MODEL PEMBELAJARAN SCAFFOLDING 1 (1)

MODEL PEMBELAJARAN SCAFFOLDING
1. A. Pengertian Scaffolding
Model pembelajaran matematika dapat dilihat pada hubungan interaksi antara pembelajar dan
peserta didik. Jika pembelajar lebih banyak berperan maka pembelajaran lebih pada metode
ceramah atau ekspositari (teacher centered), sedang bila peserta didik lebih dominan maka lebih
ke arah pembelajaran inquiri (student centered). Model pembelajaran satu arah ini merupakan
kasus ekstrim yang tentu tidak cocok untuk kebanyakan peserta didik. Maka diperlukan batasan
seberapa jauh “dukungan pembelajar” dan seberapa jauh “kebebasan peserta didik” dalam proses
pembelajaran. Pengertian istilah scaffolding berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu berupa
bangunan kerangka sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bambu, kayu, atau batang
besi) yang memudahkan pekerja membangun gedung. Metapora ini harus secara jelas dipahami
agar kebermaknaan pembelajaran dapat tercapai. Sebagian pakar pendidikan mendefinisikan
scaffolding berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang pembelajar kepada peserta didik
dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan interaksi yang bersifat
positif. Scaffolding diartikan ke dalam bahasa Indonesia “perancah”, yaitu bambu (balok dsb)
yang dipasang untuk tumpuan ketika hendak mendirikan rumah, membuat tembok, dan
sebagainya (Poerwadarminta, 1983; 735).
Penjelasan tersebut di atas dapat ditemukan garis besar, prinsip-prinsip konstruktivis sosial
dengan pendekatan scaffolding yang diterapkan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :
1.


Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri.

2.

Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke peserta didik, kecuali hanya.

3.

Dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar.

4. Peserta didik aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah.
5. Pembelajar sekedar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar proses
kontruksi belajar lancar.
6. Menghadapi masalah yang relevan dengan peserta didik.
7. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
8.

Mencari dan menilai pendapat peserta didik.


9.

Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan peserta didik.

Scaffolding is the assistance (parameters, rules or suggestions) a teacher gives a student in a
learning situation.

Scaffolding adalah bantuan (parameter, aturan atau saran) pembelajar memberikan
peserta didik dalam situasi belajar.
Scaffolding allows the student to have help with only the skills that are new or beyond her
ability.
Scaffolding memungkinkan peserta didik untuk mendapat bantuan melalui keterampilan
baru atau di luar kemampuannya.
Teori Scaffolding pertama kali diperkenalkan di akhir 1950-an oleh Jerome Bruner, seorang
psikolog kognitif . Dia menggunakan istilah untuk menggambarkan anak-anak muda dalam
akuisisi bahasa. Anak-anak pertama kali mulai belajar berbicara melalui bantuan orang tua
mereka, secara naluriah anak-anak telah memiliki struktur untuk belajar barbahasa. Scaffolding
merupakan interaksi antara orang-orang dewasa dan anak-anak yang memungkinkan anak-anak
untuk melaksanakan sesuatu di luar usaha mandiri-nya. Cazden (1983; 6) mendefinisikan
scaffolding sebagai “kerangka kerja sementara untuk aktivitas dalam penyelesaian”. Konstruksi

scaffolding terjadi pada peserta didik yang tidak dapat mengartikulasikan atau menjelajahi
belajar secara mandiri. Scaffolding dipersiapkan oleh pembelajar untuk tidak mengubah sifat atau
tingkat kesulitan dari tugas, melainkan dengan scaffolding yang disediakan memungkinkan
peserta didik untuk berhasil menyelesaikan tugas.
Istilah ini digunakan pertama kali oleh Wood, dkk tahun 1976, dengan pengertian “dukungan
pembelajar kepada peserta didik untuk membantunya menyelesaikan proses belajar yang tidak
dapat diselesaikannya sendiri”. Pengertian dari Wood ini sejalan dengan pengertian ZPD (Zone
of Proximal Development) dari Vyotsky. Peserta didik yang banyak tergantung pada dukungan
pembelajar untuk mendapatkan pemahaman berada di luar daerah ZPD-nya, sedang peserta didik
yang bebas atau tidak tergantung dari dukungan pembelajar telah berada dalam daerah ZPD-nya.
Menurut Vygotsky, peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir tingkat yang lebih
tinggi ketika mendapat bimbingan (scaffolding) dari seorang yang lebih ahli atau melalui teman
sejawat yang memiliki kemampuan lebih tinggi (Stone, 1998). Demikian juga Piaget
berpendapat bahwa peserta didik akan mendapat pencerahan ide-ide baru dari seseorang yang
memiliki pengetahuan atau memiliki keahlian (Piaget, 1928).
Lange (2002) menyatakan bahwa ada dua langkah utama yang terlibat dalam scaffolding
pembelajaran: (1) pengembangan rencana pembelajaran untuk membimbing peserta didik dalam
memahami materi baru, dan (2) pelaksanaan rencana, pembelajar memberikan bantuan kepada
peserta didik di setiap langkah dari proses pembelajaran. Scaffolding terdiri dari beberapa aspek
khusus yang dapat membantu peserta didik dalam internalisasi penguasaan pengetahuan. Berikut

aspek-aspek scaffolding:
 Intensionalitas: Kegiatan ini mempunyai tujuan yang jelas terhadap aktivitas
pembelajaran berupa bantuan yang selalu didiberikan kepada setiap peserta didik yang
membutuhkan.
 Kesesuaian: Peserta didik yang tidak bisa menyelesaikan sendiri permasalahan yang
dihadapinya, maka pembelajar memberikan bantuan penyelesaiannya.

 Struktur: Modeling dan mempertanyakan kegiatan terstruktur di sekitar sebuah model
pendekatan yang sesuai dengan tugas dan mengarah pada urutan alam pemikiran dan
bahasa.
 Kolaborasi: Pembelajar menciptakan kerjasama dengan peserta didik dan menghargai
karya yang telah dicapai oleh peserta didik. Peran pembelajar adalah kolaborator bukan
sebagai evaluator.
 Internalisasi: Eksternal scaffolding untuk kegiatan ini secara bertahap ditarik sebagai
pola yang diinternalisasi oleh peserta didik (hal. 6).
Larkin (2002) menyatakan scaffolding salah satu prinsip pembelajaran yang efektif yang
memungkinkan para pembelajar untuk mengakomodasikan kebutuhan peserta didik masingmasing. Istilah ini juga diperkenalkan oleh Reichgerlt, Shadbolt, Paskiewica, & Wood (1993)
seperti dikutip oleh Zhao dan Orey (1999).
Dukungan terhadap peserta didik dalam menyelesaikan proses belajar dapat berupa keaktifan
peserta didik dalam proses pembelajaran, strategi pembelajaran, keragaman model pembelajaran,

bimbingan pengalaman dari pembelajar, fasilitas belajar, dan iklim belajar peserta didik dari
orang tua di rumah dan pembelajar di sekolah. Dukungan belajar yang dimaksud di sini adalah
dukungan yang bersifat konkrit dan abstrak sehingga tercipta kebermaknaan proses belajar
peserta didik.
Pembelajar tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki
pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan untuk memberi dukungan belajar
kepada peserta didik, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para pembelajar
diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif
satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis. Para pembelajar
diharapkan menjadi masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang
mendalam. Scaffolding selalu digunakan untuk mendukung pembelajaran berbasis masalah
(PBL) (Hoffman and Ritchie, 1997).
Di samping penguasaan materi, pembelajar juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi
pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai
tujuan belajar dari topik-topik yang beragam. Apabila konsep pembelajaran tersebut dipahami
oleh para pembelajar, maka upaya mendesain pembelajaran bukan menjadi beban, tetapi menjadi
pekerjaan yang menantang. Konsep pembelajaran tersebut meletakkan landasan yang
meyakinkan bahwa peranan pembelajar tidak lebih dari sebagai fasilitator, suatu posisi yang
sesuai dengan pandangan konstruktivistik. Tugas sebagai fasilitator relatif lebih berat
dibandingkan hanya sebagai transmiter pembelajaran. Pembelajar sebagai fasilitator akan

memiliki konsekuensi langsung sebagai perancah, model, pelatih, dan pembimbing (mentor).
Di samping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan pembelajar dalam pembelajaran
adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagai mediator. Sebagai expert learners,
pembelajar diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran sehingga
dapat memberikan bantuan kepada peserta didik, menyediakan waktu yang cukup untuk peserta
didik, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran,

merubah strategi ketika peserta didik sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif,
metakognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik.
Sebagai manager, pembelajar berkewajiban memonitor hasil belajar para peserta didik dan
masalah-masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal,
dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini,
pembelajar berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menseleksi
proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan peserta didik.
Sebagai mediator, pembelajar memandu mengetengahi antar peserta didik, membantu para
peserta didik memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu
masalah, memandu para peserta didik mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan
perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana
mengaitkan gagasan-gagasan para peserta didik, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan
kepada peserta didik ikut berpikir kritis.

Terkait dengan desain pembelajaran, peran pembelajar adalah menciptakan dan memahami
sintaks pembelajaran. Penciptaan sintaks pembelajaran yang berlandaskan pemahaman akan
mempermudah implementasi pembelajaran oleh pembelajar lain atau oleh peserta didik itu
sendiri. Sintaks pembelajaran adalah langkah-langkah operasional yang dijabarkan berdasarkan
teori desain pembelajaran. Sintaks pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik acap
kali mengalami adaptasi sesuai dengan kebutuhan. Hal ini menjadi penting untuk
menyempurnakan sintaks yang rekursif, fleksibel, dan dinamis.
Gage dan Berliner, mengemukakan peran pembelajar dalam proses pembelajaran peserta didik,
yang mencakup :
1. Pembelajar sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan
dilakukan di dalam proses pembelajaran (pre-teaching problems);
2. Pembelajar sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi,
memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan pembelajaran sesuai
dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan
kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama
proses berlangsung (during teaching problems);
3. Pembelajar sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa,
menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat
keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai
aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.

Selanjutnya, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan pembelajar di sekolah,
keluarga dan masyarakat. Di sekolah, pembelajar berperan sebagai perancang pembelajaran,
pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan
pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, pembelajar berperan sebagai pendidik
dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, pembelajar berperan sebagai
pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen
masyarakat (social agent).

B. Partisipasi Peserta Didik dalam Proses Pembelajaran
Peserta didik tidak lagi diposisikan sebagai ember yang harus diisikan dengan air. Dengan sikap
pasrah peserta didik disiapkan untuk dijejali informasi oleh pembelajarnya. Atau peserta didik
dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima pengatahuan dari pembelajarnya. Peserta didik
kini diposisikan sebagai mitra belajar pembelajar. Pembelajar bukan satu-satunya pusat
informasi dan yang paling tahu. Pembelajar hanya salah satu sumber belajar atau sumber
informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya, perpustakaan, alam,
laboratorium, televisi, koran dan internet.
Pembelajar bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Di antara tanggung
jawab pembelajar dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi peserta didik.
Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan peserta didik serta menyediakan pengalaman untuk
menumbuhkan pemahaman peserta didik (Suherman dkk, 2001:76).

Oleh karena itu, pembelajar harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin
kepada peserta didik untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para peserta didik
dapat menciptakan, mengembangkan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja
sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya (Setyosari, 1997: 53).
Strategi Pembelajaran kooperatif bisa digunakan untuk mengaktifkan peserta didik manakala:
a. Pembelajar menekankan pentingnya usaha kolektif, di samping usaha individual dalam belajar.
b. Jika pembelajar menghendaki seluruh peserta didik untuk memperoleh keberhasilan dalam
belajar.
c. Jika pembelajar ingin menanamkan, bahwa peserta didik dapat belajar dari teman lainnya.
d. Jika pembelajar menghendaki untuk mengembangkan kemampuan komunikasi peserta didik.
e. Jika pembelajar menghendaki meningkatnya motivasi peserta didik dan menambah tingkat
partisipasi mereka.
f. Jika pembelajar menghendaki berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memecahkan
masalah dan menemukan berbagai solusi pemecahan.
Strategi pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu strategi pembelajaran yang
mendukung pembelajaran kontekstual. Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem
kerja/belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur
pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab
individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.
Pembelajaran Kooperatif adalah hubungan dalam kelompok peserta didik yang memerlukan

saling ketergantungan positif (rasa tenggelam atau berenang bersama-sama), akuntabilitas
individu (masing-masing dari kita harus berkontribusi dan belajar), keterampilan interpersonal

(komunikasi, kepercayaan, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan resolusi konflik), tatap
muka interaksi promotif, dan pengolahan (merefleksikan seberapa baik tim berfungsi dan
bagaimana fungsi bahkan lebih baik). http://www.co-operation.org/
Menurut Ibrahim (2000:6) unsur-unsur pembelajaan kooperatif adalah sebagai berikut.
1. Peserta didik dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka “sehidup
sepenanggungan bersama”.
2. Peserta didik bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik
mereka sendiri.
3. Peserta didik haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki
tujuan yang sama.
4. Peserta didik harus membagai tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota
kelompoknya
5. Peserta didik akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/ penghargaan yang juga
akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.
6. Peserta didik berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk
belajar bersama selama proses belajarnya.
7. Peserta didik akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang

ditangani dalam kelompok kooperatif.
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham
konstruktivistik. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah peserta
didik sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap peserta didik anggota kelompok harus saling bekerja
sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif,
belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran. Pembelajaran kooperatif merupakan stategi pembelajaran yang mendorong peserta
didik aktif menemukan sendiri pengetahuannya melalui keterampilan proses (Henny, 2003:20).
Teknik Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di
Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John
Hopkins (Arends, 2004; 363). Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al.
sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca,
menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.
Dalam teknik ini, pembelajar memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman peserta
didik dan membantu peserta didik mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih
bermakna. Selain itu, peserta didik bekerja sama dengan sesama peserta didik dalam suasana
gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan
meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari
beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi

belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya
(Arends, 1997).
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif di mana
peserta didik belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan
bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian
materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota
kelompok yang lain (Arends, 1997).
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab peserta didik terhadap
pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Peserta didik tidak hanya
mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan
materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “peserta didik saling
tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari
materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli)
saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka.
Kemudian para peserta didik itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada
anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan
tim ahli.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli.
Kelompok asal yaitu kelompok induk peserta didik yang beranggotakan peserta didik dengan
kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan
gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok peserta didik yang terdiri dari
anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik
tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian
dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends,
1997) :
Kelompok Asal
Kelompok Ahli
Gambar. Ilustrasi Kelompok Jigsaw
Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :
1. Pembelajar membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok
terdiri dari 4 – 6 peserta didik dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut
kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah
bagian materi peserta didikan yang akan dipelajari peserta didik sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap peserta didik diberi tugas

mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua peserta didik dengan
materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok
ahli (Counterpart Group). Dalam kelompok ahli, peserta didik mendiskusikan bagian
materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan
kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson
disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 peserta didik
dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri
dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 peserta didik akan terdapat 5 kelompok
ahli yang beranggotakan 8 peserta didik dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 peserta
didik. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan
informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Pembelajar
memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok
asal.
Gambar Contoh Pembentukan Kelompok Jigsaw
1. Setelah peserta didik berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya
dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu
kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar
pembelajar dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah
didiskusikan.
2. Pembelajar memberikan kuis untuk peserta didik secara individual.
3. Pembelajar memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan
berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor
kuis berikutnya.
4. Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi
pembelajaran.
5. Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu
dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun
rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran
terutama dalam penerapan model pembelajaran Cooperative Learning di antaranya adalah
sebagai berikut :
1. Kurangnya pemahaman pembelajar mengenai penerapan pembelajaran Cooperative
Learning.
2. Jumlah peserta didik yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian pembelajar
terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang
menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
3. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative
Learning.
4. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
5. Terbatasnya pengetahuan peserta didik akan sistem teknologi dan informasi yang dapat
mendukung proses pembelajaran.

Agar pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning dapat berjalan dengan baik, maka upaya
yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pembelajar senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran
Cooperative Learning di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
2. Pembagian jumlah peserta didik yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas
heterogen.
3. Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative
Learning.
4. Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.
5. Mensosialisasikan kepada peserta didik akan pentingnya sistem teknologi dan informasi
yang dapat mendukung proses pembelajaran.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/31/cooperative-learning-teknik-jigsaw/
Dalam pembelajaran kooperatif, biasanya tidak banyak memakan waktu peserta didik dalam satu
hari pelajaran atau satu tahun ajaran. Dalam hal ini proses pembelajaran kooperatif adalah model
membelajarkan peserta didik secara kooperatif atau bergotong royong untuk mencapai tujuan
belajar yang semaksimal mungkin.
Pendekatan konstruktivis sosial tersebut apabila kita hubungkan dengan pelaksanaan yang ada
dalam pendidikan. Upaya yang dilakukan melalui pendekatan konstruktivis tersebut dapat juga
berupa mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam, serta mengembangkan
pemahaman rasional dalam konteks kehidupan modern. Membekali peserta didik dengan
berbagai pengetahuan dan kebajikan, baik pengetahuan praktis, kekuasaan, kesejahteraan,
lingkungan sosial, dan pembangunan nasional. Melatih kebiasaan baik serta membantu peserta
didik yang sedang tumbuh untuk belajar berpikir secara logis dan membimbing proses
pemikirannya dengan berpijak pada hipotesis dan konsep-konsep tentang pengethaun yang
dituntut.
Maka melalui upaya tersebut dapat diambil hikmah dari pendekatan konstruktivis melalui
pembelajaran. Karena memberikan peranan penting dalam pendidikan terutama dalam mencapai
pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui berbagai aspek
sosial baik dalam level individu, komunitas, dan manusia secara luas. Untuk terciptanya
kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok perlu membagi tugas sesuai dengan
tujuan kelompoknya. Tugas tersebut disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok.
Setiap kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya sehingga anggota harus
memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya.
Pencapaian hal tersebut, pembelajar perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga
kelompok. Penilaian individu bisa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus sama.
Kelompok belajar dibentuk secara heterogen, yang berasal dari budaya, latar belakang sosial, dan
kemampuan akademik yang berbeda.
Perbedaan semacam ini akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antar
anggota kelompok. Serta keterampilan berkomunikasi perlu terus dilatih sampai pada akhirnya
setiap peserta didik memliki kemampuan untuk menjadi komunikator yang baik. Perangkat

komponen pada masing-masing sistem pembelajaran menggunakan modul yang berupa pedoman
pembelajar /petunjuk pembelajar, lembaran kegiatan peserta didik, lembaran kerja, kunci
lembaran kerja, lembaran tes dan kunci lembaran tes. Program pengayaan juga penting untuk
memberikan kesempatan kepada peserta didik yang menyelesaikan lebih cepat.
Hal ini dilakukan agar kemajuan dalam belajarnya dapat berkembang terus maka memperluas
materi yang berbentuk mengapilkasikan, menciptakan alat-alat, mengerjakan teka-teki dan
sebagainya. Bentuk aktifitas yang dilakukan peserta didik bukan hanya aktifitas fisik tetapi dan
terutama aktifitas mental, karena inti dari kegiatan belajar adalah adanya aktifitas mental. Tanpa
keterlibatan mental dalam suatu aktifitas yang dilakukan peserta didik maka tidak akan pernah
terjadi proses belajar di dalam dirinya. Pembelajaran ini mampu “membawa” para peserta
didiknya menguasai kemampuan yang diharapkan di akhir proses pembelajaran.
Keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pembelajar yang
melaksanakan pembelajaran, dan dari sisi peserta didik yang belajar. Dilihat dari sisi pembelajar,
pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran mampu menstimulasi aktifitas peserta didik
secara optimal untuk melakukan kegiatan belajar dan seluruh atau sebagian besar aktifitas yang
direncanakan dapat terlaksana.
Sementara bila dilihat dari sisi peserta didik, pembelajaran dikatakan efektif apabila
pembelajaran tersebut dapat mendorong peserta didik untuk melakukan berbagai kegiatan belajar
secara aktif, dan di akhir pembelajaran para peserta didik mampu menguasai seluruh atau
sebagian besar tujuan pembelajaran yang ditetapkan, dan penguasaan pengetahuan tersebut dapat
bertahan dalam waktu yang relatif lama. Seluruh proses pembelajaran di atas, diharapkan
pembelajaran yang dialami peserta didik menjadi menyenangkan.
Pembelajaran yang menyenangkan tidak identik dengan pembelajaran yang gaduh, berisik, dan
tidak terkendali. Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dilakukan oleh
peserta didik secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan dari luar, peserta didik melakukan
aktifitasnya dengan hati yang senang dan tidak terkekan.
Hal itu akan terjadi apabila situasi pembelajaran terbuka, demokratis, dan menantang. Para
peserta didik memiliki kesempatan untuk melakukan berbagai aktifitas tanpa harus takut salah
dan dimarahi oleh siapapun. Pembelajaran yang menyenangkan, peserta didik akan dapat
mencurahkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (time
on task) tinggi dan pembelajar berperan sebagai scaffolding/memberi dukungan strategi.
Melalui usaha tersebut peserta didik sebagai pusat pembelajaran akan ditandai oleh adanya aktif,
berpartisipasi, bekerja, berinteraksi, menemukan dan memecahkan masalah. Dalam kegiatan
pembelajaran komunikasi sering terjadi hanya satu arah, yaitu dari pembelajar kepada peserta
didik, sehingga peserta didik lebih banyak pasif dan kemampuan aktual peserta didik dalam ZPD
(Zone of Proximal Development) diabaikan.
Pada saat pembelajar menyampaikan materi pelajaran, yang biasanya dilakukan melalui
ceramah, para peserta didik hanya menerima apa yang disampaikan oleh pembelajar. Melalui
penerapan konsep pembelajaran ini maka peserta didik akan menjadi aktif melakukan berbagai

aktifitas belajar, yang tidak hanya mendengarkan, tetapi mereka harus terlibat secara aktif
mencari, menemukan, mendiskusikan, merumuskan, dan melaporkan hasil belajarnya.
Karenanya, mereka harus diberi kesempatan untuk memikirkan segala sesuatu yang terjadi dalam
lingkungannya; pembelajar hendaknya menstimulasi daya pikir mereka dengan mengajukan
sejumlah pertanyaan dan permasalahan yang harus dipecahkan (problem solving). Melalui
penciptaan kondisi yang menantang dan pemberian kebebasan yang luas kepada peserta didik
untuk beraktifitas, memungkinkan peserta didik menganalisis permasalah secara kritis, dan
mencari pemecahannya.
Sebab kreatifitas akan muncul dalam suasana dan lingkungan yang menantang namun dirasa
aman, dan tidak takut akan mendapat hukuman apabila terjadi kesalahan. Proses belajar yang
dialami peserta didik juga harus melatih dan meningkatkan kematangan emosional dan sosialnya.
Pada akhirnya seluruh proses belajar yang dilakukan peserta didik akan membawanya pada
peningkatan produktivitas menjadi lebih tinggi.
C. Pendidikan Multikultural
Mempelajari lingkungan, memandangnya dari perspektif kultural, merupakan keberagaman
dalam tema kebudayaan dasar kita. Pendidikan multikultural dimulai dari pengenalan,
penghormatan, dan penghargaan terhadap diri sendiri (termasuk institusi yang membentuk
seperti keluarga maupun lingkungan terdekat). Sesuai tahap perkembangan anak dan jenjang
pendidikan, pengenalan dan penghormatan atas diri sendiri diperluas dan dikembangkan menjadi
pengenalan dan penghargaan terhadap orang lain. Sebagai contoh, pengetahuan tentang berbagai
suku, etnis, adat, tradisi, agama, bahasa daerah di satu daerah, di Indonesia, dan di dunia.
Keterampilan untuk hidup di masyarakat yang berbasis multikultural termasuk terampil
bernegosiasi, mengemukakan dan menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning,
dan problem solving. Keterampilan ini bisa dimasukkan pada proses pembelajaran peserta didik
baik melalui kegiatan akademik maupun non-akademik dan menjadi scaffolding dalam proses
pembelajaran. Selanjutnya, dengan keragaman pengetahuan budaya, etnis, suku, budaya, dan
agama yang dimiliki oleh setiap individu merupakan potensi untuk mendukung terciptanya
proses belajar melalui interaksi sosial.
James A. Banks (1994) mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang
diperkirakan dapat membantu pembelajar dalam mengimplementasikan beberapa program yang
mampu merespon terhadap perbedaan peserta didik, yaitu:
1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh pembelajar
untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi
materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para pembelajar menggabungkan kandungan
materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam.
Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu para pembelajar
bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat
kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit
pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, pembelajar menambah
beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.

2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi di mana para
pembelajar membantu peserta didik untuk memahami beberapa perspektif dan
merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka
miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para peserta didik terhadap
perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;
3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Pembelajar melakukan banyak
usaha untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan perilaku positif tentang
perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku
negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan
kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu peserta didik mengembangkan
perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua
kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif
tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara
konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para peserta didik yang
datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak
melakukan kesalah pahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya.
Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan
pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para peserta
didik untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis
strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para peserta didik untuk lebih bersahabat
dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
1. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan
cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian
hasil belajar pada sejumlah peserta didik dari berbagai kelompok. Strategi dan aktifitas
belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil,
antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara
yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang
dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok,
termasuk kelompok etnik, wanita, dan para peserta didik dengan kebutuhan khusus yang
akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh
kesempatan belajar.
1. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture
and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya peserta didik
yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat
digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya
peserta didik yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat,
misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi
ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di
sekolah.
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut
Longer Oxford Dictionary istilah “multiculturalism” merupakan deviasi dari kata “multicultural”
Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan
masyarakat Montreal sebagai masyarakat “multicultural dan multi-lingual”.

Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural
dapat didefenisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi
perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan”.
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading”
yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu
menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat
yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang
dialaminya.
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan
keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam
dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas
pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orangorang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu
mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras,
budaya, strata sosial dan agama.
D. Metakognisi
Woolfolk mengemukan bahwa metacognition berarti pengetahuan tentang pengetahuan yang
berhubungan dengan penalaran, pemahaman, pemecahan masalah, belajar, dan lain-lain (Anita
E, Woolfolk, 2004; 267). Sedangkan Borich menyebutkan bahwa metacognition adalah
merupakan strategi pengarahan diri sendiri (Borich, 1996; 388-389). Flavell menyebutkan bahwa
konsep metakognisi dan kognisi sukar untuk diterjemahkan, terutama perbedaan antara
metakognisi dan kognisi. Namun secara umum perbedaan itu adalah kognisi memproseskan
pengetahuan, sedangkan metakognisi menciptakan pemahaman seseorang terhadap pengetahuan
(Flavell, 1966; 64). Strategi metakognisi membawa peserta didik kepada suatu proses yang
mereka sebut dengan mental modeling (model berpikir). Dalam Mengajarkan proses berpikir,
pembelajar perlu melakukan sebagai berikut: (1) memfokuskan perhatian peserta didik, (2)
menekankan pada nilai-nilai dari demonstrasi, (3) membicarakan dalam bahasa percakapan, (4)
membuat langkah-langkah sederhana dan jelas, dan (5) membantu peserta didik mengingat.
Metakognisi merupakan strategi untuk melaksanakan dan memonitor, model berpikir yang
melibatkan penalaran peserta didik, dan terfokus pada penggunaan penalaran (Anita E,
Woolfolk, 2004; 267).
Selanjutnya Woolfolk mengemukakan bahwa perencanaan dalam strategi metakognisi meliputi
keputusan tentang banyak waktu yang dibutuhkan, strategi yang akan digunakan, cara memulai,
sumber dana, aturan yang akan diikuti untuk suatu tugas. Dia menjelaskan bahwa memonitor
adalah kesadaran yang terus menerus untuk melihat proses berpikir dengan mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri untuk suatu tugas seperti “bagaimana cara saya
mengerjakannya”, adakah saya memahami setiap istilah pada tugas itu, memahami masalah
secara keseluruhan; Apakah saya bekerja terlalu cepat; Apakah saya sudah cukup belajar;
Apakah saya bertanya sesuai dengan topik? Seterusnya dia mengemukakan bahwa monitoring
meliputi cara melakukan pemahaman, kecepatan, dan kecukupan belajar, evaluasi meliputi

membuat kesimpulan tentang proses, hasil belajar, dan belajar. Woolfolk juga mengemukakan
bahwa evaluasi meliputi membuat kesimpulan proses dan hasil belajar dan berpikir. Sehubungan
dengan evaluasi dia memberikan contoh pertanyaan-pertanyaan oleh diri peserta didik sendiri
seperti “apakah saya sebaiknya mengubah strategi mengerjakan tugas ini? Mencari bantuan, atau
menyerah? Adakah tugas yang saya buat sudah selesai?, dan banyak lagi yang mungkin
dikemukakan, apakah bahan ini sudah saya pelajari dengan cukup (Anita E, Woolfolk, 1996;
267).
Menurut Preisseisen seperti dikutip Pannen menjelaskan bahwa metakognisi meliputi empat jenis
keterampilan, yaitu:
1). Keterampilan pemecahan masalah (Problems solving) yaitu:
Keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memecahkan masalah
melalui pengumpulan fakta-fakta, analisis informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan,
dan memilih pemecahan masalah yang paling efektif.
2). Keterampilan pengambilan keputusan (Decision making) yaitu:
Keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memilih suatu keputusan
yang terbaik dari beberapa pilihan yang ada melalui pengumpulan informasi, perbandingan
kebaikan dan kekurangan dari setiap alternatif, analisis informasi, dan pengambilan keputusan
yang terbaik berdasarkan alasan-alasan yang rasional.
3). Keterampilan berpikir kritis (Critical thinking) yaitu:
Keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menganalisis argumen dan
memberikan interpretasi berdasarkan persepsi yang sahih melalui logical reasoning, analisis
asumsi dan bias dari argumen, dan interpretasi logis.
4). Keterampilan berpikir berpikir kreatif (Creative thinking) yaitu:
Keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menghasilkan suatu ide
yang baru, konstruktif, dan baik berdasarkan konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang rasional
maupun persepsi, dan intuisi individu (Program Applied Approach, 1997; 3-7-3-8).
Savage dan Amstrong mengemukakan bahwa ada dua strategi belajar metakognitif: (1) berpikir
dengan bersuara keras (thinking aloud), dan (2) berpikir dengan membayangkan (visualizing
thinking). Mereka menjelaskan bahwa dalam pendekatan berpikir dengan bersuara menghendaki
pembelajar untuk menerangkan proses berpikir adalah untuk pendekatan suatu tugas atau suatu
kegiatan. Berpikir dengan membayangkan, adalah teknik untuk membantu peserta didik
memonitor proses berpikir dengan cara memfokuskan peserta didik tersebut pada hal-hal yang
perlu untuk suatu tugas. Menurut Savage dan Amstrong, dalam pelaksanaan penggunaan strategi
metakognisi, pembelajar mendorong peserta didik menyiapkan diagram yang menunjukkan
pemahaman mereka terhadap tugas dan jenis-jenis informasi yang mereka butuhkan. Maksudnya,
peserta didik menggunakan diagram tersebut untuk mencatat tentang apa yang telah

dipelajarinya (Tom V. Savage dan David G. Amstrong, 1966; 232-235). Tujuan penggunaan
proses Visualizing- thinking adalah agar peserta didik lebih memperhatikan syarat-syarat khusus
untuk tugas-tugas belajar yang dikehendaki dan membantu peserta didik memonitor dan
menyesuaikan proses berpikir mereka ketika mengerjakan tugas dan meningkatkan percaya diri
terhadap hasil kerja mereka (Tom V. Savage dan David G. Amstrong, 1966; 237).
Menurut Dembo bahwa peserta didik yang memiliki keterampilan metakognisi yang baik akan
lebih efektif untuk memilih dan menghadiri ceramah atau informasi-informasi yang penting dari
pada peserta didik yang tidak memiliki keterampilan tersebut (Myron H. Dembo, 1988; 330).
Seterusnya North Central Regional Education Laboratory (NCREL) mengemukakan secara
umum tentang metakognisi, bahwa metakognisi memuat tiga elemen dasar yaitu: (1)
mengembangkan suatu perencanaan tindakan, (2) mengadakan monitoring, dan (3) mengevaluasi
perencanaan. Menurut NCREL bahwa tanyai dirimu dalam menggunakan strategi metakognisi,
dilakukan sebagai berikut:
Sebelum mengerjakan tugas:
 Apakah pengetahuan saya yang ada dapat membantu menyelesaikan bagian-bagian dari
tugas ini?
 Pada arah mana saja menginginkan pemikiran saya?
 Apa yang sebaiknya yang saya lakukan lebih dahulu?
 Apa sebabnya saya baca bagian ini?
 Berapa lama saya harus menyelesaikan tugas ini selengkapnya?
Selama mengerjakan tugas: Dalam memonitoring tindakan:








Bagaimana saya bekerja?
Apakah saya pada jalan yang benar?
Bagaimana sebaiknya saya meneruskan kerja saya?
Informasi apa yang penting untuk diingat?
Apakah sebaiknya saya pindah pada arah lain?
Apakah sebaiknya saya menyesuaikan langkah tergantung pada kesulitan?
Apa yang saya butuhkan jika saya tidak memahami sesuatu?

Setelah tugas selesai: tanyai dirimu sebagai berikut:






Bagaimana baiknya kerja saya?
Apakah pikiran saya menghasilkan kurang atau lebih dari yang saya harapkan?
Apakah saya dapat mengerjakannya dengan cara yang berbeda?
Bagaimana kemungkinan cara berpikir ini dapat saya aplikasikan pada masalah lain?
Apakah saya butuh untuk kembali pada tugas untuk mengisi yang kosong sesuai dengan
pemahaman saya? (Info@Qncrl.org).

Manurut Kaune bahwa kemampuan metakognisi merupakan kemampuan yang melihat kembali
proses berpikir yang dilakukan seseorang. Kegiatan metakognisi terdiri dari planning-

monitoring-reflection. Dalam aktivitas metakognisi tersebut, peran pembelajar (pembelajar,
dosen) sebagai mediator dan bukan ”menjejalkan” informasi kepada peserta didik. Sebagai
mediator, pembelajar membantu mengarahkan gagasan/ide/pemikiran peserta didik sesuai
dengan konteks pelajaran, membantu peserta didik melihat hubungan antara satu pemikiran dan
pemikiran yang lain, serta mendorong peserta didik untuk memformulasikan dan merealisasi
gagasan mereka (Christa Kaune, 2008; 2). Menurut Schon dalam Pannen paradigma
konstruktivisme dan teori metakognisi, lahirnya prinsip reflection in action, yaitu prinsip refleksi
dari pengalaman praktisi profesional dalam pemecahan masalah yang pernah dihadapi untuk
memecahkan masalah baru (praktisi-praktisi tesebut dikenal dengan nama Refletive
Practitioners) (Program Applied Approach, 1997; 3-8). Kemudian Gagnon dan Collay
memaknai refleksi sebagai tindakan mengambarkan sendiri tentang apa yang telah dirasakan,
dilihat, dan diketahui, bagimana membentuk pemahaman baru, menambah pemahaman baru,
atau meningkatkan pengetahuan dalam belajar, serta apa yang akan dilakukan atau dipikirkan
selanjutnya (George W. Gagnon, Jr., and Michelle Collay, 2001; 104). Dalam proses
pembelajaran di kelas, refleksi merupakan unsur penting yang sangat berkaitan dengan aktivitas
belajar. Refleksi terjadi selama seseorang belajar. Biasanya seorang pembelajar berupaya
membangun situasi bagi peserta didik di mana mereka diharuskan untuk merefleksi. Ini
dilakukan melalui strategi-strategi seperti mengajukan pertanyaan, mendorong pengukuran diri
(self assessment)( Margot Brown, Heather Fray and Stephanie Marshall, 1999; 207). Selanjutnya
mendorong mereka untuk mengerjakan tugas, menggunakan analisis kritis terhadap kejadiankejadian, serta meminta mereka untuk menganalisis dan mengkritik pandangan-pandangan dan
praktik yang ada (George W. Gagnon, Jr., and Michelle Collay, 2001; 97). Pemberian informasi
tentang cara kemampuan refleksi cara berpikir atau mengontrol sendiri proses belajar
(metakognisi) dapat dipadukan dalam pembelajaran, karena hal ini dapat membantu peserta didik
belajar secara efektif meningkatkan proses intelektual mereka dan mengadakan pengertian yang
bernilai ke dalam hakikat sebagai peserta didik dan individu (Linda Cambell, Bruce Cambell,
and Dee Dicknson, 1996; 210).
Berdasarkan kajian teori di atas tentang metakognisi, disimpulkan bahwa metakognisi
merupakan pemaknaan berpikir yang dapat diaplikasikan sebagai suatu strategi pembelajaran
untuk mengkondisikan peserta didik dalam memecahkan masalah, mengambil keputusan,
menarik kesimpulan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.