ANALISIS PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PN

ANALISIS PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PNS DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

Argo Pambudi, Joko Kumoro

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta e-mail : argopmb@gmail.com, argo_pambudi@uny.ac.id Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta

e-mail : jokokum@uny.ac.id

ABSTRACT

This research is motivated by a deep desire of understanding the changes of policy content of the Limit of Retirement Age of civil servants in the Government of the city of Yogyakarta. Substantive analysis of this research focused on the acceptability of the regulation of the Limit Age of Retirement. The purpose of this study is to contribute to the empowerment of the state apparatus through a intensification of existing civil servants, preventing civil servants who are still productive to leave the bureaucratic structure in earlier - which means a waste of state finances - and to propose alternative arrangements of future policy of retirement age for civil servants. The research method used in this study is a Mixed Methods Analysis, which is a combination of both Survey Method with Qualitative Descriptive research methods. Informants and respondents of this study is the structural and functional officials in the city government that is actually involved in the problems associated with the implementation of this regulatory changes. The results of this research showed that most civil servants who was observed received this new rules, but from the perspective of the municipal government organization this policy raises a number of internal problems, especially problems related to fulfilment structural positions pertaining with limited in number of the existing number of civil servants.

Keywords : Retirement age, civil servants productivity, policy content

1. PENDAHULUAN

ini tentu sangat dibutuhkan negara. Sementara

itu pada saat yang sama garis finish batas usia Usia pensiun merupakan hal yang

pensiun sudah tampak di depan matanya. penting dalam perjalanan karier setiap PNS di

Dalam banyak kasus finish pada usia tertentu jajaran birokrasi pemerintahan. Dibandingkan

itu belum tentu dikehendaki, dan bukan tahap-tahap sebelumnya, seperti rekruitmen,

merupakan tujuan utama PNS yang pembinaan, promosi jabatan, dan lain

bersangkutan pada saat itu. Kondisi ini kiranya sebagainya, tahap memasuki masa pensiun ini

tidak terlalu baik sebagai pemacu prestasi PNS memiliki makna tersendiri. Dari sudut

di akhir masa pengabdiannya. Pada kondisi ini pandang kepentingan PNS yang bersangkutan,

pasti konsentrasi PNS yang usia menjelang pensiun biasanya merupakan

sudah

bersangkutan terpecah dan kontra-produktif. “puncak karier”. Sementara itu dari sudut

Fenomena tersebut sebenarnya bisa dimaknai pandang kepentingan negara, pada saat-saat

sebagai penyalah-gunaan (abuse) atau menjelang pensiun tersebut efektivitas

inefficiency pemanfaatan SDM di jajaran pembinaan PNS dan biaya yang telah

birokrasi, karena puncak pengalaman, puncak dikeluarkan untuk pembinaannya juga sedang

kematangan jiwa, serta puncak keluasan berada pada “posisi puncak”. Artinya, pada wawasan PNS menjelang purna tugas itu tidak

saat-saat itu pengalaman,

dimanfaatkan secara maksimal untuk negara. kematangan mental, serta banyak aspek lain

wawasan,

Usia pensiun yang tidak dikehendaki hasil pembinaan PNS yang bersangkutan

PNS yang bersangkutan bisa berakibat kontra- sedang mencapai puncak efektivitasnya. Hal

produktif bagi pelaksanaan tugas dan fungsi produktif bagi pelaksanaan tugas dan fungsi

Berdasarkan latar belakang inilah maka ide pensiun dari berbagai aspek masih memenuhi

penelitian ini dikembangkan. syarat untuk bisa bekerja dengan baik. Hanya karena peraturan pemerintah sajalah yang

Tujuan dan Urgensi Penelitian memaksa

Penelitian ini bertujuan : (1) pengabdiannya. Memahami secara lengkap dan mendalam Pada 15 Januari 2014 telah disahkan akseptabilitas substantif Peraturan Batas Usia Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Pensiun PNS itu di Lingkungan Pemerintah tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). UU itu Kota Yogyakarta; (2) Mengantisipasi dan antara lain mengatur Batas Usia Pensiun mencegah berubahnya potensi masalah

(BUP) Pegawai Negeri Sipil (PNS). Satu

penerapan peraturan BUP itu menjadi masalah diantaranya yang paling urgent adalah nyata dalam bentuk penurunan produktivitas ketentuan Pasal 90 huruf a yang menentukan bahwa “PNS diberhentikan dengan hormat kerja birokrasi pemerintah ; (3) Menyusun

bahan asistensi untuk pemerintah dalam karena mencapai batas usia pensiun, yaitu 58 menyusun strategi penerapan peraturan BUP tahun bagi Pejabat Administrasi”. Disebut tersebut di lapangan. Kesemuanya itu yang paling urgent karena batas usia pensiun bertujuan agar bisa dicapai peningkatan

58 tahun tersebut merupakan ketentuan yang efektifitas dan produktivitas peraturan BUP paling awal bagi setiap PNS memasuki masa

tersebut.

pensiun dalam keadaan normal atau tanpa Prediksi berubahnya potensi masalah sebab khusus. Sebab khusus yang dimaksud menjadi masalah nyata di kemudian hari adalah meninggal dunia, atas permintaan menyulut interpretasi prediktif bahwa sendiri, perampingan organisasi atau kebijakan peraturan BUP yang tingkat akseptabilitasnya pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini, rendah tidak akan mampu memberdayakan dan dinilai tidak cakap jasmani dan/atau rohani SDM birokrasi secara optimal. Peraturan ini sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan tidak akan berdampak positip pada kewajibannya. Penelitian ini bermaksud ingin peningkatan efektivitas , efisiensi serta mengetahui

bagaimana

Akseptabilitas

peningkatan produktivitas kerja organisasi Substantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS pemerintahan di kelak kemudian hari. Dalam itu di Lingkungan Pemerintah Kota batas-batas tertentu pemberlakukan peraturan Yogyakarta. BUP yang dipaksakan justru bisa kontra- Selain BUP yang 58 tahun itu, pasal

produktif

atau

menjadi penghambat

90 UU No. 5 Tahun 2014 itu juga menentukan pelaksanaan fungsi-fungsi birokrasi yang

2 pengecualian yaitu BUP untuk Pejabat ideal. Dengan penelitian semacam ini Pimpinan Tinggi 60 tahun dan BUP pejabat kekawatiran prediktif tersebut bisa diantisipasi fungsional ditentukan sesuai dengan ketentuan dan dicegah kehadirannya. Inilah urgensi peraturan perundang-undangan (lain) yang

penelitian ini.

berlaku. Oleh karena itu di tingkat

implementasi terdapat banyak variasi,

KAJIAN LETERATUR

diantaranya terlihat pada tabel 1.

Akibat adanya variasi tersebut maka Pada Pemerintah di semua negara dimungkinkan

senantiasa dituntut meningkatkan efektivitas, harmonisan suasana hati yang dikalangan

munculnya

ketidak-

efisiensi dan produktivitas kerja jajaran PNS, yaitu manakala mereka membandingkan

birokrasi-nya. Banyak cara telah diadopsi di dan menilainya sebagai bentuk diskriminasi

lingkungan birokrasi pemerintahan. Banyak oleh si perancang dan pembuat kebijakan BUP

bidang telah digarap untuk memenuhi tuntutan tersebut. Suasana yang tidak harmonis ini lebih

mencakup bidang sering bersifat latent daripada terbuka, karena

birokrasi

tersebut,

organisasi, tata-kerja, pengembangan SDM, doktrin birokrasi yang mengharuskan PNS

dan seterusnya termasuk penyempurnaan taat pada peraturan per-UU-an yang berlaku.

perangkat aturan untuk menjadi pedomannya. Namun

Peraturan Batas Usia Pensiun (BUK) Pegawai dampaknya sudah pasti, yaitu mempengaruhi

Negeri Sipil yang diformalkan dalam perilaku produktif PNS yang bersangkutan,

beberapa pasal UU No. 5 Tahun 2014 kiranya beberapa pasal UU No. 5 Tahun 2014 kiranya

pribadinya secara "tuntas" demi independensi diuraikan konstruksi penjelasan teoritis yang

perjuangan kepentingan umum tersebut. dikembangkan untuk menjawab pertanyaan

Apalagi dalam konteks terkini terdapat dalam rumusan masalah di muka. Materi yang

dinamika kehidupan digunakan diambil dan dikembangkan dari

perubahan

dan

masyarakat yang besar, hingga berakibat teori birokrasinya Weber, teori kebijakan

meningkatnya kebutuhan pribadi PNS yang publik dari Ripley (1985), teori Implementasi

Pertanyaannya adalah, Kebijakan publik dari Merilee Grendle (1991),

bersangkutan.

mampukah keduanya berjalan beriringan Larson, Van Horn dan Mazmanian & Sabatier

melaksanakan ketentuan BUP baru dalam UU (1983).

No. 5 Tahun 2015 tersebut ? Secara lebih operasional, mampukah regulasi BUP baru itu

 Pensiun dan Batas Usia Pensiun (BUP) meningkatkan efektivitas, efisiensi dan Selama kurun waktu lama sebelum terbitnya

produktivitas kerja organisasi pemerintah ? UU ASN usia pensiun PNS di Indonesia

Pertama, dari kacamata personal PNS, berkisar antara 56 sampai dengan 70 tahun,

konsep pensiun ini lazim diartikan sebagai sedangkan di negara barat usia pensiun ada

akhir masa kerja seorang PNS dengan hak dalam kisaran lebih tinggi dari itu. Pada usia

pensiunnya. Bila tanpa hak pensiun pensiun itu secara psikologi perkembangan

pengertiannya tidak disebut dengan istilah seseorang memasuki usia manula atau dewasa

pengunduran diri, akhir (late adulthood). Orang Indonesia pada

pensiun,

seperti

pemberhentian dengan hormat ataupun usia pensiun itu pada umumnya masih dapat

pemecatan. Pengertian pensiun ini juga dikatakan cukup produktif. Meskipun

berakhirnya masa kekuatan fisik seseorang pada masa ini mulai

bermakna

empiris

pengabdian seseorang dalam status PNS menurun, namun pada masa inilah seseorang

dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya. mulai mencapai prestasi puncak baik itu karir,

Dengan berakhirnya status dan jabatan pendidikan dan hubungan interpersonal.

tersebut maka berakhir pula gaji, honorarium Sebagai orang tua, pada umumnya mereka itu

dan berbagai macam tunjangan jabatan yang masih mempunyai tanggung jawab mengasuh

biasa mereka terima. Dihentikannya gaji, anak-anak yang masih remaja ataupun yang

honorarium dan berbagai macam tunjangan itu sudah berkeluarga namun masih belum

berarti pula turunnya besaran pendapatan yang mandiri. Sangat mudah dipahami bahwa pada

selama ini menopang kehidupan mereka. Oleh masa-masa itu sebenarnya masih banyak

karena itu, bagi sementara personalia PNS tantangan bagi PNS untuk memasuki masa

masa pensiun ini bisa merupakan keadaan pensiun dengan tanpa masalah. Terlebih jika

yang mencemaskan – bahkan menakutkan. seorang PNS itu masih harus membiayai

Sebaliknya, bisa pula masa pensiun kuliah anak-anak mereka, padahal dengan

ini menjadi sesuatu yang menyenangkan, status pensiun keadaan keuangan menurun.

menjadi awal "hidup baru" dengan suasana Terdapat beberapa pengertian terkait

dan lingkungan baru, serta dengan dengan konsep pensiun dan batas usia

pekerjaan/penghasilan yang "baru" pula. pensiun ini. Secara empiris maupun normatif

Sering kali masa pensiun ini pensiun memiliki arti yang berbeda-beda,

digunakan sebagai kesempatan untuk minimal tidak sama persis. Pandangan dari

"berpindah" profesi ke bidang lain yang lebih kacamata PNS sebagai individu dan

sesuai dengan hobby dan harapan lama yang pandangan dari kacamata PNS sebagai pejabat

terpendam, profesi yang lebih "bergengsi" birokrasi saja menghasilkan pemahaman yang

ataupun pekerjaan lain yang secara finansial berbeda. Secara normatif, jika seorang PNS itu

lebih menjanjikan penghasilan lebih besar, diangkat menjadi pejabat birokrasi, ia dituntut

atau secara sosial "lebih terhormat" dan lain harus

sebagainya. Banyak fakta bisa membuktikan pribadinya demi menjaga independensi untuk

"menanggalkan"

kepentingan

statemen teoritis ini. Setelah memasuki masa memperjuangkan kepentingan umum. Tidak

pensiun, pegawai negeri – baik PNS, TNI boleh ada konflik kepentingan dalam konteks

maupun Polri – langsung aktif bergabung itu. Sementara itu dalam kenyataan empiris

dengan partai politik, mencalonkan diri pada umumnya, tidak mungkin seorang PNS

menjadi Gubernur, menjadi Bupati/Walikota, menjadi Gubernur, menjadi Bupati/Walikota,

beban rakyat, berimplikasi pada alokasi pos anggota dewan komisaris perusahaan, dan lain

dan penggunaan sebagainya. Jadi artinya masa pensiun ini

pengeluaran APBN

sumberdaya publik lainnya. Oleh karena itu bukan berarti berakhirnya masa produktif

proses penyusunan UU tersebut – mulai dari seseorang. Hanya karena faktor harus menaati

artikulasi ide, perumusan, pembahasan, peraturan per-UU-an saja seorang PNS itu

pengambilan keputusan, proses legitimasi harus pensiun dan meninggalkan struktur

hingga ratifikasinya – tidak hanya melibatkan birokrasi secara lebih awal.

lembaga executive atau pemerintah saja,

namun juga melibatkan lembaga legislative pemerintah

Kedua, dari kacamata birokrasi

memperjuangkan kepentingan publik, konsep Ketentuan BUP dalam UU ASN ini pensiun ini diberi pengertian sebagai

diatur dalam pasal 87 dan 90. Esensiya pelaksanaan peraturan per-UU-an yang terkait

berbunyi bahwa PNS diberhentikan dengan dengan pemberhentian PNS dengan hak

hormat karena mencapai batas usia pensiun pensiun . Pertimbangan utamanya adalah misi

(Pasal 87 ayat 1 huruf c). Batas usia pensiun melaksanakan norma per-UU-an itu, bukan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat pertimbangan

(1) huruf c itu ditentukan : menyelesaikan

a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi dihadapinya . Jadi ada perbedaan motivasi

Pejabat Administrasi ; yang sangat mendasar dan substansial di

b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat antara keduanya. Walau demikian, idealnya di

Pimpinan Tinggi ;

antara keduanya harus seiring dan sejalan,

c. Sesuai dengan ketentuan peraturan saling mendukung serta tidak saling

perundang-undangan bagi Pejabat bertentangan. Dengan kata lain pemecahan

Fungsional .

masalah publik oleh aktor birokrasi harus Memang disamping alasan telah mencapai selalu sesuai dengan peraturan per-UU-an

batas usia pensiun, masih ada lagi beberapa yang berlaku. Penyelesaian masalah publik

alasan lain yang dipergunakan, yaitu oleh aktor birokrasi yang bertentangan dengan

meninggal dunia , atas permintaan sendiri hukum positif merupakan tindakan yang

dengan usia dan masa kerja tertentu, illegal. Walaupun tindakan itu efektif, efisien

perampingan organisasi atau kebijakan dan produktif untuk pemecahan masalah

pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini publik di mata semua pemangku kepentingan.

atau dinilai tidak cakap jasmani dan/atau Bilamana tindakan itu menimbulkan kerugian

rohani sehingga tidak dapat menjalankan negara dan menguntungkan individu birokrasi

tugas dan kewajibannya. Namun alasan-alasan pelaksananya, maka hal itu lazim disebut

lain itu kebanyakan bersifat "forcemajor" dengan

yang tidak bisa diprediksi oleh PNS yang pelaksanaan setiap peraturan per-UU-an harus

istilah korupsi .

Singkatnya,

menjadi kelompok sasarannya. selalu berdampak menyelesaikan masalah

Ketentuan-ketentuan itu harus yang dituju, dan tidak menimbulkan masalah

dilaksanakan oleh semua pihak yang menjadi baru. Ketentuan atau regulasi BUP yang

kelompok sasarannya. Dalam kaitan ini PNS dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 itu

Pejabat Administrasi adalah pihak yang merupakan salah satu content kebijakan

menjadi kelompok sasaran dan sekaligus publik yang harus dilaksanakan untuk

menjadi kelompok pelaksananya (Pasal 90). menyelesaikan masalah aparatur negara dan

Jadi dalam pelaksanaan ketentuan BUP ini tidak memunculkan masalah baru di

rawan terjadi konflik kepentingan antara lingkungannya. kepentingan PNS sebagai individu yang tergabung dalam kelompok sasaran dan

Ketentuan regulatif BUP yang kepentingan rakyat/negara yang hendak dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 2014

direalisir melalui implementasi peraturan BUP tentang Aparatur Sipil Negara itu merupakan

tersebut dan dilaksanakan oleh pemerintah salah satu content kebijakan publik tingkat

atau organisasi birokrasi. negara, bersifat major dan strategis. Artinya,

Banyak kemungkinan bisa terjadi. kebijakan itu mengatur materi berskala

Posisi kepentingan individu PNS – sebagai Posisi kepentingan individu PNS – sebagai

tersebut kurang bisa berjalan seiring dengan kepentingan

meskipun

UU

menguntungkan dirinya. Walaupun tidak publik/pemerintah/ negara – sebagai pihak

peraturan itu tetap yang mengaturnya. Namun bisa pula terjadi,

menguntungkan,

dilaksanakan pada setiap jenjang hierarki kepentingan-kepentingan

organisasi birokrasi. Singkat kata, sesuai sejalan , bahkan bisa bertentangan satu sama

tersebut

tidak

model birokrasi ideal ala Weber, aparatur pada lain. Akibatnya, berpotensi memuncul-kan

setiap jenjang organisasi birokrasi itu banyak masalah pada tahap implementasi

tugasnya "hanya" menjalankan peraturan atau selanjutnya. Bentuk masalah implementasi

ketetapan yang sudah dibuat oleh lembaga dan tingkat kesulitan pemecahannya sangat

legislatif (regeling) dan ketetapan yang sudah bergantung pada kesesuaian maksud, tujuan

dibuat oleh pejabat birokrasi atasannya dan kemampuan kebijakan itu mengakomodir

(beslissing). Artinya pula, tidak ada kreativitas kepentingan-kepentingan tersebut secara

yang dibolehkan "menabrak" aturan dan berkeadilan.

perintah atasan yang sudah ditetapkan secara Kesesuaian

formal tersebut, walaupun secara nyata kepentingan individu dengan kepentingan

(suitable) antara

kreativitas itu bisa lebih mampu memecahkan publik/peme-rintah/negara yang terkandung

masalah publik di lapangan. dalam kebijakan tersebut mutlak diperlukan

Bagaimana kalau kreativitas itu demi tercapainya efektivitas maksimal

datang dari pucuk struktur hierarki organisasi implementasi kebijakan tersebut. Kesesuaian

birokrasi ? Berbicara masalah kreativitas itu tercermin dalam tingkat akseptabilitas

birokrat dalam sistem hierarki birokrasi, substansial (acceptability) atau penerimaan

khususnya birokrat tingkat atas yang memiliki individu kelompok sasaran terhadap materi

kewenangan luas, maka netralisasi birokrat regulasi dalam kebijakan tersebut (able to be

tersebut diuji. Dia harus mendasarkan diri agreed on, able to be tolerated or allowed) .

pada peraturan perundang-UU-an dan tetap Bilamana tidak tercapai kesesuaian antara

netral di atas semua kepentingan subjektif policy statute dengan kepentingan, keinginan

individu dan kelompok yang ada. Namun dan harapan individu PNS kelompok sasaran

demikian birokrasi memiliki kewenangan maka tingkat akseptabilitas mereka akan

melakukan discretion, yaitu keleluasaan menurun. Sebaliknya sikap resistensi mereka

membuat kebijakan manakala menemui kasus akan meningkat.

persoalan publik yang tidak/belum ada aturan penyelesaiannya. Melalui celah inilah

 Akseptabilitas Substantif UU dalam Kontek kreativitas birokrasi mendapat tempat. Birokrasi

Selanjutnya aparatur birokrasi tingkat Nilai kepatuhan pada peraturan per-

bawahan wajib melaksanakan keputusan UU-an (compliant) dan nilai herarkhis dalam

diskresi tersebut secara hierarki. organisasi birokrasi ideal ala Weber sangat

Persoalan baru muncul manakala ada dijunjung tinggi. Misi mengimplementasikan

kepentingan lain, selain kepentingan publik, peraturan per-UU-an dan misi menjalankan

yang mengganggu netralitas birokrasi perintah atasan adalah sumber legitimasi

tersebut, seperti tekanan dari partai politik, aktivitas birokrasi yang lebih utama daripada

masukan dari kelompok kepentingan dan misi memecahkan masalah publik yang

kelompok penekan, dan kepentingan pribadi dihadapi di lapangan. Oleh karena itu

aparat birokrasi itu sendiri dan lain perubahan peraturan yang meng-intervensi

sebagainya. Kreativitas birokrat akan kepentingan aparatur birokrasi itu – seperti

mengarah pada optimalisasi kepentingan siapa halnya perubahan BUP ini – sensitif untuk

yang lebih berkuasa atau kelompok atau dibicarakan. Artikulasi dan aktualisasi beda

personal yang dominan mempengaruhinya. pendapat/ketidak-setujuan

Dalam konteks penelitian ini, kepentingan penolakan – pada sebuah peraturan per-UU-an

– apalagi

individu PNS yang terkena dampak perubahan baru kebayakan bersifat internal saja, tertutup

BUP itu, yaitu Pejabat Administrasi, yang dan tidak muncul di permukaan (latent).

patut diduga bisa menjadi faktor yang Nyaris tidak pernah terdengar berita ada PNS

atau menghambat mengajukan gugatan ke PTUN ataupun

memperlancar

implementasi BUP baru tersebut, tergantung judicial review terhadap peraturan per-UU-an,

pada tingkat akseptabilitas substansialnya.

Struktur penjelasan pelaksanaan group) , ataupun individu aparatur birokrasi itu peraturan per-UU-an dalam kontek organisasi

sendiri. Dengan kontaminasi itu, birokrasi birokrasi di atas menghasilkan proposisi

efektif mengakomodasi sebagai berikut :

akan

tidak

kepentingan umum dan berubah menjadi alat Akseptabilitas formal peraturan per-UU-an itu

kekuasaan, alat politik dan/atau alat bagi relatif

mudah

individu birokrat yang berpengaruh untuk akseptabilitas substansialnya lebih sulit

terjaga,

sedangkan

memperjuangkan kepentingannya. didapatkan, karena merupakan respon

Dari penjelasan di atas dapat ditarik individual, bagian inhern dari kebebasan

makna bahwa kebijakan publik yang bersikap setiap individu birokrat. Oleh karena

perdebatan pendapat itu akseptabilitas substansial ini bisa sangat

mengandung

mengandung perbedaan bervariasi, tergantung pada seberapa besar

(debatable) ,

kepentingan (conflict of interest) dan tidak kemampuan peraturan

mampu mengakomodasi dan menyatukan mengakomodasi

per-UU-an

itu

banyak kepentingan yang terlibat maka individu tersebut. Jadi artinya, substansi

kepentingan

individu-

tingkat acceptability-nya akan rendah pula – norma regulatif peraturan per-UU-an itu bisa

minimal tidak diterima sepenuhnya oleh diterima dan bisa pula ditolaknya. Idealnya,

pejabat birokrasi (pelaksana) dan oleh tingkat

kelompok sasarannya. Oleh karena itu substansialnya itu sama-sama tinggi. Bila hal

efektivitas implementasinya bisa diprediksi ini terwujud maka pada tahap implementasi

tidak akan maksimal. Maksud, tujuan dan berikutnya akan mendapatkan dukungan

kebijakan yang maksimal dari semua individu yang

bahkan

semangat

diimplementasikan tidak akan tercapai sesuai menerima. Artinya tidak akan muncul masalah

dengan yang diharapkan para pembuatnya. yang terkait dengan variabel ini. Kondisi

Dari aspek proses implementasinya, seperti ini sangat ideal dan menjadi harapan

substansi kebijakan yang masih dalam semua pihak. Namun sebaliknya, apabila

perdebatan – terbuka maupun latent – itu akan akseptabilitasnya substansialnya rendah, maka

dilaksanakan tidak dengan sepenuh hati. akseptabilitas formalnya akan cenderung

Dalam kondisi seperti ini tidak akan tumbuh bersifat formalitas belaka. Pada kondisi

semangat memecahkan realitas masalah seperti ini tingkat kepatuhan cenderung

publik sasaran kebijakan tersebut secara lebih bersifat "semu", perilaku pelaksananya

efektif dan lebih efisien. Kegiatan pelaksanaan cenderung bersifat mekanistis atau prosedural

cenderung minimalis, "mengalir" hanya belaka. Para pelaksana hanya sekadar

sekedar melaksanakan aturan tertulis sebagai menjalankan peraturan saja, tidak peduli

tugas normatif birokrat saja. Proses ini bisa apakah pelaksanaan aturan itu efektif, efisien,

menjadi indikator yang menunjukkan berkeadilan dan produktif bagi pemecahan

produktivitas aparatur birokrasi itu stagnant, masalah publik yang dituju oleh peraturan per-

tidak meningkat, dan bahkan bisa menurun. UU-an itu atau tidak. Improvisasi nilai dan norma perilaku akan beku dan seolah-olah

 Harmoni Kepentingan sebagai Faktor mati. Norma yang sifatnya soft tidak tertulis –

Determinan Akseptabilitas Substantif UU yang sifatnya memang tidak bisa ditulis secara definitif – seperti nilai kewajaran, nilai etika,

logika deduktif konvensi,

Berdasarkan

hubungan sebab-akibat yang terurai di atas, persoalan publik yang dihadapi, nilai-nilai

dapat ditarik kesimpulan tentatif bahwa kearifan lokal dan lain sebagainya tidak

rendahnya akseptabilitas substansial contents digunakan sebagai pertimbangan dalam

UU itu ditentukan oleh banyaknya menjalankan tugas-tugas birokrasi.

kepentingan yang tidak harmonis dan tidak Keadaan bisa menjadi lebih parah lagi

terakomodasi oleh kebijakan itu sendiri. manakala di tubuh birokrasi itu sendiri – yang

Semakin banyak kepentingan yang tidak seharusnya

semakin besar terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan

kemungkinan ketidak-harmonis hubungan lain yang disusupkan oleh pihak tertentu,

terjadi, yaitu antara UU itu dengan kelompok seperti partai politik, kelompok kepentingan

kepentingan yang menjadi sasarannya. (interest group) , kelompok penekan (pressure

Dengan demikian dukungan terhadap Dengan demikian dukungan terhadap

semangat si pembuat UU yang sudah given kemungkinan

tersebut. Statemen bahwa setiap kebijakan mempersoalkan efektivitas pasal-pasal dalam

munculnya

perdebatan

publik itu akan bias pada kepentingan si peraturan perundang-undangan itu, bagaimana

arsitek kebijakan itu sendiri . Akan terjadi kemampuan UU itu memecahkan masalah

kapan saja dan dimana saja. Tidak mungkin yang disasar, bagaimana UU itu menciptakan

kebijakan yang dibuat itu nantinya justru rasa keadilan, menumbuhkan semangat

merugikan kepentingan aktor pembuatnya kebersamaan dan menumbuhkan semangat

sendiri, kecuali ada tekanan atau kontrol dari kerja PNS, dan lain sebagainya. Dalam

pihak lain yang lebih berkuasa. kondisi given yang harus segera dilaksanakan,

Terkait dengan pelaksanaan regulasi yaitu ketika RUU sudah disetujui DPR dan

BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 – sebagai sudah disahkan oleh presiden, maka akan

salah satu bentuk kebijakan publik – rumusan berakibat munculnya masalah derivatif yang

materi UU itu akan diinterpretasikan dan berupa sikap yang tidak mendukung dan

dijabarkan sesuai dengan kepentingan banyaknya perilaku "terpaksa"

subjektif setiap implementornya, sementara menjalankan tugas demi ketaatan pada

dalam

itu kepentingan publik yang seharusnya lebih peraturan perundang-UU-an dan perintah

dikedepankan justru terabaikan. Namun, atasan khas birokrasi. Demikianlah maka

karena keterbatasan kodifikasi hukum positif, sudah barang

maka batasan interpretasi yang subjektif ini produktivitas aparatur birokrasi menjadi

Antara tindakan stagnant , tidak meningkat, dan bahkan

sering

kabur.

memperjuangkan kepentingannya dengan menurun walau tidak melanggar UU.

patuh pada aturan hukum sering sulit dibedakan dan bersifat "abu-abu". Dalam

 Perbedaan Interpretasi karena Perbedaan konteks ini pemahaman hanya dengan Kepentingan

pendekatan hukum formal saja sering Keadaan yang lebih parah bisa terjadi

menemui kegagalan. Hanya logika, etika dan bilamana perbedaan kepentingan itu berlanjut

moral yang dipahami masyarakat saja yang hingga menyulut perbedaan interpretasi di

mampu membedakannya, namun hal ini sering kalangan mereka yang terlibat dalam proses

tidak diakomodasi secara hukum. Sebaliknya, implementasi kebijakan. Statemen ini

kepentingan pribadi birokrat dan kepentingan merupakan generalisasi bebas dari pendapat

lain yang merasa dirugikan justru dimasukan Charles O. John yang mengatakan bahwa

melalui berbagai celah kelemahan hukum setiap kebijakan publik itu akan bias pada

positif tersebut. Bentuk akomodasi dari kepentingan si arsitek kebijakan itu sendiri

kepentingan ini bisa dimasukkan dalam (John : 1984). Dalam konteks kebijakan publik

peraturan per-UU-an lain yang secara yuridis yang sudah given, sebagaimana pasal 90 UU

tidak melanggar isi kebijakan yang sudah No. 5 Tahun 2014 ini, bias kepentingan akan

given tersebut. Misalnya dituangkan dalam terjadi pada pembuatan kebijakan di tahap

UU yang lain, RUU perubahan yang implementasinya

diusulkan, Perpu, PP, Kepres, Kepmen, dan interpretasi substansi kebijakan awal tersebut. peraturan pelaksana lainnya.

Kepentingan adalah fungsi dari sikap, Berhadapan dengan kepentingan dan selanjutnya sikap tersebut tercermin

partai politik, kelompok kepentingan dan dalam tindakan yang dilakukan oleh setiap

kelompok penekan dalam masyarakat dalam orang atau lembaga. Jadi sikap dan tindakan

konteks ini, netralitas birokrasi menghadapi mereka yang terlibat bisa menjadi faktor

ujian berat. Terkadang birokrasi sebagai pendukung dan bisa juga justru menjadi faktor

lembaga, dan/ataupun sebagai individu, susah penghambat proses implementasi. Tergantung

sekali untuk bertindak netral karena desakan pada kepentingan apa yang terkait dengan

kepentingan-kepentingan itu. substansi UU itu. Bilamana dipandang

Meminjam teori perilaku dan "merugikan", penjabaran pasal-pasal dalam

partisipasi politik, dimana perilaku politik UU itu akan cenderung bias – lebih tepatnya

dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dibiaskan – ke arah optimalisasi kepentingan

pembuatan dan pelaksanaan subjektif pelaksananya. Jadi ada kemungkinan

dengan

keputusan politik (Surbakti, 1992), maka keputusan politik (Surbakti, 1992), maka

untuk mengakomodasi kepentingan lain yang salah satu aktor dalam proses pembuatan

selama kurun waktu sebelumnya merasa kebijakan politik tersebut. Dalam kaitan ini

terpinggirkan.

yang dimaksud dengan kebijakan politik tersebut adalah UU No. 5 Tahun 2014 tentang

- Faktor-faktor yang Memepengaruhi Aparatur Sipil Negara. Dirancang dan disusun

Keberhasilan Kebijakan Publik dalam forum legislasi, disetujui oleh DPR dan disahkan oleh Presiden (aktor politik).

Terdapat banyak faktor atau variabel Sedangkan kelompok sasaran UU itu adalah

yang bisa mempengaruhi keberhasilan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai institusi

kebijakan publik semacam peraturan BUP pelaksana UU dan hampir semua keputusan

dalam UU No. 5 Tahun 2014 ini – lihat politik pada umumnya. Demikianlah maka

Gambar 1 di bawah ini dan beberapa tabel birokrasi pemerintah dimana saja memiliki

Menurut Grindle (1980) peran sentral dalam melaksanakan peraturan

berikutnya.

efektivitas atau keberhasilan setiap kebijakan per-UU-an semacam ini. Di sisi lain, peluang

publik itu ditentukan oleh 2 kelompok melakukan interpretasi “lain” atau “berbeda”

variabel, yaitu variabel-variabel yang dengan maksud, tujuan dan semangat si

tergabung di dalam kelompok policy content pembauat UU itu – karena kepentingan yang

dan kelompok policy context. Lihat gambar berbeda – sangat mudah dilakukan. Hal ini

berikut ini.

Gambar 1 : Kelompok Variabel yang mempengaruhi Keberhasilan Kebijakan Publik

Peraturan Batas Usia

Pensiun PNS

Variabel Kebijakan (Policy content) :

- Materi Kebijakan -

Variabel Implementasi

Kebijakan

Keberhasilan Kebijakan Publik Merealisir Tujuannya

Variabel Lingkungan Kebijakan (Policy context)

Sumber : Grindle (1980)

Selanjutnya variabel policy content itu bisa (kebijakan awal) dan target (objectives), dijabarkan lebih lanjut ke dalam variabel-

Presisi dan kejelasan sasaran, dan Teori variabel yang lebih kongkrit, yaitu ketidak-

hubungan sebab-akibat atau teori kausal yang jelasan konsep yang dipakai dalam pasal-pasal

dipakai. Selengkapnya bisa dilihat dalam tabel kebijakan tersebut (vague), tujuan yang tidak

rangkuman teori berikut ini realistis, kontradiksi antara policy studs

Variabel Kebijakan :

Larson Van Horn

Mazmanian & Sabatier

1. Ketidak-

1. Presisi dan kejelasan sasaran jelasan

1. Clarity

2. Kontradiksi antara

2. Teori hubungan sebab-akibat atau teori

(Vague) policy studs (kebijakan

kausal yang dipakai

2. Tujuan

awal) dan target

yang tidak

(objectives)

realistis

3. Spesifikasi prosedur

Variabel Lingkungan (context) Implementasi :

Larson

Edward

Mazmanian & Sabatier

Perubahan lingkungan

1. Variasi hukum ekonomi

Komunikasi

1. Transisi

2. Perhatian media massa

2. Kejelasan

3. Dukungan publik

3. Konsistensi

4. Jumlah dukungan dan sumber

daya

5. Dukungan “penguasa”

Sumber : Mazmanian & Sabatier (1983 : 22), dengan adaptasi penyajian

Materi teori kebijakan tersebut di atas kiranya perpaduan antara metode penelitian analisis bisa untuk menjelaskan tingkat akseptabilitas

deskriptif kualitatif dan metode survai kebijakan pembatasan usia pensiun di

(kuantitatif). Pengumpulan data kualitatif kalangan Pegawai Negeri Sipil yang menjadi

dilakukan dengan menggunakan teknik obyek penelitian ini. Dalam pelaksanaan

wawancara mendalam terhadap para pejabat penelitian ini nanti teori tersebut akan

struktural dan fungsional di lingkungan dikembangkan sedemikian rupa menjadi

Pemerintah Kota yang benar-benar mengalami instrumen

masa-masa terkait dengan implementasi mengetahui

peraturan perubahan batas usia pensiun ini. Di akseptabilitas peraturan BUP PNS di

samping itu metode wawancara juga lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta.

digunakan sebagai sarana cross check dengan Akan dijawab juga pertanyaan apakah

data lain yang validitasnya perlu diperkuat penerimaan – atau penolakan – peraturan batas

lagi.

usia pensiun itu disebabkan oleh policy Analisis data kuantitatif (hasil survai) content yang kurang pas.

dilakukan dengan metode analisis statistik deskriptif

untuk kemudian diinterpretasikan

3. METODE PENELITIAN

dan disimpulkan hasilnya. Untuk aspek-aspek yang tidak mampu dijelaskan dengan

a. Desain Penelitian instrumen survai ini ditindak-lanjuti dengan Penelitian

ini dilaksanakan

dengan

menggunakan metode penelitian analisis menggunakan mix methods analysis, yaitu deskriptif-kualitatif. Di samping untuk menggunakan metode penelitian analisis menggunakan mix methods analysis, yaitu deskriptif-kualitatif. Di samping untuk

tiganya kemudian dipadukan sebagai sarana melengkapi aspek-aspek pemahaman yang

crosscheck validitas data yang terkumpul. tidak mampu dijangkau metode penelitian

Teknik wawancara mendalam digunakan survai. Karena pada dasarnya berlaku asumsi

untuk mengumpulkan data yang bersifat bahwa tidak semua aspek dalam kehidupan ini

kualitatif, yang berupa deskripsi tentang bisa dijelaskan dengan metode kuantitatif.

berbagai bentuk persoalan terkait dengan BUP Selanjutnya, penjelasan-penjelasan kualitatif

ini. Informan yang dijadikan nara sumber tersebut juga digunakan untuk lebih

adalah Kepala Badan Kepegawaian Daerah “menghidupkan” hasil interpretasi dan

Pemerintah Kota Yogyakarta dan beberapa pemaknaan hasil survai sebelumnya.

personalia PNS yang terlibat langsung terkait dengan pelaksanaan peraturan baru tentang

b. Populasi dan Sampel Penelitian

BUP ini.

Populasi penelitian ini adalah seluruh PNS non-guru di lingkungan organisasi pemerintah

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kota Yogyakarta tahun 2014, sebesar 4.184 orang. Ppengambilan sampel ditentukan secara

Hasil penelitian ini dibedakan ke dalam 2 Propotionate Stratified Random Sampling.

kelompok, yaitu temuan yang terkait dengan Cara ini dilakukan dengan pertimbangan

konten normatif BUP dalam UU No. 5 tahun kondisi satuan elementer dalam populasi

2014 dan akseptabilitas substantif di tingkat tersebar di banyak unit organisasi dengan

lapangan yang menjadi prasyaratnya. lokasi geografis yang tidak beraturan. Ada yang berada di Balai Kota sebagai kantor pusat

A.

dan ada pula yang berada di kantor dinas, di Norma BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014

kantor kecamatan, kelurahan dan sebagainya.

1. Konsep yang Terlampau Operasional : Oleh karena itu pengambilan sampel di kantor Menutup ruang diskresi pemecahan pusat saja, atau di kantor kecamatan saja

masalah

kurang representatif. Maka dari itu Regulasi BUP yang dituangkan dalam pengambilan

UU No. 5 Tahun 2014 merupakan kebijakan Propotionate Stratified Random Sampling

publik level negara. Proses penyusunan hingga adalah yang paling tepat. Mengenai ratifikasinya tidak hanya melibatkan lembaga keseluruhan jumlah satuan elementer sampel executive (pemerintah) saja, tetapi juga ditentukan

melibatkan DPR sebagai lembaga legislative Perinciannya dari Balai Kota 20 responden dan yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. dari masing-masing kecamatan 10. Kota Kebijakan level negara ini direncanakan Yogyakarta memiliki 14 kantor kecamatan, mengikat semua WN di semua daerah dan di yaitu : Danurejan,

Gedongtengen,

semua sektor di seluruh wilayah hukum Gondokusuman,

Gondomanan,

Jetis,

Republik Indonesia. Oleh karena itu menuntut Kotagede, Kraton, Mantrijeron, Mergangsan, sifat yang general, mayor, konsepsual dan Ngampilan,

Pakualaman,

Tegalrejo,

strategis di tingkat nasional. Dengan kata lain Umbulharjo

kebijakan ini lebih banyak menuntut format keseluruhan responden minimal 160 itu regulasi dan definisi konsep dengan tingkatan dipandang telah representatif. abstraksi yang tinggi dan berfungsi strategis di

c. Teknik Pengumpulan Data operasional yang spesifik. Fakta temuan Pengumpulan data penelitian ini dilakukan penelitian ini menunjukkan bahwa rumusan menggunakan teknik menyebar daftar regulasi BUP dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 pertanyaan (kuesioner) kepada responden ini terlampau operasional dan terlampau sampel yang sudah dijelaskan di atas. teknis. Pasal 90 UU itu mengatur BUP dengan Selanjutnya, untuk data yang tidak mungkin

tingkat nasional, daripada format teknis

dikumpulkan melalui daftar pertanyaan – sampai dengan menyebut

cara sangat teknis

angka BUP secara definitif, yaitu : 58 (lima pengumpulannya

dilakukan

dengan

puluh delapan) tahun bagi Pejabat menggunakan teknik wawancara lapangan Administrasi , 60 (enam puluh) tahun bagi secara langsung dengan informan, serta telaah Pejabat Pimpinan Tinggi dan sesuai dengan puluh delapan) tahun bagi Pejabat menggunakan teknik wawancara lapangan Administrasi , 60 (enam puluh) tahun bagi secara langsung dengan informan, serta telaah Pejabat Pimpinan Tinggi dan sesuai dengan

Pasal 87 – UU No. 5 Tahun 2014 : bagi Pejabat Administrasi dan Pejabat

(1) PNS diberhentikan dengan hormat Pimpinan Tinggi dalam UU ini kurang tepat,

karena:

karena menutup peluang diskresi untuk

a. meninggal dunia;

penyelesaian persoalan khusus atau unik dan

b. atas permintaan sendiri; persoalan-persoalan lain yang unpredictable

c. mencapai batas usia pensiun; yang membutuhkan ketentuan di luar batas

d. perampingan organisasi atau kebijakan definisi konsep ketentuan tersebut. Oleh

pemerintah yang mengakibatkan pensiun karena itu pasal ini berpotensi memunculkan

dini; atau

masalah implementasi di lapangan dan

e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani mendorong munculnya pelanggaran terhadap

sehingga tidak dapat menjalankan tugas substansi pasal 90 itu sendiri.

dan kewajiban.

Dibandingkan dengan UU No. 8 Tahun 1974, norma BUP dalam UU No. 5

Pasal 23 – UU No. 8 Tahun 1974 : Tahun 2014 menggunakan batasan yang lebih

(1) Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan ketat dan lebih operasional. Batasan yang lebih

dengan hormat, karena : ketat dan operasional ini membuat ketentuan

a. permintaan sendiri; itu bisa langsung dilaksanakan tanpa harus

b. telah mencapai usia pensiun; menunggu terbitnya peraturan pelaksananya.

c. adanya penyederhanaan organisasi Dengan kata lain format aturan BUP dalam

Pemerintah;

UU itu memberikan ruang gerak yang lebih

d. tidak cakap jasmani atau rohani sehingga terbatas bagi para pelaksananya ketika mereka

tidak dapat menjalankankewajiban harus membuat keputusan yang “berbeda”

sebagai Pegawai Negerl Sipil. dengan definisi ketat aturan UU itu. . Tidak ada lagi variasi aturan pelaksanaan yang bisa

Perhatikan tidak digunakannya kata "dapat" ditemui. Tidak ada lagi "tawar-menawar" dan

dalam pasal 87 UU No. 5 Tahun 2014 tersebut. kompromi di tahap implementasi – walau

Bandingkan hal yang sama dengan pasal 23 mungkin ada pertimbangan lain yang lebih

UU No. 8 Tahun 1974 tersebut. Dalam pasal urgent . Di satu sisi ketentuan hukum yang

23 UU No. 8 Tahun 1974 itu didapati ketat ini lebih baik karena menciptakan

ketentuan yang sifatnya pilihan (option). kepastian hukum yang seragam dan mudah

Penggunaan kata “dapat" menunjukkan dilaksanakan, namun di sisi lainnya sistem

bahwa UU No. 8 Tahun 1974 itu masih regulasi menjadi tidak flexible. Mandul ketika

memberikan alternatif keputusan lain yang menghadapi kasus unik atau khas, di luar

dianggap perlu, yaitu bilamana ada prediksi para pembuat kebijakan publik itu.

pertimbangan yang lebih urgent pada tahap Fakta empiris persoalan yang berkembang di

implementasinya.

lapangan itu bisa tidak seragam, bisa memiliki ke-khas-an

2. Mencapai BU sebagai Alasan keanekaragaman persoalan lapangan yang

tersendiri.

Menghadapi

Pemberhentian PNS : Tidak berdampak seperti ini, pola pengaturan yang detail akan

langsung pada peningkatan efektivitas tidak berdaya dan bahkan kontra-produktif,

pelaksanaan tugas

dan bisa jadi memunculkan masalah baru. Pola Pasal 87 ayat (1) UU ASN pengaturan yang detail dalam UU itu tidak

menyatakan bahwa PNS diberhentikan memberikan keleluasaan bagi pejabat

dengan hormat karena 5 alasan, yaitu : (a) pelaksananya di lapangan untuk mengambil

meninggal dunia; (b) atas permintaan sendiri; keputusan khusus (discretion) bilamana harus

(c) mencapai batas usia pensiun; (d) mengatasi persoalan publik yang urgent dan

perampingan organisasi atau kebijakan membutuhkan penanganan khusus pula.

pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; Rumusan definitif ketat tentang BUP bisa

(e) tidak cakap jasmani dan/atau rohani ditemukan dalam Pasal 87 ayat (1) UU No. 5

sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan Tahun 2014 – dibandingkan dengan Pasal 23

antara alasan-alasan ayat (1) UU No. 8 Tahun 1974 sebagai berikut

kewajiban.

Di

pemberhentian dengan hormat tersebut, alasan :

mencapai batas usia pensiun adalah satu- mencapai batas usia pensiun adalah satu-

masa pensiun berdasarkan faktor usia sebagai pekerjaan

Seharusnya perlu Selanjutnya pada Pasal 90 batas usia pensiun

dipertimbangkan pula faktor kemampuan (BUP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87

tugas pekerjaan secara ayat (1) huruf c itu ditentukan secara definitif

melaksanakan

simultan. Apa urgensi ditetapkannya batas usia

58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat pensiun itu secara definitif ? pertanyaan ini Administrasi,

60 (enam puluh) tahun bagi tidak bisa dijawab dari sisi peningkatan

efektivitas organisasi. Persoalan yang disasar ketentuan peraturan perundang-undangan bagi

Pejabat Pimpinan dan sesuai dengan

oleh perubahan BUP UU ini tidak jelas. Pejabat Fungsional . Dengan aturan definitif itu maka tertutup kemungkinan pemberlakuan

3. Regulasi BUP dalam Format UU Kurang BUP di luar ketentuan umur tersebut kecuali

Responsif terhadap Dinamika Persoalan ditentukan lain dengan peraturan yang

Regulasi BUP bagi PNS dalam UU setingkat atau yang lebih tinggi. Minimal harus

No. 5 Tahun 2014 ini tergolong sedikit. menggunakan PERPU atau UU yang lain.

Substansinya hanya termuat dalam 3 pasal Selanjutnya, PNS yang tidak menduduki

saja, yaitu pasal 87, 90 dan 91. Bila jabatan tertentu sebagai Pejabat Administrasi,

dibandingkan dengan UU yang digantikannya, Pejabat Pimpinan dan Pejabat Fungsional

yaitu UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok- tidak diatur dalam UU ASN ini.

pokok Kepegawaian – dan perubahannya – Aturan BUP itu tidak terkait secara

porsi tersebut sudah jauh lebih besar. Namun, langsung dengan efektivitas pelaksanaan tugas

besarnya porsi tersebut tidak menunjukkan PNS karena faktor kemampuan SDM PNS dan

perluasan substansi yang diaturnya, namun efektivitas pelaksanaan tugas PNS itu tidak

“hanya” berisi penjabaran ketentuan BUP selalu berkorelasi langsung dengan faktor

menjadi lebih detail. Singkatnya, pasal 90 dan usia , namun lebih banyak ditentukan oleh

91 itu hanya merupakan pelengkap untuk faktor lain, seperti faktor kesehatan, faktor

pelaksanaan pasal 87 saja. motivasi dan semangat kerja, dan lain

Selanjutnya, dipadu dengan tingkat sebagainya. Jadi bisa saja seorang PNS itu

abstraksi definisi konsep yang digunakannya sudah mencapai BUP namun masih produktif,

(sangat operasional) maka perpaduan ini sebaliknya ada pula seorang PNS berusia

memunculkan potensi relatif muda, masih jauh dari BUP namun

berkonsekuensi

masalah di tingkat implementasi. Bandingkan sakit-sakitan sehingga tidak mampu lagi

dengan norma BUP dalam UU No. 8 Tahun bekerja dengan baik. Oleh karena itu,

1974. Pada pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974 itu dihadapkan pada persoalan seperti ini UU No.

jelas terlihat bahwa BUP tersebut tidak diatur

5 Tahun 2014 itu akan menghadapi masalah secara rinci . Pada pasal-pasal lain dan implementasi. Ujung-ujungnya pelaksanaan

tidak ditemukan peraturan BUP secara konsisten tidak

penjelasannya

juga

perinciannya. Satu-satunya pasal dalam UU itu berdampak pada peningkatan efektivitas dan

yang relevan dan merupakan kelanjutan dari efisiensi pelaksanaan substansi tugas-tugas

norma BUP pasal 23 tersebut adalah pasal 36. pemerintahan dan pembangunan. Namun

Secara lengkap berbunyi : "Perincian tentang hanya sekedar melaksanakan peraturan yang

hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 5 sampai bersifat prosedural saja. Oleh karena itu

dengan Pasal 35 Undang-undang ini diatur peningkatan kinerja organisasi pemerintahan

lebih lanjut dengan peraturan perundang- (birokrasi) tidak bisa diharapkan dari

undangan". Singkatnya, format regulasi BUP pelaksanaan ketentuan BUP ini.

yang terkandung dalam UU No. 8 Tahun 1974 Selanjutnya, pelaksanaan regulasi

itu memiliki tingkat abstraksi yang tinggi. Pola BUP semacam ini bisa pula dikategorikan

pengaturan BUP seperti ini memiliki bertentangan dengan kaidah profesionalisme

keunggulan inherent di dalamnya, yaitu tidak PNS. Usia produktif setiap orang itu berbeda-

mudah usang atau ketinggalan jaman karena beda, tergantung faktor kesehatan – baik

lebih mampu menyesuaikan diri dengan kesehatan fisik maupun mental – dan

dinamika, perubahan bentuk dan struktur kesanggupan/komitmen

disasar melalui bersangkutan untuk bekerja. Jadi dengan

peraturan pelaksanaannya

(Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden peraturan BUP dalam UU itu dilaksanakan atau peraturan pelaksanaan yang lainnya).

melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Peraturan pelaksana UU itu dibuat belakangan,

Presiden (Perpres), Keputusan Presiden dan sekaligus bisa berfungsi sebagai instrumen

(Kepres) dan Peraturan Menteri (Permen), untuk merespon munculnya variasi masalah

maksud, tujuan serta semangat regulatif dalam yang unpredictable di lapangan tanpa

UU No. 8 Tahun 1974 itu tetap terjaga. melanggar pasal, semangat dan tujuan UU itu. Disamping itu, peraturan pelaksana UU itu

5. Norma Regulasi BUP Tidak Terkoordi- juga bisa dijadikan instrumen untuk memenuhi

nasi, Tidak Terintegrasi dan Overlap kelengkapan pemecahan masalah sesuai

Paling tidak, terlihat 3 pola kebutuhan yang merupakan bagian integral

permasalahan yang perlu dicatat terkait dengan dari dinamika, bentuk dan pola unpredictable

aturan BUP PNS sebelum lahirnya UU No. 5 problem pada saat penyusunan UU tersebut. Tahun 2014 itu, yaitu : (a) Penyusunannya yang tidak terintegrasi, (b) Terdapat overlap

4. Regulasi BUP dalam Bentuk UU : Sulit pengaturan BUP di tingkat UU, dan (c) dilakukan amandemen Pengaturan BUP kebanyakan bersifat

ad hoc Sebagaimana telah dikemukakan di

yang dipermanenkan – hasil perpanjangan atas, bahwa UU itu adalah salah satu bentuk

aturan utama. Sementara itu UU No. 5 Tahun kebijakan publik level negara , dimana proses

2014 tidak khusus ditujukan untuk mengatasi penyusunan hingga ratifikasinya tidak hanya

persoalan tersebut.

melibatkan lembaga executive saja, tetapi juga Selain diatur dalam UU Nomor 5 melibatkan DPR sebagai lembaga legislative.