BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Thalasemia - Karakteristik Penderita Thalasemia yang Dirawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011 - April 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Thalasemia

  Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak

  7 atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia.

  Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2

  6

  rantai beta (β). Penderita Thalasemia tidak mampu memproduksi salah satu dari protein tersebut dalam jumlah yang cukup, sehingga sel darah merahnya tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya hemoglobin tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu, penderita Thalasemia mengalami anemia

  9 sepanjang hidupnya.

  Thalasemia dibedakan menjadi Thalasemia α jika menurunnya sintesis rantai alfa globin dan Thalasemia β bila terjadi penurunan sintesis rantai beta globin.

  Thalasemia dapat terjadi dari ringan sampai berat. Thalasemia beta diturunkan dari kedua orang tua pembawa Thalasemia dan menunjukkan gejala klinis yang paling berat, keadaan ini disebut juga Thalasemia mayor. Penderita Thalasemia mayor akan

  6 mengalami anemia dikarenakan penghancuran hemoglobin dan membuat penderita

  1 harus menjalani transfusi darah seumur hidup setiap bulan sekali.

  Thalasemia diwariskan oleh orang tua yang carrier kepada anaknya. Apabila salah satu dari orang tua memiliki gen pembawa sifat Thalasemia maka kemungkinan anaknya 50% sehat dan 50% carrier Thalasemia. Apabila kedua orang tua memiliki gen pembawa sifat Thalasemia maka kemungkinan anaknya 25% sehat, 25%

  9 menderita Thalasemia mayor dan 50% carrier Thalasemia.

2.2. Klasifikasi Thalasemia

  Secara molekuler, Thalasemia dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu Thalasemia alfa dan Thalasemia beta sesuai dengan kelainan berkurangnya produksi

  11 rantai-polipeptida.

  12

2.2.1. Thalasemia Alfa

  Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari: a. Silent Carrier State

  Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.

  b. Thalasemia Alfa Trait Gangguan pada 2 rantai globin alfa. Penderita mengalami anemia ringan dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier. c. Hemoglobin H Disease Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan perbesaran limpa

  (splinomegali).

  d. Thalasemia Alfa Mayor Gangguan pada 4 rantai globin alfa. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada Thalasemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alfa Thalasemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.

2.2.2. Thalasemia Beta

  Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari: a. Thalasemia Beta Trait (Minor) Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.

  Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer).

  b. Thalasemia Intermedia Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi. c. Thalasemia Mayor (Cooley’s Anemia) Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita Thalasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh,

  2

  yang lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O , gagal jantung kongestif, maupun kematian. Penderita Thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang

  13 rutin dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya.

2.3. Patogenesis Thalasemia

2.3.1. Thalasemia Alfa

  Alfa globin adalah sebuah komponen dari protein yang lebih besar yang disebut hemoglobin. Hemoglobin merupakan protein dalam sel darah merah yang membawa oksigen ke sel dan jaringan di seluruh tubuh. Hemoglobin terdiri dari 4 komponen alfa globin dan 2 komponen beta globin.

  HBA1 (Hemoglobin, α-1) adalah gen yang memberikan instruksi untuk membuat protein yang disebut alfa globin. Protein ini juga diproduksi dari gen yang hampir identik yang disebut HBA2 (Hemoglobin, α-2). Kedua gen alfa globin terletak dalam sebuah kromosom 16 yang dikenal sebagai lokus alfa globin.

  Pada manusia normal terdapat 4 copy gen alfa globin. Sedangkan pada penderita Thalasemia, terjadi mutasi pada gen alfa globin. Apabila terjadi mutasi pada 1 gen α, maka tidak ada dampak pada kesehatan, tetapi orang tersebut membawa sifat Thalasemia atau disebut carrier (trait) Thalasemia. Apabila terjadi mutasi pada 2 gen α, maka akan menderita Thalasemia ringan yang tidak menunjukkan gejala berat. Sedangkan mutasi yang terjadi pada 3 gen α akan menyebabkan penderita mengalami anemia berat, yang disebut juga Hemoglobin H Disease. Mutasi yang terjadi pada 4

  14 gen α akan berakibat fatal pada bayi karena alfa globin tidak dihasilkan sama sekali.

2.3.2. Thalasemia Beta

  Beta Globin adalah sebuah komponen dari protein yang lebih besar yang disebut hemoglobin, yang terletak di dalam sel darah merah. Gen HBB (Hemoglobin Beta) yang memberikan instruksi untuk membuat protein yang disebut beta globin. Lebih dari 250 mutasi pada gen HBB telah ditemukan menyebabkan Thalasemia beta. Tanpa beta globin, hemoglobin tidak dapat terbentuk dan akan mengganggu perkembangan sel-sel darah merah. Kekurangan sel darah merah akan menghambat oksigen yang akan dibawa dan membuat tubuh kekurangan oksigen.

  Pada manusia normal terdapat 2 copy gen beta globin yang terdapat pada kromosom 11. Dan mutasi yang terjadi pada gen beta globin akan menyebabkan Thalasemia. Jika seseorang hanya memiliki 1 gen beta globin yang normal dan 1 gen

  15 beta globin sudah termutasi, maka orang tersebut carrier Thalasemia (trait).

  16

  2.4. Gambaran Klinis Thalasemia

  Tanda dan gejala dari penyakit Thalasemia disebabkan oleh kekurangan oksigen di dalam aliran darah. Hal ini terjadi karena tubuh tidak cukup membuat sel- sel darah merah dan hemoglobin.

  Thalasemia alfa silent carrier umumnya tidak memiliki tanda-tanda atau gejala. Hal ini terjadi karena kekurangan protein alfa globin tidak terlalu banyak sehingga hemoglobin dalam darah masih dapat bekerja dengan normal. Penderita Thalasemia alfa atau beta dapat mengalami anemia ringan. Anemia ringan dapat membuat penderita merasa lelah dan hal ini sering disalahartikan menjadi anemia kekurangan zat besi.

  Penderita beta Thalasemia intermedia dapat mengalami anemia ringan sampai dengan sedang. Selain itu juga dapat diikuti dengan masalah kesehatan lainnya, seperti:

  a. Menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak

  b. Masalah tulang, Thalasemia dapat menyebabkan sumsum tulang tidak berkembang. Hal ini menyebabkan luas tulang melebihi normal dan tulang menjadi rapuh.

  c. Pembesaran limpa.

  Penderita hemoglobin H disease dapat mengalami anemia dengan tingkat yang berat. Tanda dan gejala akan muncul dalam 2 tahun pertama kehidupannya.

  Penderita akan mengalami anemia berat dan masalah kesehatan serius lainnya, seperti: a. Pucat dan lesu

  b. Nafsu makan menurun

  c. Urin lebih pekat

  d. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat

  e. Kulit berwarna kekuningan

  f. Pembesaran hati dan limpa

  )16

  g. Masalah tulang (terutama tulang wajah

  c. Osteoporosis Banyak penderita Thalasemia yang memiliki masalah tulang, salah satunya adalah osteoporosis. Osteoporosis adalah suatu kondisi dimana tulang menjadi sangat rapuh dan mudah patah.

2.6. Epidemiologi Thalasemia

2.6.1. Distribusi dan Frekuensi Thalasemia Berdasarkan Orang

  Dalam penelitiannya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, Humris- Pleyte menemukan bahwa dari 192 kasus Thalasemia sebanyak 59,4% kasus sudah dapat ditegakkan diagnosanya sebelum anak berusia 1 tahun, 33,3% kasus ditegakkan diagnosanya saat anak berusia 1-2 tahun dan 7,3% kasus ditegakkan diagnosanya

  17 pada saat anak berusia 2-4 tahun.

  Berdasarkan data penderita Thalasemia yang berobat di Pusat Thalasemia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dari tahun 1993 sampai dengan 2007 terdapat 1.267 kasus, yaitu 499 kasus (39,38%) berusia 0-5 tahun, 394 kasus (31,1%) berusia 6-10 tahun, 224 kasus (17,68%) berusia 11-15 tahun, 104 kasus

  18 (8,04%) berusia 16-20 tahun, dan 46 kasus (3,63%) berusia > 20 tahun.

  Berdasarkan penelitian Peony di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2004, dari 68 kasus Thalasemia yang diteliti, 35 kasus (51,5%)

  19 diantaranya terjadi pada laki-laki, dan 33 kasus (48,5%) terjadi pada perempuan.

  Berdasarkan data penderita yang berobat di Pusat Thalasemia RSCM tahun 1993-

  20 2007 terdapat 694 kasus (54,78%) laki-laki dan 573 kasus (45,22%) perempuan.

  2.6.2. Distribusi dan Frekuensi Thalasemia Berdasarkan Tempat

  Thalasemia ditemukan pertama kali di Mediterania, tetapi saat ini Thalasemia ditemukan hampir di seluruh dunia. Thalasemia diidentifikasi di Eropa Selatan, dari Portugal ke Spanyol, Italia dan Yunani, serta beberapa kasus di Eropa tengah dan Uni Soviet. Thalasemia juga ditemukan di beberapa negara bagian Asia, seperti Iran, Pakistan, India, Bangladesh, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Cina Selatan.

  Perpindahan penduduk dan pernikahan antar suku bangsa menjadikan Thalasemia menyebar luas di seluruh belahan dunia, termasuk di Eropa Utara, dimana Thalasemia yang sebelumnya tidak ditemukan hingga menjadi masalah kesehatan

  5 serius bagi penduduknya.

  Carrier Thalasemia juga ditemukan di seluruh dunia. Thalasemia alfa

  ditemukan dalam jumlah besar di Asia tenggara, seperti Thailand, Indonesia, Laos, Vietnam, Singapura, Filiphina, Kamboja, dan Malaysia. Carrier Thalasemia juga

  20 banyak ditemukan di China, India, Afrika, Mediterania, Yunani, dan Italia.

  Thalasemia beta merupakan jenis Thalasemia yang paling banyak ditemukan di dunia. Thalasemia beta sangat sering terjadi di Mediterania dan beberapa bagian di

  11 Timur Tengah, India, Pakistan, dan Asia Tenggara, dengan frekuensi antara 2-30%.

  2.6.3. Distribusi dan Frekuensi Thalasemia Berdasarkan Waktu

  Pada tahun 1955, Lie-Injo Luan Eng dan Yo Kian Tjai melaporkan adanya 3 orang anak yang menderita Thalasemia mayor dan 4 tahun kemudian ditemukan 23 orang anak yang menderita Thalasemia di Indonesia. Dalam kurun waktu 17 tahun, yaitu dari tahun 1961 sampai dengan 1978 telah ditemukan lebih dari 300 penderita

1 Thalasemia.

  Menurut penelitian Weatherall tahun 2001, prevalensi carrier Thalasemia α adalah 10-20% di Afrika, 40% di Timur Tengah dan India, dan mencapai 80% di

  3 Papua Nugini Utara dan beberapa populasi di timur laut India. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2006 sekitar 7% penduduk dunia diduga carrier Thalasemia, dan sekitar 300.000-500.000 bayi lahir dengan kelainan ini setiap

  2 tahunnya.

  Kasus-kasus serupa juga banyak dilaporkan dari berbagai rumah sakit di Indonesia, diantaranya Manurung pada tahun 1978 dari bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan telah melaporkan 13 kasus.

  Selain itu, Sumantri, Untario, dan Sunarto pada tahun yang sama dari bagian Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Airlangga, dan Universitas Gajah Mada juga melaporkan adanya kasus Thalasemia. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional Thalasemia di

1 Indonesia adalah 0,1%.

2.6.4. Determinan Thalasemia

  a. Genetik Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen alfa globin dan gen beta globin yang terletak pada kromosom 16 dan kromosom 11. Pada manusia, kromosom selalu ditemukan berpasangan. Kelainan sebelah gen globin disebut

  carrier Thalasemia. Seorang carrier Thalasemia tampak sehat, sebab masih ada

  sebelah gen globin yang normal dan dapat berfungsi dengan baik. Seorang carrier Thalasemia biasanya tidak memerlukan pengobatan. Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromosom disebut Thalasemia mayor (homozigot). Kedua belah gen yang mengalami kelainan berasal dari kedua orang tua yang masing-masing carrier Thalasemia.

  Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing carrier Thalasemia, maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, anak mendapatkan gen globin yang berubah (gen Thalasemia) dari ayah dan ibunya, sehingga anak akan menderita Thalasemia.

  Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen Thalasemia dari ibu atau ayahnya, maka anak akan menjadi carrier Thalasemia. Kemungkinan lainnya adalah anak mendapatkan gen globin normal dari kedua orang tuanya, sehingga anak tersebut

  21 tidak menderita Thalasemia ataupun membawa sifat Thalasemia.

  b. Umur Thalasemia mayor terjadi bila kedua orang tua carrier Thalasemia. Anak-anak dengan Thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan mengalami anemia pada usia 3 – 18 bulan. Penderita memerlukan transfusi darah secara berkala seumur hidupnya. Apabila penderita Thalasemia mayor tidak dirawat, maka hidup mereka biasanya hanya bertahan antara 1 – 8 tahun.

  Pada Thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah terlihat sejak anak berusia dibawah 1 tahun. Sedangkan pada Thalasemia minor yang

  22 gejalanya ringan, biasanya datang berobat pada usia 4 – 6 tahun.

2.7. Pencegahan Thalasemia

  2.7.1. Pencegahan Primer

  Pencegahan primer adalah mencegah seseorang agar tidak menderita Thalasemia ataupun menjadi carrier Thalasemia. Pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah konseling genetik pranikah. Konseling ini ditujukan kepada pasangan pranikah terutama pada populasi yang beresiko tinggi agar mereka memeriksakan diri apakah mereka carrier Thalasemia atau tidak. Konseling ini juga ditujukan kepada mereka yang memiliki kerabat penderita Thalasemia.

  Tujuan utama konseling pranikah ini adalah mencegah terjadinya pernikahan antar carrier Thalasemia karena berpeluang 50% untuk mendapat keturunan carrier

  23 Thalasemia, 25% Thalasemia mayor, dan 25% bebas Thalasemia.

  2.7.2. Pencegahan Sekunder

  a. Diagnosis

  14

  a.1. Anamnesis Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu makan, gangguan tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran hati dan limpa.

  Umumnya, keluhan ini muncul pada usia 6 bulan.

  14

  a.2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pada penderita Thalasemia berupa pucat, bentuk muka mongoloid, dapat ditemukan ikterus, gangguan pertumbuhan, dan splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar.

  24

  a.3. Pemeriksaan Laboratorium a.3.1. Thalasemia Alfa Trait Pasien dengan 2 gen globin alfa akan mengalami anemia ringan, dengan nilai hematokrit antara 28% sampai dengan 40%. Kadar volume eritrosit rata-rata (MCV) rendah, yaitu antara 60-75 fL. Apusan darah tepi menunjukkan abnormalitas ringan, meliputi mikrosit, hipokromi, kadang terdapat sel target, dan akantosit (sel dengan tonjolan membulat yang berjarak tidak teratur).

  Angka retikulosit dan parameter besi dalam batas normal. Elektroforesis hemoglobin menunjukkan tidak adanya peningkatan pada hemoglobin A atau

  2

  hemoglobin F dan tidak didapatkan hemoglobin H disease. Alfa Thalasemia trait seringkali didiagnosis pada pasien dengan anemia ringan, mikrositosis nyata, dan tidak terdapat peningkatan hemoglobin A atau hemoglobin F.

  2

  a.3.2. Hemoglobin H Disease Pada pasien ini terdapat anemia hemolitik dengan derajat bervariasi, dengan kadar hematokrit 28% sampai 32%. Kadar MCV rendah, yaitu 60-70 fL. Apusan darah tepi menunjukkan abnormalitas dengan hipokromi, mikrositosis, sel target dan poikilositosis. Angka retikulosit meningkat. Elektroforesis hemoglobin menunjukkan adanya hemoglobin yang bermigrasi cepat (hemoglobin H) dalam jumlah 10-40% dari hemoglobin. Apusan darah tepi dapat diperjelas dengan cat khusus untuk menunjukkan adanya hemoglobin H. a.3.3. Thalasemia Beta Minor Seperti pada pasien Thalasemia alfa trait, pasien akan mengalami anemia ringan dengan hematokrit berkisar antara 28%-40%. Kadar MCV berkisar antara 55-

  75 fL, dan angka eritrosit bisa normal atau meningkat. Apusan darah tepi menunjukkan abnormalitas ringan dengan hipokromi, mikrositosis, dan sel target.

  Berbeda dengan Thalasemia alfa, pada Thalasemia beta minor bisa terdapat basofil

  stippling. Angka retikulosit bisa normal atau sedikit meningkat. Elektroforesis

  hemoglobin menunjukkan peningkatan hemoglobin A

  2 berkisar antara 4-8% dan terkadang terjadi peningkatan hemoglobin F antara 1-5%.

  a.3.4. Thalasemia Beta Mayor Thalasemia beta mayor menyebabkan anemia berat dan tanpa transfusi, hematokrit dapat turun sampai dibawah 10%. Apusan darah tepi menunjukkan abnormalitas, poikilositosis berat, hipokromi, mikositosis, sel target, basofil stippling dan eritrosit berinti. Hemoglobin A sangat sedikit bahkan tidak ditemukan.

  Hemoglobin A ditemukan dalam jumlah yang sangat bervariasi, dan hemoglobin

  2 utama yang dapat ditemukan adalah hemoglobin F.

  b. Skrining Skrining merupakan pemantauan perjalanan penyakit dan pemantauan hasil terapi yang lebih akurat. Pemeriksaan ini meliputi Hematologi rutin untuk mengetahui kadar Hb dan ukuran sel darah, gambaran darah tepi untuk melihat bentuk, warna, dan kematangan sel-sel darah, feritin dan iron serum (SI) untuk melihat status besi, analisis hemoglobin untuk diagnosis dan menentukan jenis Thalasemia, serta analisis DNA untuk diagnosis prenatal (pada janin) dan

  11 penelitian.

14 Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) diberikan setelah kadar

  c. Medikamentosa

  feritin serum sudah mencapai 1000mg/l atau saturasi transferin lebih dari 50%, atau sekitar 10 – 20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25 – 50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8 – 12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah. c.1. Vitamin C 100 - 250 mg/hari selama pemberian khelasi besi, untuk meningkatkan efek khelasi besi. c.2. Asam folat 2 – 5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat. c.3. Vitamin E 200 – 400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.

  14

  d. Splenektomi Splenektomi perlu dilakukan untuk mengurangi kebutuhan darah.

  Splenektomi harus ditunda sampai pasien berusia > 6 tahun karena tingginya resiko infeksi yang berbahaya pasca splenektomi. Splenektomi dilakukan dengan indikasi: d.1. Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita akan menimbulkan peningkatan tekanan intra abdominal dan memungkinkan terjadinya ruptur. d.2. Hiperplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.

  14 e. Transfusi Darah Pengobatan paling umum pada penderita Thalasemia adalah transfusi komponen sel darah merah. Transfusi bertujuan untuk menyuplai sel darah merah sehat bagi penderita. Transfusi darah yang teratur perlu dilakukan untuk mempertahankan hemoglobin penderita diatas 10 g/dL setiap saat. Hal ini biasanya

  

21

  membutuhkan 2 – 3 unit tiap 4 – 6 minggu. Keadaan ini akan mengurangi kegiatan hemopoesis yang berlebihan di dalam sum-sum tulang dan juga mengurangi absorbsi Fe di traktus digestivus, serta dapat mempertahankan pertumbuhan dan

  14 perkembangan penderita.

2.7.3. Pencegahan Tersier

  Pencegahan tersier adalah mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi bagi penderita Thalasemia. Pencegahan tersier bagi penderita Thalasemia adalah dengan mendirikan pusat rehabilitasi medis bagi penderita Thalasemia. Saat ini telah berdiri Yayasan Penderita Thalasemia Indonesia di Jakarta. Yayasan ini bertujuan untuk mengumpulkan dana bagi penderita Thalasemia yang kurang mampu. Selain itu, yayasan ini juga menjadi wadah untuk bertukar informasi, fikiran dan pengalaman dalam mengatasi masalah kesehatan dan psikologis pada penderita

25 Thalasemia.

2.8. Kerangka Konsep

  Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka di atas, maka kerangka konsep dari penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

KARAKTERISTIK PENDERITA

THALASEMIA

  1. Sosiodemografi Umur Jenis Kelamin Suku Agama Pendidikan Daerah Asal

  2. Riwayat Penyakit Keluarga

  3. Keluhan Utama

  4. Jenis Thalasemia

  5. Jenis Komplikasi

  6. Penatalaksanaan Medis

  7. Lama Rawatan Rata-rata

  8. Sumber Pembiayaan

  9. Keadaan Sewaktu Pulang