Penetapan lokasi dan Unit Analisis Penelitian

  BACKYARD HATCHERY MENDUKUNG EVALUASI PRODUKTIVITAS

PENINGKATAN PRODUKSI UDANG VANAME

  

Lies Emmawati Hadie*, Rasidi, Wartono Hadie

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya

  • *E-mail :

  

Abstrak: Produksi udang nasional ditargetkan oleh Kementerian Kelautan dan

Perikanan mencapai 755.506 ton pada tahun 2015, sebagian besar dari target

tersebut di dominasi oleh udang vaname. Kendala krusial yg perlu segera

mendapat perhatian adalah masalah ketersediaan benih unggul dalam jumlah

yg mencukupi kebutuhan. Total kebutuhan benih secara nasional adalah

sebesar + 89,0 milyar , untuk dapat memenuhi target produksi yang telah

dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Faktanya kebutuhan benih

baru tercukupi sekitar 40 – 50 %, artinya supply- demand tidak berimbang.

Kajian dilaksanakan melalui survey ke sentra budidaya udang. Survey dilakukan

dengan metode Rapid Rural Appraisal dan Participatory Rapid Appraisal. Lokasi

yg di survey adalah provinsi Jawa Barat , Jawa Tengah , Jawa Timur, dan

Sulawesi Selatan. Data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan di provinsi dan

kabupaten Bandung, Karawang, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sidoarjo, dan

Makassar. Hasil kajian menunjukkan bahwa kontribusi backyard hatchery yang

mencapai 83.0% dalam menghasilkan benih udang vaname di tingkat nasional.

Backyard hatchery umumnya dimiliki oleh pengusaha dengan modal terbatas.

Untuk dapat meningkatkan produksi benih dengan mutu yang baik, perlu

didorong untuk menerapkan Cara Perbenihan yang Baik secara bertahap

dibawah bimbingan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Badan

Pengembangan Sumberdaya Daya Manusia dan Badan Penelitian dan

Pengembangan Kelautan dan Perikanan –KKP, sehingga backyard hatchery

tersebut dapat memperoleh sertifikasi. Sertifikat cara pembenihan ikan yang

backyard hatchery akan menjadi jaminan atas produksi benih baik (CPIB) pada

udang vaname yang berkualitas unggul dan dalam jumlah yang mencukupi

kebutuhan, sehingga dapat dicapai target produksi udang nasional sesuai yang

telah dicanangkan oleh KKP.

  Kata Kunci: benih unggul, backyard hatchery, udang vaname, produktivitas.

  PENDAHULUAN Peningkatan produksi udang cenderung meningkat pada tahun 2015, hal ini

terlihat dari meningkatnya budidaya udang intensif pada tahun 2014. Kondisi ini terjadi

karena harga udang yang tinggi di pasar internasional yang mendorong perluasan

b budidaya udang di tambak (KKP, 2014 ).

  Produksi udang nasional ditargetkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan mencapai 755.506 ton pada tahun 2015, sebagian besar dari target tersebut di dominasi oleh udang vaname. Dari data sementara KKP, produksi total udang nasional

  

mencapai 592.219 ton dengan komoditas udang vaname sebesar 70 %, udang windu

21 % dan udang lainnya 9 %. Sementara target produksi udang tahun ini sebesar

755.506 ton. Dalam rangka mendukung realisasi target produksi udang

  perlu ketersediaan benih dan induk unggul dengan jumlah yang memadai. Kebutuhan induk udang vaname sebagian besar masih impor, untuk mengejar target tersebut

  

Lies Emmawati H, Rasidi, Wartono H: Evaluasi Produktivitas Backyard Hatchery C1-1 perlunya program penyediaan induk udang yang akan mendorong produktivitas dalam

  b negeri (KKP, 2014 ) .

  Kendala krusial yg perlu segera mendapat perhatian adalah masalah ketersediaan benih unggul dalam jumlah yg mencukupi kebutuhan. Total kebutuhan benih secara nasional adalah sebesar + 89,0 milyar , untuk dapat memenuhi target produksi yang telah dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan tambak (KKP,

  b

2014 ). Faktanya kebutuhan benih baru tercukupi sekitar 40 – 50 %, artinya supply-

  demand tidak berimbang. Oleh karean itu diperlukan kajian untuk mengevaluasi backyard hatchery guna mendukung peningkatan produksi udang produktivitas vaname.

  METODE PENELITIAN Metode Penelitian

  Rapid Rural Appraisal dan Participatory Rapid Kegiatan dilaksanakan dengan metode Appraisal yaitu dengan melakukan pengumpulan data pokok dan informasi kualitatif dan kuantitatif tentang produksi benih udang secara komprehensif (Townsley,1999). snowball sampling yakni

  Metode untuk pengambilan responden menggunakan metode dengan menentukan sampel awal kemudian menentukan sampel berikutnya berdasarkan informasi yang diperoleh .

  Penetapan lokasi dan Unit Analisis Penelitian

  Penelitian dilaksanakan di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan

  • – Sulawesi Selatan. Penelitian dan pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus November 2014. Lokasi yang dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa provinsi tersebut merupakan sentra backyard hatchery udang vaname.

  Jenis dan Sumber Data

  Sifat data yang digunakan berupa data kualitatif dan kuantitatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden, dan data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan di provinsi dan kabupaten Bandung, Karawang, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sidoarjo, dan Makassar. Data sekunder yang dimaksud berupa laporan- laporan dari Dinas Kelautan dan Perikanan serta penelitian-penelitian yang terkait.

  HASIL DAN PEMBAHASAN Status broodstock center dan hatchery udang skala besar dan backyard.

  broodstock center Kebutuhan induk udang seharusnya dapat dipenuhi oleh yang telah dibangun oleh pemerintah maupun hatchery – hatchery milik private sector. Namun faktanya 60 % induk udang masih tergantung pada impor dari Hawaii untuk dapat memenuhi kebutuhan nasional (Gambar 1).

  

C1-2 Lies Emmawati H, Rasidi, Wartono H: Evaluasi Produktivitas Backyard Hatchery

  Gambar 1. Persentase asal induk udang yg dibutuhkan oleh hatchery di tingkat nasional (KKP,2012) hatchery – hatchery udang skala besar

  Kendala yang umumnya dihadapi oleh maupun backyard hatchery adalah pemeliharaan stock induk berkualitas prima dalam jumlah yg relatif besar. Faktor ini merupakan salah satu faktor penting, selain pola manajemen induk yg menentukan tercapainya target produksi benih yg telah ditetapkan. Aspek genetik dalam manajemen induk udang merupakan hal penting, sebab sifat genetika pada populasi induk merupakan potensi gen yang akan dikelola dan di eksploitasi untuk menghasilkan benih udang yg berkualitas prima. Jika hal ini tidak dapat dipenuhi, maka target produksi benih sulit untuk dicapai secara maksimal. broodstock center di

  Salah satu contoh adalah kapasitas produksi benih udang pada Karangasem, Bali yg hanya mampu mencapai 50 % dari potensi produksi sebesar 300.000 ekor per tahun, dan broodstock center Situbondo yang mampu mencapai 71.4 % dalam menghasilkan induk udang. Kondisi semacam ini perlu mendapat perhatian serius, karena kebutuhan induk secara nasional adalah sebesar 2.600.000 ekor. Hal ini berarti bahwa private sector mempunyai kontribusi yang cukup besar broodstock center milik pemerintah. Informasi dari beberapa dibandingkan dengan private sector dalam produksi induk udang yg sumber menunjukkan peran penting dari menghasilkan + 81 % dari total induk udang lokal (Gambar 2).

  Gambar 2 Produksi induk udang pada private sector dan broodstock center tahun 2014 (DJPB, 2012) Sehubungan dengan kondisi tersebut diatas diperlukan kebijakan dari pihak pemerintah sebagai fasilitator dalam peningkatan kapasitas produksi induk udang lokal. Pada tahun berjalan ini telah diluncurkan program pembangunan dan pengembangan Broodstock Center dan Regional Broodstock Center di beberapa wilayah. Program ini diharapkan dapat meningkatkan stok induk untuk memenuhi kebutuhan induk udang secara nasional melalui serangkaian metode dan proses seleksi induk udang (KKP, 2012).

  Selain kebijakan tersebut diatas juga diperlukan kebijakan pemerintah dalam mengatur sentra-sentra perbenihan udang vaname dan udang windu. Kualitas benih

  

Lies Emmawati H, Rasidi, Wartono H: Evaluasi Produktivitas Backyard Hatchery C1-3 udang yg prima memerlukan lingkungan yg relatif bebas dari pencemaran atau hanya ada sedikit mengalami pencemaran (Boyd,1999). Program pengembangan wilayah perbenihan menjadi salah satu pilihan yg cukup efektif untuk daerah di wilayah Barat dikembangkan ke arah wilayah Timur. Sementara ini sentra produksi benih adalah 43 % berada di wilayah Sumatera Utara dan Lampung, 28 % di wilayah Jawa, serta 16 % di wilayah Bali –Nusa Tenggara, sebesar 9 % berada di Sulawesi selatan, dan 2 % di Kalimantan Timur (Gambar 3).

  Gambar 3. Produksi benih udang vaname di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali –Nusa Tenggara (KKP, 2012)

  Pengembangan sentra perbenihan yang semula di dominasi oleh wilayah Indonesia Barat dapat dikembangkan ke wilayah Timur seperti Kalimantan Timur, Bali- Nusa Tenggara dan Sulawesi Selatan. Hal ini mengingat bahwa wilayah bagian Timur relatif lebih sedikit mengalami pencemaran lingkungan dibandingkan dengan wilayah bagian Barat. Hasil kajian ini sesuai dengan program DJPB-KKP yang mulai mengarahkan pengembangan sentra produksi benih udang di wilayah Indonesia bagian Timur dan mendekati sentra pengembangan udang, seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Kalimantan Timur yang memiki potensi yang besar untuk pengembangan udang. Kebijakan pengembangan sentra perbenihan udang perlu dibarengi dengan sosialisasi dan bimbingan dalam penerapan Cara Perbenihan Ikan yg Baik (CPIB) yg mengarah kepada sertifikasi hatchery udang. hatchery yg telah memiliki sertifikasi terpusat di wilayah

  Hal diperlukan karena saat ini Jawa Timur dan Lampung, Sumatera Selatan. Dalam hal ini DJPB-KKP bersama Pemda hatchery yang bersedia mengembangkan setempat dapat memberikan insentif bagi usahanya di wilayah Timur. Insentif dapat diberikan dalam bentuk kemudahan perijinan, keringanan pajak pendapatan, serta fasilitas sarana prasarana yg optimal. hatchery perlu bersinergi dengan private sector sebagai

  Program pengembangan pelaku usaha utama dalam menghasilkan benih udang berkualitas. CPIB sebagian telah dilaksanakan oleh tipe hatchery lengkap yg umumnya dikelola oleh perusahaan besar. backyard yang umumnya dimiliki oleh pengusaha

  Namun berbeda halnya dengan backyard seperti ini memerlukan dorongan untuk dengan modal terbatas. Tipe menerapkan CPIB secara bertahap dibawah bimbingan BPSDM dan Badan Litbang - backyard, dan 17 %

  KKP. Total produksi benih udang vaname 83 % dihasilkan dari dari hatchery besar (Gambar 4).

  

C1-4 Lies Emmawati H, Rasidi, Wartono H: Evaluasi Produktivitas Backyard Hatchery backyard (83%) dan hatchery Gambar 4. Kapasitas produksi besar (17%) (DJPB,2012)

  Fakta ini memperlihatkan peran penting backyard hatchery dalam memenuhi kebutuhan benih vaname di tingkat nasional yang memerlukan peningkatan kapasitas serta perbaikan manajemen dalam menghasilkan benih udang berkualitas tinggi. Hal ini sesuai dengan code of conduct for responsible fisheries ( F.A.O, 1999) dan Global Aquaculture Alliance (2002).

  KESIMPULAN

  Hasil kajian menunjukkan bahwa kontribusi backyard hatchery yang mencapai 83.0% dalam menghasilkan benih udang vaname di tingkat nasional. Backyard hatchery umumnya dimiliki oleh pengusaha dengan modal terbatas. Untuk dapat meningkatkan produksi benih dengan mutu yang baik, perlu didorong untuk menerapkan CPIB secara bertahap dibawah bimbingan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Badan Pengembangan Sumberdaya Daya Manusia dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan –KKP, sehingga backyard hatchery tersebut dapat memperoleh sertifikasi. Sertifikat CPIB pada backyard hatchery akan menjadi jaminan atas produksi benih udang vaname yang berkualitas unggul dan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan, sehingga dapat dicapai target produksi udang nasional sesuai yang telah dicanangkan oleh KKP.

DAFTAR PUSTAKA

  Boyd, C.E.1999. Codes of Practice for Responsible Shrimp Farming. Global Aquaculture Alliance. St. Louis, Missouri, USA. F.A.O. 1999. Food Safety Issues Associated With Products From Aquaculture Report of a Joint FAO/NACA/WHO Study Group World Health Organization . Geneva,

  Switzerland. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2012. Data Produksi Perbenihan Perikanan

  Budidaya 2011. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal. 05 – 08. Global Aquaculture Alliance. 2002. Guidelines for Best Aquaculture Practise.

  Aquaculture Facility Certification. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Visi, Misi, Grand Strategy dan Sasaran

  Stategis KKP.Disitir dari http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/8278/VISI- MISI-TUJUAN-DAN-SASARAN-STRATEGIS/?category_id=65 ( Januari 2015).

  

Lies Emmawati H, Rasidi, Wartono H: Evaluasi Produktivitas Backyard Hatchery C1-5 Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2007. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor Kep.02/MEN/2007 tentang Cara Budidaya Ikan Yang Baik.

  a

  Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014 . Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor 3/PERMEN-KP/2014 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010 – 2014.

  b

  Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014 . Siaran Pers Nomor : 21/PDSI/HM.310/II/2014. KKP Kembangkan Budidaya Udang Supra Intensif.

  Diakses 2 April 2015 dari http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10445/KKP- Kembangkan-Budidaya-Udang-Supra-Intensif/. The Global Aquaculture Advocate . 2012. The Global Magazine for Farmed Seafood (ed Nov- Des 2012) Volume 15 Issued 6. USA. Townsley, 1996. Rapid Rural Appraisal, Participatory Rural Appraisal and Aquaculture.

  FAO Fisheries Technical Paper. No. 358. FAO of the UN. Rome. 109 p.

  

C1-6 Lies Emmawati H, Rasidi, Wartono H: Evaluasi Produktivitas Backyard Hatchery

  Myxobolus koi SEBAGAI KARAKTERISASI PROTEIN SPORA Cyprinus carpio koi) BAHAN VAKSIN SUB UNIT PADA IKAN KOI (

UNTUK MENEKAN KEMATIAN AKIBAT MYXOBOLUSIS *)

  

Gunanti Mahasri

Departemen Manajemen Kesehatan Ikan dan Budidaya Perikanan

Fakutas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga

  

E-mail: mahasritot@gmail.com

Abstrak: Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu sumber andalan

dalam pembangunan perikanan di Indonesia. Produksi dari perikanan budidaya

secara keseluruhan diproyeksikan meningkat dengan rata-rata 4,9 % per tahun.

Salah satu budidaya perikanan yang banyak diminati banyak orang saat ini

adalah budidaya ikan mas walaupun permintaan di tingkat pasaran lokal akan

ikan mas dan ikan air tawar lainnya selalu mengalami pasang surut.Akan tetapi

dilihat dari jumlah hasil penjualan secara rata-rata selalu mengalami kenaikan

dari tahun ke tahun. Selain itu penjualan benih ikan mas boleh dikatakan

hampir tak ada masalah, prospeknya cukup baik. Tujuan dari penelitian ini

adalah karakterisasi protein spora pada insang Ikan Mas ( Cyprinus carpio)

Myxobolus sp dengan metode SDS-PAGE (Sodium Dodecyl akibat infestasi

Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis) untuk pengembangan bahan vaksin

sub-unit. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

eksperimen laboratorik.Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis SDS-PAGE

  Myxobolus sp. menunjukkan bahwa didapatkan protein pada protein spora

  • – 230,1 kDa. Berdasarkan hasil identifikasi berat berat molekul antara 41,1 kDa

    molekul protein spora Myxobolus sp. diperoleh sebanyak 5 profil pita protein

    dengan berat molekul 41,1 kDa, 51 kDa, 89,8 kDa dan 121,7 kDa. dan protein

    dengan BM 230,1 kDa. Pita protein dengan berat molekul 89,8 kDa

    menggambarkan pita yang paling tebal dibanding pita yang lain. Hasil uji

    tantang menunjukkan bahwa spora Myxobolus koi dapat meningkatkan

    kelulushidupan ikan dari 10% menjadi 86%, sehingga dapat dikembangkan

    sebagai bahan sub unit vaksin myxobolus koi, protein spra, vaksin subunit, myxobolusis.

  Kata Kunci: PENDAHULUAN

  Pengembangan ikan hias air tawar di Indonesia melalui budidaya mempunyai prospek yang yang cerah. Hal ini disebabkan berbagai ikan hias tersebut termasuk dalam kategori ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Salah satu spesies

  Cyprinus carpio koi). Peluang budidaya ikan ini masih ikan tersebut adalah Ikan koi ( cukup besar untuk meraih potensi pasar yang terus meningkat. Berdasrkan data dari Kementrian Perikanan dan Kelautan tahun 2010 dinyatakan bahwa Indonesia baru menguasai 7,5% perdagangan ikan hias dunia, masih lebih rendah jika dibandingkan Singapura yang sudah mencapai 22,5%. Hal ini menyebabkan pengembangan ikan koi meningkat terutama melalui budidaya baik secara intensif maupun tadisional. Akan tetapi banyak kendala yang dapat menyebabkan kegagalan dalam budidaya tersebut, dimana kendala utama yang sangat perlu diperhatikan adalah munculnya serangan penyakit.

  Salah satu penyakit parasiter yang sering menjadi wabah adalah penyakit Myxobollus koi yang disebut dengan myxobolusis. Penaykit protozoa yang disebabkan ini mulai tahun 2009 dimasukkan dalam hama penyakit karantina (HPIK) golongan I, karena penyakit ini dapat menyebabkan sakit, cepat menular dan menyebabkan kematian ikan. Penyakit yang ditimbulkan ini disebut dengan Myxobolusis yang dapat menyebabkan masalah serius pada ikan mas dan dapat menyebabkan kematian hingga 60-90% dengan prevalensi mencapai 100% (Supriyadi dan Tim Lentera, 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 1974 dan 1978 telah terjadi kasusserangan Myxobolus sp di Indonesia yang menyebabkan kematian ikan koi hingga 100% terutama pada stadia benih.

  Ikan yang terserang oleh penyakit myxobolusis tersebut menunjukkan sulit bernafas karena ditemukan adanya bintil atau nodul atau kista pada filamen insang. Di Blitar telah dilaporkan oleh para petani bahwa pada tahun 2010 telah terjadi wabah myxobolusis pada ikan mas koi yang berukuran 3-5 cm dengan mortalitas mencapai 90%. Penyebaran parasit ini terjadi karena perpindahan parasit dari ikan satu ke ikan yang lain , baik secara langsung maupun melalui inang antara pada fase tertentu dari siklus hidup parasit tersebut (Ryce, 2003). Tahun 2002 telah terjadi kematian masal

  Myxobolus ikan mas di daerah Sleman dan Kulon Progo yang disebabkan oleh parasit sp dan Henneguya (Anonim, 2002) sehingga kerugian yang dialami pembudidaya ikan cukup besar. Myxobolus sp juga ditemukan di daerah Ngrajek kabupaten Magelang pada tahun 2006 dengan prevalensi mencapai 91%, (Obing, 2006). Kemudian di kolam ikan mas koi di Blitar prevalensi mencapai 86% pada tahun 2010 (Anugrahi, 2010).

  Myxobolusis adalah merupakan penyakit parasiter pada ikan yang disebabkan oleh sporozoa, antara lain Myxobolus sp. Pada umumnya organisme penyebab penyakit ini dikenali dengan morfologi sporanya, jumlah dan lokasi filamen polar (Mahasri, 2004). Secara patologi Myxobolus koi menginfeksi insang dari ikan common carp dan golfish dengan ciri-ciri terdapat nodul putih atau agak kemerahan atau bahkan berwarna merah pada jaringan insang (Paperna, 1992 dan Egusa, 1992). Kista connective tissue dimana nodul berwarna merah gelap dapat yang telah matang pada menyebabkan haemoraghi dan degenerasi pada kapilaris insang. Hal ini dapat menyebabkan rusaknya sistem respirasi dan pergerakan operculum yang tidak normal akibat dari meningkatnya produksi mukus atau lendir.

  Myxobolus yang berbentuk kista dapat menginfeksi permukaan kulit dan lapisan subcutaneous, muscle gill dan central nervous system sebagai organ visceral. Apabila kista pecah maka spora akan menyebar di perairan dan menyebabkan kematian pada ikan (Lom dan Dykova, 1995). Hal ini takan mempengaruhi tingkat produksi ikan. Myxobolus yang menyerang insang dan subcutaneous dapat menyebabkan penurunan berat badan pada ikan karena nafsu makan ikan yang menurun, melemah, berenang di dekat pematang, warna kulit mulai pucat, dan terganggu sistim syarafnya. Apabila infeksi terjadi pada organ dalam, seperti hati, ginjal, dan selaput usus cenderung lebih fatal. Inang utama dari genus Myxobolus adalah ikan air tawar (Sugianti, 2005).

  Upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap myxobolusis sudah banyak dilakukan dengan menggunakan desinfektan maupun bahan kimia lain, akan tetapi belum dapat memenuhi target dan bahkan dapat menyebabkan adanya resistensi dan residu pada tubuh ikan. Untuk itu perlu dicari upaya alternatif pencegahan yang tidak menimbulkan dampak negatif. Salah satu upaya yang sudah mulai dikembangkan saat ini adalah dengan vaksinasi yang dapat dilakukan dengan cara perendaman maupun injeksi (Fiala, 2006). Kemudian Feizi dan Childs (1987) sudah berhasil menemukan Karbohidrat yang antigenik yang diisolasi dari glycoprotein.

  Karakterisasai protein dapat dilakukan dengan menggunakan metode SDS-Page yang hasilnya dapat diketahui berat molekul protein tersebut apakah cocok untuk et al. (2004) dalam Mahasri (2008) telah digunakan sebagai bahan vaksin. Itabashi berhasil mendeteksi protein inti dan sitoplasmik Zoothamnium arbuscula dengan anti protein spasmin-1 pada spasmonema. Analisis hasil immunoblotting menunjukkan bahwa protein antigennya mempunyai berat molekul 68 kDa, 55 kDa dan 71 kDa. Selanjutnya Mahasri (2007) telah berhasil menisolasi protein membrane imunogenik dari Zoothamium penaei MP38, MP48 dan MP67.

  Clark et al. (1996) dalam Mahasri (2008) menyatakan telah berhasil mengisolasi Paramecium, Tetrahymena dan Ichthyiophthirius protein membran antigen dari multifiliis, diduga protein ini berperan dalam infestasi parasit pada inang di mana protein mayor merupakan ligan perlekatan yang penting pada Ichthyiophthirius multifiliis dan merupakan jembatan masuknya parasit ke dalam sel. et al (2010) mengemukakan hasil analisa elektroforesis SDS-PAGE dari

  Chavda spora Myxobolus cerebralis yang menginfeksi ikan Catla catla diperoleh enam ekspresi pita protein dengan berat molekul 130 kDa dan 60 kDa serta empat pita protein lainnya 7 kDa sampai 45 kDa. Asri (2012) menunjukkan hasil isolasi protein spora Myxobolus koi yang menginfeksi ikan Cyprinus carpio dengan metode elektroforesis SDS-PAGE didapatkan dua pita protein dengan berat molekul 70,22 kDa dan 22,83 kDa. Lebih lanjut Insariani dkk (2012) mengemukakan hasil isolasi glikoprotein

  M. koi menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) diperoleh permukaan protein dengan berat molekul 12 kDa, 25 kDa dan 27 kDa.

  Berdasar latar belakang diatas maka pencarian bahan vaksin sub unit dari protein Myxobolus koi perlu dilakukan untuk dapat dikembangkan sebagai bahan vaksin sub unit untuk mencegah serangan myxobolusis, sehingga kematian ikan di kolam dapat ditekan.

METODE PENELITIAN

  Penelitian ini dilaksanakan mulai Bulan Maret sampai dengan Bulan November 2013, dengan lokasi penelitian di Laboratorium Kering Fakultas Perikanan dn Kelautan, Universitas Airlangga dan Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas MIPA Universitas Brawijaya, Malang.

  Bahan dan Peralatan

  Bahan utama untuk isolasi dan karakterisasi protein adalah yang akan digunakan antara lain adalah NaCL fisiologis, etanol, pelarut percoll gradient, pepsin, HCL, EDTA, KCL, KH2PO4, Na2HPO4,, trypsin, sodium citrat, NaHPO4, H2), NaHCO3, glucosa, phenol red 0,5%, NaOH, filter 0,22 um, bovineserum albumin, dextrosa, ETOH, proteinase, pasangan primer ForwardERIB1 5’ – ACCTGGTTGATCCTGCCAG-3’ (2- 20) dan Reverse ERIB10 5’ – CCTCCGCAGGTTCACCTACGG-3’ (2079-2059), 400 UM DNTP, 3 um MgCl2, yellow and blue dye, agarose, TAE buffer, sybrsafe, DNAladder 100 bp dan 1 bp, loading dey, tris-HCL, 2-mercaptoethanol, sodium deodecyl sulfat (SDS), bromophenol blue, glycerol, SDS loading buffer, polyacrylamide, stacking gel, ammonium peroxidaisulphate (APS), TEMED dan glycine. Sedangkan peralatan utama yang digunakan adalah Haemocytometer, rubber pollicemen, microscope micrometer, autoclaf, tabung centrifuse, swinging rotor, water bath sonicator dan 1 set peralatan SDS-PAGE electrophoresis (Rantam, 2003).

  Pelaksanaan Penelitian

  Myxobolus koi dengan SDS-PAGE Karakterisasi Protein Spora 1. Preparasi sampel spora Myxobolus koi

  Ikan yang terserang myxobolusis dicuci dengan akuades agar kotoran yang menempel pada tubuh ikan hilang, kemudian nodul myxobolus yang menempel scalpel secara perlahan-lahan agar diinsang diambil dengan menggunakan pinset dan nodul yang berisi spora tidak hancur. Nodul yang telah diambil kemudian diletakkan di petri disc dan diberi PBS secukupnya. Nodul dipotong beberapa bagian untuk mengeluarkan spora dengan menggunakan scalpel kemudian ditambahkan akuades, dimasukkan dalam tabung reaksi dan disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 menit untuk memisahkan sel Myxobolus. Supernatan yang terbentuk kemudian dibuang dan endapan ditambah akuades, disentrifugasi kembali hingga memadat dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Selanjutnya pelet dihitung dengan Haemocytometer, kemudian ditambah PBS sebanyak 2 ml dan disimpan di

  o

  dalam freezer 4 C.

2. Isolasi crude protein spora Myxobolus koi

  Spora yang telah dihitung diberi PBS secukupnya kemudian di sentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit. Endapan diambil sebanyak 1 ml kemudian disonikasi dalam es (1 menit sonikasi ½ menit istirahat), dilakukan berulang 10 kali. Hasil sonikasi diberi buffer lisis 500 µl lalu divortex (½ menit vortex I menit istirahat) dalam es, dilakukan berulang 15 kali. Hasil vortex disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 5 menit, supernatan yang terbentuk dikoleksi kemudian dilakukan analisis SDS-PAGE.

3. Penentuan konsentrasi crude protein spora Myxobolus koi

  Penentuan konsentrasi crude protein spora Myxobolus menggunakan metode Bio-Rad Protein Assay dan dibaca menggunakan Spectrophotometer UV-Visible dengan panjang gelombang 600 nm.

4. Analisis protein spora Myxobolus koi dengan SDS-PAGE

  Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui pola berat molekul tiap fraksi protein. Analisis terhadap protein dilakukan dengan metode elektroforesis SDS-PAGE separating gel 12,5 % dan stacking gel 5 %. Metode elektroforesis dengan komposisi

  Running gel dibuat dan dimasukkan ke dalam plate kaca. ini dilakukan dengan cara: Setelah mengeras pada bagian atas dimasukkan stacking gel yang telah dipersiapkan (Osborne and Brooks, 2006).

  Laemly buffers dengan Sebanyak 10 µg sampel yang ditambahkan

  o

  perbandingan 2:1 dilakukan perebusan pada 100 C selama 5 menit, dimasukkan ke dalam sumuran yang terletak pada stacking gel. Sebagai marker digunakan protein dengan berat molekul pada kisaran 6,5 – 212 kDa (New England Bio-Labs). Kemudian running pada chamber yang telah diisi Electrode Buffers 1X dengan 100 volt, dilakukan running dihentikan setelah warna biru penanda mencapai batas bawah 40 mA. Proses plate gel. Selanjutnya gel dimasukkan ke dalam larutan pencuci yang terdiri dari methanol 25 ml, asam asetat 3,7 ml dan Aquades 100 ml. Digoyang di atas shaker selama 30 menit. Pencucian ulang dilakukan dengan larutan yang sama dengan pengurangan komposisi ethanol dan penambahan asam asetat setengah dari sebelumnya selama 30 menit. Pencucian berikutnya dengan larutan glutaraldehid 10%

  Comisse Briliant Blue dan akuades selama 30 menit. Setelah dicuci gel diwarnai dengan selama 15 menit, kemudian dilakukan pencucian dengan aquades dua kali masing- masing selama 2 menit. Diberikan larutan pengembangan warna yang terdiri dari formaldehid 3,7 %, zitronsauce 5 % dan aquades. Setelah pita-pita terlihat maka reaksi dihentikan dengan menambahkan asam asetat 10 %. Hasil gel yang telah tampak pita-pita proteinnya disimpan dalam gliserol 10 % dan siap untuk didokumentasikan (Laemmli, 1970).

  5. Uji aplikasi Protein Sprora Myxobolus koi

  Myxobolus koi dilakukan pada empat kelompok Pemberian protein spora perlakuan yaitu K1, K2, K3 dan K4. Dosis protein yang diberikan pada udang sebany ak 300 μl/ekor yang diberikan secara perendaman (Zang et al, 2002). Setelah dilakukan aklimatisasi, pada kelompok K1 (Kontrol) yaitu kelompok tidak diberi protein

  Myxobolus koi, diberikan PBS sebanyak 300 μl/ekor. spora dan diinfeksi spora Kelompok K2 diberi protein spora dengan dosis sebanyak 300 µl/ekor dan diinfeksi.

  Tujuh hari berikutnya diinfeksi dengan 80 spora/liter. Kelompok K3 tanpa diberi Myxobolus koi (Fegan, et al., 1993), K4 adalah perlakuan protein spora dan diinfeksi

  Myxobolus koi, dan penghitungan diberikan protein spora tapi tidak diinfeksi kelulushidupan (SR) dilakukan pada akhir pemeliharaan yaitu pada hari ke tujuh.

  6. Analisis Data

  Data kualitatif adalah data karakter protein spora yang berupaberat molekul protein yang disajikan sebagai gambar (pita protein) hasil dari elektroferesis Gel SDS. Sedangkan data kuantitatif yaitu data hasil analisis gambaran darah dan

  Analisis of kelulushidupan (SR) dianalisis dengan menggunakan uji statistik ANOVA ( Variance) dan jika ada perbedaan dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan ( Duncan’s Multiple Range Test) dengan tingkat kepercayaan 5% (Steel and Torrie, 1993).

  HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakterisasi Protein Spora Dengan SDS-PAGE

  Myxobolus sp. dengan menggunakan metode SDS- Karakterisasi protein spora

  PAGE didapatkan 5 pita protein dengan berat molekul (BM) 230,1 kDa, 121,7 kDa, 89,8 kDa, 51,0 kDa, 41,1 kDa. Hasil dari karakterisasi protein dengan menggunakan metode SDS-PAGE dapat dilihat pada Gambar 1.

  Gambar 1 menunjukkan pita protein yang sama antara sampel protein N1 dan Myxobolus sp. PGambar 1. N2, hal ini menunjukkan konsistensi dari protein spora dapat dilihat bahwa pada pita protein dengan BM 89,8 kDa memiliki pita yang lebih tebal dibanding dengan pita protein yang lain. Gambar 1. Hasil Karakterisasi Protein Menggunakan Metode SDS -PAGE 2. Hasil Penentuan Kelulushidupan Ikan Koi Yang Dipapar Protein Spora. Kelulushidupan ikan koi dinyatakan dalam persentase dan dihitung pada hari ke empat belas disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa pada uji

  M. koi, terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) antar proteksi protein spora perlakuan terhadap rata-rata kelangsungan hidup antara yang dipapar dan tidak dipapar dengan spora Myxobolus koi setelah 14 hari pemeliharan.

  Tabel 1. Hasil Penentuan KelulushidupanIkan Koi Yang Dipapar Protein Spora Setelah 14 Hari Pemeliharaan

  Kelompok Perlakuan

  Kelulushidupan Ikan Koi Setelah Divaksin

  a

  Kontrol, tidak diinfeksi dan 90,00 ± 2,24 tidak dipapar Protein (K1)

  b

  Diinfeksi Myxobolus dan 86,00 ± 6,52 Dipapar dengan Protein Spora dosis 600 µl/Ikan (K2)

  c

  Diinfeksi Myxobolus dan Tidak 10,00 ± 3,54 Dipapar dengan Protein Spora dosis 600 µl/Ikan (K3)

  a

  Tidak Diinfeksi Myxobolus dan 92,00 ± 2,94 Dipapar dengan Protein Spora dosis 600 µl/Ikan (K4) Keterangan : Superskrip yang berbeda pada satu kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05)

  Pembahasan

  Myxobolusis merupakan penyakit parasiter pada ikan yang disebabkan oleh sporozoa, antara lain Myxobolus sp. Pada umumnya organisme penyebab penyakit ini dikenali dengan morfologi sporanya, jumlah dan lokasi filamen polar (Mahasri, 2004).

  Myxobolus sp. yang menyerang insang Ikan Mas (Cyprinus carpio) Secara patologi menimbulkan perubahan patologis adanya nodul atau kista berwarna putih (Paperna, 1992 dan Egusa, 1992). Rukyani (1978) menyatakan bahwa hanya Ikan Mas ( Cyprinus carpio) dan Ikan Tawes (Punius gonionotus) diketahui sebagai inang parasit Myxobolus, sehingga dapat dipastikan nodul yang diperoleh pada insang ikan Mas dalam penelitian ini merupakan nodul Myxobolus sp. Sampel nodul yang berisi spora Myxobolus sp. pada penelitian ini diambil dari insang ikan mas (Cyprinus carpio), nodul yang menempel pada insang dipisah dari insang secara hati-hati agar didapatkan nodul yang utuh.

  Hasil SDS-PAGE pada penelitian ini menunjukkan adanya 5 pita protein dengan berat molekul (BM) 41,1 kDa, 51 kDa, 89,8 kDa, 121,7 kDa dan 230,1 kDa. Hasil pita protein yang didapat belum diketahui manakah yang merupakan protein spora dan pita protein manakah yang merupakan protein dari jaringan nodul. Pada penelitian Chavda (2010) menyebutkan bahwa protein dari spora Myxobolus cerebralis memiliki BM 7 kDa, 45 kda, 60 kDa dan 130 kDa. Sehingga pada penelitian ini pita protein dengan BM 41,1 kDa, 51 kDa, 89,8 kDa dan 121,7 kDa kemungkinan adalah protein dari spora Myxobolus sp., sedangkan pita protein dengan BM 230,1 kDa diduga kemungkinan besar merupakan protein nodul Myxobolus sp.

  Pita protein yang terbentuk terlihat bahwa pada pita dengan BM 89,8 kDa memiliki pita yang lebih tebal dibanding pita yang lain. Tebal tipisnya pita yang terbentuk menggambarkan banyaknya protein yang terkandung dalam profil protein

  Myxobolus sp. Pita protein yang terbentuk tebal dan tipisnya yang dipengaruhi nodul oleh bentuk dan ukuran dari protein-protein tersebut, selain itu juga dapat diakibatkan adanya smear (Williams, 2001).

  Protein yang memiliki berat molekul besar biasanya merupakan protein yang imunogenik tetapi tidak menutup kemungkinan protein dengan berat molekul kecil dapat bersifat imunogen, walaupun molekul besar jauh lebih baik (Tizard, 1987). Kodyman (2000) menyatakan bahwa antigen yang mengandung protein dengan BM 15 kDa dan 24 kDa merupakan antigen yang imunogenik, sehingga dalam penelitian ini

  Myxobolus sp. yang terbentuk dalam profil protein protein nodul yang berisi spora dengan BM 41,1 kDa, 51 kDa, 89,8 kDa, 121,7 kDa dan 230,1 kDa kemungkinan besar adalah protein yang sangat imunogenik.

  Myxobolus Sampel yang digunakan dalam penelitian merupakan crude spora sp. dan tidak diketahui jumlah spora didalamnya. Menurut Kusnoto dalam Sumbodo

  (2007) keberhasilan preparasi protein dengan SDS-PAGE dipengaruhi tingkat kebersihan (tidak terkontaminasi) isolat serta konsentrasi protein yang cukup. Dalam penelitian ini diperoleh protein selain protein spora, yaitu protein dengan BM berkisar antara 41,1 kDa – 121,7 kDa yang merupakan protein dari spora Myxobolus sp. dan protein dengan BM 230,1 kDa yang diduga ada protein dari jaringan nodul yang berisi Myxobolus sp.

  Myxobolus koi mampu Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein spora melindungi (bersifat protektif) ikan koi terhadap myxobolusis. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan kelangsungan hidup ikan koi, dan dapat diartikan terjadi penurunan kematian ikan.

  Sampel yang digunakan dalam penelitian merupakan spora Myxobolus sp. dan tidak diketahui jumlah spora didalamnya. Sehingga profil pita protein yang didapat kemungkinan masih merupakan campuran antara spora dan jaringan nodul. Menurut Kusnoto dalam Sumbodo (2007) keberhasilan preparasi protein dengan SDS-PAGE dipengaruhi tingkat kebersihan (tidak terkontaminasi) isolat serta konsentrasi protein yang cukup. Dalam penelitian ini diperoleh protein selain protein spora, yaitu protein dengan BM berkisar antara 41,1 kDa – 121,7 kDa yang merupakan protein dari spora Myxobolus sp. dan protein dengan BM 230,1 kDa yang diduga ada protein dari jaringan nodul yang berisi Myxobolus sp.

  Myxobolus koi mampu Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein spora melindungi (bersifat protektif) ikan koi terhadap myxobolusis. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan kelangsungan hidup ikan koi, dan dapat diartikan terjadi penurunan kematian ikan. Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kelulushidupan yang terendah terjadi pada ikan yang tidak diberi protein spora dan diinfeksi dengan Myxobolus yaitu 10%. sedangkan yang tertinggi terjadi pada ikan yang diberi protein spora, tapi tidak diinfeksi Myxobolus yaitu 92%. Untuk melihat apakah protein spora myxobolus memberi proteksi pada ikan, maka dapat dilihat kelulushidupan ikan mas yang tidak diberi protein spora dan diinfeksi myxobolus yaitu 86%. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dengan pemberian protein spora dapat meningkatkan kelulushidupan ikan dari 10% menjadi 86%.

  KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

  Kesimpulan yang dapat diajukan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Diperoleh 5 profil pita protein spora Myxobolus sp. dengan berat molekul 41,1 kDa, 51 kDa, 89,8 kDa, 121,7 kDa

  2. Protein Spora Myxobolus koi dapat meningkatkan respon imun dan kelulushidupan ikan koi dari 10% sampai dengan 86% dan dapat meningkatkan pertahanan tubuh ikan koi terhadap infeksi Myxobolus koi.

  Saran

  Saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa perlu dilakukan karakterisasi protein untuk mengetahui tingkat imunogenitas dari protein yang ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA

  Anam, K. 2009. SDS - PAGE Dengan Silver Staining Dan Zimogram. Bioteknologi Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Clark, T.G., Tian-Long Lin and H.W. Dickerson, 1996. Surface antigen crosslinking Dalam : G. Mahasri. triggers forced exit of a protozoan parasite from its host. Respon Imun Udang Windu ( Penaeus monodon Fabricus) yang Diimunisasi Dengan Protein Membran Imunogenik MP 38 dari Z oothamnium penaei. Surabaya. Hal 23.

  Myxobolus ridouti n. Sp. and Easy, R., and D. Cone. 2009. Taxonomy of

  M. Ridgwayi N. Sp. (myxozoa) from Pimephales notatus and semotilus http://harkness.ca atromaculatus (cypriniformes) In ontario. Canada. p.1-2. Egusa. 1992. Infectious Diseases of Fish. AA Balkerna Publication Rotterdam/Brookfield. 696 pp.

  Itabashi T, Terasaki T and Asai H, 2004. Novel Nuclear and Cytoplasmic Proteins

  Detected by Anti- Zoothamnium arbuscula ( Protozoa ) Spasmin 1 Antibody In

  Mammalian Cells Are Dependent on the Cell Cycle. Dalam : G. Mahasri. Respon Imun Udang Windu ( Penaeus monodon Fabricus) yang Diimunisasi Dengan Protein Membran Imunogenik MP 38 dari Z oothamnium penaei. Surabaya. Hal 23.

  Lom, J., and Dykova, I. 1995. Myxosporea (Phylum) Myxosoa : In Woo. P. T. K. (ed.) Fish Diseases and Disorders Vol. 1. Protozoan and Metazoan Infection. CAB International, Walliford. UK. Pp 97-145.

  Mahasri, G. 2004. Ilmu Penyakit Ikan Protozoa Pada Ikan dan Udang. Surabaya. Hal 25-29.

  • 2007. Pengembangan Protein Membran Imunogenik Zoothamnium penaei sebagai bahan Imunostimulan terhadap Zoothamniosis. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya Rantam. 2003. Metode Imunologi. Dalam : A. Fajriah. Karakterisasi Protein Lernea sp.

  Dengan menggunakan metode SDS-PAGE. Surabaya. 2009. Sugianti, B. 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Dalam Pengendalian Penyakit Ikan. Institut Pertanian Bogor. p. 10-11.

  

  Tizard, I. R. 1987. An Introduction of Veterinary Immunology. W. B. Saunders Company. 254-257. Williams. 2001. SDS PAGE Gel Elektrophoresis. http://web. chemistry .gatech.edu.

  

PENGARUH KOMBINASI PUPUK ORGANIK KOTORAN AYAM, ROTI

AFKIR, DAN AMPAS TAHU TERHADAP BIOMASSA DAN KANDUNGAN

Tubifex sp.) NUTRISI CACING SUTERA (

  

Nurul Fatimah, Johannes Hutabarat, Vivi Endar Herawati

Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro

  

Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah – 50275, Telp/Fax.

  • +6224 7474698

    E-mail: nurulfatimaaah@gmail.com

  

Abstrak: Cacing sutera ( Tubifex sp.) merupakan pakan alami yang

  disenangi karena mempunyai kandungan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan larva ikan. Selama ini, ketersediaan cacing sutera masih mengandalkan hasil pengumupulan dari alam. Tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh kombinasi kotoran ayam, ampas tahu dan roti afkir yang difermentasi terhadap produksi biomassa, populasi, dan kandungan nutrisi cacing sutera. Penelitian ini menggunakan design Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan masing- masing 3 kali ulangan. Perlakuan A (roti afkir 100gr/l ,ampas tahu 50gr/l), B (kotoran ayam 75gr/L, roti afkir 100gr/l ,ampas tahu 50gr/l), C (kotoran ayam 50gr/l, roti afkir 100gr/l ,ampas tahu 50gr/l) dan D (kotoran ayam 25gr/l, roti afkir 100gr/l ,ampas tahu 50gr/l). Kotoran ayam, roti afkir, dan ampas tahu dimasukkan kedalam 12 wadah plastik dengan ukuran 30x21x7 cm. Media tersebut ditebari cacing sebanyak 10 gram/wadah, dipelihara selama 50 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kombinasi kotoran ayam, roti afkir, dan ampas tahu berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi biomassa,

  Tubifex sp.). Perlakuan B populasi dan kandungan nutrisi cacing sutera ( memberikan nilai populasi, biomass dan kandungan protein tertinggi yaitu sebesar 28.499,17±200,01 individu/0,044m2, 135,95±0,64 gram/0,044m2 untuk biomassa dan kandungan protein sebesar 66,36±0,26%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan kotoran ayam, roti afkir, dan ampas tahu dapat meningkatkan produksi biomassa, populasi dan kandungan protein cacing sutera. tubifex sp., kotoran ayam, ampas tahu, roti afkir,

  Kata Kunci: fermentasi. PENDAHULUAN

  Faktor penting dalam keberhasilan budidaya ikan yaitu ketersediaannya pakan, baik kualitas dan kuantitasnya. Salah satu pakan alami yang disenangi karena mempunyai kandungan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan larva ikan konsumsi dan

  Tubifex sp.) Menurut Pursetyo et al. (2000), juga ikan hias adalah cacing sutera ( cacing sutera mempunyai peranan yang penting karena mampu memacu pertumbuhan

  Daphnia sp. atau ikan lebih cepat dibandingkan pakan alami lain seperti kutu air ( Moina sp.), hal ini disebabkan cacing sutera mempunyai kelebihan dalam hal nutrisinya. Muria et al. (2012) menambahkan kandungan nutrisi yang dimiliki oleh Tubifex adalah protein sebesar 41,1%, lemak sebesar 20,9%, serat kasar sebesar 1,3% dan kandungan abu sebesar 6,7%. Secara kualitatif, kandungan nutrisi tersebut tidak dapat digantikan oleh pakan buatan.