Kata Kunci: Nalar Politik Arab, Abed Al-Jabiri A. PENDAHULUAN - KONSEP NALAR POLITIK ARAB MENURUT MUHAMMAD ABED AL-JABIRI

  

KONSEP NALAR POLITIK ARAB MENURUT

MUHAMMAD ABED AL-JABIRI

Oleh: Eko Wahid B

  

Abstrak

  Konsep nalar politik Arab yang telah dirumuskan oleh Muhammad Abed Al-Jabiri yaitu meliputi aspek aqidah, qabilah dan ghanimah. Hal tersebut merupakan bagian dari pada ikhtiar akademik yang telah di paparkan oleh Muhammad Abid Aljabiri untuk memetakan nalar konsep pemikiran politik yang terjadi di dunia Arab. Dari pemetaan tersebut Al-jabiri juga mengacu kepada konsep sebagaimana yang telah dipaparkan oleh tokoh pemikiran sebelumnya yaitu Ibn Khaldun dengan menggunakan istilah dakwah keagamaan (al-

  da’wah al-diniyyah ) di ubah menjadi kategori akidah (al- ‘aqidah), solidaritas kesukuan

  (al-

  ‘ashabiyyah al-qabiliyyah) dia singkat menjadi kategori kabilah (suku),

  sementara itu untuk menjelaskan sistem ekonomi dia menggunakan nomenklatur fikih yaitu ghanimah, sehingga dengan istilah tersebut Muhammad Abed Al-Jabiri merevitalisasi istilah-istilah untuk yang pernah dipaparkan oleh tokoh sebelumnya dengan harapan dapat lebih familier dan akomodatif dengan wacana studi keislaman dalam konteks kekinian.

  Kata Kunci: Nalar Politik Arab, Abed Al-Jabiri A. PENDAHULUAN

  Membahas masalah politik Islam, banyak anggaadapan pada umumnya masyarakat identik berorientasi kepada model khilafah. Model ini pada dasarnya mengacu pada sistem pemerintahan yang terjadi pada masa awal Islam, semenjak dari zaman Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad Saw. Memimpin masyarakat Muslim sampai masa pemerintahan zaman Turki Usmani, sebelum digantikan dengan sistem pemerintahan republik oleh Mustafa Kemal Pasha (Kemal Ataturk). Hal ini mengindikasikan bahwa pada umumnya umat Islam menganggap khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang terus diterapkan dan dipertahankan

  1 dalam sepanjang sejarahnya. 1 Ada pula sebagian pemikir Arab-Islam menyatakan bahwa demokrasi merupakan jiwa dari sistem politik dan pemerintahan dalam Islam, meskipun dalam satu sisi sebagian pemikir Arab Islam menolak asusmsi-asumsi filosofisnya tentang kedaulatan rakyat sebagaimana yang telah dinyatakan oleh sistem demokrasi. Mereka beranggapan bahwa suara mayoritas umumnya dapat menjadi pijakan untuk pelaksanaan kekuasaan politik yang sah di dalam suatu negara Islam manakala tetap berada dalam batas-batas kedaulatan yang sah. Prinsip ini atas dasar pada nash al-

  Qur‟an yang menyatakan bahwa untuk menyelesaikan semua permasalahan hendaknya

  2 dilakukan melalui cara saling bermusyawarah.

B. BIOGRAFI ABED AL-JABIRI

  Muhammad Abed al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada tahun 1936. dan pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah, yang merupakan sekolah agama swasta yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka. Terlihat semenjak awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian lalu dia berpindah ke universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh Inda di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992), dan gurunya

  Ibn Khaldun,

  juga seorang pemikir Arab Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson

  3 dan Sarter.

  Al-Jabiri telah menelorkan berpuluh karya tulis, baik itu berbentuk artikel koran, majalah maupun buku. Topik yang selalu dicovernya juga 2 M. Hasan Ubaidillah, “Kontruksi Nalar Politik Kenegaraan Arab-Islam Perspektif Al- Jabiri” Jurnal Al-Daulah, Vol. 2, No. 1. April 2012, 69. 3

  bervariasi dari isu sosial dan politik sampai filsafat dan teologi. Perjalanan intelektualnya seperti dimulai dengan penerbitan buku Nahwu wa al-Turast- nya, disusul dua tahun kemudian dengan al-Khitab al-

  ‘Arabi al-Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah , kedua buku tersebut seperti sengaja

  dipersiapkan sedemikian rupa sebagai pengantar kepada grand proyek

  4

  inteletualnya ‘Naqd al-‘Aql al-‘Arabi, al-A’ql al-Siyasi-‘Arabi, Dll.

C. NALAR POLITIK KENEGARAAN ARAB ABED AL-JABIRI

  Konstruksi nalar politik kenegaraan Arab-Islam Abed al-Jabiri merupakan bagian dari Ikhtiar dalam menyamakan anggapan masyarakat Arab minimal pada tatatarn Pemikiran dan epistimologis sebelum sampai pada persatuan bangsa Arab (al-Wihdah al-Arabiyyah) pada tingkat empiris

  5 yaitu pada tataran sosiologis maupun politis.

  Analisa yang dikemukakan oleh Al-Jabiri dengan menerapkan pendekatan struktural fungsionalisme dalam ilmu sosiologi. Al-Jabiri menggunakan beberapa perangkat untuk memahami konsep yang terdiri dari dua sumber, pertama, dari pemikiran ilmu sosial politik kontemporer dan

  6

  kedua, dari tradisi Arab-Islam sendiri. Sehingga dari pendekatan tersebut nalar politik arab menurut perspektif Abed Al-jabiri dalam bukunya Al-

  ‘Aqlus Siyâsil ‘Arabî: Muhaddidah wa Tajalliyatuh adalah‚ motif-motif

  (muhaddidât) tindakan politik (cara melaksanakan kekuasaan dalam sebuah masyarakat), serta manifestasi (tajalliyât) teoritis dan praksisnya yang bersifat sosiologis. Dalam konteks ini al-Aql (nalar) merupakan motif-motif tindakan politik serta manifestasinya dalam realita praktis, semua tunduk dan dijalankan atas sebentuk logika internal yang mengorganisasi hubungan antar pelbagai unsurnya. 4 Zulkarnen,

  “Al-Jabiri dan Kritik Nalar Arab”, dalam, wordpress.com, diakses pada tanggal 22 Nopember 2017. 5 6 M. Hasan Ubaidillah, “Kontruksi, 75.

  Al-Jabiri juga berusaha melakukan analisis penyamaan epistimologi terhadap perspektif masa kini masyarakat Arab-Islam, untuk kembali menghadirkan beberapa konsep subtantif masa silam Islam yang setidaknya bertumpu pada penjelasan mendasar yang digunakan Ibnu Khaldun dalam menganalisis sejarah Arab-Islam. Diantara konsep subtantif tersebut adalah konsep fanatisme kelompok (al-

  ‘asyabiyyah al-qabiliyyah) dan dakwah

  keagamaan (al-

  da‘wah al-diniyyah), sedangkan konsep yang ketiga, yaitu

  fakor ekonomi, yang pada masa itu belum hadir sebagai faktor yang berdiri sendiri dan juga belum dianggap sebagai faktor determinan akan tetapi secara tesirat Ibn Khaldun telah menyebut

  ‚ cara produksi yang identik dalam masyarakat Arab yaitu sistem perekonomian yang bergantung pada keadaan peperangan, atau dengan cara menabung surplus produksi melalui kekuasaan yaitu kekuatan pemimpin, kepala suku, atau negara. Sistem ekonomi seperti inilah yang disebut Ibn Khaldun sebagai sumber mata pencarian (ekonomi)

  7

  yang tidak wajar ( madzhab fil ma‘asy ghairat thabi‘i).

  Berdasar dari tiga istilah yang telah dikemukakan Ibn Khaldun itu, al- Jabiri berupaya melakukan rekonstruksi konsep dalam terma yang agak berbeda yang bertujuan mempunyai orientasi yang sama demi menjelaskan nalar politik Arab-Islam. Lebih lanjut al-jabiri menggubah tiga konsep tersebut dengan istilah yang lebih fungsional dan akrab di telinga dan tradisi masyarakat Islam. Konsep Ibn Khaldun tentang peranan dakwah keagamaan (al-

  da’wah al-diniyyah) dia ubah menjadi istilah akidah (al-‘aqidah),

  solidaritas kesukuan (al-

  ‘ashabiyyah al-qabiliyyah) dia singkat menjadi

  kategori kabilah (suku), sementara untuk menjelaskan sistem ekonomi dia menggunakan nomenklatur fikih Islam, yaitu mengguakan istilah ghanimah,

  

8

harta rampasan perang (al-ghanimah).

  Sementara itu, bagi Al-Jabiri mengembangkan analisis atas teks-teks sejarah dengan cara yang metodologis, tidak kalah pentingnya dari 7 melakukan analisis langsung yang dapat memberikan horison baru bagi wawasan kita. Makanya, Al-Jabiri menghimpun kedua cara itu: melakukan “investasi teks” dengan cara yang metodologis, sekaligus melakukan analisis yang mendalam atas teks tersebut.

D. DARI AL-DAKWAH MENUJU AL-DAULAH a. Penjelasan Konsep Al-Akidah

  Dalam mengkaji konsep al-aqidah, Al-Jabiri berusaha mengungkap pelbagai gejala politik (al-madzharus siyasi) dari dakwah Nabi. Pembahasannya terfokus pada segala aksi dan reaksi yang memiliki kandungan politis dan berperan dalam membentuk imajinasi sosial-politik komunitas muslim pertama di satu sisi, dan menggerakkan reaksi musuh- musuhnya (elit Quraisy) di sisi lain. Beberapa riwayat menyatakan bahwa sebelum Nabi menjadi seorang yang sukses menggalang massa untuk mendukung dakwahnya, di kalangan elit Quraisy sudah muncul indikasi bahwa Nabi kelak akan menjadi seorang penguasa yang akan

  9 menaklukkan kekaisaran Romawi maupun Parsi.

  Akan tetapi menurut Al-Jabiri, meskipun tidak ada referensi yang dapat diandalkan untuk mendukung asumsi bahwa dakwah Nabi bermuatan proyek politik tertentu, dia tetap melakukan pembacaan atas politik (

  qirâ’ah siyâsiyyah) terhadap peran Nabi dalam batas-batas

  tertentu. Sebab, sangat jelas terlihat bahwa penentang dakwah Nabi dari kalangan elit Quraisy, sejak detik pertama sudah membaca dakwahnya sebagai sebuah proyek politik. Oleh karena itu, mereka melancarkan langkah untuk menentangnya.

  Sedangkan yang dimaksud dengan al-aqidah di sini adalah 9 keyakinan dan aliran yang mendasari nalar politik. Nalar politik, sebagai

  Muhammad Abed al-Jabiri, Al- bentuk dari nalar kolektif, tidak didasarkan pada analogi pengetahuan tetapi lebih didasarkan atas simbol simbol imajinatif yang juga mendasari keyakinan. Jadi, keyakinan berpijak pada simbol dan personifikasi (perlambang) bukan pada rasionalitas. Hanya saja harus diakui al-aqidah memang memiliki kekuatan untuk menggerakkan manusia, baik berupa individu maupun kelompok. Ideologi, seperti juga al-aqidah, mendasarkan diri pada penjelasan-penjelasan kebahasaan (al-bayan) dan sedikit sekali ia

  10 bertumpu pada penjelasan empiris ilmiah (al-burhan).

  Al-Jabiri membagi dakwah Nabi pada periode Mekkah ke dalam dua periode. Pertama, periode dakwah gerilya (sirran) dan kedua dakwah terang-terangan (jahran). Peran akidah dalam membangun nalar politik komunitas muslim pertama yang oleh al-

  Jabiri disebut sebagai‚ komunitas spiritual (

  jama‘ah ruhiyyah) sangat terlihat dalam fase dakwah pertama

  ini. Al-Jabiri mencermati bahwa ikatan solidaritas yang paling dominan dalam mengikat generasi Muslim pertama tak lain adalah unsur akidah: keimanan pada Allah SWT, Nabi dan wahyu. Sementara itu, peran kabilah dan ghanimah belum terlihat pada mereka, dan justru sangat menonjol pada kubu elit Quraisy yang dalam hal ini merupakan penghalang utama dari perjuangan Rasulullah, sehingga pertarungan politik pada masa itu dapat dikatakan sebagai pertarungan antara kategori akidah melawan qabilah dan ghanimah.

b. Penjelasan Konsep Al-Qabilah

  Al-Qabilah adalah istilah yang digunakan al-Jabiri untuk

  mengilustrasikan praktik atau pelaksanaan pemerintahan yang bertumpu pada sentimen nepotisme (kekeluargaan ataupun kekerabatan dalam pengertian yang lebih luas). Lawannya adalah sistem pemerintahan yang bertumpu pada para teknokrat dan orang-orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat melalui prosedur yang demokratis. Di dalam lingkungan masyarakat industri maju nepotisme termasuk pada kategori „politik bawah sadar‟, sedangkan di dalam masyarakat yang kurang maju

  11 ia justru mendasari „kesadaran politik‟ mereka.

  Dalam sistem kabilah, berlaku prinsip yang menunjukkan solidaritas kesukuan, seperti ungkapan yang selama ini sering kita dengar dalam slogaan ashabiyah orang arab

  ‚ “ana wa akhi ‘ala ibn ‘ammi, wa ana wa

  ibn ‘ammi alal gharib” (aku dan saudaraku berpihak pada anak pamanku

  dan aku besarta anak pamanku berpihak pada yang bermusuhan dengan orang asing). Pada fase Mekkah, kabilah Quraisy merupakan kabilah yang paling kuat. Kata Quraisy sendiri merupakan penamaan untuk sekumpulan kabilah-kabilah yang disandarkan langsung ke sosok Fahr yang merupakan nenek moyang suku-suku Arab Mekkah yang telah mendiami Mekkah sejak awal. Konfigurasi suku-suku yang menghuni Mekkah ketika itu akan menunjukkan secara jelas bagaimana peran kesukuan dalam masyarakat

12 Mekkah.

c. Penjelasan Konsep Al-Ghanimah

  Al-Ghanimah adalah cara-cara negara memperoleh pendapatan (income), beserta skema pembelanjaan dan berbagai pertimbangan yang

  mendasarinya. Dalam hal ini pendapatan diperoleh melalui kharaj yang meliputi ghanimah,

  fay‘, kharaj, jizyah, dan berbagai pungutan lainnya

  13

  dan ri‘ (hasil alam yang masih mentah).

  Suatu saat seorang penguasa Bani Umayyah bernama Abdul Malik bin Marwan bertanya kepada Urwah bin Zubeir tentang mengapa kaum Quraisy menentang dakwah Nabi

  . Urwah menjawab‚ “Ketika Nabi menyeru kaumnya dengan petunjuk dan pencerahan yang diturunkan kepadanya, mereka awalnya tidak menjauh, dan nyaris akan 11 menanggapinya. Sampai kemudian Nabi menyebut-nyebut berhala mereka, 12 Ibid, 48-49.

  Ibid, 79. hingga datangnya sekelompok orang berharta melimpah yang kemudian mengingatkan mereka akan bahaya dakwah tersebut. Sejak saat itulah mereka menghindar dari Nabi, kecuali hanya sedikit yang dijaga oleh

14 Allah”.

  Menurut al-Jabiri dan beberapa kajian tentang keyakinan Quraisy di masa Nabi, berhala-berhala bagi kaum Quraisy tidak sampai derajat yang sakral, sehingga seseorang rela mati untuk mempertahankan kesakralannya. Berhala-berhala tersebut tidak lebih dari simbol untuk menjaga sumber pendapatan dan tulang punggung ekonomi mereka. Mekkah merupakan sentra berhala masing-masing kabilah, tempat mereka berkumpul dalam ritual haji yang banyak mendatangkan devisa bagi suku- suku Quraisy. Rasionalisasi kekhawatiran mereka akan berhala tersebut tak lebih karena itu artinya identik dengan bertindak lancang atas sumber pendapatan dalam haji dan aktivitas ekonomi yang berkaitan dengannya. Kekhawatiran akan kehilangan sumber-sumber pendapatan mereka

  15 membuat Quraisy dengan keras menentang dakwah Nabi.

  Al-Jabiri berpendapat bahwa perpindahan Nabi dari Mekkah ke Madinah juga dapat dibaca sebagai proses menjalankan dakwah dengan cara yang lain, seperti mengutus ekspedisi dan menyerang kafilah dagang Quraisy, bukan semata-mata karena takut dan melarikan diri dari kejaran Quraisy. Cara- cara berdakwah seperti itu, ketika itu “dapat dibenarkan” sebagai bentuk “embargo” ekonomi atas Mekkah, demi menanti

  16 penyerahan total secara politis agar mereka selanjutnya memeluk Islam.

  Dari pemaparan di atas, s ecara umum nalar politik Arab pada masa

  

sebelumIslam, misalnya didasarkan atas faktor al-qabilah dan al-ghanimah,

sementara pada masa Nabi didasari oleh al- ‘aqidah, masa dinasti Umayyah 14

didominasi oleh al-qabilah, sedangkan masa dinasti Abbasiyyah periode awal

  Muhammad Abed al-Jabiri, Al- 15 ‘aqlu, 99. didominasi oleh al- ‘aqidah. Pada masa-masa berikutnya peran dominan di antara ketiganya selalu berubah-ubah tergantung kepada kebijakan yang

  17 terjadi pada rezim yang berkuasa.

E. DARI AL-RIDDAH MENUJU AL-FITNAH a. Penjelasan Konsep Al-Qabilah

  Dalam kajian ini Al-Jabiri menjelaskan problem suksesi kepemimpinan politik setelah maninggalnya Nabi. Menurut Al-Jabiri, kajian atas beberapa riwayat tentang suksesi kepemimpinan politik setelah maninggalnya Nabi dan bagaimana prosesi pengangkatan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi dalam masalah kepemimpinan negara baru Madinah, menunjukkan bahwa faktor kabilah berbeda dari bahasan sebelumnya yang menempatkan akidah sebagai bahasan awal merupakan faktor determinan dalam prosesi tersebut. Data-data sejarah tentang perdebatan sengit antara kalangan Anshar dan Muhajirin dalam penentuan siapa yang paling berhak memangku kepemimpinan politik setelah Nabi, menunjukkan secara jelas pengaruh faktor kabilah (soal dari kabilah apa, unsur kedekatan dengan Nabi, kepermulaan masuk Islam, dan perimbangan kekuatan) dalam menentukan siapa yang paling mempunyai

  18 hak untuk menjadi pemimpin.

b. Penjelasan Konsep Al-Ghanimah

  Dua prasyarat utama untuk menopang sebuah negara adalah tentara dan kekuatan finansial (al-jund wal mal). Dalam konteks itu, dalam sebuah adagium Arab tersiar istilah “al-mulk bil jund wal jund bil mal” (sebuah kerajaan mesti ditopang oleh prajurit, dan prajurit mesti ditopang dengan duit). Dalam sejarah permulaan Islam, sumber pendapatan negara yang 17 utama adalah ghanimah, zakat dan dari pendapatan lainnya. Zakat dalam perspektif suku-suku Arab ketika itu setara saja dengan upeti (itawah) yang berlaku sebelum Islam, dan dipersembahkan bagi sebuah suku

  19 terkuat, selagi perimbangan kekuatan mensyaratkan itu.

c. Penjelasan Konsep Al-Aqidah

  Kekacauan yang terjadi dalam sejarah Islam yang telah diulas di atas tidak hanya karena faktor dominasi Quraisy terhadap qhanimah, tapi juga disebabkan protes pada level akidah; bagaimana harus memimpin atas dasar Kitab, Sunnah dan tradisi Abu Bakar dan Umar. Pada bahasan kategori akidah ini, Al-Jabiri memaparkan kondisi umum budaya Arab yang ikut berperan dalam menggerakkan kalangan yang mengkalim diri sebagai nabi-nabi pasca meninggalnya Nabi Muhammad. Dalam sejarah Islam tercatat, mereka yang masuk Islam dalam suasana penaklukan di masa Abu Bakar, dan mereka sibuk dengan peperangan di masa Umar tidak cukup waktu untuk menguatkan keyakinan Islam pada wilayah akidah. Jadi pada tingkatan akidah, masuk akal kiranya kalau mereka

  20 belum benar-benar dapat melepaskan dari fantasi-fantasi lama mereka.

  Adapun manifestasi (tajalliyat) nalar politik Arab pada fase kesadaran mutlak (masa setelah Mu„awiyah) dalam pengamatan al-Jabiri mengambil bentuk kerajaan politik (almulkal-siyasi). Di samping itu timbul mitos tentang pemimpin (mesianisme) yang dimunculkan oleh kaum Syi„ah di satu pihak dan ideologi kesultanan (fiqh siyasah) yang diusung dinasti Abbasiyah pada pihak lain. Yang disebutkan terakhir ini diadopsi Ibn al-

  Muqaffa‟ dari tradisi kekaisaran Persia, sementara fiqh siyasah sebagai produk para fukaha merupakan semacam kompilasi hukum agama yang berkaitan dengan praktik kenegaraan yang memiliki tendensi kuat untuk mengabsahkan kekuasaan junta militer ashhab al-syawkah. Bentuk Ideologi kesultanan inilah yang kemudian hingga kini mendominasi praktik politik bangsa Arab dan membuat 19 rakyat yang seharusnya berkuasa justru dikungkung oleh nalar tersebut dan menyerah terhadap takdir. Oleh karena itu perlu adanya rekonstruksi nalar

  21 politik Arab dengan merujuk kembali kepada sejarah Islam pada masa awal.

F. KESIMPULAN

  Konsep nalar politik kenegaraan arab ini merupakan pemetaan Muhammad Abed Al-Jabiri yang sangat memberikan kontribusi dalam memahami dinamika yang terjadi di negara arab, dengan menggunakan tiga konsep yaitu: al-aqidah, al-qabilah, dan al-ghanimah. Dalam memetakan ketiga tersebut Muhammad Abed Al-Jabiri melakukan pembacaan sejarah yang terjadi di masa lampau dan mengaitkan dengan realitas ilmu sosial politik kekinian.

  Muhammad Abed Al-jabiri dalam karya ini berusaha menyederhanakan istilah yang pernah dirumuskan oleh Ibn Khaldun tentang peranan dakwah keagamaan (al-

  da’wah al-diniyyah) dia ubah menjadi

  kategori akidah (al-

  ‘aqidah), solidaritas kesukuan (al-‘ashabiyyah al- qabiliyyah ) dia singkat menjadi kategori kabilah (suku), sementara untuk

  menjelaskan sistem ekonomi dia menggunakan nomenklatur fikih yaitu

ghanimah , sehingga lebih familier di kalangan penggiat studi keislaman.

DAFTAR PUSTAKA

  Al-Jabiri, Muhammad Abed, Al-

  ‘aqlu Al-Siyasi Al-“Arabi: Muhaddidatuhu Watajalliyatuhu (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-

  ‟Arabi, 1991. Al-Jabiri, Muhammad Abed, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2000.

  Aziz, Jamal Abdul, “Pemikiran Politik Islam Muhammad „Abid Al-Jabiri” Jurnal Miqot , Vol, XXXIX, No, 1, Januari- Juni 2015.

  Arfan, Abbas” Fiqih siyasah Al-Jabiri” Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 2, No. 1, Juni 2010.

  Ubaidillah, M. Hasan, “Kontruksi Nalar Politik Kenegaraan Arab-Islam

  Perspektif Al- Jabiri” Jurnal Al-Daulah, Vol. 2, No. 1. April 2012. Zulkarn en, “Al-Jabiri dan Kritik Nalar Arab”, dalam, wordpress.com

Dokumen yang terkait

A. PENDAHULUAN - PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) UNTUK MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMKN I DONOROJO

0 0 11

A. PENDAHULUAN - TANAH PERTANIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

0 0 8

PENDEKATAN INTEGRALISTIK PENDIDIKAN AGAMA PADA SEKOLAH (Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam) Oleh: Rima Umaimah Abstrak - PENDEKATAN INTEGRALISTIK PENDIDIKAN AGAMA PADA SEKOLAH (Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam)

0 0 13

Key Word : Metode, Tren, Modern, Al- Qur`ân Pendahuluan - METODOLOGI DAN TREN TAFSIR MODERN

0 1 24

Kata kunci: Epistemologi, Manajemen, Pendidikan Islam, al-Qur‟an PENDAHULUAN - LANDASAN EPISTEMOLOGIS MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM DALAM AL-QUR’AN DAN HADIT

0 0 28

OPTIMASI SUMBER KARBON DAN KONDISI FERMENTASI PRODUKSI SELULOSA OLEH STRAIN BAKTERI Acetobacter lovaniensis (MGA 6, SLK 1) Risa Umami Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Mataram Abstrak - View of Optimasi Sumber Karbon Dan Kondisi Fermentasi Produksi

0 0 13

Kata kunci: kompensasi, motivasi, kinerja. Pendahuluan - Kompensasi Sebagai Motivator Dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan

0 0 15

IMPLEMENTASI DAN PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN KITAB KUNING DENGAN ARAB PEGON

0 2 17

Kata kunci: Pendekatan dakwah, Rahmatan Lil „Alamin, Materi PAI PENDAHULUAN - PENDEKATAN DAKWAH RAHMATAN LIL ‘ALAMIN DALAM STUDI MATERI PA

0 0 14

Kata kunci: Kinerja Sumber Daya Manusia, Komitmen, Disiplin, Motivasi A. PENDAHULUAN - PENINGKATAN KINERJA SUMBER DAYA MANUSIA MELALUI MOTIVASI, DISIPLIN DAN KOMITMEN

1 3 10