Ardi Novra Beef Cattle Buffer Stock to P

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Kajian ………………………….………………. 2.3 2.2. Analisis Kebijakan Subsidi (Sekarang) dan Buffer Stock ……………………….

3.1. Dampak Kenaikan Permintaan dan Distribusi Manfaat Kebijakan Subsidi Harga Langsung ……………………………………….……………….……………

3.6 3.2. Kebijakan Harga Dasar (Floor Price) dan Harga Atap (Ceiling Price) …………

3.9 3.3. Fluktuasi dan Trend Harga Daging Sapi Provinsi Jambi ……….……………….

3.4. Alternatif Kebijakan Stabilisasi Harga Daging Sapi Pada Saat Hari Besar Keagamaan di Provinsi Jambi ……………….……………….……………………..

3.12 4.1. Mekanisme Pengembangan Kemitraan Buffer Stock Sapi Potong ……………..

4.4 4.2. Sistem Penyediaan Stock Ternak Sapi Potong Tahunan ……….………………

4.5 4.3. Sistem Administrasi Stock …………………………………………..……………….

4.8 4.4. Tahapan Pengembangan Kemitraan Buffer Stock Sapi Potong.. ……………….

4.10 4.5. Distribusi Nilai Tambah dan Pemanfaatan ……………………….………………..

4.16 5.1. Fluktuasi Kebutuhan Perhari Sapi Potong ………………………..……………….

5.3 5.2. Perkembangan Harga Daging Masing-masing Periode Selama 2007-2010 …

5.3. Fluktuasi Pemotongan Ternak Besar dan Harga Daging Saat H-3 Puasa dan Lebaran 2010 …………………………………………………………….……………

5.5 5.4. Perkembangan Skala Usaha Kemitraan Buffer Stock Sapi Potong ……………

5.5. Distribusi Aliran Penerimaan Kemitraan Buffer Stock Sapi Potong ………………

5.6. Perkembangan Skala Usaha Penggemukan Rumah Tangga Mitra Buffer Stock

1.1. Latar Belakang Permasalahan utama yang dihadapi konsumen daging terutama daging sapi

di Provinsi Jambi adalah kenaikan harga yang sangat tajam pada saat hari- hari besar keagamaan. Kenaikan permintaan daging yang tidak diikuti peningkatan supplay menyebabkan disparitas suplay dan demand ini mendorong kenaikan harga daging yang melebih batas normal. Struktur pasar yang cenderung oligopolistik diduga menjadi salah satu penyebab, disamping ketidakmampuan pasar memenuhi peningakatan kebutuhan daging masyarakat. Karakteristik sosial ekonomi dan budaya terutama terkait dengan mayoritas konsumen beragama Islam dengan kebiasaan (budaya) yang telah berkembang lama (turun temurun), serta tidak adanya pilihan alternatif menyebabkan konsumen berada dalam posisi tawar ( bargaining position) yang lemah. Hal ini dapat terlihat dengan adanya krisis ekonomi global tahun 2008 ternyata tidak mempengaruhi permintaan daging pada hari-hari besar dan harga tinggi tidak menyebabkan masyarakat konsumen mengurangi belanja untuk daging pada saat menjelang puasa dan lebaran.

Konsumen daging utama daging sapi adalah umat Muslim sebagaimana komposisi mayoritas kepercayaan penduduk Jambi, sehingga saat menjelang hari besar keagamaan (Puasa Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha) harus membayar dengan harga tinggi. Kenaikan harga yang terlalu tinggi akibat kenaikan permintaan tidak diimbangi dengan kenaikan supply telah terjadi berulang dan berlangsung sepanjang tahun. Implikasi dari kondisi ini yang menyebabkan kerugian konsumen mendorong pemerintah Provinsi Jambi melalui Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan melakukan Konsumen daging utama daging sapi adalah umat Muslim sebagaimana komposisi mayoritas kepercayaan penduduk Jambi, sehingga saat menjelang hari besar keagamaan (Puasa Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha) harus membayar dengan harga tinggi. Kenaikan harga yang terlalu tinggi akibat kenaikan permintaan tidak diimbangi dengan kenaikan supply telah terjadi berulang dan berlangsung sepanjang tahun. Implikasi dari kondisi ini yang menyebabkan kerugian konsumen mendorong pemerintah Provinsi Jambi melalui Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan melakukan

Langkah intervensi ini hanya memberikan solusi pemecahan masalah jangka pendek dan sesaat (insidental) serta tidak mampu menyelesaikan persoalan fundamental dalam jangka panjang. Dana subsidi untuk stabilisasi harga daging meskipun cukup efektif mencegah kenaikan harga terlalu tinggi, tetapi dalam kenyataannya hanya dinikmati oleh para pedagang dan tidak menyentuh masyarakat di sektor primer (rumah tangga peternak sapi). Sasaran subsidi yang kurang tepat dan efektif ini pada sisi lain juga sulit untuk dipertanggung jawabkan terutama terkait akuntabilitas dan pola distribusi dana subsidi yang tidak merata serta potensial menjadi salah satu pendorong penyimpangan dana pembangunan di lapangan. Untuk itu dibutuhkan alternatif kebijakan lain pemanfaatan dana subsidi agar dapat lebih efektif, tepat sasaran serta akuntabel dan berkelanjutan sebagai bentuk langkah antisipasi dan responsif dalam stabilisasi harga daging terutama pada saat kenaikan permintaan besar.

Salah satu bentuk intervensi pasar yang dapat dilakukan adalah mengacu pada upaya stabilisasi harga komoditas beras oleh Bulog. Bulog akan memperbesar dan memberikan jaminan stock beras di pasar guna mencegah kenaikan harga yang tidak wajar (melonjak) baik akibat kenaikan permintaan maupun penurunan supplay (paceklik). Jaminan supplay pasar daging sapi dapat dilakukan apabila pemerintah memiliki stock ternak sendiri dan sewaktu-waktu dapat dipotong atau dimanfaatkan untuk mememenuhi kebutuhan daging sapi di pasar. Stock ternak tidak harus disediakan langsung oleh pemerintah tetapi dapat dilakukan Salah satu bentuk intervensi pasar yang dapat dilakukan adalah mengacu pada upaya stabilisasi harga komoditas beras oleh Bulog. Bulog akan memperbesar dan memberikan jaminan stock beras di pasar guna mencegah kenaikan harga yang tidak wajar (melonjak) baik akibat kenaikan permintaan maupun penurunan supplay (paceklik). Jaminan supplay pasar daging sapi dapat dilakukan apabila pemerintah memiliki stock ternak sendiri dan sewaktu-waktu dapat dipotong atau dimanfaatkan untuk mememenuhi kebutuhan daging sapi di pasar. Stock ternak tidak harus disediakan langsung oleh pemerintah tetapi dapat dilakukan

Berdasarkan pada hal tersebut maka Bappeda Provinsi Jambi memiliki rencana untuk mengembangkan kelompok penyangga (Buffer Stockis) sebagai mitra pemelihara ternak sapi potong pemerintah yang akan digunakan untuk tujuan stabilisasi harga. Sebelum dikembangkan dan menjamin efektivitas program maka dibutuhkan suatu kajian komprehensif guna mengidentifikasi kelompok peternak sasaran, menguji kelayakan kelompok dan program serta mendesain kelembagaan termasuk aturan main yang akan diterapkan. Kajian kelayakan pengembangan kelompok penyangga dilakukan sebagai langkah awal dan dapat menentukan keberhasilan program stabilisasi harga. Studi kelayakan mencakup 5 (lima) aspek utama kelayakan progam yaitu aspek sosial, teknis, kelembagaan, finansial dan ekonomi,

1.2. Ruang Lingkup Kajian Kajian akan dilakukan dengan menggunakan metode survey melalui

pendekatan partisipatif ( Participatory Rural Approach). Konsumen terbesar daging sapi adalah wilayah perkotaan (urban) sehingga objek sasaran adalah kelompok peternak sapi potong yang berlokasi pada areal sub- urban wilayah administrasi Kota Jambi dan kabupaten tetangga (Kabupaten Muaro Jambi dan Batanghari).

1.3. Maksud dan Tujuan Kajian Kajian dimaksudkan sebagai aktivitas awal perubahan kebijakan stabilisasi

harga daging sapi yang lebih efektif dengan memanfaatkan dana subsidi harga pasar daging sapi yang lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.

Tujuan umum dari kegiatan adalah melakukan desain dan uji kelayakan pengembangan kelompok penyangga (buffer stockis) ternak sapi potong Tujuan umum dari kegiatan adalah melakukan desain dan uji kelayakan pengembangan kelompok penyangga (buffer stockis) ternak sapi potong

1. Melakukan prediksi kebutuhan ternak sapi siap potong dalam program stabilisasi harga pasar daging sapi di Kota Jambi dan kota lainnya.

2. Mengidentifikasi kelompok potensial sebagai cikal bakal terbentuknya kelompok penyangga ( buffer stockis) ternak sapi potong pemerintah.

3. Memilih kelompok peternak yang akan dijadikan sasaran kegiatan proyek percontohan (demplot) pengembangan kelompok penyangga.

4. Merumuskan bentuk kemitraan, sistem bagi hasil serta pola partisipasi pihak-pihak terlibat dalam kemitraan kelompok penyangga ternak sapi siap potong pemerintah.

5. Melakukan uji kelayakan program stabilisasi harga daging sapi melalui pendekatan kemitraan pemerintah dan kelompok peternak penyangga.

6. Menyusun rekomendasi kebijakan pendukung implementasi program kemitraan dalam stabilisasi harga daging sapi potong.

1.4. Manfaat Kajian Hasil kajian program kemitraan dalam stabilisasi harga daging sapi antara

pemerintah daerah dan kelompok penyangga (buffer stockis) ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak terkait, antara lain;

1. Bagi pemerintah daerah dapat menjadi salah satu alternatif dalam pengembangan program stabilisasi dan kebijakan subsidi harga pasar yang lebih tepat sasaran, efisien dan berkelanjutan.

2. Bagi instansi terkait terutama Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan dapat membantu dalam pelaksanaan fungsi dan tanggung jawab 2. Bagi instansi terkait terutama Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan dapat membantu dalam pelaksanaan fungsi dan tanggung jawab

3. Bagi peternak dapat menjadi salah satu sumber pendapatan tambahan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rumah tangga.

4. Bagi kelompok mitra sasaran dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan kerjasama kemitraan program stabilisasi harga pasar.

5. Bagi masyarakat terutama konsumen daging sapi potong dapat terhindar dari kenaikan harga pasar yang terlalu drastis pada saat hari besar keagamaan.

1.5. Output yang Diharapkan Output yang diharapkan dari kegiatan kajian adalah tersedianya buku

pedoman teknis atau standar operasional dalam pengembangan kemitraan pengelolaan stock ternak sapi pemerintah ( buffer stockis) untuk tujuan stabilisasi harga daging sapi, yang memuat berbagai komponen sebagai berikut;

1. Data dan informasi tentang kebutuhan ternak sapi siap potong atau skala kemitraan buffer stock efektif untuk tujuan stabilisasi harga pasar daging sapi menghadapi peningkatan permintaan.

2. Data dan informasi tentang kelompok peternak yang berada di kota Jambi maupun wilayah sub-urban (Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi) yang memiliki potensi dan memenuhi standar persyaratan sebagai kelompok peternak mitra pemerintah.

3. Data dan informasi tentang aturan main kelembagan dalam kerjasama kemitraan antara pemerintah dan kelompok penyangga yang saling menguntungkan.

4. Model kelembagaan dalam kemitraan untuk pengelolaan anggaran pemerintah yang lebih tepat sasaran dan berkelanjutan dalam operasional program stabilisasi harga daging sapi.

5. Data dan informasi tentang kelayakan sosial, teknis, kelembagaan dan finansial serta ekonomi pengembangan kemitraan buffer stock dalam stabilisasi harga daging sapi.

6. Tersusunnya serangkaian rekomendasi tindak lanjut dan dukungan kebijakan untuk pengembangan kemitraan program stabilisasi harga pasar daging sapi.

2.1. Ruang Lingkup Tulisan Ruang lingkup penulisan dalam buku study kelayakan pengembangan

kelompok peternak mitra pengelola stock ternak sapi pemerintah untuk tujuan stabilisasi harga ini terdiri dari;

- Pandangan umum tentang kebijakan dan sekaligus evaluasi efektivitas stabilisasi harga daging sapi baik secara nasional maupun lokal Provinsi Jambi.

- Pengembangan model kemitraan antara kelompok peternak dan pemerintah dalam pengelolaan stock ternak sapi penyangga yang mencakup aturan main antar pelaku kemitraan.

- Kelayakan pengembangan kemitraan buffer stock dari aspek teknis, sosial, kelembagaan dan finansial serta ekonomi untuk masing-masing pihak terlibat kemitraan.

2.2. Waktu Penulisan Kegiatan penyusunan buku dilakukan selama 3 (tiga) bulan dengan lingkup

wilayah sasaran kebijakan stabilisasi harga adalah Kota Jambi sebagai konsumen terbesar daging sapi di Provinsi Jambi. Untuk pemenuhan kebutuhan Kota Jambi maka wilayah potensial yang ditentukan untuk pengembangan kemitraan buffer stock sapi potong adalah wilayah sub- urban di Kota Jambi dan Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi.

2.3. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan disesuaikan dengan ruang lingkup dalam

penulisan buku, yaitu; - Analisis grafis dan deskriptif untuk perbandingan berbagai kebijakan

intervensi pemerintah dalam stabilisasi harga baik pada tingkat nasional maupun lokal Provinsi Jambi.

- Analisis tentang kebutuhan ternak sapi siap potong dalam menghadapi peningkatan permintaan pasar terutama pada hari besar keagamaan guna estimasi skala pengembangan buffer stock.

- Analisis kelembagaan dalam pengembangan model pengelolaan kemitraan buffer stock ternak sapi potong untuk tujuan stabilisasi harga pasar daging.

- Review kebijakan tentang berbagai intervensi pemerintah dalam berbagai kebijakan stabilisasi harga dan aturan formal yang menjadi pendukung pengembangan kemitraan pengelola buffer stock sapi potong.

2.4. Tahapan Kegiatan Kegiatan kajian dilakukan secara bertahap untuk memperoleh suatu model

pola kerjasama yang memiliki tingkat kelayakan pada aspek sosial, teknis, kelembagaan dan finansial serta ekonomi. Kelayakan pada masing-masing aspek akan ditentukan secara bertahap dengan output akhir adalah kelayakan secara finansial dan ekonomi. Tahapan untuk masing-masing tahapan disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Kajian

2.5. Metode Analisis Kelayakan Hasil pengumpulan data dianalisis dengan menggunakan beberapa metode

sesuai dengan aspek kelayakan yang akan diuji, yaitu;

1. Analisis SWOT untuk menentukan kinerja dan potensi masing-masing kelompok peternak sasaran potensial yang selanjutnya akan dipilih beberapa kelompok yang memenuhi syarat kelayakan teknis.

2. Review kebijakan untuk analisis kesesuaian program dengan berbagai aturan yang berlaku serta kemungkinan dan pola kerjasama pihak- pihak terkait dalam program sehingga program memenuhi syarat untuk kelayakan kelembagaan.

3. Analisis kebijakan dengan menggunakan pendekatan PAM (Policy Analizing Matrix) untuk membandingkan efektivitas kebijakan 3. Analisis kebijakan dengan menggunakan pendekatan PAM (Policy Analizing Matrix) untuk membandingkan efektivitas kebijakan

Gambar 2.2.

Analisis Kebijakan Subsidi (Sekarang) dan Buffer Stock

Hasil analisis diharapkan sebagai faktor penguat dalam memenuhi syarat kelayakan sosial.

4. Analisis finansial dilakukan setelah diketahui skala buffer stock (berdasarkan kebutuhan) dan kinerja usaha ternak sapi pada masing- masing-masing kelompok sasaran. Analisis finansial dilakukan untuk uji kelayakan finansial program pada sisi pemerintah daerah, sedangkan kelayakan ekonomi program pada aspek pemerintah dan peternak serta perbandingan dengan kebijakan pada saat sekarang.

Indikator yang digunakan dalam kelayakan finansial dan ekonomi terdiri dari NPV (Net Present Value), Net BCR (Benefit Cost Ratio) dan IRR (Internal Rate of Return) dengan rincian masing-masing sebagai berikut; Indikator yang digunakan dalam kelayakan finansial dan ekonomi terdiri dari NPV (Net Present Value), Net BCR (Benefit Cost Ratio) dan IRR (Internal Rate of Return) dengan rincian masing-masing sebagai berikut;

Rumus: NPV ( B C )

dimana: NPV = Nilai sekarang proyek pada tahun ke t

i = Tingkat suku bunga investasi B n = Nilai benefit proyek pada tahun ke-n. C n = Nilai biaya proyek pada tahun ke-n.

B n -C n = Selisih benefit dan biaya proyek pada tahun ke-n. 1 – 10 = Tahun atau periode proyek

Kriteria Pengambilan Keputusan NPV > 0 (positif): program layak dilaksanakan. NPV < 0 (negatif): program tidak layak dilaksanakan.

b. Analisis Biaya dan Manfaat (Net BCR)

 NPV (  ) n

Rumus: Net BCR 

NPV (  )

Kriteria Pengambilan Keputusan Net BCR > 1,2: program layak dilaksanakan. Net BCR < 1,2: program tidak layak dilaksanakan .

c. Analisis Tingkat Pengembalian Modal (IRR)

( NPV

Rumus: IRR i

( NPV  )  ( NPV  )

dimana: IRR = Internal Rata of Return (Tingkat pengembalian modal)

i 1 = Tingkat suku bunga yang memberikan total NPV positif i 2 = Tingkat suku bunga yang memberikan total NPV negatif

NPV+ = Nilai NPV pada saat tingkat suku bunga i 1 . NPV- = Nilai NPV pada saat tingkat suku bunga i 2 .

Kriteria Pengambilan Keputusan IRR>suku bunga kredit: program layak dilaksanakan IRR>suku bunga kredit: program tidak layak.

3.1. Kebijakan Stabilisasi Harga Pembangunan sektor pertanian, khususnya bidang pangan merupakan hal

utama dan vital bagi sebuah neraga. Menurut Rachbini (1999) bahwa masalah pangan bukan hanya menyangkut produksi dan pendapatan petani, atau sebuah fenomena variabel ekonomi belaka tetapi sudah menjadi komoditas politik. Kekurangan pengadaan pangan dan disrtibusinya yang tidak lancar atau convius, dapat mempengaruhi setabilitas sosial dan politik berupa ketidakpuasan pada sistim pemerintahan yang ada. Selanjutnya jika sebuah negara ingin “kuat” dan “stabil” maka ia harus membenahi sektor pangannya terlebih dahulu, baru program-program ekonomi produksi lain (Sokeratawi, 1996). Pangan merupakan kebutuhan pokok dan pertama bagi warganegara, pada akhirnya gerakan politik yang memobilisasi masalah pangan pada umumnya merupakan strategi yang tepat, karena masalah kerawanan pangan cukup siginicant dengan masalah-masalah sosial dan politik.

Hal tersebut memberi pengertian bahwa masalah pangan tampaknya sulit untuk dibahas hanya dengan skala prioritas ekonomi saja, dan meletakkannya pada mekanisme pasar murni (pure market mechanism) seperti halnya barang-barang atau jasa-jasa lainnya. Pemerintah perlu turut serta “campur tangan” (intervention) dalam menjaga stabilitas pangan, baik melalui mekanisme pasar input atau faktor produksi ( market of production factors) maupun mekanisme pasar output (market of production). Lebih jauh Bungaran Saragih (1999) menyatakan, bahwa gejolak masalah pangan di negeri ini telah “dua kali” mengakibatkan Hal tersebut memberi pengertian bahwa masalah pangan tampaknya sulit untuk dibahas hanya dengan skala prioritas ekonomi saja, dan meletakkannya pada mekanisme pasar murni (pure market mechanism) seperti halnya barang-barang atau jasa-jasa lainnya. Pemerintah perlu turut serta “campur tangan” (intervention) dalam menjaga stabilitas pangan, baik melalui mekanisme pasar input atau faktor produksi ( market of production factors) maupun mekanisme pasar output (market of production). Lebih jauh Bungaran Saragih (1999) menyatakan, bahwa gejolak masalah pangan di negeri ini telah “dua kali” mengakibatkan

Pada salah satu sisi ada gerakan ingin menghapuskan intervensi pemerintah pada sektor pangan dan melepaskan pada mekanisme pasar murni (pure market mechanism), dan gerakan ini dipelopori oleh para pakar “ekonom murni” yang “pro-pasar”. Mereka ini adalah para ekonom yang berpandangan optimis terhadap perdagangan bebas (trade optimist), atau boleh juga disebut para ekonom penganut mazhab ekonomi “ neo-classic” yang selalu mendewakan pasar bebas (free market). Pandangan mereka, campur tangan pemerintah (intervention) dalam mekanisme pasar pangan justru menciptakan gangguan atau kegagalan pada pasar pangan itu sendiri (market failure), yang pada gilirannya akan mereduksi “consumen surplus” dan “producen surplus”, dan mereduksi kemakmuran ekonomi (welfare

economic) yang tercipta dari mekanisme pasar murni. Menurut Prakosa (2000), pandangan ekonomon “pro-pasar” untuk

liberalisasi mekanisme pasar pangan adalah hal yang tidak bisa diterima “dengan baik”. Bagaimanapun pangan sudah masuk dalam kancah komoditas sosial dan politik (social and politic commodity), yang mau tidak mau harus dikeluarkan dari mekanisme pasar murni. Bentuk intervensi pemerintah harus disesuikan dari masa ke masa, sehingga fleksibel terhadap perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Di sisi lain ada gerakan yang dipelopori oleh para ekonom yang “fleksibel” dan mengkaji masalah pangan dalam peta konsep “ekonomi politik”, dan mereka banyak menyebut dirinya sebagai golongan “institutional liberalisasi mekanisme pasar pangan adalah hal yang tidak bisa diterima “dengan baik”. Bagaimanapun pangan sudah masuk dalam kancah komoditas sosial dan politik (social and politic commodity), yang mau tidak mau harus dikeluarkan dari mekanisme pasar murni. Bentuk intervensi pemerintah harus disesuikan dari masa ke masa, sehingga fleksibel terhadap perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Di sisi lain ada gerakan yang dipelopori oleh para ekonom yang “fleksibel” dan mengkaji masalah pangan dalam peta konsep “ekonomi politik”, dan mereka banyak menyebut dirinya sebagai golongan “institutional

3.2. Kebijakan Stabilisasi Harga Daging Sapi Provinsi Jambi Kebutuhan daging sapi dan kerbau menghadapi hari-hari tertentu dimana

permintaan naik drastis untuk Kota Jambi tahun 2009 dengan basis data tahun 2006 – 2008 diperkirakan mencapai 1.195 ekor. Kebutuhan ini terdiri dari 145 ekor untuk 3 hari menghadapi puasa, 600 ekor untuk 27 hari puasa dan 450 ekor untuk 3 hari menjelang Idul Fitri (Disnakeswan Provinsi Jambi, 2009). Sedangkan persediaan ternak sapi dan kerbau yang ada pada pemerintah adalah 927 ekor dan hanya 392 ekor yang ada di Kota Jambi (penggemukan 275 ekor dan ternak pemerintah 117 ekor). Pada wilayah tetangga yaitu di Kabupaten Batanghari 250 ekor dan di Kabupaten Muaro Jambi 110 ekor. Hal ini menyebabkan pada saat mendekati Lebaran harga daging sering tak terkendali seperti pada tahun 2009 harga daging dari hari biasa pada kisaran Rp 65.000/kg, maka saat memasuki H-4 di beberapa pasar tradisional di Kota Jambi harga daging sapi di atas Rp 70.000 per kg dan bahkan di Pasar TAC, Keluarga, Sipin dan Talang Banjar rata-rata harga daging di tingkat pedagang mencapai Rp 75.000/kg dan diperkirakan akan terus naik hingga H-1 menjadi Rp 80.000/kg (Elviza. 2009).

Operasi pasar untuk Kota Jambi oleh Disnakeswan Provinsi Jambi bekerjasama dengan Dinas Peternakan Kota Jambi dilaksanaan mulai H-3, hingga H-1 dan dipusatkan di 5 lokasi, yaitu Pasar Angso Duo, Pasar Induk Talang Banjar, Pasar Keluarga Sipin, Simpang Pulai dan Pasar Induk Kasang, dan saat bersamaan dilakukan pemantauan harga untuk mengetahui perkembangan harga. OP pada 5 titik agar konsentrasi pasar bisa terpecah Operasi pasar untuk Kota Jambi oleh Disnakeswan Provinsi Jambi bekerjasama dengan Dinas Peternakan Kota Jambi dilaksanaan mulai H-3, hingga H-1 dan dipusatkan di 5 lokasi, yaitu Pasar Angso Duo, Pasar Induk Talang Banjar, Pasar Keluarga Sipin, Simpang Pulai dan Pasar Induk Kasang, dan saat bersamaan dilakukan pemantauan harga untuk mengetahui perkembangan harga. OP pada 5 titik agar konsentrasi pasar bisa terpecah

Pentingnya menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang dari tingkat nasional, daerah, rumah tangga, sampai tingkat individu merupakan fondasi bagi tercapainya pembangunan dan perwujudan ketahanan nasional (Suryana, 2003). Masalah stabilisasi produksi dan harga serta ketahanan pangan merupakan tugas pemerintah dan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada sektor swasta, karena swasta akan berorientasi profit. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa masalah stabilisasi produksi dan harga serta ketahanan pangan pada dasarnya adalah wewenang dan tanggung jawab pemerintah karena dalam perekonomian pemerintah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi (Musgrave and Musgrave, 1993). Selanjutnya Simatupang (2007), mengatakan bahwa ketahanan pangan memenuhi kriteria ”barang publik” sehingga pemerintah harus turut campur dalam pengelolaannya melalui melakukan intervensi pasar.

Menurut Baihaqy (2000), intervensi pemerintah kepada sektor ekonomi yang sangat “sicnificant” dengan stabilitas sosial dan politik adalah legal, sepanjang “keuntungan dan manfaat” (benefit comperehenshif) dari interverensi tersebut masih lebih tinggi dari pada “biaya” (cost) yang harus dikeluarkan ( opportunty cost). Inilah yang disebut intervensi yang efisien dan jika “keuntungan dan manfaat” (benefit) intervensi tersebut sama atau lebih kecil dari biaya (cost) yang dikeluarkan, maka interverensi tersebut harus dan harus segera “direduksi” untuk mencegah “distorsi” pasar yang potensial mengakibatkan gangguan kesejahteraan (welfare economic Menurut Baihaqy (2000), intervensi pemerintah kepada sektor ekonomi yang sangat “sicnificant” dengan stabilitas sosial dan politik adalah legal, sepanjang “keuntungan dan manfaat” (benefit comperehenshif) dari interverensi tersebut masih lebih tinggi dari pada “biaya” (cost) yang harus dikeluarkan ( opportunty cost). Inilah yang disebut intervensi yang efisien dan jika “keuntungan dan manfaat” (benefit) intervensi tersebut sama atau lebih kecil dari biaya (cost) yang dikeluarkan, maka interverensi tersebut harus dan harus segera “direduksi” untuk mencegah “distorsi” pasar yang potensial mengakibatkan gangguan kesejahteraan (welfare economic

3.3. Analisis Teoritis Kebijakan Subsidi Harga Langsung Intervensi pasar yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah di

lingkungan Provinsi Jambi dalam kebijakan stabilisasi harga adalah subsidi langsung kepada para supplier (pedagang). Pemerintah menyediakan dana subsidi untuk mengendalikan harga pasar pada level tertentu atau mendorong pedagang agar menjual daging di bawah harga pasar pada saat terjadi peningkatan permintaan. Sebagai contoh jika harga pasar daging sapi menjelang lebaran mencapai Rp. 80.000/kg (tanpa intervensi) dan pemerintah memberikan harga batas tertinggi ( ceiling price) Rp. 75.000/kg maka akan diberikan subsidi sebesar Rp. 5.000/kg. Kebijakan seperti ini pada dasarnya lebih pada kebijakan fiskal ( fiscal policy) atau yang lebih dikenal dengan pajak negatif ( negative tax) atau subsidi. Nilai manfaat kesejahteraan yang dinikmati masing-masing kelompok (konsumen dan supplier) sangat tergantung pada elastisitas penawaran (supply) dan permintaan (demand).

Supply produk pertanian termasuk peternakan seperti daging sapi memiliki respon rendah terhadap perubahan harga produk sehingga elastisitas produk relatif kecil (bersifat inelastis) dengan kemiringan kurva penawaran kecil (lebih mendekati vertikal). Pada sisi lain respon konsumen daging sapi terhadap perubahan harga relatif besar sehingga lebih elastis dengan kurva Supply produk pertanian termasuk peternakan seperti daging sapi memiliki respon rendah terhadap perubahan harga produk sehingga elastisitas produk relatif kecil (bersifat inelastis) dengan kemiringan kurva penawaran kecil (lebih mendekati vertikal). Pada sisi lain respon konsumen daging sapi terhadap perubahan harga relatif besar sehingga lebih elastis dengan kurva

Gambar 3.1. Dampak Kenaikan Permintaan dan Distribusi Manfaat Kebijakan Subsidi Harga Langsung

Kenaikan permintaan menjelang hari besar keagamaan akan mendorong terjadinya kenaikan harga yang tinggi (P 1 - P 2 ) sehingga akan menyulitkan kelompok konsumen daging sapi jika diiringi dengan kenaikan supply. Untuk melindungi konsumen akan mendorong pemerintah untuk melakukan intervensi pasar. Jika kebijakan yang dipilih adalah subsidi harga langsung kepada supplier (pedagang) maka pemerintah butuh dana

sebesar (P 2 – P S ) x Q atau level subsidi (selisih antara harga pasar tanpa intervensi dengan harga patokan tertinggi) dikali dengan kuantitas transaksi daging sapi di pasar.

Berdasarkan Gambar 3.1a maka intervensi pasar melalui kebijakan subsidi harga oleh pemerintah ditujukan untuk mendorong para pedagang

meningkatkan supply sehingga tercapai penurunan harga sebesar P 2 – P S atau harga turun menjadi P S . Besarnya penurunan harga ini harus disubsidi oleh pemerintah dengan total subsidi sebesar sQ (subsidi harga kali jumlah

total penjualan). Jika pemerintah mampu menyediakan dana subsidi sebesar ini akan menjadi efektif, tetapi jika tidak maka pengendalian harga tidak akan tercapai dan konsumen tetap akan diberatkan dengan harga pasar yang terbentuk. Kebijakan ini disamping membutuhkan dana besar juga kurang tepat sasaran karena sebagian besar subsidi dinikmati oleh para pedagang dan hanya sedikit dinikmati oleh petani. Struktur pasar daging yang dikuasai oleh sebagian kecil pedagang besar menyebabkan margin keuntungan pedagang menjadi lebih besar setelah ditambah dengan subsidi. Kondisi ini tidak akan dinikmati banyak oleh produsen (peternak) karena harga yang diterima peternak lokal relatif tidak mengalami kenaikan berarti karena ternak sapi siap potong umumnya berasal dari bakalan pedagang dan diimpor dari luar Provinsi Jambi.

Pada sisi lain pelaksana kebijakan stabilisasi di lapangan adalah dinas teknis yang terkait peternakan yang pada dasarnya bukan merupakan tugas (tupoksi) mereka. Operasi pasar sebenarnya menjadi beban tugas dari instansi terkait dengan sektor perdagangan atau badan khusus yang dibentuk pemerintah seperti Bulog. Kesalahan persepsi selama ini, ketika terjadi lonjakan harga pasar daging pada saat hari raya keagamaan seperti lebaran maka pertanggungjawaban utama selalu dibebankan ke instansi terkait peternakan. Pada masa yang akan datang, keterlibatan instansi teknis terkait peternakan hanya bersifat koordinasi dan lebih ditekankan pada aspek teknis (non-pasar) seperti dalam penjaminan supply daging pada saat-saat tertentu. Berdasarkan berbagai kekurangan dalam kebijakan intervensi pasar daging sapi seperti ketidak tepatan sasaran subsidi, lemahnya kontrol dan pertanggungjawaban terhadap dana subsidi langsung pada pedagang serta koordinasi dari berbagai instansi terkait dibutuhkan alternatif kebijakan lain yang lebih tepat sasaran dan mampu memberikan kontribusi positif bagi pelaku budidaya atau sektor produksi.

3.4. Kebijakan Stabilisasi Harga Alternatif Alternatif kebijakan dalam stabilisasi harga daging sapi ditujukan untuk

melindungi produsen (peternak) dari harga rendah (saat permintaan turun) dan melindungi konsumen daging sapi (rumah tangga) dari harga tinggi (saat permintaan naik tajam). Kebijakan harga yang selama ini dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui kebijakan harga dasar ( floor price) dan kebijakan harga atap ( ceiling price). Implementasi kebijakan ini secara umum dapat dilihat dari kebijakan harga beras yang dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). Pada kebijakan stabilsasi harga beras seperti diilustrasikan pada Gambar 3.2 maka tugas Bulog adalah menjaga agar harga beras tidak anjlok pada musim panen raya dan sebaliknya tidak naik drastis pada saat musim paceklik. Pada Gambar 3.2a pada saat paceklik (supply menurun) Bulog melakukan operasi pasar dengan memperbesar supply dipasar (Qo) sehingga harga dapat mencapai harga atap ( ceiling price) sehingga konsumen tidak diberatkan, dan sebaliknya pada Gambar 3.2b pada saat panen raya (supply melimpah atau meningkat) guna melindungi petani (produsen) Bulog melakukan pembeliaan gabah (beras) petani pada harga dasar ( floor price).

Gambar 3.2. Kebijakan Harga Dasar (Floor Price) dan Harga Atap (Ceiling Price)

Stabilisasi harga beras yang dilakukan Bulog mampu mengurangi fluktuasi harga yang besar seperti Gambar 3.2c. Secara umum tujuan kebijakan stabilisasi harga pangan oleh Bulog tidak harus harga tunggal (tetap) tetapi lebih pada menjaga perbedaan harga pada saat paceklik dan panen raya menjadi kecil. Fluktuasi harga yang kecil mampu menjaga stabilitas pasar dan memberikan keuntungan baik bagi kelompok petani produsen maupun konsumen rumah tangga. Harga beras yang relatif stabil juga menjadi salah satu prasyarat bagi terjaganya stabilitas sosial ekonomi dan politik suatu wilayah.

Secara umum harga komoditas daging sapi juga mengalami fluktuasi tetapi dengan faktor pendorong atau penyebab berbeda. Fluktuasi harga beras lebih disebabkan oleh perubahan pada sisi penawaran (supply) karena merupakan tanaman musiman, sedangkan fluktuasi harga daging sapi lebih didorong oleh perubahan pada sisi permintaan. Karakteristik khusus dari harga pasar daging sapi khususnya di Provinsi Jambi adalah fluktuasi kenaikan yang tinggi pada saat tertentu akan sulit untuk kembali turun pada posisi harga semula, sehingga trend harga pasar cenderung mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Contoh pada tahun 2009 ketika terjadi kenaikan harga daging sapi dari Rp. 60.000/kg saat permintaan normal menjadi Rp, 75.000/kg pada saat lebaran. Pasca lebaran harga daging tidak kembali turun menjadi harga pada saat normal tetapi tetap bertahan pada harga Rp. 70.000/kg. Trend harga seperti ini pada suatu sisi akan menguntungkan bagi produsen (peternak) tetapi akan mengancam aksesibilitas masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pangan hewani. Ilustrasi trend harga daging sapi yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun disajikan pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Fluktuasi dan Trend Harga Daging Sapi Provinsi Jambi

Gambar 3.3. menunjukkan dengan kurva supply yang inelastis maka kenaikan permintaan akan mendorong kenaikan harga yang cukup besar.

Kenaikan permintaan seperti lebaran dari D 1 ke D 2 akan mendorong kenaikan harga dari P 1 menjadi P 2 , tetapi pasca lebaran harga tidak kembali turun menjadi P 1 tetapi hanya turun menjadi P 3 dan akan kembali naik melebihi P2 ketika permintaan pada tahun berikutnya kembali meningkat. Hal ini menyebabkan harga rata-rata daging sapi di Provinsi Jambi cenderung mengalami peningkatan dari tahun-ketahun. Pada sisi lain kecenderungan peningkatan harga ini tidak diiringi dengan peningkatan supply karena sektor produksi tidak mampu bertumbuh secepat pertumbuhan permintaan. Sampai tahun terakhir malah untuk pemenuhan kebutuhan stock ternak sapi menjelang lebaran Provinsi Jambi masih mengandalkan supply dari luar daerah dan ketergantungan ini memiliki resiko besar jika terjadi goncangan supply daerah asal impor sapi potong Provinsi Jambi.

Berdasarkan perilaku pasar daging sapi ini maka tindakan antisipasi terutama oleh pemerintah daerah sangat dibutuhkan guna menjaga ketahanan pangan daerah terutama protein hewani. Program jangka panjang dengan memacu laju pertumbuhan populasi dan produksi melalui Program Percepatan Swasembada Daging Sapi 2012 Menuju Surplus

Produksi 2015. Pada jangka pendek dan menengah pemerintah perlu melakukan intervensi pasar melalui kebijakan harga guna mencegah fluktuasi harga daging terlalu besar dan trend kenaikan harga daging lebih “smooth” (Gambar 3.4).

Gambar 3.4. Kebijakan Stabilisasi Harga Daging Sapi Alternatif Menghadapi Hari Besar Keagamaan

Penetapan harga tertinggi ( ceiling price) oleh pemerintah pada saat hari besar keagamaan sebesar P C membutuhkan peningkatan supply melalui operasi pasar. Operasi pasar dilakukan dengan melepas stock ternak sapi siap potong baik yang dipegang swasta maupun pemerintah. Selama ini swasta tidak akan memperbanyak stock jika tidak dirangsang oleh pemerintah melalui subsidi harga pasar daging sapi. Pada sisi lain kemampuan pemerintah untuk operasi pasar sangat terbatas karena stock tersedia relatif kecil dibanding dengan kebutuhan pasar. Jika ada operasi pasar langsung oleh pemerintah harga daging tetap tinggi sehingga sering menjadi keluhan masyarakat konsumen bahwa harga daging operasi pasar pemerintah tetap sama atau tidak jauh berbeda dengan harga di tingkat pedagang. Keterbatasan stock sapi siap potong juga menyebabkan operasi pasar tidak dapat dilakukan lebih awal dan jangka waktu pelaksanaan relatif singkat.

Intervensi kebijakan harga yang dilakukan sejogyanya tepat sasasan dan terintegrasi dengan upaya pemberdayaan peternak lokal. Adopsi dari kebijakan harga atap ( ceiling price) dengan berbagai modifikasi dapat dilakukan pemerintah daerah tanpa harus membentuk lembaga penyangga khusus seperti halnya Badan Usaha Logistik (Bulog). Pengendalian harga tetap dilakukan pada sisi supply karena secara umum upaya mempengaruhi sisi permintaan sangat sulit dilakukan.

Syarat utama bagi pemerintah dalam meningkatkan efektifitas operasi pasar adalah tersedianya stock ternak sapi siap potong yang dapat diperoleh melalui beberapa cara yaitu;

1. Impor atau pengadaan ternak sapi siap potong dari daerah lain baik dalam lingkungan Provinsi Jambi maupun provinsi sumber ternak lainnya.

2. Pembelian ternak dari pedagang besar yang memiliki stock ternak sapi siap potong.

3. Penarikan ternak sapi jantan dari rumah tangga gaduhan ternak sapi bibit pemerintah.

4. Ternak sapi potong pemerintah hasil penggemukan rumah tangga melalui pola bagi hasil.

Sumber stock ternak siap potong 1 dan 2 membutuhkan dana segar tetapi dapat dilakukan sesuai kebutuhan baik dari aspek waktu maupun jumlah. Kelemahan lain dari kedua sumber disamping harga sapi siap potong juga tinggi juga tidak memberikan nilai tambah ( value added) bagi daerah. Sedangkan sumber 3 dan 4 meskipun milik pemerintah tetapi secara kelembagaan terutama terkait aturan main kelembagaan tidak terikat langsung. Hal ini menyebabkan jaminan stock tidak dapat diprediksi secara akurat karena proses penarikan dan penggemukan tidak terjadual secara baik untuk kebutuhan hari besar keagamaan. Berdasarkan kepada Sumber stock ternak siap potong 1 dan 2 membutuhkan dana segar tetapi dapat dilakukan sesuai kebutuhan baik dari aspek waktu maupun jumlah. Kelemahan lain dari kedua sumber disamping harga sapi siap potong juga tinggi juga tidak memberikan nilai tambah ( value added) bagi daerah. Sedangkan sumber 3 dan 4 meskipun milik pemerintah tetapi secara kelembagaan terutama terkait aturan main kelembagaan tidak terikat langsung. Hal ini menyebabkan jaminan stock tidak dapat diprediksi secara akurat karena proses penarikan dan penggemukan tidak terjadual secara baik untuk kebutuhan hari besar keagamaan. Berdasarkan kepada

Alternatif bentuk kelembagaan yang dapat dikembangkan adalah kemitraan pengelolaan ternak penyangga ( buffer stock) sapi potong yang pengelolaan stock ternak dilakukan oleh kelompok peternak mitra dan bukan oleh pemerintah. Bentuk kemitraan ini merupakan modifikasi dari peran Bulog sebagai lembaga penyangga stock pangan nasional guna stabilisasi harga berbagai kebutuhan pangan utama masyarakat. Perbedaan hanya dalam pelaksanaan fungsi manajemen dimana Bulog atau Dolog di daerah langsung mengelola pengadaan, penyimpanan dan pelepasan stock, sedangkan manajemen buffer stock hanya memiliki fungsi pengadaan dan pelepasan stock. Penyimpanan stock menjadi tanggung jawab kelompok peternak mitra tetapi tetap dalam kendali pemerintah melalui manajemen buffer stock sapi potong yang diberi wewenang.

Artinya, akan terjadi efisiensi dalam manajemen buffer stock karena tidak dibebani biaya investasi dalam pembangunan gudang dan operasional dalam perawatan stock. Bahkan jika stock barang di gudang Bulog dapat mengalami penyusutan akibat kerusakan atau penurunan kualitas, sedangkan pada model buffer stock sapi potong kondisi sebaliknya. Ternak sapi siap potong yang menjadi stock kebutuhan intervensi pasar pemerintah dapat berkembang dan memiliki nilai jual lebih tinggi dibanding saat pengadaan (sapi bakalan). Hal ini mengindikasikan bahwa efisiensi anggaran pemerintah dalam model kemitraan buffer stock sapi potong potensial diikuti dengan peningkatan nilai ekonomi stock. Keterlibatan kelompok peternak sapi sebagai mitra akan mendorong distribusi nilai manfaat (benefit value) bagi rumah tangga peternak, sehingga terintegrasi dengan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Secara umum kesamaan dan perbedaan antara lembaga penyangga Bulog dan buffer stock sapi potong Provinsi Jambi disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Perbandingan Karakteristik Bulog dan Model Kemitraan Buffer Stock Sapi Potong

Jenis Lembaga No

Varibel

Bulog

Buffer Stock

Lembaga penyangga pola Bentuk lembaga dan lingkup 1 wilayah kerja

Lembaga penyangga murni

pemerintah pada lingkup

kemitraan pada lingkup

nasional

khusus daerah

Stabilisasi harga pada

2 Tujuan pengembangan

kelompok produsen dan

Stabilisasi harga daging pada kelompok konsumen

konsumen Pangan pokok seperti beras,

Khusus sapi potong untuk 3 Jenis komoditas

kedelai dan jagung serta

kebutuhan hari besar

lainnya

keagamaan

Nilai tambah hanya dari

Sifat nilai tambah potensial dan

perubahan harga tetapi

Akumulasi nilai tambah dari 4

selisih harga dan PBB tanpa unsur penyusutan

mengandung aspek

unsur penyusutan Lingkup fungsi tataniaga 5 a. Pengadaan (Buying)

penyusutan

Manajemen BF b. Penyimpanan (Stocking)

Manajemen Bulog

Manajemen Bulog

Kelompok mitra

Manajemen BF 6 Waktu aktivitas utama

c. Pelepasan (Selling)

Manajemen Bulog

Pengadaan saat panen raya

Pengadaan 9 bulan sebelum

waktu pelepasan Kebutuhan sumberdaya

dan pelepasan saat paceklik

Hanya terbatas manajemen a. Tenaga kerja

Relatif lebih besar untuk

7 manajemen, tenaga kerja

dan petugas pendamping

Lokasi disesuaikan dengan b. Lahan

Disediakan khusus pada

lokasi tertentu dan relatif

lokasi POKNAK mitra Kebutuhan pembiayaan

tetap

Hanya kantor dan tidak butuh a. 8 Biaya investasi

Kantor, gudang dan sarana

pendukung

gudang

Pengadaan dan pembinaan b. Biaya operasional

Pengadaan dan

penyimpanan stock

kelompok

Kelompok peternak dan 9 Distribusi nilai manfaat internal

Hanya parsial untuk

lembaga sendiri

manajemen BF

Berdasarkan karakteristik masing-masing lembaga terutama terkait pembiayaan maka kemitraan buffer stock secara umum lebih efisien dibanding lembaga penyangga seperti Bulog. Penghematan potensial terjadi pada biaya investasi dan operasional terutama terkait dengan penyimpanan stock. Efisiensi biaya juga akan lebih baik jika dilihat aspek karakteristik stock dimana pada Bulog akibat penyimpanan mengandung biaya penyusutan (depresiasi), sebaliknya pada kemitraan buffer stock Berdasarkan karakteristik masing-masing lembaga terutama terkait pembiayaan maka kemitraan buffer stock secara umum lebih efisien dibanding lembaga penyangga seperti Bulog. Penghematan potensial terjadi pada biaya investasi dan operasional terutama terkait dengan penyimpanan stock. Efisiensi biaya juga akan lebih baik jika dilihat aspek karakteristik stock dimana pada Bulog akibat penyimpanan mengandung biaya penyusutan (depresiasi), sebaliknya pada kemitraan buffer stock

4.1. Model Kelembagaan Kemitraan “Buffer Stock” Salah satu instrumen yang biasa digunakan pemerintah untuk menerapkan

kebijakan stabilisasi harga adalah beberapa bentuk buffer stock yang dijalankan dan dibiayai oleh negara atau organisasi yang ditunjuk. Prinsip dasarnya adalah pelaku ( agency) mempertahankan penjualan maksimum dan pembelian harga minimum dengan menambah stok pasar baik melalui pengadaan domestik maupun impor atau melepaskan persediaan (stok) domestik atau ekspor keluar negeri. Menurut ilmu manajemen berdasarkan fungsinya stock (persediaan) dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu;

a. Lot-size inventory, yaitu persediaan yang diadakan dalam jumlah yang lebih besar dari jumlah yang dibutuhkan pada saat itu dengan tujuan memperoleh efisiensi seperti biaya transportasi per unit.

b. Fluctuation stock, merupakan persediaan yang diadakan untuk menghadapi permintaan yang tidak bisa diramalkan sebelumnya, serta untuk mengatasi berbagai kondisi tidak terduga.

c. Anticipation Stock, yaitu persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan yang dapat diramalkan terutama permintaan tinggi.

Periode atau waktu dan bahkan besaran (kuantitas) peningkatan permintaan daging sapi sudah dapat diprediksi yaitu pada saat hari besar keagamaan seperti Ramadhan, Lebaran (idul Fitri) dan Lebaran Haji (Iduk Adha). Terkait dengan tujuan program stabilisasi harga daging sapi maka jenis anticipation stock lebih sesuai dikembangkan oleh pemerintah.

Pengembangan buffer stock ternak sapi siap potong lebih mudah untuk dijadualkan termasuk waktu pengumpulan dan pelepasan stock ternak sapi untuk kebutuhan operasi pasar. Hal yang masih perlu diperhatikan pemerintah adalah bagaimana mengembangkan program yang mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat terutama pelaku budidaya, efektifitas kontrol terhadap buffer stock tersebut serta efisiensi biaya ditengah keterbatasan anggaran pemerintah daerah serta keberlanjutan program.

Pengembangan kemitraan dengan kelompok peternak menjadi alternatif pilihan terbaik karena memiliki berbagai keunggulan sebagai berikut;

1. Program dapat diintegrasikan dengan upaya pemberdayaan kelompok dan rumah tangga peternak sehingga lebih tepat sasaran.

2. Investasi pemerintah untuk intervensi kebijakan harga pasar merupakan dana abadi dan bahkan dapat berkembang karena memiliki tingkat pengembalian modal positif (positive return of investment).

3. Pengembangan desain sistem yang baik dan terprogram akan menjadi salah satu faktor pendukung kebijakan harga yang lebih berkelanjutan.

4. Pemerintah tidak terbebankan dengan biaya operasional terutama untuk penyimpanan dan penyusutan stock seperti halnya komoditas beras.

5. Kontrol jumlah stock oleh pemerintah lebih terjamin dan dapat digunakan tepat waktu dalam operasi pasar serta menjamin ketersediaan daging yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).

Untuk itu perlu disusun suatu aturan main kelembagaan yang dapat dilaksanakan secara konsisten oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan kemitraan ternak penyangga ( buffer stock). Kerjasama kemitraan untuk stabilisasi harga daging sapi potong melibatkan partisipasi berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu; Untuk itu perlu disusun suatu aturan main kelembagaan yang dapat dilaksanakan secara konsisten oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan kemitraan ternak penyangga ( buffer stock). Kerjasama kemitraan untuk stabilisasi harga daging sapi potong melibatkan partisipasi berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu;

b. Pihak berpartisipasi tidak langsung terdiri dari pihak-pihak lain yang mendukung berkembangnya kemitraan yang tidak tercantum dalam perjanjian kerjasama kemitraan seperti fasilitator, pembinaan dan pemasaran input dan output.

Mekanisme dan peran masing-masing pihak dalam pengembangan kemitraan buffer stock untuk stabilisasi harga daging disajikan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Mekanisme Pengembangan Kemitraan Buffer Stock Sapi Potong

Pemerintah sebagai regulator dan bertanggung jawab dalam menjaga stabilisasi harga daging sapi melalui instansi terkait menyediakan sapi bakalan dan pembinaan dalam usaha penggemukan ternak sapi oleh peternak mitra. Kelompok peternak mitra dalam program buffer stock Pemerintah sebagai regulator dan bertanggung jawab dalam menjaga stabilisasi harga daging sapi melalui instansi terkait menyediakan sapi bakalan dan pembinaan dalam usaha penggemukan ternak sapi oleh peternak mitra. Kelompok peternak mitra dalam program buffer stock

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

FRAKSIONASI DAN KETERSEDIAAN P PADA TANAH LATOSOL YANG DITANAMI JAGUNG AKIBAT INOKULASI JAMUR MIKORIZA ARBUSKULAR DAN BAKTERI PELARUT FOSFAT (Pseudomonas spp.)

2 31 9

Hubungan pH dan Viskositas Saliva terhadap Indeks DMF-T pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Baletbaru I dan Baletbaru II Sukowono Jember (Relationship between Salivary pH and Viscosity to DMF-T Index of Pupils in Baletbaru I and Baletbaru II Elementary School)

0 46 5

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138

Hubungan Kuantitatif Struktur Aktifitas Senyawa Nitrasi Etil P -Metoksisinamat Terhadap Aktivitas Anti Tuberkulosis Melalui Pendekatan Hansch Secara Komputasi

1 34 82

The effectiveness of classroom debate to improve students' speaking skilll (a quasi-experimental study at the elevent year student of SMAN 3 south Tangerang)

1 33 122

Kerjasama ASEAN-China melalui ASEAN-China cooperative response to dangerous drugs (ACCORD) dalam menanggulangi perdagangan di Segitiga Emas

2 36 164

Matematika Kelas 6 Lusia Tri Astuti P Sunardi 2009

13 252 156

The Effect of 95% Ethanol Extract of Javanese Long Pepper (Piper retrofractum Vahl.) to Total Cholesterol and Triglyceride Levels in Male Sprague Dawley Rats (Rattus novergicus) Administrated by High Fat Diet

2 21 50

EFFECT OF THE USE OF STUDENT PERCEPTION COOPERATIVE LEARNING MODEL N UMBER HEAD TOGETHER LEARNING AND MOTIVATION OF CREATIVITY IN LEARNING SOCIAL STUDIES IN SMP NEGERI TUMIJAJAR TULANG BAWANG BARAT ACADEMIC YEAR 2012/2013 P ENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG

2 24 135