PENGARUH FRAKSI ETER BIJI BLUSTRU (LUFFA CYLINDRICA Roem) TERHADAP KADAR TESTOSTERON PADA SERUM RATTUS NORVEGICUS

  ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

T4HAM4r1 O0>/A7 SKRI PSI

  HOT NA PANJAIT AN PENGARUH FRAKSI ETER BIJI BLUST RU (L UF F A CYLINDRICA Roem) TERHADAP KADAR TESTOSTERON PADA

  M l L l t

  • U NlVERSiTAS A1KLAWOOA*

  S U R A B A Y A

  FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 1991 PENGARUH FRAKSI ETER BIJI BLUSTRU <LUFFA CVLINDRICA «oera) TERHADAP KADAR

  TESTOSTERON PADA SERUM RATTUS NORVEGICUS SKRIPSI DI8UAT UNTUK MEttENUHI TUGAS AKHIK HENCAPAI GELAR

  SA$tJANA FARMASI PADA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

  1991 oleh HOTNA PANJAITAN

  058510753 Disetujui oleh Pembimbi-ng

  DRS.WAtiJO PyATHIKO DRS.BAMBAflG PKAJOGO EW.MS dr.R.IMAM-SAMTQSQ

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  KATA PENG-ANTAR Dengan terwujutnya skripsi ini kiranya patut penulis bersyukur "terpujilah namaNya atas segala kemuliaanNya" Adapun penulisan skripsi ini penulis ajukan sebagai persyaratan guna mencapai gelar sarjana pada Fakultas

  Farmasi U-niversitas Airlangga,. Dalam menyelesaikan tugas skripsi ini penulis telah banyak menerima bantuan yang sangat be-rharga dari berbagai pihak baik moril maupun materil.

  Pada kesempatan ini penulis mengucapkan teriraakasih yang sebesar-besarnya kepada : Bapak Drs. Wahjo “Dyatmiko yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan tugas skripsi ini. Bapak Drs.Bambang Prajogo EW.,MS. yang juga telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan tugas skripsi ini. Bapak dr.R.Imam Santoso dan staf dari Makmal

  Endokrinologi RSUD Dr.Soetomo Fakultas Kedokteran •Universitas Airlangga. Kepala Laboratorium dan para karyawan Jurusan Biologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, rekan- rekan mahasiswa dan semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas skripsi ini.

  Surabaya, Agustus 1991 penyusun

  Ayah, Ibu dan keluarga ya-ng telah memberikan dorongan moril dan ba-ntuan ma-teril hingga tugas ini terselesaikan.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  • Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari serapurna natnun saya -ber-harap serooga skripsi yang sederhana i-ni berguna bagi ilmu pengeta-huan pada umuranya dan pengembangan ilmu kefarmasian pada khususnya.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  DAFTAR ISI halaman KATA PEtfGANTAR .................................... i DAFTAR ISI ........................................ iii OAFTAR TABEL ...................................... vi DAFTAJt GAMBAR ..................................... vii DAFTAR LAHPIKAN ................................... viii RTflGKASAti ......................................... ix BAB I. PEN-DAHULUAN ...............................

  1 1.1. Latar Belakang ........................

  1 1.2. Tujuan Penelitian .....................

  4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................

  5

  2.1. Tinjauan tentang tanaman Luffa cylin- drica, Roem ..........................

  5 2.1.1. Klasifikasi ...................

  5 2.1.2. Nama daerah ...................

  5 2.1.3. Penyebaran dan tempat tumbh ...

  6 2.1.4. Morfologi tanaman .............

  6 2.1.5. Kandungan tanaman ............

  7 2.1.6. Kegunaan tanaman .............

  7 2.2. Tinjauan tentang steroid ............

  11 2.3. Tinjauan tentang testoteron .........

  12 2.3.1. Biosentesis testosteron ......

  12 2.3.2. Transpor testosteron .........

  15 2.3.3. Metabolisme testosteron ......

  15 2.3.4. Wekanisme kerja te-stosteron ...

  15

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  iv

  2.3.5. Peranan testosteron pada proses spermatogenesis ..............

  16 2.4. Tinjauan tentang RIA ................

  18 2.4.1. Prinsip dasar RIA.............

  18

  2.4.2. Prosedur umum RIA ............ ,19 BAB III. BAHAtf, ALAT DAN METOOE PENELITIAN ......

  21 3.1. Bahan penelitian ..................

  21

  

  3.3. Alat-alat ............................... £2 3.4. Metode Penelitian .......................

  23 3.4.1. Pembuatan ekstrak ...............

  23 3.4.2. Identifikasi ekstrak ............

  24 3.4.2.1. Reaksi warna ...........

  24

  3.4.2.2. Kromatografi lapis tipis

  24 3.4.3. Penerapan pada hewan coba .......

  25 3.4.4. Pembuatan sediaan ...............

  26 3.4.5. Pengukuran kadar testosteron ....

  26

  3.4.5.1. Pembuatan buffer tera hor- mon steroid (buffer S) ..

  26

  3.4.5.2. Pembuatan suspensi karkaol

  26 3.4.5.3. Pengambilan sampel darah .

  26

  3.4.5.4. Ekstraksi sampel dan peng­ ukuran ..................

  26 3.4.5.5. Pembuatan baku kerja ....

  27 3.4.6. Tata cara peneraan ...............

  29 3.4.7. Cara analisis data ...............

  30

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  V BAB IV. HASIL PENELITIAN ................................33

  4.1. Hasil ekstraksi dari biji Loffa cylin-

  drica, Roem .......................... .....33

  4.2. Identifikasi hasil ekstraksi ........ .....33

  4.2.1. Identifikasi dengan reaksi warna

  33

  4.2.2. Identifikasi denga-n KLT....... ..... 33

  4.3. Hasil pencacahan RIA ................ .....37

  4.4. Analisis statistik ........................46 BAB

  V. PEMBAHASAN .............................. .....51 BAB

  VI. KESIMPULAtf ............................... ....56

  BAB VII. SARAN .................................... ....57 BAB VIII. KEPUSTAKAAN .............................. ....58

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  DAFTAR TABEL halaman TABEL 1. Identifikasi dengan reaksi warna ...........

  33 TABEL 2. Identifikasi dengan -KLT ....................

  34 TABEL 3. Pencacahan pertama ..........................

  37 TABEL 4. Kadar testosteron sebelum perlakuan pada tna- sihg-masing kelompok ........................ 40 TABEL 5. Pencacahan kedua ............................ 41 TABEL 6. Kadar testosteron setelah perlakuan pada ma- sing-masing kelompok ........................ 44 TABEL 7. Analisis statistik .......................... 46

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  DAFTAR GAMBAR halaman GAMBAR 1. Tanaman blustru < luffa cylindrica. Roem)

  9 GAMBAR 2. Biji blustru ...........................

  10 GAMBAR 3. Struktur steroid .......................

  11 GAMBAR 4. Kromatogram KIT basil ekstraksi dari biji

  Luffa cylindrica , Roem dengan fase gerak n-heksana : etil asetat < 8 : 2 ) ......

  35 GAMBAR , 5. Kromatogram KLT hasil ekstraksi dari biji

  Luffa cylindrica, Roem dengan fase gerak kloroform : n-heksana < 7 : 3 ) ........

  36

  50 GAMBAR 6. Histogram rata-rata peningkatan dosis....

  Lampiran 1 : Pembuatan buffer steroid ..............

  61 Lampiran 2 : Pembuatan suspensi karkoal ............

  62 Lampiran 3 : Bagan ekstraksi uffa cylindrica, Roem...

  63 Lampiran 4 : Perhitungan statistik Anava acak rambang lugas ..................................

  64 Lampiran 5 : Perhitungan statistik t "paired t test”

  65 Lampiran 6 : Hasil pencacahan ^-counter RIA sebelum perlakuan ..............................

  68 Lampiran 7 : Hasil pencaca-han 0-counter RIA setelah perlakuan ..............................

  71 Lampiran 8 : Tabel F ................................

  74 DAFTAR LAMPIRAN halaman viii

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  RItfGKASAN Testosteron memegang peranan penting dalam siklus spermatogenesis yang memproduksi spermatozoa. Testosteron berfungsi melakukan pematangan pada tahap akhir spermatogenesis. Karena kadar testosteron dalam darah sangat kecil (n mol/L) maka diperlukan suatu alat pengukur yang mampu mengukur sampai pada kadar tersebut. RIA adalah suatu tehnik analisis yang sangat peka dan selektif dan mampu mendeteksi suatu zat yang hanya mempunyai kadar pada satuan nano atau piko, seperti hormon dan vitamin.

  Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak fase eter dari biji tanaman blustru <Luffa

  cylindrica, Roem) terhadap kadar hormon testosteron pada

  serum tikus putih jantan, strain Wistar berumur 3 - 4 bulan. Banyaknya hewan coba 15 ekor, dibagi dalam tiga kelompok, dimana masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor. Kelompok tersebut diberi ekstrak dalam bentuk suspensi dengan suspending agen PVP.

  Sebelum masa perlakuan dilakukan pengambilan sampel darah melalui intra cardial untuk memperoleh serum. Sehari setelah pengambilan sampel darah diberi sediaan ekstrak sehari sekali secara oral selama 49 hari sesuai dengan dosis masing-masing kelompok. Pada hari kelimapuluh sampel darah diambil kembali dengan cara yang sama dengan sebelumnya. Sampel yang diperoleh dari sebelum dan sesudah perlakuan, dilakukan pemeriksaan kadar testosteron dengan metode RIA. ix

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  X Hasil penelitian yang diperoleh dari metode ini,

  menunjukkan bahwa secara rata-rata terjadi peningkatan kadar testosteron antara keadaan sebelum diberikan sediaan ekstrak sehari sekali secara oral selama 49 hari dengan keadaan setelah diberikan ekstrak tersebut. Namun dengan uji statistik tidak memberikan makna yang signifikan pada ketiga dosis.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  A' v J l i JW i ■UNIV£^iiAS AlttLA*

  8A8 I

  5 U it ;:■ - - PEHDAHULUAH 1 .

  1 .

  JJsaba untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di negara kita telah dimulai sejak 1970 melalui program Keluarga Berencana Nasional dengan dibentuknya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (8KKBN). Sasaran program K8 selama ini lebih diutamakan pada pihak wanita, sedangkan kaum pria tidak atau kurang raendapat perhatian. Hal ini dapat dilihat dari data

  BKK8N <1988), bahwa pada 1988/1989 jumlah pasangan usia subur (15 - 44 tahun) sebanyak 27.234.000 dengan partisipasi aktif KB sebanyak 18.300.000 atau sebesar 67,2 %, dimana dari jumlah tersebut yang menjadi akseptor KB sebagian besar adalah kaum ibu. Peran pria/suami adalah dominan dalam menentukan kebijaksanaan rumah tangga, sehingga sangatlah tepat apabila dalam masalah KB pihak suami juga diikutkan.

  Cara pengaturan kesuburan pria yang dilaksanakan selama ini antara lain dengan cara coitus interuptus, kondom dan vasektomi. Cara coitus interuptus dan kondora dianggap kurang efektif karena faktor kegagalannya yang besar, sedangkan cara vasektomi tidak reversibel, dan juga cara pelaksanaannya yang belum dapat diterima oleh sebagian masyarakat sebagai

  

1

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  2

  sua tu metode kontrasepsi (Pudji, 1982; Farid, 1982; Does, 1980). Berdasarkan alasan-alasan tersebut perlu dikembangkan cara kontrasepsi untuk pria yang mudah digunakan, aman dan efektif seperti kontrasepsi hormonal yang telah ditemukan dan dipergunakan pada wan ita.

  Kontrasepsi hormonal umumnya berupa hormon steroid yang bahan bakunya dapat berupa steroid atau triterpen yang banyak terdapat pada tumbuhan. Tumbuhan yang banyak mengandung steroid atau triterpen misalnya Dioscorea, Solatium, dan lain-lain. Tumbuhan yang telah diteliti mengandung steroid atau triterpen dan merapunyai efek anti fertilitas antara lain Catharanthus t'oseus, L (Apocynaceae), Carica

  papaya,

  L (Caricaceae), Gossypium spesies (Malvaceae) yaitu gossypol dalam minyak biji tanaman tersebut. Norman <1982) melaporkan bahwa dengan dosis gossypol 20 mg/kg berat badan tikus selama 5 hari dapat menurunkan kadar testosteron dengan tidak berkurangnya kadar LH (Lutein Hormon).

  Demikian juga bila suatu s-enyawa kimia yang bersifat sebagai antiandrogen diberikan dengan dosis 5-10 mg per hari per-oral selama 20 minggu menyebabkab penurunan kadar testosteron plasma, tetapi FSH (Folikel Stimulating Hormon) dan LH hampir tidak berubah (K-M.Arsyad 1977).

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  3 Luffa cylindrica, Roem <Cucurbi taceae) bijinya mengandung sterol (Ari, 1989; Vipin, 1986) yang dapat disintesis menjadi -hormon steroid yang dapat digunakan sebagai bahan untuk kontrasepsi. Pada penelitian ini ingin diketahui pengaruh fraksi eter biji tanaman tersebut terhadap kadar testosteron serum dalam hewan coba tikus (fiattus norvegius), dengan menggunakan metode RIA (Radioiminoassay).

  Prinsip pengukuran d-engan metode RIA adalah berdasarkan prinsip imunologi dan menggunakan perunut radioaktif. Tehnik ini peka dan selektif karena menggunakan perunut radioaktif sehingga dapat dideteksi dengan alat-alat yang kepekaannya tinggi, dan juga karena didasarkan pada reaksi imunologi dimana terjadi ikatan antara antigen dan antibodi yang spesifi-k untuk antigen tersebut <Wayan, 1988).

  Bahan yang diuji adalah bentuk ekstrak fase eter dari biji Luffa cylindrica Roem. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah untuk meningkatkan status pemakaian obat tradisional serta bagi penelitian selanjutnya.

  4 1 .

  2 .

  Pene litian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian fraksi eter biji Lvffa cylindrica, Roem melalui pengamatan kadar testosteron serum tikus dengan menggunakan metode RIA.

  Fraksi eter biji blustru yang mengandung golongan sterpl dapat menurunkan kadar testosteron serum tikus.

  Semoga penelitian ini bermanfaat dan memberikan sumbangan yang baik kepada masyarakat, ilmu pengeta- huan pada umumnya dan ilmu pengetahuan kefarmasian pada khususnya.

  1.3. ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  ■BAB II TiKJAUA tf PUSTAKA

  2.1.1. Klasifikasi tanaman Divisi : Spermatophyta.

  Anak divisi : Angiospermae. Kelas : Dicotyledoneae. Bangsa : Cucurbitales. Suku : Cucurbitaceae. Marga : Luffa. Jen is : Luffa cylindrica, Roem.

  Luffa cylindrica, Roem mempunyai nama lain Luffa aegyptiaca Will atau Luffa petandra Roxb dan Luffa cestupivicinna Ser (Steenis, 1981, Heyne, 1950)

  2.1.2. Nama daerah

  Luffa cylindrica, Roem mempunyai beberapa nama

  daerah antara lain : (Oepkes, 1983, Depkes, 1985) Indonesia : Blustru Sumatra : Harung jawa, ketola, timput

  Sunda : Blustru, emas, lopang, oyong Jawa : Blustru, bestru, bludru

  Madura : Gbalundru Maluku : Podahala Halmahera : Dodahala

  

5

  6 2.1.3. Penyebaran dan temoat tumbuh.

  Lvffa cylindrica, ftoem termasuk bangsa mentimun, merupakan tumbuhan memanjat satu tahun.

  Banyak ditanam di Indonesia maupun di Asia Tenggara, yang diduga berasal dari Cina. Tanaman ini hidup subur didaerah beriklim kering tetapi dapat produktif didaerah dataran rendah sampai kepegunungan yaitu 1-1200 m di atas permukaan laut.

  Khusus di Jawa tanaman ini banyak ditanam di kebun maupun dipinggir kebun <A.P Dharma, Soetomo S, 1986).

  2.1.4. Morfologi tanaman (Steenis. 198.11.

  Kerupakan tumbuhan memanjat dan berbau tidak enak. Batang : Bersegi dengan panjang 2 - 1 0 in, alat pembelit bercabang 2-5. Oaun : Bangun daun bentuk jantung dengan ber- sudut atau bertaju 5 - 7 . Tulang daun sangat menonjol dengan panjang 7,5 27 cm. Pada ketika daun yang sama terdapat dua tandan bunga kadang-kadang satu bunga

  Bunga s e n n g jantan, betina.

  Kelopak bunga berbentuk seperti lon- ceng, beriisuk tnembujur. Mahkota bunga bentuk roda, kuning, berbagi lima

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  7

  da lam, taju bertulang kuat. Bunga jantan mempunyai tangkai 0,5 - 2 cm, beruas pada bagian sedikit dibawah ujungnya dan dibawah ini dengan daun pelindung kecil. Benang sari lima, bebas, ruang berbentuk S. Bunga betina bertangkai 1 - 5 cm, staminodia tiga jarang lebih, bakal buah silindris, panjang, kepala putik tiga, berlekuk dua. Buah : Buah silindris dengan ujung sedikit meruncing, bergaris tengah 5 - 1 0 cm.

  Bagian dalam dari buah yang masak dengan anyaman serabut yang rapat, mempunyai tiga lubang pada ujungnya. Biji : Biji dengan tepi berbentuk sayap dan licin .

  Kandungan tanaman ini antara lain : xilosam manosa galaktosa, saponin, sapogenin, zat pahit luff.eina, vitamin A, vitamin B, Vitamin C, lendir, lemak, zat putih telur <Depkes ftl, 1985).

  2.1.6. Kegunaan tanaman Buahnya dapat digunakan sebagai obat luka, pelancar air susu ibu, peluru-h air seni, peluruh dahak, pencahar, raeningkatkan kerja ginjal,

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

a

  nembersihkan darah sehabis melahirkan, dan untuk obat asma. Daunnya dapat digunakan untuk peluruh tiaid dan membersi-hkan darah (cuci darah). Biji digunakan sebagai pencahar, membersihkan darah

  (Oepkes RI, 1985, A.P. Dharma, Soetomo S, 1988, Heyne, 1950). Zat kandungan Luffa cylindrica, Roem telah diuji secara farmakoiogis diantaranya saponin yang diberikan pada anjing dapat digunakan sebagai diuretik dan memperbesar- pupil mata. Selain itu luffein dari buah dapat digunakan sebagai obat pencahar.

  g Gambar 1.

  Tanaman blustru (Luffa cylindrica, Roem )

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  10 Gambar 2.

  Biji Luffa cylindrica, Roem

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  11 2.2. Tinjauan te-nta^g steroid.

  Steroid adalah senyawa organi-k yang mempunyai i-nti siklopentano perhidrof enantrena dengan tiga ci-ncin ber atom C enam dan satu cinoin beratom C lima <West 1970). Struktur senyawa steroid dapat digawbarkan sebagai berikut :

  Gambar 3 : Struktur steroid Disamping beberapa tri-terpen tetrasiklik, disebut sebagai trimetil steroid, banyak substansi asal dari hewan dan tanatnan memiliki kerangka tersebut. Steroid alami didapat melalui suatu rangkaian perubahan kimia dari kedua i-nduk yaitu triterpen lanosterol dan cycloartenol. Pada umumnya steroid alatn ini dibagi kedalam kelompoknya berdasarkan jenis gerakan fisiologisnya yang berbeda-beda seperti hormon seks dan asam empedu.

  Steroid alami merailiki kerangka kholestan, ergostan atau stigmastan. Umurtmya memuat satu kelompok hidroksil pada posisi 3 dan satu ikatan rangkap pada -posisi 5. Salah satu sumber" steroid adalah senyawa sterol. Sterol merupakan zat antara dalam biosintesis hormon steroid. (Fessenden, 1984).

  Hormon steroid umumnya dibagi menjadi empat kelompok yang berbeda yaitu kortikosteroid, gestogen, androgen dan estrogen. Tiap kelompok secara struktural dan fisiologis homogen (Manitto, 1980). ■ Tin.iauan . tentang testosteron .

  Hormon adalah zat kimia yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan langsung masuk kedalam aliran darah. Efeknya dilakukan di suatu organ lain dari tubuh yang membutuhkannya sehingga dapat berfungsi secara normal (Tan, 1978).

  Testosteron adalah hormon pria yang dihasilkan oleh testes didalam sel-sel interstitium (sel Leydig) sebanyak 4 - 14 mg sehari, juga dihasilkan oleh korteks adrenalis. Sintesis testosteron dikendalikan oleh FSH (Folikel Stimulating Hormon) dan LH (Lutein Hormon), yang juga menstimulir pertumbuhan testes dan spermatogenesis.

  1. B i os in t e s i s t e s t os t e r on Biosintesis testosteron • melalui jalur kolesterol dan intermediate pregnenolon dan progesteron suatu steroid C

  21 yang terjadi dalam testes dan jaringan lain yang memproduksi steroid.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  13 Pregneno lon diubah menjadi progesteron dalam ribosom testes oleh enzim isomerase.

  Pregnenolon ditransformasikan menjadi testosteron dalam mikrosom testes dengan adanya NAD dan NADP membentuk 17-hidroksi progesteron dan androstenedi- on sebagai intermediate. Hanya sejumlah kecil pregnenolon membentuk testosteron melalui 17- hidroksi pregnenolon dan dehidro epiandrosteron. Adapun tahapan selengkapnya adalah sebagai berikut:

  14 CH3C00

  ase tat dehidro epiandrosteron

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  2.3.2. Transpor testosteron.

  Testosteron diangkut kedalara aliran darah dalam keadaan terikat dengan protein plasma. Salah satu protein yang mengikat testosteron dengan afinitas tinggi adalah *' Sex Hormon Binding

  Globulin " SHBG. Dalam darah pria hanya terdapat 3 % testosteron bebas. Sebagian besar (42%) terikat oleh SHBG, 39 % terikat oleh albumin dan 16 % terikat oleh protein plasma lain (Tajuddin MK, 1981).

  2.3.3. Hetabolisme tes-tosteron' Testosteron yang masuk dalam sel dapat dimetabolisme menjadi steroid yang lebih atau steroid yang kurang aktif. Metabolit testosteron antara lain adalah estradiol yang aktif, dihidro testosteron, androsteron, dan 5a-androstenedion bentuk tidak aktif. Bentuk tidak aktif akan diekskresikan kedalara urine atau feses sebagai bentuk konjugat sulfat dan glukuronida (Ganong, Guyton, 1983).

  2.3.4. Mekanisme ker.ia tetosteron Testosteron mengikuti pola kerja sama terhadap sel sasaran seperti halnya hormon-hormon steroid lain yaitu melalui reseptor dalam sitosol. Androgen yang masuk dalam sitoplasma sel terikat dengan protein khusus. Kompleks steroid - reseptor ini diangkut ke nukleus dan berikatan dengan lokasi

  15 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  16

  aksep tor pada genom. Aktivasi gen khusus diduga nemungkinkan transkripsi spe-sies baru mRNA yang menberi kode khusus untuk sintesa protein tertentu didalam sitoplasma. Protein pengikat telah ditemukan dalam sitosol bermacam-macam jaringan mamalia yang sangat dipengaruhi oleh testosteron. Testosteron dan 5a-dihidro testosteron diikat kuat oleh reseptor dalam tubuli testes juga dalam prostat maupun epididimis. Kompleks androgen reseptor sitoplasma mengalami translokasi ke inti, disana kompleks tersebut mengadakan rangsangan terhadap spermatogenesis (Turner, 1988).

  2.3.5. Peranan testosteron pada proses spermatogene_s_is.

  Kelenjar hipofisis anterior mensekresi dua hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH. LH merangsang sel Leydig untuk menghasilkan testosteron, yang masuk kedalam jaringan yang ada di sekitar tubulus seminiferus. Sedangkan FSH merangsang sel sertoli untuk menghasilkan Androgen Binding Protein (ABP) sehingga testosteron diangkut ke dalam lumen tubulus seminiferus dan masuk kedalam sel germinal untuk mengadakan interaksi dengan suatu reseptor khusus.

  Perubahan spermatosit primer menjadi sperma- tosit sekunder dalam tubulus seminiferus dirangsang oleh FSH dalam proses spermatogenesis. Akan tetapi

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  17 F SH tidak dapat menyelesaikan pembentukan sperma­

  tozoa dengan sempurna, testosteron harus disekresi oleh sel Leydig secara serentak. Jadi FSH mengawali proses proliferasi spermatogenesis dan testosteron melakukan pematangan pada akhir spermatogenesis. Karena testoster-on diskresi oleh sel Leydig dibawah pengaruh LH, maka FSH dan LH keduanya harus disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior agar spermatogenesis dapat berlangsung (Turner, 1988, Ganong, 1983, Guyton, 1983).

  Keterkaitan antara testosteron dengan FSH dan LH dalam proses spermatogenesis dapat digambarkan sebagai berikut yang disebut poros hipotalamus- hipofisis-testes. Hipotalamus GnRH r \ Hipofisis LH FSH

  Tubulus seminiferus Testes

I I

  testosteron--- ABP inhibin- Skema yang memperlihatkan hubungan antara fung- si testes dengan sekresi dari proses hipotala- mus-hipofisis <Rita, dkk, 1988).

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  18

  2.4,1. Prinsio Dasar RIA Radioimunoassay <RIA) adalah suatu tehnik analisis yang sangat peka dan selektif yang didasarkan pada prinsip imunologi dan menggunakan perunut radioaktif (Wayan, 1988). Karena sifatnya yang peka dan selektif maka RIA sering digunakan untuk mengukur zat-zat yang hanya mempunyai kadar dalam or'de nano atau piko gram yaitu zat-zat fisiologis seperi hormon dan vitamin <Wisnu, 1983).

  RIA didasarkan pada reaksi antigen - antibodi dan deteksi secara radiometri. Antigen yang akan ditetapkan kadarnya dicampur dengan antigen yang sama tetapi salah satu atomnya telah di ganti dengan isotop radioaktif.

  Ada tiga komponen penting yang diperlukan untuk melakukan analisis dengan tehnik RIA, yaitu:

  1. Sampel/standar

  2. Antigen bertanda dan 3. Antibodi.

  Sampel mengandung antigen tak bertanda yang kadarnya tidak diketahui dan merupakan satu-satunya variabel. Standar primer dibuat dari zat atau senyawa yang dapat diekstraksi dan dimurnikan dari jaringan tubuh atau -disintesis. Standar sekunder digunakan bila standar primer sukar disintesis atau

  19

  diiso lasi dari ekstrak jaringan dan sukar diperoleh.

  Antigen bertanda disebut juga sebagai perunut. Umumnya perunut ini merupakan bentuk murni antigen yang akan dianalisis yang ditandai dengan radioisotop s-eperti 1-125, tritium (H-3) dan Co-57. Antigen -bertanda dengan antigen cuplikan dicampur, direaksikan dengan sejumlah tertentu antibodi sehingga kedua antigen berkompetisi dalam mengikat antibod i .

  Antibodi mempunyai bagian antigenik yang spesifik untuk antigen yang akan dianalisis. Antibodi ini dihasilkan dengan cara imunisasi binatang tertentu dengan antigen murni yang disebut imunogen. t

  2.4.2. Prosedur Urnum RIA Ada beberapa tahap yang umum dilakukan dalam melaksa-nakan RIA. Tahap tersebut adalah :

  1. Persiapan sampel/standar

  2. Inkubasi

  3. Pemisahan kompleks antigen-antibodi dengan anti­ gen bebas.

  4. Pengukuran keradioaktifan 5. -Pengolahan data Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  • © © © 0 0 6 6 0 9 0

  pemisahan sentrifugasi © o QOC

  dekantasi CZD |~~Tg' < — o cnt 5=® c=3? c=o <=® pengukuran kerad ioakt if dan pengolahan data

  I

  irroc— o CT3D C=3g

  © 0 0 .0 0

  0(5 OcjO

  I

  > . ,ii> i__C

  I

  ooooo ooooo ooooo ooooo

  karkoal

  I

  W o c=0 (0=3

  0 O 0 cr©<p!zu c=»cno

  o © o

  <7

  persiapan sampe l/standar penambahan antigen bertanda penambahan antibodi inkubasi

  e a e e e 9 0 0 9 © + + tl— Jl___1 C=3 LZD

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  BAB III BAHAN, ALAT DAN METOOE PENELITIAN

  3.1. Bahan pene_litiaii Bahan berupa biji blustru (Luffa cylindrica,

  Roem) diperoleh dari desa Lidah Kulon, Kecamatan Lakar Santri, Surabaya. Perabuatan bahan dari tanaman ini melalui tahapan sebagai berikut: Setelah mengumpulkan bahan dilakukan sortasi untk memisahkan kotoran atau bahan asing lainnya dari bahan, lalu dilakukan pencucian dengan air bersih, ditiriskan, dikeringkan di sinar matahari, ditumbuk, diayak dengan pengayak B

  40

  sehingga didapatkan serbuk biji blustru yang halus.

  3.2. Bahan-bahan kimia

  1. Larutan pengekstrak :

  a. n-heksan

  b. Hetanol o . KOH d . Dietil eter

  e. Natrium sulfat eksikatus

  2. Larutan identifikasi:

  a. Etil asetat

  b. Kloroform

  c. Anisaldehyd

  e. Asam sulfat pekat

  f. Asam asetat anhidrat

  22

  3. Buffer steroid dengan komposisi sebagai berikut Buffer S :

  a. Natrium dihidrogen fosfat anhidrat 2,35 g

  b. Natrium klorida 8,80 g

  c. Tiomersal 0,10 g d . Gelat in 1,00 g

  e. Aqua ad 1000 ml

  4. Karkoal dengan komposisi :

  a. arang 0,625 g

  b. dekstran 0,0825 g

  c. buffer S ad 100 ml

  5. Antiserum testosteron ; dibuat dari satu botol antiserum dengan 10 ml buffer S. Didiamkan selama 10 menit dan dikocok sebelum digunakan.

  6. Pelacak testosteron Setiap ampul mengandung 259 uCi tritium diencerkan dengan larutan toluena : etanol ( 9 : 1 ) sampai volume 25 ml.

  1. lumpang dan alu 2. pengayak B

  40

  3. alat-alat gelas untuk refluks 4. spet plastik dan jarum suntik oral 5. jarum suntik 6. 8-Counter RIA merek LKB tfallac 7. vorteks merek Vibrax Serono

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  I

  23 S U fo & ■ ■ : - ■ ■ - r ■ ■ - • - :

  3.4.1. Pembuatan ekstrak Serbuk bahan ditimbang, dimasukkan dalam labu alas bulat dan direfluks dalam n-heksana. Ekstraksi dilakukan selama 2 jam sebanyak tiga kali, Hasil ekstraksi disaring, filtrat dikumpulkan dan residu dibuang, kemudian filtrat dipekatkan dengan alat destilasi tekanan rendah. Ekstrak kental kemudian disabunkan dengan KOH 10% dalam metanol selama 2 jam. Hasil penyabunan diencerkan dengan air lima kali volumenya, disaring, kemudian diekstraksi dengan dietil eter. Fase dietil eter dicuci dengan air, kemudian fase dietil eter ditambah Natrium sulfat eksikatus, diuapkan hingga diperoleh ekstrak kering. Ekstrak kering disuspensikan dengan PVP dalam pelarut air.

  3.4. He_tode Penelitian

  14. venoject 15. pipet volume

  800 ul. 12. tabung hitung 13. tabung reaksi

  10. lemari penyimpan pada suhu - 20*C Modena 11. pipet mikro merek Clinipetter masing-masing volume 10 ul : 100 ul ; 200 ul ; 500 ul ; 600 ul dan

  8. sentrifus merek T51 9. sentrifus suhu 4°C merek Beckman Model TJ-6

  £»A" i

  av

  U* sj

  ,1 w

  I "UNIVB^^liTAS A jl

  I Ji

  i ii Ji Li.

  )

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  24

  3.4.2. Identifikasi ekstxak 3.4.2.1. -R-eaksi warna:

  1. Reaksi warna Lieberman - Buchardat Sedikit zat hasil penguapan fase eter pada papan tetes ditambah tiga tetes asam asetat anhidrat dan ditambah satu tetes asam sulfat pekat, diamati warna yang terjadi.

  2. Reaksi warna Salkowski

  • Zat dilarutkan dalam kloroform dalam tabung reaksi, ditambah asam sulfat pekat melalui dinding tabung reaksi, diamati warna cincin yang timbul.

  Sedikit zat hasil ekstraksi dilarutkan dalam kloroform, kemudian ditotolkan memakai pipa kapiler pada lempeng kieselgel 60 ^254- Kemudian lempeng dimasukkan dalam bejana kromatografi yang telah jenuh dengan fase gerak. Apabila fase gerak telah mencapai batas yang telah ditentukan. Setelah kering disemprot dengan penampak bercak

  Anisaldehyd, dikeringkan dalam oven pada suhu 110°C. Oilihat warna noda dan dihitung harga Rf nya.

  3.4.2.2. ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  25 Fase diam : Kieselgel 60 F 254

  Fase gerak : n-heksana : etil asetat = 8 : 2 kloroform : n-heksana = 7 : 3 Penampak noda : Anisaldehyd asam sulfat.

  3.4.3. Penerap_ap___pada -hewan coba Hewan coba tikus jantan <Rattus norvegius) strain Wistar, dibagi dalam tiga kelompok dan kelompok terdiri atas lima ekor. Perlakuan pada hewan coba dilakukan setiap hari selama 49 hari, sebagai berikut:

  1. Kelompok I : diberi ekstrak dengan dosis 250 mg/kg berat badan, sekali sehari.

  2. Kelompok II : diberi ekstrak dengan dosis 125 mg/kg berat badan, sekali sehari.

  3. Kelompok III: ditoeri ekstrak dengan dosis 65 mg/kg berat badan, sekali sehari. Sebagai kontrol dilakukan pengukuran kadar testosteron serum sebelum pemberian ekstrak <treatmen). Pengukuran dilakukan kembali pada akhir treatraen yaitu pada hari kelimapuluh. Setiap akan dilakukan pengambilan sampel darah untuk pengukuran kadar testosteron, hewan coba sebelumnya dipuasakan semalam.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  . Pembuatan sediaan Pemberian ekstrak pada hewan coba dalam bentuk suspensi dengan bahan pensuspensi Polyvinil

  Pirolidon (PVP). Satu bagian ekstrak dilarutkan dalam eter, kemudian ditambah 2 - 4 bagian PVP yang telah dilarutkan dalam air volume sama dengan eter, dicampur dan dikocok hingga pelarut eter menguap. Selanjutnya ditambah air hingga volume yang diinginkan. Setiap hewan coba diberi 1,25 ml sediaan, sekali sehari secara oral. Pengukur.an kadar testosteron 1 • Pembuatan buffer tera hormon steroid .(buffer S : lliiat lampiran.

  2. Pembuatan suspensi karkoal : lihat lajppiran

  3. Pengambilan sampel darah Pengambilan sampel darab dari masing-masing hewan coba dilakukan melalui intracardial sebanyak 1 ml dengan jarum suntik. Sampel disentrifus untuk mendapatkan serumnya.

  4. Ekstraksi sampel dan pengukuran

  1. Hari pertama

  a. Ambil aliquot serum sebanyak 50 ul, masukkan dalam tabung yang telah disiapkan.

  b. Ditambah 1,5 ml dietil eter, vorteks selama 1 menit.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  27

  c. Tabung-tabung ditempatkan dalam campuran CO

  2 padat dan aseton untuk mengendapkan

  komponen lain kecuali testosteron sehingga lapisan eter mudah dituang.

  d. Lapisan eter diuapkan pada suhu kamar.

  2. Hari kedua

  a. Ekstrak fase eter yang telah kering ditambah buffer S sebanyak 500 ul, kemudian pelacak testosteron, disimpan pada suhu 4°C selama 18 - 24 jam.

  3. Hari ketiga

  a. Oitambahkan 200 ul karkoal, diamkan selama 30 menit pada suhu 4°C, kemudian disentri- fus dingin selama 30 menit.

  b. Supernatan dituang kedalam tabung hitung yang telah berisi larutan "Scintilation" sebanyak 4 ml.

  c. Tabung ditutup, dikocok dengan baik, dihitung selama 1 menit.

  3.4.5.5. P_embiiatan larutan baku ker.ia

  a. Disediakan dalam larutan etanolis pada konsentrasi 220 nmol/1.

  1. 100 ul larutan etanolis ditambah 10 ml buffer S, panaskan hingga 40°C selama 30 men it.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  28

  2. Aduk kuat-kuat dan dinginkan sampai suhu kamar sebelum dipakai.

  3. Larutan ini mengandung 2,2 nmol/1 atau 2,2 pmol/ml, dan disebut sebagai larutan B.

  b. Siapkan lima tabung, masing-masing diberi tanda 1 - 5 .

  1. Kedalam masing-masing tabung ditambah 2 ml buffer S .

  2. Pipet 2 ml dari larutan 8, pindahkan ke tabung 1, diaduk dengan seksama.

  3. Dengan pipet yang sama pindahkan 2 ml dari tabung 1 ke tabung 2, aduk dengan seksama.

  4. Seterusnya 2 ml dari tabung 2 ke tabung 3, dari tabung ke tabung 4, dan dari tabung 4 ke tabung 5, masing-masing diaduk dengan seksama.

  5. Ditambah 100 ul antiserum dan 100 ul pelacak, divorteks dan disimpan pada 4°C selama selama 18 - 24 jam.

  6. Ditambah 200 ul karkoal, diamkan selama 30 menit pada suhu 4°C, kemudian sentrifus dingin selama 30 menit.

  7. Supernatan dituang kedalam tabung hitung yang berisi larutan "scintilation” sebanyak 4 ml.

  29

  8. Tabung ditutup, dikocok dengan baik, dihitung selama 1 menit. Pembuatan baku tersebut dapat diringkas sebagai berikut :

  Baku fmo l/tabung tambahkan 500 ul bufer S

  34 tabung 5

  69 . tabung 4

  138 tabung 3

  275 tabung 2

  550 tabung 1

  1100 larutan B

  Jika pemipe tan sampel sebanyak 10 ul maka hasil interpolasi dari kurva baku dikalikan dengan faktor 0 . 1 . dan jika sampel yang dipipet sebanyak 50 ul hasil interpolasi dikalikan dengan faktor 0,02.

  3.4.6. T ata_cara. peneraan Peneraan dengan metode RIA mempunyai urut- urutan tabung sebagai berikut :

  1. Tabung 1 - 2 Tabung hitung jumlah TC

  2. Tabung 3 - 4 Tabung ikatan tidak khu- sus NSB

  3. Tabung 5-6;25-26;99-100 Tabung antigen nol Bo

  4. Tabung 7 - 1 8 Tabung baku kerja

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  30

  5. Tabung 19 - 96 Tabung contoh yang akan ditentukan

  6. Tabung 97 - 98 B lanko eter Isi tabung tera dapat diringkas sebagai berikut (Sufi, 1988)

  Buffer Baku/ Peng-eceran Pengenceran Reagen con toh kerja As kerja

  3H-testo karkoal

  • Jumlah 800 ul - 100 ul

  I N SB 600 u - l - 100 ul 200 u 1 Bo 500 u L

  K 100 ul 100 ul 200 ‘ul

U 200 ul - Baku/ 500 ul 100 ul 100 ul

  con toh B A S

  I 3.4.7. Cara anal is is_ data.

  1. Pencacahan '‘tracer" dari setiap tabung dilakukan sebanyak dua kali sehingga didapatkan dua 'harga pencacahan dan dihitung harga rata-rata sebagai CPM tunggal.

  2. Dilakukan koreksi harga CPM tunggal terhadap NSB.

  3. Untuk menghitung % terikat, maka tabung Bo dianggap mempunyai ikatan 100 %. Hemperhitungkan harga % terikat dari tabung-tabung yang lain

  31

  dengan cara membandingkan harga CPM yang telah dikoreksi dari masing-masing tabung terhadap harga CPM yang telah dikoreksi dari tabung Bo.

  4. Ni lai % terikat yang diperoleh dari standar dipergunakan untuk membuat kurva kalibrasi % t.erikat terhadap kadar (n mol/L), sedangkan nilai % terikat dari tabung sampel diinterpolasikan ke dalam kurva sehingga diperoleh kadar testosteron dari tiap sampel setelah dikalikan faktor 0,02. Uj i ketnaknaan dianalisis dengan statistik metode analisis kovarians (Sudjana, 1989., Schefler,

  1987., Daniel, 1974).

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  BAGAN ALIR Skema cara peneraan testosteron dengan metode RIA <Suf i, 1988).

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  BAB IV H ASIL PENELITIAN 4.1. tias.il ekatraksJ. dari -bi.ii LuffsLevlindrica, Roem

  Dari 200 gram serbuk kering setelah diektraksi dengan n-heksana diperoleh ekstrak kental yang berwarna coklat kemerahafi 100 gram. Dari hasil penyabunan yang dilarjjutkan dengan pengenceran air, kemudian diekstraksi dengan eter diperoleh ekstrak kental yang berwarna kuning kemerahan sebanyak 1 gram. 4.2. ide-ntifikasi hasil ekstraksi

  Hasil pengamatan dapat dilihat sebagai berikut : TABEL I

  IDENTIFIKASI DENGAN REAKSI WARNA Pereaks i

  Zat hasil ekstraksi Lieberman - Buchard ungu kehijauan cincin merah

  Salkowski

  4.2.2. Ident ifikas i_dengan kromatografi laoisan tipis ( KLT ^ .

  Fase diam : Kieselgel 60 F 254 Fase gerak : n-heksana : etila asetat = 8 : 2 (1) kloroform : n-h-eksana = 7 : 3 (2)

  33

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  34 Penasipak noda: Anisaldehyd asam sulfat.

  Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 2, TABEL 2

  IDENTIFIKASI DENGAN KROMATOGRAF1 LAPISAN TIPIS (KLT) Zat ^oda-1 Rf Moda-2 Rf

Warna n.oda

  Hasil ekstraksi 1 0, 19 1 0, 15 merah ungu fase eter 2 0,31 2 0,25 merah' biru 3 o

  3 0,44 merah ung.u

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  35 Gambar 4: Kromatogram KLT hasil ekstraksi dari biji

  Luff a cylindrica, Roem

  Fae diam : Kieselgel 60 F 254 Fase gerak : n-heksana : etil asetat <8:2)

  Penampak noda : Anisaldehyd asam sulfat

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  36 Gambar 5: Kromatogram hasil ekstraksi dari biji Luffa cylin-

  drica ,Roem

  Fae diara : Kieselgel 60 F 254 Fase gerak : kloroform : n-heksana (7:3)

  Penampak noda : Anisaldehyd asam sulfat

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  37

  4.3. Has-il.Pencacahan RIA TABE L 3

  Pencacahan I : Pencacahan testosteron sebelum diberi eks­ trak pada berbagai dosis B-NSB

  Tabung CPU CPM % B/Bo rata-tara

  1 26.831.2

  • - TC

  2 28.298.3 26.564,7 -

  3 462,8

  • - NSB