REVIEW BUKU HUKUM INTERNASIONAL BUNGA RU

REVIEW BUKU HUKUM INTERNASIONAL
BUNGA RUMPAI
Abririan Habib Desyontino
Abririanhabib@student.unnes.ac.id
DATA BUKU TERDIRI DARI :
Nama Buku

: HUKUM INTERNASIONAL

Penulis

: Prof.Dr Yudha Bhakti Ardiwisastra, S.H., M.H

Penerbit

: P.T alumni

Tahun Terbit
Kota Terbit

: 2013

: Bandung

Bahasa Buku

: Berbahasa Indonesia

Jumlah Halaman : 268
ISBN Buku

: 979-414-114-3

PEMBAHASAN REVIEW
TANGGUNG JAWAB NEGARA MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL
Teori pertama tentang pertanggung jawaban adalah mengenai satu
kewajiban untuk menebus suatu pembalasan dandam dari seseorang
yang kepadanya telah di lakukan suatu tindakan yang merugikan (injury),
baik di lakukan oleh orang yang di sebut pertama maupun oleh sesuatu
yang ada di bawah kekuasaannya. Dengan lain perkataan seseorang yang
telah melakukan suatu tindakan yang merugikan orang lain harus

menembus kerugian itu atau menderita pembalasan dandam dari pihak
yang di rugikan. Pembayaran tembusan kemudian menjadi kewajiban
lebih dahulu dari pada suatu hak istimewa bagi yang menderita.
Adanya mobilitas yang semakin tinggi dalam hubungan antar
negara sebagai suatu persekutuan hidup internasional telah memberikan
corak tersendiri terhadap tingkah laku negara yang dapat mengakibatkan
kerugian atau kerusakan terhadap negara lain. Hukum dasar bagi tingkah
laku negara, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan pelaksana
kedaulatan sebagai kemerdekaan dan persamaan sedrajat.
Apabila kewajiban dasar ini di langgar dapat menimbulkan hak bagi
negara lain untuk menuntutnya, tingkah laku negara sekalipun di lakukan
di dalam wilayah kekuasaannya sendiri, tetapi mengganggu atau

merugikan hak negara lain dapat melahirkan tanggung jawab baginya.
Tanggung jawab demikian lahir karna terjadinya sesuatu yang
“Internationally wrongful act”, yaitu suatu perbuatan salah yang memiliki
karakteristik internasional. Tingkah laku negara yang salah secara
internasional ini dapat pula di tuntut tanggung jawabnya sekali pun tidak
mengakibatkan kerugian langsung terhdap pihak ketiga. Tanggung jawab
demikian muncul apabila terhadap pelanggaran yang sungguh-sungguh

terhadap hal-hal yang menyangkut misalnya perlindungan hak-hak asasi.
Demikian tanggung jawab negara pada hakikatnya akan menyentuh
persoalan hakiki dari negara, yaitu kedaulatan apabila kedaulatan suatu
negara dilaksanakan tidak terbatas dalam menjalankan fungsi-fungsi
negaranya.

PRINSIP DASAR HUKUM INTERNASIONAL YANG
MELANDASI TANGGUNG JAWAB NEGARA
Pertanggung jawaban negara berhubungan erat dengan suatu
keadaan bahwa terhadap prinsip fundamental dari hukum internasional,
negara atau suatu pihak yang di rugikan menjadi berhak untuk
mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang di deritanya. Karena itu,
pertanggung jawaban negara akan berkenaan dengan penentuan tentang
atas dasar apa dan pada situasi yang bagai mana negara dapat di anggap
telah melakukan tindakan yang salah secara internasional. Sekalipun
persoalan tanggung jawab negara sering di kaitkan dengan tindakan yang
salah satu kelalaian yang di lakukan oleh suatu negara terhadap negara
lain. Perkembangan kemudian menunjukan, bahwa faktor kesengajaan
dari negara pelaku atas pelanggaran yang terjadi tidak lagi merupakan
suatu unsur mutlak untuk lahirnya suatu tanggung jawab.


TANGGUNG JAWAB NEGARA BAGI PELAKU
ORANG ASING
Pada prinsipnya setiap negara bebas untuk menentukan siapa yang
termasuk warga negara dan orang asing. Persoalan kewarganegaraan
merupakan persoalan dalam negeri sesuatu negara yang berkaitan
dengan perlindungan keamanan negara, kepentingan ekonomi, sosial dan
perlindungan hak asasi yang bersumber kepada kepentingan nasional
tersebut.
Untuk mengetahui siapa orang asing dalam suatu negara harus di
ketahui siapa termasuk warga negara karena untuk orang asing selalu
bertitik tolak pada kewarganegaraan negara itu. Sebaliknya, tentang
siapa-siapa warga negara dapat di ketahui dari undang-undang Nomor 65
tahun 1958 tentang kewarganegaraan republik indonesia adalah orang
asing. Sekalipun setiap negara adalah berdaulat untuk mengtur dan

menentukan tentang siapa-siapa yang menjadi warganya, tetap harus
memperhatikan prinsip-prinsip umum internasional. Republik indonesia
memberikan penafsiran yang luas karena di samping warga negara asing
termasuk juga di dalamnya orang-orang asing yang tidak mempunyai

kewarganegaraan suatu negara asing. Tujuan utama yang hendak di capai
oleh undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tersebut adalah
untuk
menghilangkan status dwikewarganegaraan (kewarganegaraan rangkap)
atau lebih dan mencegah lahirnya status tanpa kewarganegaraaan. Di
indinesia dwi warga negraan pada umumnya terjadi ketika dahulu mereka
termasuk kaula negara belanda bukan orang belanda mendasarkan atas
ius soli (asas daerah kelahiran) kaena di lahirkan di indonesia dan orang
tua yang bertempat tinggal di indonesia. Dari uraian di atas dapat kiranya
di temukan baik ukuran pelaku internasional maupun internasional
memiliki kelemahan-kelemahan yang tidak dapat di sampaikan begitu
saja apa bila hendak di capai suatu penyeleseian yang dapat di trima oleh
negara-negara pada umumnya.
Dari satu pihak hukum internasioanal dapat saja menetapkan agar
orang asing di perlakukan dalam berbagai perjanjian internasional. Di lain
pihak syarat-syarat untuk tetap di pertahankan ukuran perlakuan nasional
sudah sejak lama tidak di pertahankan secara teguh. Prinsip sebagai
negara beradab kiranya dapat di pakai sebagai ciri dari sauatu perlakuan
berdasarkan bermuaranya semua paham kebudayaan bangsa pada suatu
pengertian beradab. Garcia Amandor sampai pada suatu kesimpulan

bahwa seseorang yang berkewarganegaraan asing seharusnya di
perlakukan sesuai dengan perlakuan internasional terhadap hak-hak dasar
manusia (the international recognition of the essential rights of man).
Dasar dari prinsip baru ini ialah “universal respect for and observance of
human right and fundamental freedom) sebagai mana di cantumkan dlam
pasal 1 ayat (3) piagam PBB dan bertujan untuk menjamin pemberian
perlindungan
dengan
kepentingan-kepentingan
hukum
tanpa
membedakan kewarganegraannya. Warga negara atau orang asing harus
mendapat perlindungan hukum internasional dan di perlakukan sama
menurut ukuran internasional yang berlaku semua orang. Lauterpacht
mengemukaan bahwa manusia , warga negara atau asing. Berhat atas
beberapa hak dasar tertentu yang pelaksanaannya sepanjangan
mengenai orang asing dapat di tuntut oleh negara asal orang asing
tersebut.

IMUNITAS KEDAULATAN NEGARA DALAM PENYELESEAN

PERKARA DI FORUM PENGADILAN ASING
Kedaulatan negara dalam hubungan antar negara sering muncul
dalam berbagai pihak praktik pengadilan di luar negeri, yaitu dalam
permasalahan apakah suatu negara yang berdaulat masih mendapatkan
hak imunitas kedaulatannya (sovereign imminity) di hadapan forum
pengadilan asing.

Pada permulaaan berkembangnya imunitas negara telah di terima,
bahwa suatu negara seacara mutlak tidak dapat di gugat dihadapan
forum hakim negara lain. Hal ini terjadi jika negara tersebut di jadikan
pihak sebagai tergugat yang di tuntut atas tindakan yang merugikan
pihak penggugat (perorangan) dan tuntutan atas negara tersebut di
lakukan di forum pengadilan di luar wilayah negara di tuntut (forum
pengadilan asing). Praktik demikian di dasarkan atas penerimaan doktrin
imunitas mutlak atau absolut (absolute immunity) yang sejak abad ke 19
berbagai keputusan hukum telah mengecualilikan negara lain dari
jurisdiksi pengadilan nasional. Para sarjana seperti Gentili, Gotius,
Bynkershoek, dan Vattel sekalipun mereka tidak secara langsung
menyinggung masalah doktrin imunitas negara, persoalan imunitas yang
berkenaan dengan para duta besar dan orang asing sering di

perbincangkan secara intensif. Berdasarkan doktrin ikonporasi yang di
anut di inggris apa bila suatu pemerintah atau negara asing telah di akui
oleh pemerintah inggris, pengadilan pegadiilan di inggris terkait oleh
tindakan atau sikap pemerintah (eksekutif) dalam hal yang menyangkut
hukum internasonal.
Berkenaan dengan persoalan imunitas kedaulatan dan doktrin
tindakan negara ini, pemerintah indonesia pernah pula di gugat melalui
pengadilan di luar negara, antara lain dalam perkara tembakau bremen.
Perkara ini muncul sehubungan dengan tindakan pemerintah indonesia
yang mengambil alih (nasionalisai) hak milik atas perusahaan-perusahaan
belanda di indonesia pada tahun 1958.tindakan nasionalisai ini di anggap
merugikan perusahaan belanda yaitu N.V Verenigde Deli Maatschappijen.
Mereka melakukan berbagai usaha untuk menentangnya, yaitu dengan
cara mengajukn gugatan di hadapan pengadilan negeri mremen
(landesgericht bremen) pada saat tembakau sengketa (sebagai hasil
panen dari bekas perkebunan deli) tiba di bremen untuk di pasarkan.
Pihak pengusaha belanda meminta agar pengadilan menyita tembakau
tersebut karena di anggap masih menjadi milik mereka.
Konsep imunitas kedaulatan negara dalam hubungan antar negara
merupakan suatu konsep yang belum terpadu dalam suatu tatanan

internasional. Hal ini berlainan dengan konsep imunitas kedaulatan dalam
hukum nasional yang memiliki sifat absolut yang terpadu di dalam sifatsifat pemerintah suatu negara yang berdaulat konsep imunitas kedaulatan
dalam hubungan antar negara. Masih banyak bergantung pada kehendak
masing-masing negara untuk menyerahkan sebagian kekuasaan
teritorialnya. Imunitas kedaulatan dalam hukum internasioanal masih
merupakan rintangan bagi seseorang yang akan menuntut suatu negara
asing melalui pengadilan nasional orang tersebut. Adanya perbedaan ini
di sebabkan pola tertib hukum yang mengaturnya. Tertib hukum
internasional lebih bersifat koordinatif, sedangakan hukum nasional
bersifat subordinatif. Dalam konstruksi hukum internasional. Tidak di miliki
adanya kekuasaan tertinggi seperti kekuasaan yang di miliki negara

dalam mengatur warganya. Perbedaan pola ini telah menghalangi proses
menuju di tinggalkannya imunitas kedaulatan dalam hal yang berkenaan
dengan suatu tuntutan terhadap pemerintah negara berdaulat di forum
pengadilan luar negeri.

KEDUDUKAN PENGADILAN NASIONAL DALAM TERTIB
HUKUM INTERNASIONAL
Paham positivisme mengidentifikasi isi hukum internasional dengan

menunjuk kepada sumber hukum sumber hukum perjanjian dan kebiasaan
internasional saja sedangkan bagi hukum internasional posistif ketentuan
pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah internasional merupakan satusatunya sumber formal yang sangat penting. Persoalan kedudukan
pengadilan nasioanal beralasan untuk di bahas mengingat dalam
mempelajari praktik pengadilan. Khususnya di Amerika Serikat dan Inggris
ternyata keputusan pengadilan sering mendapat petunjuk atau saran dari
departement luar negeri (pihak eksekutif) dalam mengadili perkara yang
berhubungan dengan politik hubungan antar negara. Perinsip-perinsip
hukum umum sebagai sumber hukum penting bagi setiap pengadilan
karena melalui sumber hukum inilah pengadilan dapat mengembangkan
dirinya ikut berperan dalam tertib hukum internasioanal di sini, adalah
suatu tatanan pergaulan hukum dalam hubungan antar negara atau
masyarakat internasional yang teratur.
Persoalan kedudukan pengadilan nasioanal beralasan untuk di
bahas mengingat dalam mempelajari praktik pengadilan. Khususnya di
amerika serikat dan inggris ternyata keputusan pengadilan sering
mendapat petunjuk atau saran dari departemen luar negeri (pihak
eksekutif) dalam mengadili perkara yang berhubungan dengan politik
hubungan antar negara. Berlainan dengan sumber-sumber hukum primer,
keputusan-keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana itu dapat di

kemukaan untuk membuktikan adanya kaidah-kaidah hukum internasional
mengenai suatu persoalan yang di dasarkan kepada sumber-sumber
primer. Yang di maksud dengan dengan keputusan pengadilan adalah
pengadilan dalam arti yang luas dan meliputi segala macam peradilan
internasional maupun nasional. Keputusan pengadilan nasional yang
bertalian dengan persoalan-persoalan yang menyangkut hukum
internasional penting sebagai bukti dari apa yang telah di terima sebagai
hukum internasional dan pengadilan. Sekalipun secara formal terlah
tersedia perangkat asas-asas hukum bagi pengadilan untuk memegang
peranan
dalam
mengembangkan
hukum
internasional,
pada
kenyataannya banyak pertikaian hukum (legal disputes) yang tidak di
proses melalui mahkamah internasional PBB dalam keadaan seperti ini
pengadilan nasional dapat tampil untuk mengisi kelemahan struktural
dalam sistem hukum internasional.

KEUNIKAN DALAM BUKU INI ADALAH TERDAPAT
IMPLIKASI BEBERAPA PAHAM FILSAFAT HUKUM DALAM
HUKUM INTERNASIONAL
Sudah sejak lama banyak di antara para ahli (pakar) hukum
internasional yang menaruh perhatian besar kepada persoalan filsafat
apabila eksistensi hukum internasional sebagai suatu sistem hukum di
pertanyakan. Di antara mereka sering menaruh perhatian terhadap salah
satu aliran penting dalam filsafat. Dalam situasi demikian mereka
menjahtuhkan pilihan pemikirannya atas tiga aliran atau paham filsafat
yang pokok yaitu flsafat naturalisme (seperti Marxintilisme dan paham
policy oriented).
Paham ahli hukum internasional itu memang akan memilih jalan
pertama dalam melakukan kajiannya melalui alur pemikiran filsafat dalam
menjawab pertanyaan: apakah hukum internasional itu merupakan suatu
(sistem) hukum? Jalan pertama mereka pilih karena apa bila secara
langsung menganalisisnya dari perangkat ketentuan atau aturan hukum
positif internasional yang ada, jawabnya mungkin tidak akan memuaskan.
Sebaliknya apabila di tempuh cara pendekatan praktis, sering pula praktik
hubungan antara negara yang didasarkan atas perangakat ketentuan atau
aturan-aturan hukum internasioal positif tidak dapat menyelami hakikat
mengapa prakti demikian itu timbul. Apa bila demikian halnya cara
pendekatan dalam mempeljari hukum internasional sebagai suatu sistem
hukum yang teratur tidak bisa lain kecuali menggabungkan cara
pendekatan dinamik.