberikan jawabannya sejak

semula. 19 Jika kini para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan tengah disibukkan bagaimana menjabarkan konsep penguasaan

taksonomi Bloom (kognitif, afektif dan psiko motorik) dan muatan lokal, maka

sejak lama telah mengimplementasikannya. Jika di lembaga-lembaga pendidikan lain, pendidikan moral merupakan hal yang sangat sulit diaplikasikan apalagi arus globalisasi yang semakin menggeser nilai-nilai moral (degradasi moral), sehingga tengah digalakkan pendidikan karakter. Maka pesantren telah sejak awal berdiri mampu membentuk karakter santrinya sesuai dengan ajaran- ajaran Islam sehingga dikatakan pesantren adalah laboratorium moral. Pesantren sebagai salah satu sub sistem Pendidikan Nasional yang indigenous Indonesia, mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus dalam mengaplikasikan pendidikan karakter bagi anak didiknya (santri). Dalam prakteknya, di samping menyelenggarakan kegiatan pengajaran, pesantren juga sangat memperhatikan pembinaan pribadi melalui penanaman tata nilai dan kebiasaan di lingkungan pesantren. Hal tersebut pada umumnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu lingkungan (sistem asrama/hidup bersama), perilaku Kiai sebagai central figure dan pengamalan kandungan kitab-kitab yang dipelajari.

Jika di lembaga-lembaga pendidikan lain, sedang mencari formula yang tepat untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk manusia Indonesia yang utuh, maka pesantren telah lama

MM. Billah dalam M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: P3M, 19 1985, hlm. 293

Hadi Supeno, Pendidikan dalam Belenggu Kekuasaan, Magelang: Pustaka ParaMedia, 1999, hlm. 99

Reformulasi Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi- A.Hariandi 58

menemukan teori tersebut sekaligus prakteknya. Sebab di pesantren, santri bukan hanya diajari teori, tapi juga langsung prakteknya, seperti pelajaran tentang akhlak dan ibadah. Sehingga para santri bukan hanya belajar dari segi kognitif tapi juga afektif dan psikomoriknya. Di pesantren santri-santri diajarkan nilai-nilai kehidupan Islami yang sebenarnya. Dengan metode keteladanan, penugasan dan pembiasaan, juga demonstrasi dan diskusi, mereka belajar tentang idealisme, kemandirian, kesederhanaan, kebersahajaan, ketekunan, keikhlasan, kesabaran, dan ukhuwah Islamiyah. Nilai-nilai itulah yang sangat berguna bagi bekal menghadapi kehidupan yang sesungguhnya. Selain itu pesantren juga sangat berhati-hati dalam menghadapi dan menerima budaya baru.

Itulah yang menyebabkan kenapa pesantren bisa survive sampai hari ini. Pesantren tetap eksis dan mampu bertahan dengan semua perubahan (changes) dan tantangan (challenges) yang ada. Selain itu, pesantren cenderung mempertahankan kebijaksanaan hati-hati (cautious policy) dimana mereka menerima pembaharuan hanya dalam skala

terbatas, sebatas mampu menjamin pesantren untuk bisa survive. 20 Tetap

bertahannya pesantren agaknya secara implisit mengisyaratkan bahwa dunia Islam tradisi dalam segi-segi tertentu masih relevan ditengah deru modernisasi, walaupun bukan tanpa kompromi. Pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya melakukan adjusment dan readjusment tetapi juga karena karakter eksistensialnya yang tidak hanya identik dengan makna keislaman tapi juga mengandung makna keaslian (indigenous).

3. Pesantren Dan Pendidikan Karakter

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa pesantren sebagai learning society, telah mendidik santrinya tidak hanya dari segi kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotornya. Maka tidaklah heran jika pesantren dikatakan sebagai laboratorium moral, karena pesantren telah mampu

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, hlm. 101

59 At-Tasyrih, Volume 2, Nomor 2, Maret 2017 : 45 - 69

menerapkan pendidikan karakter di saat lembaga-lembaga pendidikan formal tengah mencari formulasi yang tepat untu mengimplementasikan pendidikan karakter tersebut.

Sebagaimana diketahui, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai proses penanaman nilai esensial pada diri anak melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai yang menjadi core values dalam pendidikan yang dijalaninya ke dalam kepribadiannya. Dengan menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka dinamika dan dialektika proses pembentukan individu, para insan pendidik diharapkan semakin dapat menyadari pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman perilaku, pembentukan akhlak, dan pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur keteladanan dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi proses pertumbuhan, berupa kenyamanan dan keamanan yang membantu suasana pengembangan diri satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya (teknis, intelektual, psikologis, moral, sosial, estetis, dan religius).

Pendidikan karakter di pesantren dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan

pesantren mampu melaksanakan tahapan tiga component of good character dengan baik, yaitu: Tahapan pertama, tahapan moral knowing, disampaikan dalam dimensi masjid dan dimensi komunitas oleh kiai/ustad. Tahapan kedua, moral feeling yang dikembangkan melalui pengalaman langsung para santri dalam konteks sosial dan personalnya. Aspek emosi yang ditekankan untuk dirasakan para santri meliputi sembilan pilar pendidikan karakter, khususnya pilar rasa cinta Allah dan segenap ciptaan-Nya. Tahapan ketiga, moral action meliputi setiap upaya pesantren dalam rangka menjadikan pilar pendidikan karakter rasa cinta Allah dan segenap ciptaan-Nya diwujudkan menjadi tindakan nyata. Hal tersebut diwujudkan

dikarenakan

pendidikan

Reformulasi Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi- A.Hariandi 60

melalui serangkaian program pembiasaan melakukan perbuatan yang bernilai baik menurut parameter agama di lingkungan pesantren.

Selain itu, pesantren juga memperhatikan tiga aspek lainnya dalam mewujudkan moral action, terkait dengan upaya perwujudan materi pendidikan karakter pada diri santri, yang meliputi kompetensi, keinginan, dan kebiasaan. Pembentukan ketiga aspek tersebut diupayakan oleh kiai/ustad secara terpadu dan konsisten yang pada akhirnya diharapkan melahirkan moral action yang secara spontan dilakukan anak, baik di lingkungan pesantren, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka diketahui bahwa pendidikan di pesantren memang memprioritaskan pembentukan karakter, yang dapat dimaknai sebagai proses penanaman nilai esensial pada diri anak melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai yang menjadi core values dalam pendidikan yang dijalaninya ke dalam kepribadiannya.

Sementara itu, Muhammad Nuh dalam sebuah sambutannya, mempertegas bahwa betapa besar peran pesantren dalam pembangunan karakter generasi bangsa, karena pesantren telah sejak dulu mempraktekkan pendidikan berbasis karakter bangsa. Sejak pesantren ada, tidak ada orang yang ada di pesantren yang tidak mencintai bangsa ini. Karena keluarga besar pesantren itu adalah orang Indonesia yang Islam, bukan orang Islam yang ada di Indonesia. Kurikulum berbasis karakter itu banyak diserap dari pendidikan yang ada di kalangan pesantren.

Husni Rahim (2001: 35) menyebutkan, bahwa peran pesantren dalam memperkukuh karakter bangsa meliputi: pertama, pesantren telah memainkan peran dalam ikut mencerdaskan bangsa dan melestarikan pemeliharaan etika dan moralitas bangsa. Hal ini dimungkinkan karena sebagai institusi pendidikan ia tidak hanya menekankan kepada penguasaan pengetahuan semata-mata, tetapi lebih jauh lagi

61 At-Tasyrih, Volume 2, Nomor 2, Maret 2017 : 45 - 69

menekankan pada pembinaan sikap dan perilaku moral yang tinggi; Kedua, sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai tradisi keagamaan yang kuat, pesantren telah mengambil peran aktif dalam memperkukuh dan mengembangkan etika dan moral bangsa. Corak pendidikan yang dikembangkan di dalam sistem pendidikan pesantren, melalui sosialisasi nilai-nilai agama dan pembiasaan serta pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang semakin mempertegas peran pesantren sebagai benteng pemelihara moralitas kehidupan bangsa; Ketiga, sebagai lembaga pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan imbang antara ilmu pengetahuan dan agama, pesantren dapat dikembangkan sebagai pendidikan alternatif bagi pendidikan nasional di masa datang.

4. Reformulasi Pesantren Menghadapi Tantangan Globalisasi

Yunan dalam Madjid menyebutkan bahwa tidak dipungkiri kalau globalisasi telah membawa kemakmuran ekonomi dan kemajuan iptek, tapi disisi lain globalisasi telah pula membawa dampak berupa pergeseran nilai-nilai baik yang berskala global maupun lokal yang bersifat

multidimensi. 21 Proses interaksi dan ekspansi budaya yang meluas melalui media massa dan komunikasi, mempengaruhi berkembangnya

budaya materialistik, sekuleristik, dan hedonistik. Belum lagi perkembangan iptek yang begitu pesat sehingga menimbulkan kecenderungan menjadikan iptek sebagai ideologi baru yang implikasinya menyentuh pada kehidupan sosial, budaya dan moral manusia, tidak terkecuali melanda pula pada kehidupan masyarakat Indonesia.

Dari fenomena di atas, bila kita melihat ke dalam (inside) dunia pesantren, Maka kita bisa cukup bernafas lega, karena pesantren dengan perannya sebagai lembaga tafaqquh fi ad diin dan transfer Islamic values mampu diaplikasikan sebagai kontrol sosial, sehingga dianggap cukup mampu dalam mengatasi degradasi moral. Walaupun tidak secara komprehensif menyentuh seluruh lapisan masyarakat, tetapi paling tidak

M. Yunan dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual, hlm. 324

Reformulasi Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi- A.Hariandi 62

bisa dijadikan bukti bahwa masih ada lembaga yang tetap kompeten dalam menjaga nilai-nilai Islami sekaligus budaya bangsa.

Tapi bila kita melihat ke luar (outside) dunia pesantren, maka saat ini reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Sebab pesantren yang selama ini lebih menitikberatkan pada pendidikan karakter dan agama, dianggap kurang berhasil

dalam meningkatkan kecerdasan, keterampilan dan profesionalisme. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas sosial. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan differensiasi (pembedaan) antara keilmuan pesantren dengan dunia modern. Meskipun saat ini telah banyak dijumpai pesantren-pesantren modern, tetapi dalam realitasnya hal tersebut belum mampu mengatasi masalah tersebut.

Gambaran di atas, seringkali menyebabkan out put pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan mengandung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren. Tantangan inilah yang dihadapi pesantren pada era globalisasi ini. Bagaimana agar human resaurces yang disiapkan pesantren berkualitas dan mampu bersaing, yang ditandai dengan lulusan yang cerdas, terampil, profesional, dan berkepribadian (berakhlak/bermoral).

Hal inilah yang membuat Fazlur Rahman seorang intelektual Muslim mengkritisi sistem pendidikan tradisional konservatif para ulama yang mengabaikan perubahan hasil dari modernisasi budaya dan intelektual. Menurut Fazlur Rahman penolakan tersebut merugikan masyarakat muslim yang mengakibatkan dunia Islam jauh tertinggal di

63 At-Tasyrih, Volume 2, Nomor 2, Maret 2017 : 45 - 69

belakang masyarakat kontemporer lain yang telah maju di bidang ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan. 22

Seperti dikatakan oleh Said Agil Siraj, ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren, yaitu: pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri. Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya. Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.

Untuk itulah, dalam menghadapi era globalisasi, pondok pesanten perlu meningkatkan peranannya karena agama Islam sebagai agama yang terakhir dan berlaku untuk seantero dunia sepanjang masa. Ini berarti ajaran Islam adalah global dan melakukan globalisasi untuk semuanya. Sebagaimana firman allah dalam Surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:

Artinya: “…Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (Q.S. al-Hujurat: 13)

Fazlur Rahman, terj., Gelombang Perubahan dalam Islam, Jakarta: rajaGrafindo Persada, 2000, hlm. 9

Reformulasi Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi- A.Hariandi 64

Kunci dari ayat ini yakni setiap persaingan yang keluar sebagai pemenang adalah yang berkualitas, memiliki iman dan taqwa, kemampuan, ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan. Untuk itu, pesantren dituntut mampu untuk melakukan reorientasi dan reformulasi tata nilai bentuk baru yang relevan dengan tantangan zaman tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam. Sehingga pesantren mampu menunjukkan kualitasnya baik dimata Allah maupun dimata manusia.

Sebagaimana dikatakan Suadi Putro bahwa masa depan dunia saat ini dikuasai oleh sains dan teknologi. Siapa yang memiliki keduanya,

maka merekalah yang akan menguasai dunia. 23 Dan hal tersebut telah lama dibuktikan oleh dunia barat. Diawali dari revolusi industri di Inggris

dan revolusi Perancis pada abad pertengahan yang melatarbelakangi lahirnya renaissance. Mulai saat itulah J.J. Rousseou (1712-1778) telah mengenalkan kata “modern” yang kita kenal sampai sekarang.

Kemajuan dunia Barat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju pesat dan hingga sampai saat ini mampu mempengaruhi dunia Islam yang secara perlahan tapi pasti menggilas peradaban Islam yang pernah mencapai puncak peradaban dan kejayaan. Karena itulah, pesantren sebagai lembaga yang mampu mempertahankan tradisi keislamannya, seperti yang dikatakan Husni Rahim harus mampu memainkan perannya sebagai agent of change dan community

development. 24 Sudah saatnya pesantren tidak hanya melulu mempelajari masalah

istinja, tayammum, tashrif, i‟rab, dan sejenisnya. Tapi harus mulai memberi tempat pada inseminasi,euthanasia, perbankan, pendidikan islam, media Islam, dan lainny. Sebagaimana dikatakan Jalaluddin Rahmat, bahwa ilmu dakwah seharusnya tidak lagi membicarakan makna hikmah dan mujadalah, tetapi mulai mengupas tentang komunikasi

Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Lazis 24 Paramadina, 1998, hlm. 5

Husni Rahim, Arah Pendidikan, 2001, hlm. 158

65 At-Tasyrih, Volume 2, Nomor 2, Maret 2017 : 45 - 69

massa, media massa, atau pengembangan analisis sistem informasi. Pendeknya, kita harus memikirkan rekonstruksi ilmu-ilmu Islam. 25 Ada

beberapa langkah yang bisa diambil pesantren untuk merealisasikannya, antara lain:

Pertama, melakukan kerjasama yang erat dengan lembaga- lembaga sains seperti ITB, LIPI; kedua, menjadi wadah atau lembaga yang menampung dan mempertemukan cendekiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu; ketiga, mengintensifkan kajian ilmu-ilmu Islam dalam sorotan sains dan teknologi mutakhir. Hal ini senada dengan falsafah dasar “Iqra”, sebagaimana yang dikemukakan M. Quraish Shihab bahwa Allah telah menurunkan wahyu yang pertama adalah perintah

untuk membaca. 26 Membaca disini mengandung makna yang luas. Karena untuk

berhasil, langkah pertama yang harus dilakukan manusia adalah membaca. Membaca yang dimaksudkan bersifat umum. Maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat dijangkau. Karena ilmu, baik yang kasby (acquired knowledge) maupun yang ladunni (abadi, perennial), tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu melakukan qira‟at bacaan dalam arti yang luas.

Maka dari itu, secara signifian, pesantren bisa berperan sebagai pusat kajian ilmiah sekaligus mampu menjalankan fungsinya dalam memberikan petunjuk pemilihan teknologi mana yang paling tepat, penelitian mana yang patut menjadi prioritas, atau hal-hal lain yang menyangkut keputusan etis terhadap penerapan sains dan teknologi. Bersamaan dengan itu semua, kita patut mendukung upaya global untuk mengislamkan sains dan teknologi.

Sejalan dengan pandangan di atas, Azyumardi Azra juga mengemukakan bahwa pesantren harus bisa dikembangkan sebagai

Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif Ceramah-ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, 26 1998, hlm. 155

M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 171

Reformulasi Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi- A.Hariandi 66

wahana untuk menanamkan apresiasi dan bibit bibit keahlian dalm bidang sains dan teknologi. 27 Jadi pengembangan pesantren bukan hanya

menciptakan interaksi dan integritas keilmuan yang lebih intens antara ilmu agama dan ilmu umum termasuk sains-teknologi, tetapi juga dapat mendorong penguasaan sains-teknologi.

Said Aqil juga mengemukakan hal yang sama, dimana menurutnya pesantren sekarang ini memang telah berhasil memadukan pendidikan modern dan Islam, tapi hanya mampu menyelenggarakannya pada tingkat dasar dan menengah sehingga tidak mampu mencetak ulama yang unggul. Karena itu dibutuhkan ekspansi pesantren untuk meningkatkan

eksistensinya dalam sistem pendidikan nasional. 28 Ada dua hal yang dikemukakan oleh Said Aqil dalam usaha

ekspansi pesantren, yaitu pertama, pengadopsian aspek-aspek tertentu sistem pendidikan pesantren oleh lembaga pendidikan umum ataupun sebaliknya, dan kedua, pengembangan lembaga pendidikan pesantren ke jenjang yang lebih tinggi, yait u Ma‟had „Aly. Hal terakhir ini adalah tugas penting dan mendesak yang harus direalisasikan oleh masyarakat pesantren. Melalui integritas keberadaan ma‟had „aly diharapkan kemampuan berpikir, menganalisis, dan mengaplikasikan dalil ushul dapat dikembangkan oleh para santri.

Dari uraian di atas, pada dasarnya apapun alternatif untuk pengembangan pesantren, yang jelas keunggulan human resaurces (sumber daya manusia) yang ingin dicapai pesantren dapat terwujud secara komprehensif. Yaitu dengan mempersiapkan santri yang berkualitas baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotoriknya sehingga mampu menguasai perkembangan iptek. Tetapi dengan tidak meninggalkan sifat distingtif dan diversitatifnya sebagai sebuah lembaga pendidikan islam yang mempunyai subkultur distingtif pula. Dengan prinsipnya al muhafadzah „ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid

28 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, hlm. 48 Said Agil Husin Al-Munawar, Aktualisasi Nilai- nilai Qur‟ani dalam Sistem Pendidikan

Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2003, 264

67 At-Tasyrih, Volume 2, Nomor 2, Maret 2017 : 45 - 69

al ashlah (tetap memegang tradisi yang positif dan mengambil hal-hal baru yang positif), pesantren diharapkan menjadi tonggak awal bagi kelahiran kembali Islam di Indonesia yang mampu menantang arus globalisasi.

Penutup

Manusia sebagai makhluk yang berkembang tentu saja senantiasa dihadapkan pada aneka macam persoalan yang mengitarinya. Mulai persoalan hidup yang paling mendasar hingga persoalan yang paling pelik sekalipun. Karena itu, pesantren dalam konteks ini memiliki peran yang sangat besar untuk memberikan tafsir dan arahan hidup manusia menuju jalan yang benar. Hal terpenting, diharapkan melalui pesantren yaitu mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari zaman ke zaman dan dapat mempengaruhi kesejahteraan manusia serta dapat mengangkat harkat dan martabat manusia itu sendiri.

Idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan tetap mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya, jika tidak ingin akhirnya pesantren hanya akan menjadi cagar budaya (Cultural Preserve). Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan civic values akan bisa dibenahi melalui prinsip yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdayaguna, akan mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain al nas) dan menemukan kembali keotentikan Islam kultural Indonesia yang sesuai dengan tuntutan globalisasi.

Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, distingtif, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang indigenous kultur Indonesia harus dituntut mampu mendidik santrinya dengan harapan menjadi orang-orang yang mendalam keilmuannya, tidak hanya dalam tafaqquh fiddin, tapi juga mumpuni dalam bidang ilmu umum yang berkaitan dengan sains dan teknologi.

Reformulasi Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi- A.Hariandi 68

Pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam menghadapi tantangan globalisasi. Tapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas menejemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju dari salafiya h ke mu‟asyir (modern), karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren. Selain itu, pesantren juga harus mampu menjaga kultur Islam Indonesia, yang mampu hidup berdampingan dengan kemajemukan yang ada, dengan mengedepankan Islam yang damai, menghargai sesama, tasamuh, dan saling mengasihi dalam perbedaan yang ada tapi tetap dinamis. Sehingga Indonesia mampu kembali menemukan jati dirinya sebagai bangsa besar dengan aneka ragam suku, budaya, bahasa, ras, dan agama, tapi tetap menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan (Bhinneka Tunggal Ika) serta mampu menantang arus globalisasi yang semakin deras.

Bibliografi

Al- Qur‟an dan Terjemahannya Agil Husin al-Munawwar. Said, 2003, Aktualisasi Nilai- nilai Qur‟ani dalam