Analisis Kasus Lumpur Lapindo dari Persp

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peristiwa Lumpur Lapindo merupakan peristiwa menyemburnya lumpur
panas yang terjadi di lokasi pengeboran Lapindo Brantas tepatnya di Dusun
Balongnongo, Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Peristiwa
Lumpur Lapindo ini sudah terjadi sejak tanggal 29 Mei 2006 dan sudah
mengakibatkan berbagai kerugian fisik, seperti tergenangnya kawasan pemukiman
sekitar lokasi pengeboran yang semakin lama semakin luas, selain itu kawasan
pertanian dan perindustrian juga tergenang lumpur. Kerusakan itu meliputi wilayah
di tiga kecamatan di sekitar Lumpur Lapindo dan telah mengganggu segala
aktivitas kehidupan masyarakat di sekitar porong pada khususnya dan masyarakat
di Jawa Timur pada umumnya.
PT Lapindo melaui PT Minarak Lapindo Jaya sampai pada bulan Mei 2009
telah melakukan berbagai upaya penyelesaian masalah ini, seperti memberikan
uang sebagai ganti tanah untuk masyarakat, juga untuk membuat tanggul dengan
biaya sebesar enam triliun.
Pada tahun 2007 WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) sebagai sebuah
organisasi lingkungan hidup mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan atas kasus Lumpur Lapindo ini.


Makalah ini akan membahas

mengenai gugatan perdata yang diajukan leh WALHI kepada Lapindo apakah sudah
tepat dalam hal dalil-dalil yang diungkapkannya.
Selain dari kasus Lumpur Lumpur Lapindo makalah ini juga akan
membahas mengenai kasus kelongsoran yang terjadi di sekitar kawasan hutan
lindung dan hutan produksi yang terletak di sekitar gunung Mandalawangi, Jawa
Barat. Peristiwa tersebut digugat oleh sekelompok masyarakat dalam bentuk class
action yang menggugat Direksi Perum Perhutani, Pemerintah Daerah Tingkat I
Provinsi Jawa Barat dan Menteri Kehutanan dengan alasan karena peristiwa
kelongsoran tersebut terjadi akibat kelalain para tergugat. Karena para tergugat
tidak menjalankan fungsinya dengan baik, terutama tergugat I yang tidak
melakukan

pengelolaan

hutan

sebagaimana


mestinya

sehingga

hutan

Mandalawangi ini mengalami kemiringan lahan dan tidak mampu lagi menahan
curah hujan yang ada. Karena kondisi tersebut pada akhirnya terjadi kelongsoran
1

tepatnya pada tanggal 28 Januari 2003 dan telah menimbulkan kerugian bagi
masyarakat sekitar.
Makalah ini akan membahas mengenai gugatan perdata yang diajukan oleh
para para penggugat, dengan menitikberatkan apakah dalil-dalil yang diungkapkan
oleh penggugat ini sudah sesuai dengan teori dan peraturan perundang-undangan
yang ada ataukah belum sesuai.
B. Perumusan Masalah
1. Sudah tepatkah penafsiran

penggugat,


tergugat,

dan

hakim

terkait

2.

precautionary principle ?
Sudah tepatkah penggugat menggunakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

3.

dan Strict Liability dalam kasus tersebut?
Sudah tepatkah dalil dan pembuktian yang diajukan oleh penggugat ketika

4.

5.

menggunakan PMH dan strict liability?
Sudah tepatkah hakim menafsirkan PMH dan strict liability?
Bagaimana penafsiran dan pertimbangan hakimterkait penggunaan dalih

6.

bencana alam dalam kasus Mandalawangi?
Bagaiamana penafsiran dan pertimbangan hakim terkait penggunaan dalih

7.
8.

bencana alam dalam kasus Walhi vs. Lapindo?
Penafsiran dan pertimbangan hakim dalam kasus apa yang lebih tepat/baik?
Jika dalam kasus Walhi vs. Lapindo hakim menggunakan ketentuan mengenai
pertanggungjawaban perdata menurut UU No. 23 tahun 2009, bagaimana
kemungkinan putusannya?


BAB II
ISI
A. Kasus Posisi
Putusan Kasus Lapindo Brantas.
Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo,
adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo
Brantas Inc, sebuah perusahaan yang dididrikan berdasarkan hukum negara
Deware, Amerika Serikat. Peristiwa tersebut terjadi di Dusun Balongnongo Desa
2

Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal
29 Mei 2006. Semburan lumpur panas menggenang dan merusak permukiman,
pertanian, dan perindustrian di beberapa kecamatan di sekitarnya, serta
memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Pihak Penggugat merupakan sebuah yayasan yang bernama Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang dalam hal ini sangat berkepentingan
terkait para Tergugat telah mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan di
daerah sekitar pengeboran.
Pihak tergugat yang digugat oleh penggugat berjumlah 12 tergugat, yaitu:
PT. Lapindo Brantas, PT. Energi Mega Persada Tbk., Kalila Energi Limited, PAN

Asia Enterprise Ltd., PT. Medco Energi Tbk., Santos Brantas Pty. Ltd., Pemerintah
Republik Indonesia Cq. Preseden RI., Pemerintah Republik Indonesia Cq. Menteri
Energi Sumber Daya Mineral RI., Pemerintah Republik Indonesia, Cq. Badan
Pelaksanaan Kegiatan Usaha hulu Minyak dan gas Bumi, Pemerintah Republik
Indonesia Cq. Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Pemerintah Daerah Provinsi
Jawa Timur, Republik Indonesia Cq. Gubernur Provinsi Jawa Timur, Pemerintah
Daerah Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur Republik Indonesia Cq. Bupati
Kabupaten Sidoarjo.
Pihak penggugat mengajukan gugatan dalam sengketa dengan nomor
perkara 79/PDT/6/2012/PN.DPK, para penggugat mendalilkan bahwa tergugat
telah melakukan serangkaian tindakan yang mengakibatkan rusaknya beberapa
bagian dari rumah-rumah mereka. Berikut penjelasan mengenai gugatan penggugat:
a) Penggugat mengajukan gugatan dengan dasar Perbuatan Melawan Hukum
dan doktrin pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atas kegiatan yang
dilakukan oleh pihak tergugat I.
b) Tergugat I dianggap sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas
kegiatan usahanya mengeksplorasi minyak dan dan gas bumi.
c) Dan tergugat I, II, III, dan IV merupakan sebuah kelompok perusahaan yang
satu sama lain memiliki keterikatan kepentingan.
d) Kegiatan yang dilakukan tergugat I, adalah kegiatan yang memberikan

tanggung jawab hukum kepada tergugat VII, VIII, IX, X dan XI.

3

e) Tergugat XI dan XII yang merupakan pemerintah daerah adalah pihak yang
seharusnya sebagai penanggung jawab Administrasi pemerintah daerah di
daerahnya.
Kemudian pihak tergugat melakukan perlawanan dalam Eksepsi.
Dalam eksepsinya dijelaskan bahwa:
a) Terdapat ketidaksesuaian dalam hak gugat yang dimiliki oleh penggugat.
Penggugat merupakan

sebuah

yayasan tetapi

belum mendapatkan

persetujuan menteri sehingga pihak penggugat belum mendapatkan status
sebagai badan hukum.

b) Dalam gugatan yang diajukan oleh penggugat terdapat kesalahan diamana
antara posita dan petitum gugatan berbeda.
c) Gugatan yang diajukan oleh penggugat dianggap tidak jelas atau kabur
(Obscure Libell),
d) Tergugat menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh penggugat kurang
pihak.
e) Gugatan yang diajukan oleh penggugat error in persona. Penggugat
menyebutkan bahwa pihak tergugat adalah sebuah badan hukum milik
pemerintah, tetapi pihak yang melakukan pengeboran adalah sebuah badan
usaha milik Amerika.
f) Gugatan yang diajukan oleh penggugat salah alamat. Dimana tempat
kedudukan yang dicantumkan dalam gugatan terdapat kesalahan.
g) Gugatan yang diajukan terdapat perubahan dan gugatannya premature.

Kasus Mandalawangi
Pada perkara yang terdapat di putusan No.1794K/Pdt/2004 adalah perkara
yang menyangkut lingkungan hidup dimana penggugat mengajukan gugatan kepada
tergugat atas peristiwa yang terjadi pada daerah sekitar kawasan hutan produksi dan
hutan lindung di Jawa barat. Dimana daerah tersebut terjadi kelongsoran yang oleh
penggugat diduga disebabkan kelalaian tergugat. Pihak penggugat yang

menyatakan gugatannya sebagai gugatan class action terdiri dari 8 penggugat yang
merupakan masyarakat di sekitar kawasan hutan Mandalawangi, yaitu: Dedi,
Hayati, Entin, Ujang Ohim, Oded Sutisna, Dindin Holidin, Aceng Elim, dan
Mahmud. Pihak tergugat, yaitu Direksi Perum Perhutani, Pemda Tingkat I Provinsi

4

Jawa Barat, dan Pemerintah Republik Indonesia Cq. Presiden republik Indonesia
Cq. Menteri kehutanan Republik Indonesia.
Penggugat mengajukan gugatan kepada tergugat dengan gugatan sebagai
berikut:
a) Tergugat I merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil,
pengolahan dan pemasaran serta perlindungan dan pengamanan hutan tetapi
justru melalaikan kewajibannya dalam mengelola dan memelihara kelestarian
hutan. Tergugat I tidak melakukan reboisasasi seperti yang seharusnya dilakukan
setelah melakukan penebangan atau mengubah hutan primair menjadi sekunder.
b) Tergugat II juga ikut bertanggung jawab karena rusaknya hutan tersebut tidak
akan terjadi apabila tergugat II malaksanakan tugasnya dengan benar, sesuai
dengan UU No.41 Tahun 1999, yaitu melakukan pengurusan, pengelolaan dan

perlindungan hutan.
c) Tergugat III yang merupakan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, dimana
dengan wewenangnya, tergugat III membuat kegiatan yang dilakukan oleh
tergugat I menjadi perusakan atas Hutan Mandalawangi. Hal tersebut terjadi
karena Tergugat III mengeluarkan SK yang merubah hutan Mandalawangi yang
memiliki status sebagai hutan lindung menjadi hutan produksi.
d) Karena perubahan fisik yang dilakukan tergugat I yang terjadi di hutan
Mandalawangi, lahan tersebut menjadi miring dan tidak mampu lagi menahan
curah hujan. Sehingga pada tanggal 28 Januari 2003 pada pukul 20.30 WIB
terjadi longsor kemudian menghancurkan Pemukiman Penduduk.
e) Dan tergugat I telah mengetahui kondisi tanah yang disebabkan oleh perubahan
fisik tanah pada area hutan Mandalawangi, dan mengetahui bahwa area tersebut
terdapat 3 area rawan longsor, namun pihak tergugat I tidak memberitahukan
atau mengumumkan kepada masyarakat sekitar area rawan longsor.
B. Pembahasan
1. Penafsiran penggugat, tergugat, dan hakim atas precautionary principle
Precautionary principle atau prinsip kehati-hatian merupakan serangkaian
tindakan pencegahan yang dilakukan berkaitan dengan risiko atau bahaya yang
serius serta ketidakpastian (uncertainity) ilmiah dan teknologi. Precautionary
principle muncul pertama kali pada penerapan hukum lingkungan di Jerman pada

awal tahun 1970-an yang dikenal dengan Vorsorgeprinzip yang bertujuan untuk
5

mencegah risiko yang timbul dari pencemaran lingkungan hidup. Kemudian,
precautionary principle kembali ditegaskan pada Prinsip 15 Rio Declaration
(1992), yang menyatakan bahwa apabila terdapat kemungkinan timbulnya
kerusakan yang serius dan besar, maka kelangkaan atau kurangnya data ilmiah
tidak dapat dijadikan alsan untuk menunda upaya-upaya pencegahan kerusakan
lingkungan.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, prinsip kehati-hatian pada kebijakan lingkungan hidup di
Indonesia diterapkan dengan adanya Amdal atau UKL-UPL sebagai syarat wajib
untuk mendapatkan izin lingkungan yang mana izin lingkungan tersebut merupakan
syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin usaha. Sehingga untuk
mendapatkan izin usaha, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup haruslah mempunyai Amdal atau UKL-UPL.
Apabila dilihat dari tujuannya, yaitu untuk menganalisa/mengidentifikasi
risiko lingkungan, dapat dikatakan bahwa ERA adalah kegiatan lanjut atau tindakan
nyata pelaksanaan dari Amdal.1 Sehingga untuk membuat ERA haruslah dengan
adanya Amdal terlebih dahulu, karena ERA berpedoman pada Amdal itu sendiri.
Karena itulah prinsip kehati-hatian dengan Amdal dan ERA saling berkaitan satu
sama lain.
Prinsip kehati-hatian baru diakui di Indonesia melalui putusan pengadilan,
pada tahun 2005, melalui PP No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk
Rekayasa Genetika (PRG). Pasal 3 PP No. 21 tahun 2005 menyatakan bahwa
ketentuan-kententuan yang diterapkan dalam PP ini menggunakan pendekatan
kehati-hatian guna mencapai keamanan lingkungan. Lebih jauh lagi, Penjelasan
dari Pasal 3 ini menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian diterapkan dalam bentuk
adanya kewajiban melakukan penilaian resiko (risk assessment) dan pengelolaan
resiko (risk management) sebelum diizinkannya penggunaan atau pemanfaatan
PRG.
Penggugat
Dalam gugatannya, penggugat menyatakan bahwa tindakan perusakan hutan
yang dilakukan oleh tergugat I seharusnya tidak terjadi jika tergugat II
1

Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijakan Pembangunan Lingkungan
Hidup, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008, hal. 108.

6

melaksanakan kewajibannya dalam pengurusan hutan (vide pasal 10 ayat 2 UU No.
41 Tahun 1999), pengelolaan hutan (vide pasal 21 UU No. 41 Tahun 1999), dan
perlindungan hutan (vide pasal 48 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999).
Dasar hukum yang didalilkan oleh penggugat dalam gugatannya
mencerminkan bahwa penggugat menyatakan seharusnya tergugat melakukan
pencegahan kerusakan hutan sebelum melakukan kegiatan usahanya. Sehingga hal
ini menunjukkan bahwa penggugat menfasirkan pencegahan yang dimaksudnya
adalah salah satu bentuk precautionary principle yang harus dilakukan oleh
tergugat sebelumnya.
Menurut penulis Penggugat telah tepat dalam memahami prinsip kehatihatian ini, karena pada dasarnya memang Perum Perhutani seharusnya sudah dapat
memprediksi bahwa apabila lahan yang miring tersebut tidak segera ditanami
(reboisasi) setelah dilakukan penebangan maka akan terjadi kelongsoran akibat
tidak mampu menahan curah hujan yang tinggi. Berdasarkan akibat yang sudah
jelas dapat diperkirakan tersebut maka dari itu pihak Perum Perhutani sudah
selayaknya melakukan pencegahan atas dampak yang mungkin terjadi, yakni
dengan melakukan reboisasi terhadap lahan gundul pasca peralihan dari hutan
perimer menjadi hutan sekunder.
Tergugat
Dalam salah satu eksepsinya Perum Perhutani menolak dalil korban longsor
Mandalawangi yang mengatakan bahwa luas hutan di Jawa Barat tinggal 8% dari
20%. Hal ini karena terdapat pembedaan antara Hutan dan Kawasan Hutan. Dan
Kawasan Hutan yang masuk dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani hanya
seluas 791.886 Ha sedangkan luas daratan Propinsi Jawa Barat adalah hanya kurang
lebih 3,5 juta Ha. Dan Perum Perhutani meminta pihak korban longsor
Mandalawangi untuk membuktikan bahwa luas hutan di Jawa Barat 53 juta Ha dan
sekarang hanya ada 4,24 juta Ha.
Menurut Perum Perhutani, SK Menhut No 419/Kpts-II/1999 tidak terdapat
amar yang menyatakan merubah status Hutan Lindung Mandalawangi menjadi
Hutan Produksi Terbatas. Jadi sebelum terbitnya SK Menhut tersebut, kawasan
Hutan Gunung Mandalawangi belum pernah ada penetapan fungsi, yang ada adalah
bahwa berdasarkan hasil inventaris hutan dengan melihat kondisi di lapangan, maka
Gunung Mandalawangi termasuk Klas Hutan, Hutan Lindung Terbatas.
Perum Perhutani juga menolak gugatan yang mengatakan bahwa dia tidak pernah
7

melakukan reboisasi dan menambah hutan primer menjadi hutan sekunder. Sebelum
dan setelah ada SK Menhut tersebut di lokasi Gunung Mandalawangi Perum
Perhutani tidak pernah melakukan penebangan pohon, yang ada adalah tindakan
perbaikan kondisi hutan yang rusak atau gundul akibat perambahan kemudian
direboisasi dengan tanaman hutan.
Bahwa berdasarkan gugatan halaman 4 angka 9 tentang Penjelasan
Sumpena, Perum Perhutani tidak pernah menyewakan tanah kawasan hutan kepada
penduduk dengan alasan maupun tujuan apapun. Juga menurut Perum Perhutani
tidak benar yang dinyatakan korban longsor Mandalawangi dalam gugatannya
halaman 4 angka 10 karena Perum Perhutani telah melakukan kegiatan reboisasi
dan rehabilitasi pada areal in casu sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 1999
dengan jenis tanaman Pinus, sedangkan terciptanya lahan kosong bukan dilakukan
Perum Perhutani, tetapi dilakukan oleh masyarakat perambah hutan sehingga
mengakibatkan adanya kerusakan hutan.
Perum Perhutani juga berpendapat bahwa bencana tanah longsor yang
terjadi di Kecamatan Kadungora merupakan bencana banjir bandang yang diikuti
dengan tanah longsor yang merupakan kombinasi antara curah hujan sangat deras,
kemiringan lereng curam dan jebolnya tanggul-tanggul penahan air hujan yang
terbentuk oleh aliran air disertai batu, lumpur dan bahan perintang aliran air
lainnya.
Bahwa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Perum Perhutani tidak
pernah melakukan perubahan fungsi tata guna tanah, melainkan menyelenggarakan
pengelolaan hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu dengan mereboisasi
tanaman hutan dalam rangka rehabilitasi. Jadi bukan seperti halnya pernyataan
korban longsor Mandalawangi tersebut pada angka 14.
Bahwa pernyataan korban longsor Mandalawangi dalam angka 15 yang
menyatakan Perum Perhutani sudah mengetahui dan mengakui bahwa sejak 6 bulan
silam telah mengakui adanya titik-titik longsor adalah pernyataan yang tidak benar
dan tidak berdasarkan atas hukum. Bahwa yang benar adalah adanya 8 titik longsor
tersebut

diketahui

setelah

bencana

alam

banjir

bandang

terjadi.

Dan juga mengenai relokasi pemukiman korban longsor sebegaimana gugatan
angka 16 halaman 5, bukan hanya tanggung jawab maupun konsekuensi Perum
Perhutani tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak.

8

Bahwa dari pernyataan gugatan korban longsor Mandalawangi angka 16
justru sebaliknya sama sekali tidak ada data-data dan fakta-fakta yang menunjukan
bahwa Perum Perhutani telah melakukan perbuatan baik secara langsung maupun
tidak langsung yang mengakibatkan lingkungan tidak berfungsi sebagaimana
mestinya karena kejadian bencana alam di Gunung Mandalawangi adalah murni
bencana alam.
Akibat bencana tersebut yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda
adalah dikarenakan area hutan tersebut hanya ditanami jenis perdu sebagaimana
gugatan para korban longsor Mandalawangi angka 20 adalah tidak masuk akal dan
tidak berdasar karena Perum Perhutani tidak melakukan penebangan pohon besar
maupun penanaman pohon jenis perdu.
Bahwa karena kejadian longsor itu adalah murni bencana alam, maka Perum
Perhutani tidak seharusnya dibebani tanggung jawab materiil dan imateriil, tidak
perlu mengadakan mekanisme pendistribusian ganti rugi, tidak perlu melakukan
strict liability, karena kerugian yang diderita oleh korban longsor Mandalawangi
bukan karena diakibatkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh Perum Perhutani.
Jadi menurut penulis pihak Tergugat ini sudah melakukan prinsip kehatihatian mengingat kejadian longsor tersebut disebabkan murni oleh bencana alam
bukan karena kesalahan akibat peralihan fungsi hutan ataupun tidak adanya
pengelolaan hutan dengan baik.
Hakim
Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga mengatakan bahwa telah
terjadi perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi
yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan mengubah status fungsi
kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan lindung kemudian menjadi
kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor
419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-akibatnya seperti berkurangnya jumlah
tegakan pohon dan kegagalan reboisasi sehingga kawasan hutan Mandalawangi
tidak lagi memiliki kemampuan resapan air. Selanjutnya Majelis Hakim
mengatakan bahwa kerugian lingkungan dan kerugian materiil para penggugat yang
disebabkan oleh banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi

telah

faktual

sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum yang masih perlu dibuktikan
adalah hubungan kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan hutan Gunung
9

Mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang
didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK
Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan
longsor.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya merujuk pada prinsip kehati-hatian
(precautionary principle) yaitu prinsip ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar
untuk pemecahan masalah tentang “kurangnya ilmu pengetahuan” yang
diperlihatkan dengan keterangan-keterangan para saksi ahli dari kedua belah pihak
yang saling bertentangan sehingga keterangan mereka tidak dapat dijadikan alat
bukti untuk menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di
Gunung Mandalawangi. Meskipun prinsip kehati-hatian belum masuk ke dalam
perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia adalah sebagai salah satu
negara peserta Deklarasi Rio 1992, maka prinsip ini dapat dipedomani dan
diperkuat untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktik.
2. Dalam perbadingan kedua kasus di atas, sudah tepatkah penggugat
menggunakan PMH dan strict liability?
Salah satu instrumen hukum yang digunakan dalam konteks penegakan
hukum lingkungan adalah instrumen hukum perdata. Instrumen ini

digunakan

untuk mengetahui unsur pertanggungjawaban guna mendapatkan ganti kerugian
dan biaya pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan atau pengrusakan
lingkungan.
Pertanggung jawaban perdata tersebut diantaranya:
1) Pertanggung jawaban yang mensyaratkan adanya unsur kesalahan (fault
based liability).
Konsep ini dikenal dalam ketentuan pasal 1365 KUHPerdata yaitu
perbuatan melawan hukum (PMH).

PMH menurut

pasal 1365

mensyaratkan Penggugat membuktikan adanya unsur kesalahan.
2) Pertanggung jawaban mutlak (strict liability) suatu pertanggung jawaban
tanpa harus dibuktikan adanya unsur kesalahan.
Strict Liability mengacu pada kegiatan tidak adanya persyaratan
tentang perlu adanya kesalahan (Lummert,1980 : 239-240) dan
pembuktian oleh pihak yang mempunyai kemampuan untuk memberikan

10

bukti bahwa ia tidak bersalah atas perbuatan tersebut tetapi ia tetap
bertanggung jawab atas perbuatan tersebut2.
Munir Fuady mendefinisikan Strict Liability sebagai suatu tanggung jawab
hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat
apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur
kesalahan atau tidak, dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab
secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya itu dia tidak
melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian,
kekuranghati-hatian, atau ketidakpatutan. Jadi, menurut Munir Fuady, Strict
Liability adalah tanggung jawab secara hukum pada pelaku perbuatan melawan
hukum tanpa mempedulikan unsur kesalahan, bahkan tanpa unsur kesengajaan,
kelalaian, kekuranghati-hatian atau ketidakpatutan sekalipun.
Sedikit berbeda dari pendapat tersebut, Strict Liability juga didefinisikan
dalam Restatement (Second) of Torts Article 519 (1) yang berbunyi, “One who
carries on an abnormally dangerous activity is subject to liability for harm to the
person, land or chattels of another resulting from the activity, although he has
excercised the utmost care to prevent the harm.” Jadi, pelaku kegiatan yang
berbahaya secara abnormal (abnormally dangerous activity) bertanggungjawab atas
kerugian yang timbul dari kegiatan tersebut, meskipun ia telah melakukan usaha
paling maksimal untuk mencegah timbulnya kerugian (excercised the utmost care
to prevent the harm).
Kesimpulan dari definisi tersebut adalah bahwa ada tiga hal yang harus
dibuktikan oleh Penggugat untuk memperoleh kebenaran atas gugatannya yang
berdasar pada Strict Liability, yakni:
a) Membuktikan terjadinya Abnormally Dangerous Activity yang dilakukan
oleh Tergugat
Article 520 Restatement (Second) of Torts menentukan enam
parameter kegiatan yang tergolong sebagai Abnormally Dangerous
Activity, yaitu:
1) Existence of a high degree of risk;
2) Likelihood that the harm that results from it will be great;
3) Inability to eliminate the risk;
2

Dikutip dari tulisan Prof.Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.ML. Kumpulan Karya Tulis

Menghormati 70 tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M

11

4) Extent to which the activity is not a matter of common usage;
5) Inappropriateness of the activity to the place where it is carried on;
and.
6) Extent to which its value to the community is outweighed by its
dangerous attributes.
b) Membuktikan adanya Kerugian.
c) Membuktikan adanya Kausalitas antara kegiatan seseorang dengan
kerugian yang ditimbulkannya.
Strict liability diatur dalam pasal 35 Undang-undang no. 23 tahun 1997,
yang berbunyi:
1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
yang

menggunakan

bahan

berbahaya

dan

beracun,

dan/atau

menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab
secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban
membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau
perusakan lingkungna hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:
a) adanya bencana alam atau peperangan; atau
b) adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c) Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung
jawab membayar ganti rugi.
Penafsiran dari pasal (1) adalah para korban dilepaskan dari beban berat
untuk membuktikan adanya hubungan kausal antara kerugiannya dengan tindakan
individual Tergugat. Pasal (2) berarti para pihak pencemar akan memperhatikan
baik-baik kehati-hatiannya, maupun tingkat kegiatannya.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) perusahaan dalam kerusakan
lingkungan di Indonesia belum pernah terlaksana. Padahal konsep ini sangat baik
untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat yang menjadi korban.
12

Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan gagasan
yang disampaikan dalam UU No. 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup
kemudian dipertegas di UU No. 32 Tahun 2009. Pasal 88, yang berbunyi:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan
B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan
ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Kasus Lapindo
Berdasarkan berbagai teori mengenai PMH dan Strict Liability di atas, kita
dapat memahami bahwa sebenarnya tak perlulah dilakukan gugatan PMH terhadap
peristiwa kerusakan yang ditimbulkan akibat kegiatan pengeboran yang dilakukan
oleh PT. Lapindo Brantas di Sidoarjo tersebut. Jadi dalam kasus Lapindo lebih tepat
digunakan gugatan pertanggungjawaban mutlak saja sesuai dengan Pasal 35 UU
No. 23 Tahun 1997. Gugatan pertanggungjawaban mutlak ini perlu digunakan
dalam kasus Lapindo karena menurut penulis kegiatan pengeboran gas tersebut
merupakan suatu kegiatan/usaha yang berdampak besar dan penting. Kegiatan
tersebut menjadi berdampak penting karena pemilik usaha seharusnya sudah
mengetahui secara jelas dampak yang akan terjadi jika pengeboran dilakukan di
daerah yang rawan gempa, sementara pada pipa pengeboran tidak dipasang cashing
pengaman.
Selain itu pertanggungjawaban mutlak yang harus dipenuhi oleh PT. Lapindo
sudah memenuhi unsurnya, yakni kerugian yang besar akibat semburan lumpur di
lokasi pengeboran yang semakin meluas ke area pemukiman, pertanian, dan
perindustrian. Unsur kausalitas juga sudah terbukti karena meskipun meluapnya
lumpur itu dipicu oleh adanya gempa bumi, akan tetapi tetap ada hubungannya
dengan sistem pengeboran yang dilakukan oleh PT. Lapindo.
Menurut penulis, bagi Penggugat yakni Yayasan WALHI sulit membuktikan
unsur kesalahan atau melawan hukum dalam kasus ini, terkait dengan tidak adanya
pemasangan cashing pada pipa pengeboran itu tidak jelas apakah sebenarnya di
dalam praktek selalu dipakai atau diwajibkan, ataukah tidak. Maka dari itu lebih
baik digunakan tuntutan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) mengingat
kerugian dan kausalitas yang sudah jelas terbukti. Sehingga dalam posita gugatan
Penggugat tidak perlu memasukkan keduanya (PMH dan Strict liability) karena
yang seharusnya dituntut hanyalah strict liability. Secara logika pun sulit apabila
13

PMH dan strict liability diajukan bersamaan, karena di satu sisi Penggugat harus
membuktikan unsur kesalahan (melawan hukum) di sisi lain ia juga harus
membuktikan unsur kerugian, dan hal tersebut merupakan upaya yang sangat sulit.
Kasus Mandalawangi
Dalam kasus Mandalawangi tampak jelas bahwa seharusnya yang dipakai
adalah tuntutan PMH, karena pihak Tergugat ini tidak melakukan hal yang
seharusnya ia lakukan agar tidak terjadi dampak buruk atas penertiban kawasan
hutan atau pengalihan fungsi hutan dari hutan lindung menjadi hutan produksi
terbatas. Di sini Perum Perhutani seharusnya melakukan reboisasi dengan segera
mengingat lahan terkait merupakan lahan yang miring dan rawan longsor, sehingga
sudah dapat diperkirakan apabila langkah-langkah pencegahan berupa reboisasi dan
pengelolaan hutan lainnya tidak segera dilakukan maka kemungkinan akan
menimbulkan bencana seperti longsor. Tindakan tersebut sudah bisa dilihat sebagai
suatu tindakan yang melawan hukum, karena tidak dilakukannya reboisasi pasca
pengalihan fungsi hutan merupakan tindakan yang melanggar hukum, kepatutan,
dan kehati-hatian. Kemudian akibat tindakannya tersebut lahan yang bersangkutan
menjadi semakin miring dan tidak mampu lagi menahan curah hujan sehingga
menimbulkan kelongsoran.
Selain tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum Perhutani
tampak pula perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan
yang bersangkutan karena lalai melakukan pembinaan kepada Perum Perhutani
untuk melakukan pengelolaan hutan di kawasan Mandalawangi dengan baik dan
tepat.
Karena unsur melawan hukum sudah terpenuhi, maka tidak perlu dilakukan
tuntutan pertanggungjawaban mutlak agar Perum Perhutani ini melakukan
penggantian kerygian kepada para korban. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa tuntutan PMH dan pertanggungjawaban mutlak (strict liability)
agar tidak dimintakan secara bersamaan karena dalam hal pembuktian akan rumit
dan banyak terdapat kesulitan.
3. Dalam perbadingan kedua kasus di atas sudah tepatkah dalil dan
pembuktian yang diajukan oleh penggugat ketika menggunakan PMH dan
Strict Liability ?
14

Kasus Mandalawangi
Jika yang dituntut adalah PMH, maka Penggugat telah tepat menggunakan
PMH dalam dalil dan pembuktian yang diajukannya. Hal ini dapat dianalisa bahwa
Perum Perhutani tidak melakukan pengelolaan dan pemeliharaan, sehingga dapat
disimpulkan bahwa Perum Perhutani telah melanggar Pasal 7 butir b PP No. 53
Tahun 1999 jo Pasal 6 UUPLH ayat 1, dikarenakan pihak Perum Perhutani tidak
memelihara

kelestarian

fungsi

lingkungan

hidup

serta

mencegah

dan

mnenanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kelestarian
lingkungan telah diabaikan oleh pihak Perum Perhutani, hal tersebut terlihat dari
diabaikannya pengelolaan hutan dan telah menyimpangnya dari maksud dan tujuan
perusahaan , yang mana mengakibatkan hutan di Jawa Barat menjadi tinggal 8%
dari sebelumnya 20% sebelum dikelola oleh Tergugat I, hal itulah yang
menyebabkan banjir dan longsornya tanah di kawasan Gunung Mandalawangi. Hal
ini merupakan celah yang dilakukan oleh pihak Perum Perhutani, dikarenakan
berdasarkan SK Menhut No. 419/KPTS.II/1999 mengubah status hutan lindung
Mandalawangi menjadi hutan produksi terbatas serta memberi kewenangan
pengelolaannya kepada Perum Perhutani, yang pada kenyatannya memberikan
peluang kepada Perum Perhutani untuk melakukan perbuatan yang menyimpang
dari maksud dan tujuan perusahaan. Perbuatan tersebut seperti tidak melakukan
reboisasi setelah penebangan atau merubah hutan primer menjadi hutan sekunder.
Oleh karena itu, Menteri Kehutanan telah lalai dalam melakukan
kewajibannya yaitu melakukan pembinaan kepada Perum Perhutani berdasarkan
Pasal 16 ayat 1 dan 4 PP No. 53/1999. Di samping itu, Perum Perhutani juga telah
menyewakan lahan kepada penduduk di sekitarnya dengan alasan dan tujuan yang
vtidaj jelas di atas area yang seharusnya direboisasi. Maka dapat kita simpulkan
bahwa Perum Perhutani telah melanggar Pasal 1365 KUHPerdata yang berisi:
“Tiap Perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada Seorang
lain, mewajibkan orang yang salah karena menerbitkan Kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.”
Hal ini dapat dilihat ketika Perum Perhutani menyewakan lahan tersebut
serta perbuatan lain yang malah merusak ekosistem hutan tersebut, hal ini
berdampak pada banjir dan longsornya daerah tersebut yang berdampak pada
kerugian masyarakat hingga kematian, jadi dapat disimpulkan bahwa Perum
Perhutani dapat digugat berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
15

Perum Perhutani juga telah melakukan perusakan hutan berdasarkan Pasal 50 ayat 2
UU No. 41 Tahun 1999, hal ini muncul dikarenakan Perum Perhutani tidak
melakukan reboisasi, mengubah hutan primer menjadi hutan sekunder, menciptakan
lahan

kosong

dan

lahan

garapan

pertanian

di

sekitar

area

hutan.

Perum Perhutani juga lalai ketika tidak memberikan informasi kepada masyarakat
dan pihak-pihak terkait termasuk Pemda Kabupaten Garut. Sebelum terjadinya
longsor, Perum Perhutani sudah mengetahui dan mengakui bahwa sejak 6 bulan
silam, petak V yang berarea 102 ha terdapat 3 titik rawan longsor dan VI yang
berarea 195 ha terdapat 4 titik rawan longsor, namun Perum Perhutani tidak
menanganinya dan mengumumkannya maka hal ini telah melanggar Pasal 6 UU
No. 23 Tahun 1997.
Maka dapat kita simpulkan pihak yang menanggung atas semua kerugian
dan kesalahan ini adalah pihak Perum Perhutani sebagai pihak utama yang harus di
salahkan, pihak Gubernur Propinsi Jawa Barat dan pihak Menteri Kehutanan.
Semua pihak ini harus bertanggung jawab atas kesalahan mereka baik dengan
sengaja atau dengan lalai.
Kasus Lapindo
Dasar hukum diajukannya gugatan:
a. Bahwa penggugat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terkait
dengan kerusakan yang memiliki dampak yang besar dan penting terhadap
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup akibat dari semburan lumpur panas yang terjadi di area lokasi sumur
pengeboran Tergugat I, Sumur Banjar Panji 1 kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur.
b. Dasar hukum diajukannya gugatan perbuatan melawan hukum atas kerusakan
lingkungan adalah pasal 34 ayat 1 jo. pasal 35 ayat 1 Undang- Undang No. 23
tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup jo. Pasal 1365, pasal 1367 KUHPerdata.
Pasal 34 ayat 1 Undang- undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan
Hidup:
”Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/ atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian kepada orang lain atau
lingkungan hidup, mewajibkan penanggungjawab usaha dan/ atau kegiatan
untuk membayar ganti rugi dan/ atau melakukan tindakan tertentu”.

16

Pasal 35 ayat 1 Undang- undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan
Hidup:
“ Penanggungjawab usaha dan/ atau kegiatan yang menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan
berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang
ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan
seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan
hidup”.
Uraian perbuatan melawan hukum:
a. Bahwa setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/ atau
perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain
atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung usaha dan/ atau kegiatan
untuk membayar ganti rugi dan/ atau melakukan tindakan tertentu ( pasal 34
ayat 1 UU No. 23 tahun 1997).
b. Bahwa tergugat I dalam melakukan eksplorasi di Sumur BJP 1 tersebut,
telah menjadi penyebab atau pemicu semburan lumpur panas dan
mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.
c. Bahwa tergugat I dalam hal ini diketegorikan sebagai Penanggung Jawab
Usaha menurut pasal 34 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997 harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Berdasarkan uraian tentang perbuatan melawan hukum dan dasar hukum
diajukannya gugatan, maka unsur yang harus dipenuhi dari perbuatan melawan
hukum berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata adalah:
“ Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.
Unsur- unsurnya terdiri dari:
1. Pelanggaran menimbulkan kerugian kepada orang lain.
Dalam kasus lumpur lapindo, perbuatan yang dilakukan yaitu melakukan
eksplorasi dengan penggeboran yang menyebabkan adanya luapan lumpur
tentu merugikan orang- orang disekitarnya. Hal ini terbukti dengan:
a. Tergenangnya desa-desa di Kecamatan/ Kelurahan Porong, Jabon,
Tanggulangin dan sekitarnya oleh lumpur yang menakibatkan tidak
17

dapat dihuni lagi pemukiman tersebut, dan sebanyak 8.200 jiwa
b.
c.
d.
e.

diungsikan;
Rusaknya lahan pertanian dan perkebunan milik masyarakat;
Rusaknya sarana prasarana dan infrastruktur;
Matinya ribuan hewan ternak;
Terhentinya aktivitas pabrik- pabrik, tidak dapat berfungsi lagi,
dikarenakan tergenang lumpur dan terpaksa menghentikan proses

produksinya dan merumahkan tenaga kerja.
2. Kesalahan
Dalam Hukum Perdata, terdapat suatu aturan bahwa siapa yang menggugat
dialah yang harus membuktikan (pasal 1865 KUHPerdata), maka dalam kasus
Lumpur Lapindo, penggugat mengungkapkan fakta- fakta yang merupakan
perbuatan kesalahan dari Tergugat I yaitu:
Bahwa Tergugat I ketika memulai kegiatan eksplorasi di sumur BJP 1 tidak
mempunyai dokumen AMDAL.
3. Hubungan kausalitas antara kerugian yang timbul dengan kesalahan
Terjadinya semburan lumpur adalah akibat dari eksplorasi yang dilakukan
oleh Tergugat I.
Dalam proses persidangan, Tergugat dapat membuktikan tidak adanya unsur
kesalahan sehingga unsur kausalitas (sebab-akibat) antara perbuatan Tergugat
melakukan eksplorasi di sumur BJP 1 dengan kerugian yang timbul akibat
semburan lumpur panas juga tidak terbukti. Tergugat menghadirkan alat bukti
berupa surat dan keterangan empat orang saksi ahli yang meringankan Tergugat.
Keempat saksi ahli menerangkan di persidangan bahwa semburan lumpur panas
yang terjadi bukanlah akibat suatu kesalahan yang dilakukan oleh Tergugat,
melainkan merupakan akibat dari bencana alam berupa gempa bumi yang terjadi
beberapa hari sebelum munculnya semburan lumpur tersebut. Disamping itu,
Tergugat juga dianggap telah melakukan segala tindakan yang perlu untuk
mencegah terjadinya semburan lumpur panas.
Sedangkan dari pihak Penggugat tidak dapat menghadirkan alat bukti yang
dapat meyakinkan Hakim mengenai unsur kesalahan Tergugat terkait dalil PMH
yang diajukan dalam gugatan. Karena itu, menurut kami wajar jika Hakim,
berdasarkan alat bukti yang dihadirkan di persidangan, memutuskan bahwa unsurunsur PMH dalam kasus ini tidak terbukti.
Strict Liability
18

Penggugat juga mendasarkan gugatan menggunakan doktrin strict liability
atau pertanggungjawaban mutlak. Berdasarkan konsep ini, penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan yang usahanya menimbulkan dampak besar bagi
lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya atau beracun bertanggung
jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan. Konsekuensinya, perusahaan
harus membayar ganti rugi secara langsung dan seketika terjadinya pencemaran.
Perlu dibedakan antara strict liability dan pembuktian terbalik karena sering
sekali kedua hal ini dipersamakan. Pada pembuktian terbalik, pihak yang lebih kuat
kedudukannya dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa akibat hukum dari
suatu perbuatan bukanlah kesalahannya tetapi pada strict liability, ada atau tidak
adanya pembuktian dari pihak tergugat, ia tetap bertanggung jawab atas akibat
hukum dari suatu peristiwa yang terjadi dengan berdasarkan kriteria-kriteria yang
telah dipenuhi.
Konsep strict liability atau liability without fault dalam hukum lingkungan
di Indonesia diatur dalam Pasal 35 UU Lingkungan Hidup. Pengertian bertanggung
jawab secara mutlak atau strict liability dalam Penjelasan Pasal 35 tersebut, yakni
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar
pembayaran ganti kerugian. Terjemahan Strict Liability menjadi Tanggung Jawab
Mutlak agak riskan, sebab terdapat satu istilah lagi yang berbeda maknanya dengan
Strict Liability, yaitu Absolute Liability. Pada Absolut Liability, bahkan kerugian
pun tidak perlu dibuktikan. Jadi, hanya dengan melakukan suatu perbuatan yang
tergolong dalam ketentuan Absolute Liability tersebut, maka pelaku sudah harus
bertanggung jawab, sehingga hal yang harus dibuktikan oleh Penggugat terhadap
perbuatan Tergugat hanya satu, yaitu membuktikan bahwa Tergugat memang
melakukan sesuatu hal yang dilarang tersebut. Tentu pengertian Absolute Liability
berbeda dengan Strict Liability, sehingga perlu diperhatikan bahwa Tanggung
Jawab Mutlak yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 maupun UU Nomor 32
Tahun 2009 adalah Strict Liability, bukan Absolute Liability.
Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 menentukan bahwa
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebankan tanggung jawab
secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, bila usaha dan kegiatannya
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yaitu yang:
19

a. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun; dan/atau
b. Menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Kewajiban membayar ganti rugi timbul bagi penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang ditentukan diatas yakni secara langsung dan seketika pada
saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Namun, Pasal 35
ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1997 memuat ketentuan bagi penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan untuk dapat dibebaskan dari kewajiban ganti rugi tersebut
yakni bila dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup disebabkan oleh:
a. Bencana alam atau peperangan; atau
b. Keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. Tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, menurut penulis memang Penggugat
dalam Kasus Lapindo ini lebih tepat jika menggunakan dalil tuntutan
pertanggugjawaban mutlak (strict liability) karena pada kenyatannya Penggugat ini
sulit untuk membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh pihak Tergugat. Selain itu
juga berdasarkan kerugian yang ditimbulkan akibat semburan lumpur tersebut lebih
nyata dan mudah dibuktikan. Konsekuensinya karena Penggugat tidak bisa
membuktikan kesalahan yang ia tuduhkan kepada Tergugat berdasarkan dalil PMH
maka di sini hakim hanya membuktikan dari sisi bukti-bukti yang diajukan oleh
Tergugat, maka dari itu justru Penggugat sendiri yang rugi akibat tidak
dikabulkannya gugatan PMH yang diajukan.
Jadi menurut penulis dalil dan pembuktian yang digunakan oleh penggugat
ketika menggunakan PMH dan strict liability masih kurang tepat, karena terkecan
tercampur-aduk, dalam satu kasus dituntuk kedua-duanya, sementara tuntutan
semacam itu pada akhirnya sulit untuk dibuktikan, karena pada kasus Lapindo
ternyata pembuktian unsur kesalahan untuk tuntutan PMH sulit dibuktikan oleh
Penggugat. Sedangkan dalam kasus Mandalawangi lebih mudah dilakukan tuntutan
PMH karena pembuktian pun mudah menunjukkan bahwa pihak Tergugat memang
melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak adanya pelaksanaan kewajiban
sesuai dengan kaidah hukum, kepatutan, dan kehati-hatian. Dengan demikian dalil
20

dan pembuktian yang diajukan oleh Penggugat menjadi kurang tepat karena PMH
dan strict liability diajukan bersamaan.
Sehingga dapat disimpulkan dari penjelasan mengenai kasus Lapindo bahwa
tidak cukupnya alat bukti yang sah dari pihak Penggugat dalam pembuktian unsur
kesalahan pada perbuatan melawan hukum membuat Majelis Hakim hanya
mempertimbangkan dalil-dalil pihak Tergugat yang membuktikan bahwa keluarnya
lumpur panas adalah akibat bencana alam, bukan akibat kesalahan dari pihak
Tergugat. Sehingga, unsur kesalahan yang merupakan salah satu unsur-unsur
kumulatif dari Perbuatan Melawan Hukum tidak terbukti.
4. Sudah tepatkah hakim menafsirkan PMH dan Strict Liability?
Perbuatan melawan hukum (PMH), membicarakan mengenai hal tersebut
membuat kita kembali merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, yang
isinya ”tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.”
Awalnya, perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam Pasal 1365
mengandung perngertian yang sempit, hanya mencakup perbuatan yang melawan
undang-undang saja, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban
hukum menurut undang-undang3. Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan
dan kebutuhan zaman, pengertian perbuatan melawan hukum ini kemudian menjadi
lebih luas, yaitu tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu
perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar
hak subjektif orang lain saja, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah
tak tertulis seperti kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan
kehati-hatian yang seharusnya dimiliki oleh seseorang dalam pergaulan hidup
dalam masyarakat atau terhadap harta benda masyarakat.
Mengenai unsur-unsur yang ada dalam suatu Perbuatan Melawan Hukum
(PMH), menurut L.C. Hofmann untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum
harus dipenuhi empat unsur, yaitu:
1) Er moet een daad zijn verricht (harus ada yang melakukan perbuatan);
2) Die daad moet onrechtmatig zijn (perbuatan tersebut harus melawan hukum);

3

Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana), 2003, hal. 5

21

3) De daad moet aan een ander schade heb bentoege bracht (perbuatan itu harus
menimbulkan kerugian pada orang lain);
4) De daad moet aan schuld zijn te wijten (perbuatan itu karena kesalahan yang
dapat dicelakakan padanya).
Sejalan dengan Hofmann, Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa
syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan
melawan hukum adalah:
1) harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik bersifat
positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat
atau tidak berbuat.
2) perbuatan itu harus melawan hukum.
3) ada kerugian.
4) ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan
kerugian.
5) ada kesalahan (schuld)4
Konsep atau syarat Kesalahan dalam PMH yang dicantumkan dalam Pasal
1365 KUH Perdata, menghendaki untuk menekankan bahwa pelaku PMH hanya
bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkannya apabila perbuatan tersebut
dapat dipersalahkan padanya,5 yang mana mengenai kesalahan itu mencakup dua
pengertian, secara luas (terdapat kealpaan dan kesengajaan) maupun secara sempit
(kesengajaan).
Seiring dengan perkembangan zaman, sekarang konsep tanggungjawab
kesalahan yang berdasarkan kesalahan (liability based on fault) mulai bergeser dari
konsep risiko yang melahirkankonsep strict liabiity yaitu pertanggungjawaban
mutlak. Hal ini khususnya terlihat dari masalah perlindungan lingkungan hidup.
Seperti yang diungkapkan oleh Rudiger Lummert:6
“The traditional law of Torts is, at least in the legal system of Continental
Europe, closely linked to the concept of fault. In the Anglo-American system
the concept of fault also plays a significant role; for example, in negligence
4

Mariam Darus Badroelzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan,
(Bandung: Alumni, 1996) hal.147-148
5
Rosa Agustina, Opcit., hal 64
6
Rudiger Lummert, Changes in Civil Liability Concepts, dalam Trends in Environmental Policy
and Law, A 69 Beitrage zur Umweltgestaltung, Erich Schmidt Verlag, Berlin, 1980. hal.239

22

actions and in the requirement of negligent or reckless conduct for liability
in other actions.formerly in Continental legal systems, the view prevailed
that fault was the constitutiveelement for liability-where there was no fault,
there could be no damage. With industrialization producing new and
greater risks and complicated causal relationships, legal theory has moved
away from the concept of risk. Liability based on fault has not been
abandoned, came into play-have been withdrawn. Environmental law is, as
will be pointed aou later, strongly affected by this.”
Hal serupa juga menjadi pandangan yang dikemukakan oleh James E. Krier7
mengenai adanya tanggung jawab mutlak atau strict liability ini.
Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) diartikan terutama sebagai
kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan kewajiban kerusakan yang
ditimbulkan. Salah satu ciri utama tanggungjawab mutlak adalah tidak ada
persyaratan tentang perlu adanya kesalahan. Prinsip tanggung jawab mutlak (stricy
liability) dianut oleh UU No. 4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkugan Hidup,
dalam Pasal 21 yang intinya menyatakan bahwa prinsip tanggung jawab mutak
tidak diterapkan secara umum untuk semua pencemaran melainkan untuk kegiatan
yang menyangkut jenis sumber daya tertentu saja.
Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan hidup
memuat ketentuan pertanggungjawaban atas pencemaran/kerusakan lingkungan
hidup dalam pasal 34 dan 35 yang dapat dibedakan sifatnya :
a.
b.

Dasar pertanggungjawaban yang bersifat biasa (Pasal 34)
Dasar pertanggungjawaban yang bersifat khusus (Pasal 35)8

Pertanggungjawaban yang bersifat khusus ini berkembang dalam Hukum
Lingkungan dengan nama Strict Liability. Jenis Liability tersebut, diklasifikasi
sebagai pertanggungjawaban yang bersifat khusus karena dalam konsepnya,
pertanggungjawaban tersebut mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu agar dapat
diterapkan untuk sengketa pencemaran/kerusakan lingkungan hidup.

7

Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press,

2003
8

NHT Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, hal 307

23

Kekhususan Strict Liability ini memberikan kemudahan bagi korban dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam proses pembuktian
kesalahan, yang dalam konteks lingkungan hidup, sangat sulit untuk dibuktikan
sebagaimana dipaparkan oleh N.H.T. Siahaan. Peniadaan pembuktian unsur
kesalahan dampaknya pada akhirnya hanya berupa kesimpulan bahwa, penanggung
jawab usaha tidak boleh tidak bertanggung jawab atas kerusakan dan/atau
pencemaran terlepas apakah pada saat itu penanggung jawab usaha sengaja atau
lalai, mengingat Schuld berbicara men

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63