MAKALAH PERENCANAAN dan EVALUASI PENGAJA

KECENDRUNGAN PEMBELAJARAN AUD
(KEBUTUHAN dan GAYA BELAJAR AUD)

PENULIS :
Jamuna Ulfah
Rissha Novertha
PERENCANAAN dan EVALUASI PENGAJARAN
DOSEN PENGAMPU :
Aslan,S.Pd.I, M.Pd.I

PRODI PGRA
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI)
SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN SAMBAS
TAHUN AJARAN 2014/2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga pada akhirnya makalah ini
dapat disusun dan disajikan dengan waktu yang telah ditetapkan. Terima kasih
kepada keluarga, dosen, sahabat yang selalu setia, tak pernah lelah, dan tak

pernah bosan-bosannya untuk mengajari, mengingatkan maupun memberi nasehat
kepada kami.
Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan. Selain daripada itu dalam makalah
ini masih begitu banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi isi, struktur
penulisan maupun hal-hal lainnya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran positif yang membangun dari pembaca sekalian untuk perbaikan
dikemudian hari.
Harapan penulis, semoga makalah ini dapat berguna dan dapat digunakan
sebagai literatur tambahan bagi rekan-rekan mahasiswa lain.

Sambas, 09 April 2015

Penulis,

i

DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................


i

Daftar Isi.......................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang......................................................................................

1

B.

Rumusan Masalah.................................................................................

1

C.


Tujuan Penulisan...................................................................................

1

BAB II PEMBAHASAN
A.

Anak Usia Dini.....................................................................................

B.

8 Jenis Kecerdasan pada Anak, 4 Fase Perkembangan Kognitif Anak

2

dan 8 Tahap Perkembangan Psikososial Anak.....................................

4


C.

Kebutuhan dan Kecendrungan AUD....................................................

8

D.

Gaya Belajar AUD................................................................................

11

BAB III PENUTUP
A.

Kesimpulan...........................................................................................

16

B.


Saran.....................................................................................................

17

Daftar Pustaka

.............................................18

ii

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Dalam perkembangan pendidikan bagi AUD baik di tingkat PAUD
maupun TK masih banyak guru yang belum profesional dalam mendidik.
Hal ini menyebabkan ketidak optimalan pengetahuan yang diterima bagi
peserta didik. Biasanya, anak cendrung dipaksakan belajar dengan cara-cara

yang membosankan dan tidak kreatif. Hal ini hanya akan membuat si anak
malas berfikir dan menumbuhkan rasa bosan dalam diri anak tersebut.
Keprofesionalan dan kepekaan guru menjadi landasan yang sangat mendasar
demi mendukung lancarnya proses pengajaran di ruang lingkup pendidikan.
AUD cendrung lebih suka bermain dan masih ingin bermain karena
pada usia dini mereka memiliki sifat enerjik yang tinggi. Nah, bagaimana
cara pendidik untuk bisa mengkolaborasikan permainan si anak dengan ilmu
pengetahuan yang berguna baginya. Disinilah penempatan ide-ide kreatif
dan cemerlang dari pendidik untuk bisa menerapkan hal tersebut
dibutuhkan.

B.

Rumusan Masalah
1.

Apa yang dimaksud dengan AUD?

2.


Apa saja 8 jenis kecerdasan anak, 4 fase perkembangan kognitif anak
dan 8 tahap perkembangan psikososial anak?

C.

3.

Bagaimana kebutuhan dan kecendrungan AUD?

4.

Bagaimana gaya belajar AUD?

Tujuan Penulisan
1.

Memahami definisi AUD.

2.


Mengetahui 8 jenis kecerdasan anak, 4 fase perkembangan kognitif
anak dan 8 tahap perkembangan psikososial anak.

3.

Mengerti dan memahami kebutuhan dan kecendrungan AUD.

4.

Mengetahui gaya belajar AUD.

1

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Anak Usia Dini
Seorang anak yang baru lahir memiliki lebih dari 100 miliar sel otak.
Ini menunjukan selama 9 bulan masa kehamilan, paling tidak setiap menit

dalam pertumbuhan otak di produksi 250 ribu sel otak. Setiap sel otak saling
terhubung dengan 15 ribu simpul elektrik kimia yang sangat rumit sehingga
bayi yang baru berusia 8 bulan pun diperkirakan memiliki biliunan sel saraf
dalam otaknya. Sel–sel saraf ini harus rutin distimulasi dan didayagunakan
supaya terus berkembang jumlahnya. Bayi yang baru lahir juga masih
berada dalam keadaan lemah, naluri dan fungsi-fungsi fisik maupun
psikisnya belum berkembang dengan sempurna.
Otak manusia terdiri dari 2 belahan otak kiri dan otak kanan yang
dipisahkan oleh segumpal serabut yang disebut corpuss callosum. Kedua
belahan otak tersebut memiliki fungsi, tugas dan respon berbeda dan harus
tumbuh dalam keseimbangan. Belahan otak kiri terutama untuk berpikir
secara rasional, analitis dan berurutan serta membaca, bahasa dan berhitung.
Sedangkan belahan otak kanan untuk mengembangkan imajinasi dan
kreatifitas.
Gardner menemukan bahwa otak manusia memiliki beberapa jenis
kecerdasan yaitu: bahasa, logis, matematis, visual-spasial, musical, kinetik,
interpersonal social, intrapersonal, naturalis.
Hal yang dibutuhkan anak agar tumbuh menjadi anak yang cerdas
adalah adanya upaya-upaya pendidikan seperti terciptanya lingkungan
belajar yang kondusif, memotivasi anak untuk belajar, dan bimbingan serta

arahan kearah perkembangan yang optimal. Dengan begitu menumbuhkan
kecerdasan anak yaitu mengaktualisasikan potensi yang ada dalam diri anak.
Anak usia dini disebut sebagai usia emas (golden age) yaitu anak
yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Pada rentang umur antara usia
empat sampai dengan enam tahun merupakan bagian dari perkembangan
secara keseluruhan yang dapat mencakup perkembangan fisik dan motorik,

2

kognitif, sosial emosional, serta bahasa. Makanan yang bergizi dan
seimbang

serta

stimulasi

yang

intensif


sangat

dibutuhkan

untuk

pertumbuhan dan perkembangan tersebut.
Menurut Bredecam, Copple, Brener, serta Kellough anak memiliki
perilaku seperti berikut1 :
1.

Anak bersifat unik.

2.

Anak mengapresiasikan perilakunya secara relatif spontan.

3.

Anak bersifat aktif dan enerjik.

4.

Anak itu egosentris.

5.

Anak memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak
hal.

6.

Anak bersifat eksploratif dan berjiwa petualang.

7.

Anak umumnya kaya dengan fantasi.

8.

Anak masih mudah frustasi.

9.

Anak masih kurang pertimbangan dalam bertindak.

10. Anak memiliki daya perhatian yang pendek.
11. Masa anak merupakan masa belajar yang paling potensial.
12. Anak semakin menunjukkan minat terhadap teman.
Pendidikan

anak

usia

dini

merupakan

salah

satu

bentuk

penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke
arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan
kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan
spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan
komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang
dilalui oleh anak usia dini.
Ditinjau dari psikologi perkembangan, usia 6-8 tahun memang masih
berada dalam rentang usia 0-8 tahun. Itu berarti pendidikan yang diberikan
dalam keluarga maupun di lembaga pendidikan formal haruslah kental
dengan nuansa pendidikan anak usia dini, yakni dengan mengutamakan
konsep belajar melalui bermain.
1

dalam Masitoh dkk., 2005: 1.12 – 1.13

3

B.

8 Jenis Kecerdasan pada Anak, 4 Fase Perkembangan Kognitif Anak, dan 8
Tahap Perkembangan Psikososial Anak
Howard Gardner mengemukakan bahwa pada dasarnya anak
memiliki delapan jenis kecerdasan dasar tersebut :
1.

Kecerdasan Bahasa
Berisi kemampuan untuk berfikir dengan kata-kata dan
menggunakan bahasa untuk mengekspresikan arti yang kompleks. Anak
dengan kecerdasan verbal ini sangat cakap dalam berbahasa,
menceriterakan kisah, berdebat, berdiskusi, menyampaikan laporan dan
berbagai aktivitas lain yang terkait dengan berbicara dan menulis.

2.

Kecerdasan Matematis/Logis
Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan anak untuk
berinteraksi dengan angka-angka dan bilangan, berpikir logis dan
ilmiah, adanya konsistensi dalam pemikiran. Anak yang cerdas secara
logika-matematika seringkali tertarik dengan pola dan bilangan/angkaangka. Mereka belajar dengan cepat operasi bilangan dan cepat
memahami konsep waktu, menjelaskan konsep secara logis, atau
menyimpulkan informasi secara matematik.

3.

Kecerdasan Spasial
Kecerdasan ini ditunjukkan oleh kemampuan anak untuk
melihat secara rinci gambaran visual yang terdapat di sekitarnya. Anak
yang memiliki kecerdasan spasial adalah orang yang memiliki kapasitas
dalam berfikir secara tiga dimensi. Kecerdasan spasial memungkinkan
individu dapat mempersepsikan gambar-gambar baik internal maupun
eksternal dan mengartikan atau mengkomunikasikan informasi grafis.

4.

Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan kinestetik adalah kecerdasan yang memungkinkan
seorang memanipulasi objek dan cakap melakukan aktivitas fisik.
Kecerdasan ini ditunjukkan oleh kemampuan seseorang untuk
membangun hubungan yang penting antara pikiran dengan tubuh.

4

5.

Kecerdasan Musikal
Kecerdasan musikal dibuktikan dengan adanya rasa sensitif
terhadap nada, melodi, irama musik. Kecerdasan musikal merupakan
suatu alat yang potensial karena harmoni dapat merasuk ke dalam jiwa
seseorang melalui tempat-tempat yang tersembunyi di dalam jiwa.

6.

Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan interpersonal adalah kapasitas yang dimiliki oleh
seseorang untuk dapat memahami dan dapat melakukan interaksi secara
efektif dengan orang lain. Pada saat berinteraksi dengan orang lain,
anak dapat memperkirakan perasaan, temperamen, suasana hati,
maksud dan keinginan teman interaksinya, kemudian memberikan
respon yang layak.

7.

Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan

intrapersonal

diperlihatkan

dalam

bentuk

kemampuan dalam membangun persepsi yang akurat tentang diri
sendiri dan menggunakan kemampuan tersebut dalam membuat rencana
dan mengarahkan orang lain.
8.

Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian mengenali dan
mengkategorikan spesies-flora dan fauna di lingkungannya. Para
pecinta alam adalah contoh orang tergolong sebagai orang – orang yang
memiliki kecerdasan ini.
Piaget membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 fase, yaitu:

1.

Sensori Motor (0-2 tahun)
Pada tahap ini anak berinteraksi dengan dunia sekitar melalui
panca indera. Dapat berpikir kompleks seperti bagaimana cara untuk
mendapatkan suatu benda yang diinginkan dan melakukan apa yang
diinginkannya dengan benda tersebut. Kemampuan ini merupakan awal
berpikir secara simbolik yaitu kemampuan untuk memikirkan suatu
objek tanpa kehadiran objek tersebut secara empirik.

5

2.

Pra Operasional (2-7 tahun)
Fase ini merupakan masa permulaan anak untuk membangun
kemampuannya dalam menyusun pikirannya. Cara berpikir anak belum
stabil dan belum terorganisir secara deduktif.

3.

Operasi Konkret (7-12 tahun)
Anak sudah mempunyai kemampuan berpikir secara logis
dengan syarat objek yang menjadi sumber berpikir tersebut hadir secara
konkret. Anak dapat mengklasifikasi objek, mengurutkan benda sesuai
dengan tata urutannya, memahami cara pandang orang lain dan berpikir
secara deduktif.

4.

Operasi Formal (12 tahun ke atas)
Anak dapat bepikir secara abstrak seperti kemampuan
mengemukakan ide-ide, memprediksi kejadian yang akan terjadi,
melakukan proses berpikir ilmiah yaitu mengemukakan hipotesis dan
menentukan cara untuk membuktikan kebenaran hipotesis tersebut.
Erikson membagi delapan tahap perkembangan psikososial anak

yaitu sebagai berikut :
1.

Trust vs Mistrust (0-1 thn)
Bayi

yang

kebutuhannya

terpenuhi

waktu

ia

bangun,

keresahannya segera terhapus, selalu dibuai dan diperlakukan sebaikbaiknya, diaajak main dan bicara, maka akan tumbuh perasaannya
bahwa dunia ini tempat yang aman dengan orang-orang disekitarnya
yang selalu bersedia menolong dan dapat dijadikan tempat ia
menggantungkan hidupnya. Jika sebaliknya, maka pada bayi akan
tumbuh rasa takut serta ketidakpercayaan

terhadap dunia di

sekelilingnya.
2.

Autonomy vs Shame & Doubt (2-3 thn)
Jika anak menninggalkan masa perkembangan ini dengan
autonomi yang lebih kecil daripada rasa malu dan ragu, ia akan
mengalami kesulitan untuk memperoleh autonomi pada masa remaja
dan dewasanya. Sebaliknya, jika anak melalui masa ini dengan adanya

6

keseimbangan serta dapat mengatasi rasa malu dan ragu dengan rasa
outonomus, maka ia sudah siap menghadapi siklus kehidupan
berikutnya.
3.

Initiative vs Guilt (4-5 thn)
Anak yang diberi kebebasan dan kesempatan untuk berinisiatif
pada permainan motoris serta mendapat jawaban yang memadai dari
pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya, maka inisiatifnya akan
berkembang dengan pesat.

4.

Industry vs Inferiority ( 6 th-pubertas)
Anak mulai mampu berpikir deduktif, bermain, dan belajar
menurut

peraturan

yang

ada.

Pengalaman-pengalaman

anak

mempengaruhi industyi dan infentiority anak.
5.

Identity & Repudiation vs Identity Diffusion (masa remaja)
Pada masa ini anak sudah menuju kematangan fisik dan mental.
Ia mempunyai perasaan-perasan dan keingainan baru sebagai akibat
perubahan-perubahan tubuhnya.

6.

Intimacy & Solidarity vs Isolation (masa dewasa muda)
Pada tahap ini keberhasilan tidak bergantung secara langsung
kepada orang tua. Jika intimacy tidak terdapat di antara sesama teman,
akan terdapat apa yang disebut isolation.

7.

Generativity vs Stagnation (masa dewasa)
Generativity berarti orang mulai memikirkan orang-orang lain di
luar keluarganya sendiri. Orang yang tidak berhasil mencapai
generavity berarti ia berada dalam keadaan self absorption dengan
hanya memutuskan perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan dan
kesenangan pribadinya saja.

8.

Integrity vs Despair (masa tua).
Pada tahap ini usaha-usaha yang pokok pada individu sudah
mendekati kelengkapan. Integrity timbul dari kemampuan individu
untuk melihat kembali kehidupannya yang lalu dengan kepuasan.
Sedangkan despair, yaitu keadaan dimana individu yang menengok ke

7

belakang dan meninjau kembali kehidupannya di masa lalu sebagai
rangkaian kegagalan dan kehilangan arah.
C.

Kebutuhan dan Kecendrungan AUD
Menurut Maslow, anak termotivasi untuk memenuhi kebutuhankebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau
hierarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai
yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hierarki kebutuhan tersebut
adalah sebagai berikut2 :
1.

Kebutuhan fisiologis atau dasar. Pada tingkat yang paling bawah,
terdapat kebutuhan yang bersifat fisiologis (kebutuhan akan udara,
makanan, minuman dan sebagainya). Kebutuhan ini dinamakan juga
kebutuhan dasar (basic needs) yang jika tidak dipenuhi maka manusia
yang bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena
seluruh kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya itu. Sebaliknya, jika kebutuhan
dasar ini relatif sudah tercukupi, muncullah kebutuhan yang lebih tinggi
yaitu kebutuhan akan rasa aman (safety needs).

2.

Kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan keselamatan membiarkan
individu untuk merasa selamat dan aman. Jika safety needs ini terlalu
lama dan terlalu banyak tidak terpenuhi, maka pandangan anak tentang
dunianya bisa terpengaruh dan pada gilirannya pun perilakunya akan
cenderung ke arah yang makin negatif.

3.

Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi. Setiap anak ingin mempunyai
hubungan yang hangat dan akrab, bahkan mesra dengan orang-orang di
sekitarnya. Ia ingin mencintai dan dicintai. Anak ingin setia kawan dan
butuh kesetiakawanan. Anak butuh menjadi bagian dalam sebuah
keluarga.

4.

Kebutuhan untuk dihargai. Anak yang terpenuhi kebutuhannya akan
harga diri akan tampil sebagai orang yang percaya diri, tidak tergantung

2

http://id.wikipedia.org

8

pada orang lain dan selalu siap untuk berkembang terus untuk
selanjutnya meraih kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri (self
actualization).
5.

Kebutuhan untuk aktualisasi diri. Pemenuhan potensi diri sendiri
dikenali. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri terdiri dari
kebenaran,

kebaikan,

keindahan

atau

kecantikan,

keseluruhan

(kesatuan), dikotomi-transedensi, erkehidupan (berproses, berubah
tetapi tetap pada esensinya), keunikan, kesempurnaan, keniscayaan,
penyelesaian, keadilan, keteraturan, kesederhanaan, kekayaan, bermain,
dan mencukupi diri sendiri
Terpenuhinya kebutuhan tersebut akan memungkinkan anak
mendapat peluang mengaktualisasikan dirinya, dan hal ini dapat
menghadirkan pelatuk untuk mengembangkan seluruh potensi secara utuh.
Pemenuhan kebutuhan, harus disesuaikan dengan pertumbuhan dan
perkembangan anak. Prinsip tersebut dinamakan praktek-praktek yang
sesuai dengan perkembangan anak atau disebut juga developmentally
appropriate practice atau DAP3.
Masing-masing anak memiliki kecenderungan (inklinasi) terhadap
kecerdasan tertentu atau kelebihan yang ditunjukkan melalui perilaku
spesifik. Dalam pembelajaran harus dihindari pembatasan kemampuan
hanya dalam satu katagori atau wilayah kecerdasan tertentu saja. Tetapi
lebih penting bagaimana anak di perlakukan sebagai orang yang sedang
melakukan perjalanan hidupnya dengan cara yang memungkinkan
mengoptimalkan apa yang ada dalam dirinya.

3

Bredekamp dalam http://www.scribd.com/doc

9

Jenis Kecerdasan
Bahasa / Verbal

Matematis Logis

Spasial

Kinestetik tubuh

Musikal

Interpersonal

Intrapersonal

Naturalis

Kecenderungan /
Kegemaran
Gemar :
- membaca
- menulis
- bercerita
- bermain kata
Gemar :
- bereksperimen
- tanya jawab
- menjawawab teka-teki logis
Gemar :
- mendesain
- menggambar
- berimajinasi
- membuat sketsa
Gemar :
- menari
- berlari
- melompat
- meraba
- memberi isyarat
Gemar :
- bernyanyi
- bersiul
- bersenandung
Gemar :
- memimpin
- berorganisasi

Gemar :
mmenyendiri
memilih tokoh favorit yang
positif, dan membaca serta
menjadikan mereka sebagai
kawan
imajinasi
dalam
memecahkan
suatu
permasalahan
Gemar :
- bermain di alam
- memelihara hewan
senang dengan tumbuhtumbuhan

10

Metode Belajar
Membaca, menulis,
mendengar

Berhitung, aplikasi
rumus, eksperimen
Observasi, menggambar,
mewarnai, membuat
peta
Membangun,
mempraktekan. menari,
ekspresi

Menyanyi, menghayati
lagu, mamainkan
instrumen musik
Observasi alam dan
bermain kelompok
bersama teman-teman
Meluangkan waktu
sekitar sepuluh menit
setiap sore hari untuk
meninjau kembali secara
mental berbagai macam
perasaan dan gagasan
yang dialami.
Mengenali dan
mengkategorikan
spesies-flora dan fauna
di lingkungannya.

Tabel berikut menggambarkan tentang kecenderungan dan kegemaran dan
perilaku yang dapat dimati dan metode belajar yang dapat diterapkan untuk
mengoptimalkan masing-masing kecerdasan.

10

D.

Gaya Belajar AUD
1.

Anak belajar melalui bermain.

2.

Anak belajar dengan cara membangun pengetahuannya.

3.

Anak belajar secara alamiah.

4.

Anak

belajar

paling

baik

jika

apa

yang

dipelajarinya

mempertimbangkan keseluruhan aspek pengembangan, bermakna,
menarik, dan fungsional.
Empat tahapan yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran:
1.

Tindakan anak-anak masih dipengaruhi/dibantu orang lain

2.

Tindakan anak didasarkan atas inisiatif sendiri

3.

Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi

4.

Tindakan spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap untuk
berpikir secara abstrak.

Pembelajaran untuk anak usia dini memiliki karakteristik sebagai
berikut :
1.

Belajar, Bermain, dan Bernyanyi
Pembelajaran untuk anak usia dini menggunakan prinsip belajar,
bermain, dan bernyanyi (Slamet Suyanto, 2005: 133). Pembelajaran
untuk anak usia dini diwujudkan sedemikian rupa sehingga dapat
membuat anak aktif, senang, bebas memilih. Anak-anak belajar melalui
interaksi dengan alat-alat permainan dan perlengkapan serta manusia.
Anak belajar dengan bermain dalam suasana yang menyenangkan.
Hasil belajar anak menjadi lebih baik jika kegiatan belajar dilakukan
dengan teman sebayanya. Dalam belajar, anak menggunakan seluruh
alat inderanya.

2.

Pembelajaran yang Berorientasi pada Perkembangan
Pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan mengacu
pada tiga hal penting, yaitu : 1) berorientasi pada usia yang tepat, 2)
berorientasi pada individu yang tepat, dan 3) berorientasi pada konteks
social budaya (Masitoh dkk., 2005: 3.12).

11

Pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan harus
sesuai dengan tingkat usia anak, artinya pembelajaran harus diminati,
kemampuan yang diharapkan dapat dicapai, serta kegiatan belajar
tersebut menantang untuk dilakukan anak di usia tersebut.
Manusia merupakan makhluk individu. Perbedaan individual
juga harus manjadi pertimbangan guru dalam merancang, menerapkan,
mengevaluasi kegiatan, berinteraksi, dan memenuhi harapan anak.
Selain berorientasi pada usia dan individu yang tepat,
pembelajaran berorientasi perkembangan harus mempertimbangkan
konteks sosial budaya anak. Untuk dapat mengembangkan program
pembelajaran yang bermakna, guru hendaknya melihat anak dalam
konteks keluarga, masyarakat, faktor budaya yang melingkupinya.
Terdapat tiga jenis gaya belajar berdasarkan modalitas yang
digunakan individu dalam memproses informasi :
1.

VISUAL (Visual Learners)
Menitikberatkan

pada

ketajaman

penglihatan.

(Bermain,

berpetualang, berjalan-jalan, memperlihatkan gambar contohnya alam
sekitar dan sebutkan namanya).
2.

AUDITORI (Auditory Learners)
Mengandalkan pada pendengaran untuk bisa memahami dan
mengingatnya. (Bernyanyi, bercerita, mendongeng, mendengarkan
musik sambil menari-nari)

3.

KINESTETIK (Kinesthetic Learners)
Mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu
yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya.
(Bermain, namun tetap dalam pengawasan orang dewasa).
Beberapa tujuan dari bermain dan permainan anak sebagai berikut:

1.

Menanamkan kebiasaan disiplin dan tanggung jawab dalam kehidupan
sehari- hari.

2.

Melatih sikap ramah dan suka bekerja sama dengan teman, menujukkan
kepedulian.

12

3.

Menanamkan budi pekerti yang baik.

4.

Melatih anak untuk berani dan menantang ingin mempunya rasa ingin
tahu yang besar.

5.

Melatih anak untuk menyayangi dan mencintai lingkungan dan ciptaan
Tuhan.

6.

Melatih anak untuk mencari berbagai konsb moral yang mendasar
seperti salah, benar, jujur, adil dan fair.
Wolfgang (dalam Sujiono, 2009: 45-47) berpendapat bahwa terdapat

sejumlah nilai-nilai dalam bermain (the value of play) yaitu bermain dapat
mengembangkan

keterampilan

sosial,

emosional,

kognitif

dalam

pembelajaran terdapat berbagai kegiatan yang memiliki dampak dalam
perkembangan anak, sehingga dapat di identifikasikan bahwa fungsi
bermain antara lain:
1.

Berfungsi untuk mencerdaskan otot pikiran.

2.

Berfungsi untuk mengasah panca indra.

3.

Berfungsi sebagai media terapi.

4.

Berfungsi untuk memacu kreatifitas.

5.

Berfungsi untuk melatih intelektual.

6.

Berfungsi utuk menemukan sesuatu yang baru.

7.

Berfungsi untuk melatih empati.
Berikut ini ada enam tahapan perkembangan bermain pada anak

menurut Parten dan Rogersdalam Dockettdan Fleer (1992:62) yang
menjelaskan:
1.

Unoccupied atau tidak menetap.
Anak hanya melihat anak yang lain lagi bermain akan tetapi anak tidak
ikut bermain. Anak pada tahap ini hanya mengamati sekeliling dan
berjalan jalan, tetapi tidak terjadi interaksi dengan anak yang lagi
bermain.

2.

Unlooker atau penonton
Pada tahap ini anak belum mau terlibat untuk bermain akan tetapi anak
sudah memolai untuk mendekaat dan bertanya pada teman yang sedang

13

bermain dan anak sudah mulai muncul ketertarikan untuk bermain
setelah mengamati anak mampu mengubah caranya untuk bermaian..
3.

Solitary independent play atau bermain sendiri.
Tahap ini anak sudah mulai untuk bermain ,akan tetapi seorang anak
bermain sendiri dengan mainan nya, terkadang anak berbicara dengan
teman nya yang sedang bermain, tetapi tidah terlibat dengan permainan
anak lain.

4.

Parallel activiti atau kegiatan pararel.
Anak sudah mulai bermain dengan anak yang lain tetapi belum terjadi
interaksi dengan anak yang lain nya dan anak cenderung menggunakan
alat yang ada di sekelilingnya. Pada tahap ini ,anak juga tidak
mempengaruhi dalam bermain dengan permainannya anak masih
senang memanipulasi benda daripada bermain dengan anak lain. Dalam
tahap ini biasanya anak anak memain kan alat permainan yang sama
dengan anak yang lain naya. Apa yang dilakukan anak yang stau tidak
mempengaruhi anak yang lain nya.

5.

Associative play atau bermain dengan teman.
Pada tahap terjadi interaksi yang lebih komplek pada anak. Terjadi
tukar menukar mainan antara anak yang satu dengan yang lain nya dan
cara bermain anak sudah saling mengingatkan. Meskipun anak dalam
satu kelompok melakukan kegiatan yang sama, tidak terdapat aturan
yang mengikat dan belum memiliki tujuan yang khusus atau belum
terjadi dikusi untuk mencapai satu tujuan yang sama seperti menyusun
bangunan bangunan yang bernacam-macam akan tetapi masing masing
anak dapat sewaktu-waktu meninggalkan bangunan tersebuat dengan
semaunya tidak terikat untuk merusak nya kembali.

6.

Cooperative or organized supplementary play atau kerja sama dalam
bermain.
Saat anak bermain bersama dan lebih terorganisir dan masing masing
menjalannkan sesuai dengan job yang sudah mereka dapat yang saling
mempengaruhi satu sama yang lain. Anak bekerja sama dengan anak

14

yang lain

nya untuk

membangun

sesuatu

terjadi

persaingan

memmbentuk permainan drama dan biasanya terpengaruh oleh anak
yang memimpin permainan.
Dari keenam tahap diatas tampak bahwa dalam suatu permaian akan
timbul rasa ingin tahu rasa ingin berinteraksi dan rasa untuk ber sosialisasi
dengan anak yang lain nya. Bermain juga mengalami perkembangan
kemampuan yang berbeda bagi masing masing anak yaitu sesuai dengan
usia antara lain dari umur 0-2, 1-2, 2-3, 3-4, 4-5, 5-7, dan 7+. (Noorlaila,
2010: 146).
Jeffree, McConkey dan Hewson (1984), dalam Yuliani (2009)
menyebutkan enam karakteristik kegiatan bermain pada anak, yaitu:
pertama, inisiatif untuk bermain harus muncul dari diri pemain sendiri. Ini
mengandalkan permainan yang sifatnya sukarela, bukan paksaan. Kedua,
bebas dari aturan mengikat. Terlalu banyak aturan justru menyebabkan
permainan menjadi kurang menarik minat anak. Ketiga, bermian
merepresentasikan aktifitas nyata. Keempat, permainan pada anak fokus
pada proses, bukan pada hasil.
Misalnya anak bermain seolah sedang memandikan boneka, maka
permainan

yang

sesungguhnya

adalah

ketika

anak

berpura-pura

memandikan boneka, bukan pada boneka yang merupakan output dari
proses permainan tersebut. Apalagi sering kali dibumbui dengan percakapan
di antara anak-anak yang terlibat dalam permainan tersebut. Kelima,
permainan yang sehat adalah di mana anak-anak sebagai pemain dominan,
bukan orang dewasa yang mengintervensi dan mengendalikan permainan.
Keenam, anak sebaiknya terlibat langsung dan aktif dalam proses
permainan. Itulah karakteristik permainan yang ideal, yang dianggap
mampu memberikan implikasi positif dan manfaat bagi anak yang terlibat di
dalamnya.

15

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
1.

Anak usia dini disebut sebagai usia emas (golden age) yaitu anak yang
baru dilahirkan sampai usia 6 tahun.

2.

Howard Gardner mengemukakan bahwa pada dasarnya anak memiliki
delapan jenis kecerdasan dasar tersebut : kecerdasan bahasa, kecerdasan
matematis/logis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan
musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan naturalis. Piaget
membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 fase, yaitu: sensori
motor (0-2 tahun), pra operasional (2-7 tahun), operasi konkret (7-12
tahun), operasi formal (12 tahun ke atas). Erikson membagi delapan
tahap perkembangan psikososial anak yaitu sebagai berikut : trust vs
mistrust (0-1 thn), autonomy vs shame & doubt (2-3 thn), Initiative vs
Guilt (4-5 thn), Industry vs Inferiority (6 th-pubertas), Identity &
Repudiation vs Identity Diffusion (masa remaja), Intimacy & Solidarity
vs Isolation (masa dewasa muda), Generativity vs Stagnation (masa
dewasa), Integrity vs Despair (masa tua).

3.

Menurut Maslow, anak termotivasi untuk memenuhi kebutuhankebutuhan hidupnya. Adapun hierarki kebutuhan tersebut adalah
sebagai berikut4 : kebutuhan fisiologis atau dasar, kebutuhan akan rasa
aman, kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, kebutuhan untuk
dihargai, kebutuhan untuk aktualisasi diri. Masing-masing anak
memiliki kecenderungan (inklinasi) terhadap kecerdasan tertentu atau
kelebihan

yang ditunjukkan

melalui

perilaku

spesifik.

Dalam

pembelajaran harus dihindari pembatasan kemampuan hanya dalam
satu katagori atau wilayah kecerdasan tertentu saja. Tetapi lebih penting
bagaimana anak di perlakukan sebagai orang yang sedang melakukan

4

http://id.wikipedia.org

16

perjalanan hidupnya dengan cara yang memungkinkan mengoptimalkan
apa yang ada dalam dirinya.
4.

Anak belajar melalui bermain, anak belajar dengan cara membangun
pengetahuannya, anak belajar secara alamiah, anak belajar paling baik
jika apa yang dipelajarinya mempertimbangkan keseluruhan aspek
pengembangan, bermakna, menarik, dan fungsional.

B.

Saran
Dalam proses mendidik anak diperlukan ilmu dan pemikiran yang
mengetahui tentang konsep perilaku anak. Mulai dari cara berfikir anak,
jenis-jenis perilaku anak, macam-macam kesukaan anak, serta memahami
apa yang anak butuhkan bukan apa yang anak mau. Ajari dan didiklah anak
dengan cara yang kreatif dan inovatif agar anak dapat menyerap ilmu yang
kita sampaikan dengan lebih abadi dan dapat merangsang pikirannya.
Jangan sekali-sekali memaksakan anak untuk belajar, tapi ajaklah
dia dengan lembut atau bila perlu tanpa dia sadari dia sedang melakukan
permainan sambil belajar. Anak masih mudah frustasi dan memiliki rasa
penasaran yang sangat tinggi. Jadi jangan sampai kita menyakiti hatinya dan
membiarkan dia bermain sendirian karena kedua hal ini sangat berbahaya
apabila terjadi.
Ketika dia menginjak masa-masa ini jangan lupa untuk mengajarkan
nilai-nilai moral, dan agama. Ketika anak menginjak usia dini bukan hanya
ilmu pengetahuan yang perlu diajarkan padanya tapi nilai-nilai moral,
pertemanan, dan agama juga penting sekali guna mendirikan akhlak anak
menjadi orang yang cerdas dan berkelakuan baik ketika dia beranjak dewasa
kelak.

17

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Modul “Pendidikan dan Latihan Profesi Guru TK Rayon 24”. Makassar:
Universitas Negeri Makassar.
http://pgpaud.ac.id
http://www.guru-indonesia.net
S, Udin. Makalah “Model-Model Pembelajaran pada Anak Usia Dini”.
Sudono, Anggani. 1 April 2001. Gaya Pembelajaran Anak Usia Dini. Buletin
PADU, Vol.2 No. 01.
Wiyani, Novan Ardy dan Barnawi. 2014. Format PAUD: Konsep, Karakteristik,
& Implementasi Pendidikan Anak Usia Dini. Jogjakarta: ArRuzz Media.

18