LEVEL OF KNOWLEDGE, ATTITUDES, AND PRACTICES IN COMMUNITY BASED ON FILARIASIS HISTORY IN SOKARAJA KULON VILLAGE, SOKARAJA SUBDISTRICT, BANYUMAS REGENCY 2013
TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU (PSP) MASYARAKAT
BERDASARKAN RIWAYAT FILARIASIS DI DESA SOKARAJA KULON,
KECAMATAN SOKARAJA, KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2013
1*
1 1 Diana Andriyani Pratamawati , Siti Alfiah
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit,
Jl. Hasanudin No.123 Salatiga 50721
Abstract
Until the beginning of 2013, there were 40 people suffering from chronic filariasis spread in 16
health centers in the district of Banyumas, Central Java. Until mid-2013, the availability of
information on the social aspects that play a role in the transmission of filariasis in conjunction
with parasites, vectors and humans in the district of Banyumas is still very limited. Research
aims to illustrate the level of knowledge, attitudes, and practices of the people who live in areas
with a history of transmission of filariasis. The research was carried out in April 2013 located in
Sokaraja Kulon Village area of Sokaraja Community Health Center, Sokaraja Subdistrict,
Banyumas Regency. The study was cross-sectional with a number of respondents interviewed
as many as 67 people, and samples were taken for fingerprick blood samples as many as 500
people. Fingerprick blood samples results in the Village Sokaraja Kulon to 500 people showed
negative results. However, from the results of interviews with 67 respondents note that there
was one person of respondents who had history of chronic filarisis. Respondents with a history
of filariasis was supportive, but his practices was less. Meanwhile, respondents without history
of filariasis being not supportive, but his practices was good regarding the transmission of
filariasis.Keywords: Filariasis, practices, Banyumas
LEVEL OF KNOWLEDGE, ATTITUDES, AND PRACTICES IN COMMUNITY
BASED ON FILARIASIS HISTORY IN SOKARAJA KULON VILLAGE,
SOKARAJA SUBDISTRICT, BANYUMAS REGENCY 2013
Abstrak
Sampai dengan awal tahun 2013 tercatat sebanyak 40 orang menderita filariasis kronis yang tersebar di 16 puskesmas di wilayah Kabupaten Banyumas, JawaTengah.Hingga pertengahan tahun 2013, ketersediaan informasi mengenai aspek sosial yang berperan dalam penularan filariasis dalam hubungannya dengan parasit, vektor dan manusia di wilayah Kabupaten Banyumas masih sangat terbatas.Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat tentang penularan filariasis yang berada di daerah dengan riwayat filariasis. Lokasi penelitian berada di wilayah kerja Puskesmas Sokaraja I yaitu di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumaspada bulan April 2013. Jenis penelitian ini adalah cross-sectional dengan jumlah responden diwawancarai sebanyak 67 orang dan sampel yang diambil untuk survei darah jari (SDJ) sebanyak 500 orang.Hasil sampel SDJ di Desa Sokaraja Kulon terhadap 500 orang menunjukkan hasil yang negative, sedangkan dari hasil wawancara terhadap 67 responden diketahui bahwa ada satu orang responden yang pernah mengalami filarisis kronis.Gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku, antara responden dan yang tidak pernah mengalami filariasis, yaitu meskipun tingkat pengetahuan sama-sama cukup namun dalam bersikap dan berperilaku terhadap * penularan filariasis tidak sama. Responden dengan riwayat filariasis bersikap mendukung,
Alamat korespondensi penulis pertama: e-mail namun perilakunya kurang. Sementara itu, responden tanpa riwayat filariasis bersikap tidak mendukung, namun perilakunya baik mengenai penularan filariasis.
Kata Kunci: Filariasis, perilaku, Banyumas
Naskah masuk: tanggal 26 Oktober 2015; Review I: tanggal ; Review II: 11 Maret 2016; Layak terbit: tanggal 23 Juni
2016 PENDAHULUANFilariasis (kaki gajah) telah dikenal di Indonesia sejak tahun 1889 dan sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Sampai tahun 2002 kurang lebih 10 juta penduduk sudah terinfeksi penyakit ini, dengan jumlah penderita kronis (elephantiasis) kurang lebih 6.500 orang, dimana vektor penyakit kaki gajah adalah nyamuk.
saluran dan kelenjar getah bening ini memperlihatkan gejala demam berulang dan peradangan saluran getah bening yang retrograd serta peradangan kelenjarnya. Pada tingkat lanjut dari penyakit ini
malayi dan Brugia timori) yang hidup di
cacing filaria (Wuchereria bancrofti, Brugia
6 Penyakit yang disebabkan oleh infeksi
merupakan indikator suatu kabupaten/kota menjadi daerah endemis filariasis. Mf rate dihitung dengan cara membagi jumlah sediaan yang positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen. Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40%, dengan endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda.
Mikrofilaria rate (Mf) 1% atau lebih
Kegiatan eliminasi filariasis diprioritaskan pada daerah endemis filariasis. Penentuan endemisitas filariasis dilakukan dengan cara survei darah jari pada setiap kabupaten/kota. Endemisitas filariasis di kabupaten/kota ditentukan berdasarkan survei pada desa yang memiliki kasus kronis paling tinggi, dengan memeriksa darah jari 500 orang yang tinggal disekitar tempat tinggal penderita kronis tersebut pada malam hari.
Namun demikian, dari 700 sampel darah yang diambil dari warga di 3 wilayah desa tersebut, tidak ditemukan adanya warga yang positif mengandung mikrofilaria.
merupakan kasus kronis. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, sampai dengan awal tahun 2013 tercatat sebanyak 40 orang menderita filariasis kronis yang tersebar di 16 wilayah puskesmas di wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Pada tahun 2012, Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas telah melakukan survei darah jari (SDJ) di tiga desa pada tiga wilayah puskesmas dengan kasus filariasis kronis terbanyak, yaitu Desa Kalisube wilayah Puskesmas Banyumas, Desa Alasmalang wilayah Puskesmas Kemranjen II, dan Desa Rawalo wilayah Puskesmas Rawalo.
merupakan salah satu kabupaten yang termasuk daerah endemis filariasis. Sejak tahun 2008 hingga 2011 kasus yang ditemukan cenderung fluktuatif masing- masing 7, 4, 1, 3.
merupakan salah satu daerah endemis filariasis di Indonesia. Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 secara kumulatif jumlah kasus filariasis sebanyak 565 orang dan ditemukan 10 kasus baru yang tersebar di 8 kabupaten/kota.
Penyakit filariasis atau kaki gajah tergolong sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Hampir seluruh wilayah Indonesia termasuk daerah endemis filariasis, terutama wilayah Indonesia bagian Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sampai dengan tahun 2014 terdapat lebih dari 14 ribu orang menderita klinis kronis filariasis yang tersebar pada semua provinsi di Indonesia. Secara epidemiologi, lebih dari 120 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular filariasis. Sampai akhir tahun tahun 2014, terdapat 235 kabupaten/kota endemis filariasis dari 511 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis ini dapat bertambah karena masih ada beberapa kabupaten/kota yang belum terpetakan.
1,2
3 Provinsi Jawa Tengah
4 Kabupaten Banyumas
5 Kasus yang ditemukan
memberikan penyumbatan pada aliran getah bening tersebut atau pecahnya saluran ini akibat bendungan tadi dengan memberikan gejala antara lain:
Survei darah jari merupakan identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu populasi yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas infeksinya. Survei darah jari dilakukan pada daerah yang mempunyai kasus kronis terbanyak. Populasi survei adalah penduduk berusia > 13 tahun. Jumlah sampel yang diambil di setiap desa lokasi survei adalah 500 orang. Apabila jumlah sampel tidak mencukupi maka sampel diambil dari desa bersebelahan. Cara pengambilan sampel adalah mengumpulkan penduduk sasaran survai yang tinggal disekitar kasus kronis yang ada di desa lokasi survei. Pengambilan darah dilakukan pada pukul 20.00 malam.
7 Penyakit kaki gajah merupakan penyebab
utama kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial yang menetap dan menurunkan produktifitas kerja individu, keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.
1,2
Wilayah Desa Sokaraja Kulon termasuk dalam area Puskesmas Sokaraja
I. Kasus filariasis di wilayah Puskesmas Sokaraja I pada tahun 2012 terdapat 3 kasus filariasis kronis (7,5 % dari total kasus di Banyumas tahun 2012).
Elephantiasis, hydrocele, dan cyluria.
3 SDJ dilakukan dengan mengumpulkan
8 Hingga kini,
Penelitian dilakukan di wilayah Puskesmas Sokaraja I di Kabupaten Banyumas, yaitu di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013. Desain penelitian menggunakan model cross-sectional. Pemilihan lokasi didasarkan pada adanya informasi dari petugas pemegang program filariasis Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Banyumas yang menyebutkan adanya kasus filariasis pada daerah tersebut.
METODE
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang penularan filariasis pada individu dengan riwayat filariasis di wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk yang diambil darah jarinya dalam SDJ yaitu sebanyak 500 orang. Pengambilan responden yang diwawancarai diambil dari 500 orang peserta SDJ dengan rumus sampel berdasarkan proporsi. Sampel responden yang diwawancarai diambil dengan cara
purposive berdasarkan kriteria inklusi yang
telah ditentukan. Cara perhitungan sampel minimal menggunakan rumus jumlah sampel untuk proporsi populasi menggunakan rumus Lwanga & Lemeshow (2000).
9 Berikut perhitungannya:
Keterangan : n = jumlah sampel = statistik Z, dengan tingkat kepercayaan 95% dan
α = 5%, sehingga Z=1,96 p = perkiraan proporsi
(prevalensi)= 0,2 q = 1-p = 0,8 d = delta, presisi absolut atau
margin of error yang diinginkan
di kedua sisi proporsi = 10% Hasil perhitungan berdasarkan rumus di atas didapatkan jumlah sampel minimal
informasi mengenai aspek sosial yang berperan dalam penularan filariasis dalam hubungannya dengan parasit, vektor dan manusia di wilayah Kabupaten Banyumas masih sangat terbatas, mengingat kegiatan survei yang sudah sejak tahun 2002 tidak dilaksanakan lagi. Hal itu penting untuk diketahui agar dapat digunakan oleh berbagai pihak, terutama pengelola program dalam rangka eliminasi filariasis yang telah menjadi program nasional sebagai konsekuensi kesepakatan global dalam Global Elimination of Lymphatic Filariasis (GELF) yang dicanangkan WHO.
warga yang tinggal disekitar kasus filariasis di Desa Sokaraja Kulon untuk dilakukan pengambilan sediaan darah.
- –1 SD < x < mean + 1 SD
- – 1 SD
atas mean T . Dasar pengkategorian adalah: bila skor T responden > mean T berarti mendukung, dan bila skor T responden ≤ mean T berarti tidak mendukung.
Berdasarkan hasil pengolahan data wawancara, total responden yang dapat diwawancarai sebanyak 67 responden. Berikut disajikan karakteristik pada 67 responden yang berhasil diwawancarai berdasarkan jenis kelamin, klasifikasi umur, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan pada Tabel 1.
a. Karakteristik Responden
Untuk jumlah responden diwawancarai diperoleh sebanyak 67 orang dan didukung 1 orang petugas Dinas Kesehatan Banyumas yang menangani masalah filariasis. Responden 67 orang yang diwawancarai ini juga termasuk dalam sampel yang diambil contoh darah jarinya. Untuk menunjang hasil, diperoleh keterangan wawancara dari 1 (satu) orang petugas dinas kesehatan Banyumas yang menangani program pengendalian filariasis di Kabupaten Banyumas.
Hasil pemeriksaan terhadap 500 sampel SDJ yang dilakukan di Laboratorium B2P2VRP diperoleh hasil semuanya negatif cacing filaria. Sehingga tidak diketahui jenis cacing yang menyebabkan filariasis maupun sumber penularannya.
10 HASIL
mempergunakan mean dari Skor T pada sikap dan perilaku, karena lebih mudah digunakan dan lebih reliabel untuk pengkategorian dikotomi, karena dalam pengukuran perilaku menggunakan dua kategori (dikotomi) yaitu kategori “Baik” dan “Buruk”.
10 Dasar pengkategorian
≤ mean T berarti Kurang.
Selain untuk pengukuran sikap, untuk pengkategorian perilaku juga mempergunakan mean dari Skor T. Dasar pengkategorian perilaku yaitu bila skor T responden > mean T berarti Baik, dan bila skor T responden
T adalah 50+10(skor Z). Skor Z diperoleh dari rumus : Z =
10 Adapun rumus mencari skor
Pengkategorian sikap responden menggunakan Skor T. Penggunaan Skor T biasa digunakan untuk mengkategorikan sikap.
adalah 62orang. Pengumpulan data wawancara dilakukan lewat wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner. Kriteria inklusi responden penelitian ini antara lain:
3. Kurang, bila nilai responden (x)< mean
2. Cukup, bila nilai responden mean
1. Baik, bila nilai responden (x)>mean+1 SD
:
10
Untuk analisis data menggunakan pengkategorian tingkat pengetahuan responden menggunakan hasil pengukuran mean dan standar deviasi terhadap skor jawaban responden. Dimana dibuat tiga (3) kategori yaitu baik, cukup, dan kurang. Pengkategorian tingkat pengetahuan responden menggunakan parameter
Data yang dikumpulkan meliputi variabel dependen yaitu perilaku responden tentang kegiatan sehari-sehari, cara penularan, cara mencari pertolongan/berobat, cara pencegahan filariasis dan variabel independen yaitu meliputi karakteristik responden (jenis kelamin, posisi dalam RT/masyarakat, umur, pendidikan dan sosial ekonomi), kondisi rumah, lama tinggal di daerah tersebut, pengetahuan, persepsi, penularan, pencegahan dan pemberantasan filariasis, kebiasaan berkaitan dengan filariasis dan penyuluhan (ceramah, buku panduan, diskusi) tentang filariasis yang pernah diberikan.
d) Bersedia diwawancarai.
c) Bertempat tinggal minimum 1 tahun di daerah tersebut.
b) Telah berumur lebih dari 15 tahun (dianggap telah dapat menjawab pertanyaan).
a) Penderita yang pernah atau belum pernah menderita filariasis di daerah penelitian, baik laki-laki maupun perempuan.
10 Pengkategorian sikap didasarkan
Tabel 1. Karakteristik responden di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten
34 orang (50,7%). Sementara untuk tingkat pendidikan sebagian besar adalah Sekolah Dasar / SD sebanyak 42 orang (62,7%) dan jenis pekerjaan sebagian besar responden adalah buruh sebanyak 23 orang (34,3%).
Ya Tidak 67 100
Sebelumnya pernah sakit filariasis Ya 1 1,5 Tidak 66 98,5 Sebelumnya pernah bepergian ke daerah yang ada filariasis
Kabupaten Banyumas Tahun 2013 Riwayat Responden Filariasis Frekuensi (n=67) Persentase (%)
Tabel 2. Riwayat responden mengenai filariasis di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja
Berdasarkan riwayat responden bepergian ke daerah filariasis diketahui bahwa seluruh responden (67 orang) menyatakan tidak pernah (100%). Selain itu, kegiatan yang dilakukan di malam hari sebelum tidur oleh sebagian besar responden yaitu istirahat sebanyak 15 orang (22,4%). Rincian selengkapnya mengenai riwayat serta aktifitas responden di malam hari dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disajikan pada Tabel 2 yaitu dari 67 responden yang diwawancarai, diketahui mayoritas responden sebanyak 66 orang (98,5%) sebelumnya tidak pernah sakit filariasis.
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian responden di Desa Sokaraja Kulon, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas berjenis kelamin perempuan sebanyak 59 orang (88,1%) dengan klasifikasi umur mayoritas lebih dari 50 tahun sebanyak
Banyumas Tahun 2013 No Karakteristik Frekuensi (n=67) Persentase (%)
23 34,3 Ibu Rumah Tangga 4 6,0 Sekolah 4 6,0 Tidak Bekerja 6 9,0 Lainnya 4 6,0
4. Pekerjaan Petani 1 1,5 Pedagang/Wiraswasta 6 9,0 Karyawan Swasta 4 6,0 Buruh
1 1,5
8 11,9 SMA/SMK/MA 10 14,9 Perguruan Tinggi
3. Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah 6 9,0 SD/MI 42 62,7 SMP/MTS
2. Klasifikasi Umur 0-14 Tahun 2 3,0 15 - 49 Tahun 31 46,3 > 50 Tahun 34 50,7
1. Jenis kelamin Laki-laki 8 11,9 Perempuan 59 88,1
b. Riwayat Filariasis Responden
Tabel 3. Kegiatan responden yang dilakukan di malam hari yang dapat kontak dengan nyamuk
di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas Tahun 2013 Kegiatan dimalam hari yang dapat kontak dengan nyamuk
Frekuensi Persentase (%)
Belajar 3 4,5 Beres-beres didalam rumah 1 1,5 Cuci piring, istirahat 1 1,5 Di rumah
12 17,9 Istirahat, tidur, menonton TV 18 26,8 Jam 2 malam persiapan berjualan
1 1,5 Mencuci 1 1,5 Menjahit, pengajian 1x seminggu, tidur jam 11.30 malam
1 1,5 Menonton tv, pengajian 2-3x xeminggu, tidur jam 09.30-10.00 malam 19 28,4 Pertemuan, istirahat 1 1,5 Tidak diisi
9 13,4 Total 67 100
c. Tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku responden mengenai filariasis
Tabel 4. Tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku responden mengenai filariasis pada
responden pernah mengalami filariasis sebelumnya di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas Tahun 2013
Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Responden pernah filariasis sebelumnya
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku mengenai vektor, cara penularan, cara pengobatan, dan cara pencegahan filariasis di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas. Pada Tabel 4 memperlihatkan tingkat pengetahuan responden mengenai filariasis (meliputi tanda penyakit, vektor, cara penularan, pencarian pengobatan, dan cara pencegahan) pada responden yang memiliki riwayat filariasis tergolong pada kategori cukup (1 orang). Untuk kategori sikap pada responden pernah filariasis tergolong mendukung (1 orang) dan perilakunya tergolong kurang (1 orang). Sementara itu, responden yang tidak memiliki riwayat filariasis sebelumnya menunjukkan tingkat pengetahuan mayoritas tergolong cukup (37 orang), sedangkan sikapnya mayoritas tergolong tidak mendukung (38 orang), namun untuk kategori perilakunya mayoritas tergolong baik (40 orang).
Pengetahuan Baik Cukup
1
37 Kurang
29 Sikap Mendukung
1
28 Tidak mendukung
38 Perilaku Baik
40 Kurang
1
26
Ya (n=1) Tidak (n=66)
d. Hasil wawancara dengan Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas mengenai program pengendalian filariasis
Meskipun pengetahuan dan perilaku responden tergolong cukup dan baik, namun masih berpotensi mengalami kejadian filariasis kembali saat melemahnya pengawasan serta pergerakan dari petugas kesehatan setempat. Kondisi ini diperkuat berdasarkan hasil wawancara dengan petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas yang menangani penanggulangan filariasis bahwa SDM dengan kemampuan mikroskopis filaria masih belum merata untuk menunjang keberhasilan diagnosa filariasis karena minimnya fasilitas pelatihan mikroskopis. Sementara tenaga analis yang dimiliki daerah sangat terbatas (dari 39 puskesmas hanya 25 % yang memiliki analis).
Keterbatasan SDM ini menggambarkan adanya potensi keterbatasan diagnosis filaria yang dapat mengakibatkan keterlambatan antisipasi serta kesalahan penanganan. Menurut petugas kesehatan yang menangani filariasis di Kabupaten Banyumas, program pengendalian filariasis yang dijalankan selama ini baru sebatas kegiatan Survei Darah Jari (SDJ) jika ada kasus filariasis (laporan kasus filariasis dari Rumah Sakit), serta hasil sediaan darah yang diperoleh dikroscekkan ulang hasilnya ke Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) dan Laboratorium Kesehatan Provinsi (Labkes Provinsi). Selain itu, Dinas Kesehatan juga mengadakan pelatihan untuk petugas mikroskopis microfilaria namun masih terbatas sebesar 50% dari jumlah puskesmas yang ada. Sehingga dalam menjalankan program pengendalian filariasis terdapat kendala
BAHASAN
Salah satu keadaan responden saat diwawancarai yaitu dalam keadaan salah satu kakinya membesar (filariasis kronis). Responden tersebut seorang ibu rumah tangga yang berumur 42 tahun. Hasil wawancara pada penderita kronis yang berusia
42 tahun berjenis kelamin perempuan menunjukkan bahwa sebelum sakit, responden bepergian ke daerah filarisis. Penularan filariasis berkaitan dengan mobilitas individu yang kontak dengan vektor filariasis terutama di daerah endemis filariasis, sebagaimana hasil penelitian Riftiana dan Soeyoko (2010) di Kabupaten Pekalongan yang menunjukkan hasil analisis statistik yang bermakna pada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian filariasis, namun pada umur, jenis kelamin, serta perilaku tidak ada hubungan secara statistik yang bermakna.
12 Sementara itu, beberapa perilaku dari
responden yang perlu dicermati adalah lubang ventilasi rumahnya tidak tertutup kasa, tidur tidak menggunakan kelambu, tidak teratur membersihkan saluran limbah pembuangan limbah di sekitar rumah, dan tidak pernah mendapatkan penyuluhan mengenai filariasis dari petugas kesehatan. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian dari Jontari dkk di Kabupaten Agam tahun 2010 yang menunjukkan rata-rata penderita filariasis berusia 45 tahun dengan rentang usia 10-80 tahun yang tidur tidak menggunakan kelambu dan tidak menggunakan kassa kelambu.
11 Hal yang perlu dicermati yaitu
mengenai tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku pada responden antara yang memiliki riwayat filarisis dengan yang tidak. Hasil analisis data menunjukkan tingkat pengetahuan responden mengenai filariasis (meliputi tanda penyakit, vektor, cara penularan, pencarian pengobatan, dan cara pencegahan) pada responden yang memiliki riwayat filariasis tergolong pada kategori cukup, demikian halnya pada responden yang tidak memiliki riwayat filariasis juga mayoritas tergolong cukup. Sedangkan dalam bersikap dan berperilaku,
- –kendala yang dihadapi antara lain belum dapat mendeteksi adanya microfilaria, belum ada referensi kuesioner investigasi untuk kaki gajah (filariasis), serta tenaga analis sangat terbatas dari 39 puskesmas, hanya 25% yang benar-benar analis, banyak yang bekerja rangkap dari perawat dan bidan. Oleh karenanya, beliau mengusulkan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut perlunya peningkatan pengetahuan tentang diagnosis filariasis untuk deteksi dini serta peningkatan pelatihan petugas mikroskopisnya.
11 Sehingga meski sikap tergolong
tidak mendukung, namun ternyata responden yang tidak pernah filariasis tergolong baik dalam perilaku sehari-hari menghadapi filariasis. Kondisi ini terkait dengan adanya fasilitas yang dimiliki dan lingkungan yang sesuai dalam pencegahan penularan filarisis. Demikian pula pada responden yang pernah mengalami filarisis sebelumnya, meski bersikap mendukung, namun perilaku sehari-hari ternyata rentan terhadap penularan filariasis. Sikap mendukung muncul ketika ada kesadaran penderita betapa berbahayanya filariasis, sedangkan perilaku kurang masih terkait dengan keberadaan fasilitas dan kondisi lingkungan di sekitar tempat tinggal responden tersebut yang kurang baik dalam pencegahan filariasis.
Agustiantiningsih (2013) di Kota Pekalongan menunjukkan tingkat pengetahuan dan sikap berhubungan signifikan dengan praktik pencegahan filariasis, selain itu faktor lainnya yang berhubungan antara lain tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, persepsi, serta dukungan kepala keluarga.
mencegah filariasis sangat berhubungan dengan tingkat pengetahuan dan sikap yang dimiliknya. Sebagaimana hasil penelitian Nazeh et.al (2014) di daerah Peninsular Malaysia menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen responden menyadari adanya penyakit filariasis limfatik beserta gejala umumnya dan sekitar 77 persen responden menunjukkan bahwa filariasis ditularkan oleh nyamuk, namun dari jumlah tersebut hanya 12 persen yang berpartisipasi serta menerima pengobatan.
hasil penelitian Shona et.al (2007) bahwa dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bagaimana masyarakat menggabungkan sebab-akibat penyakit filarisis limfatik ke dalam sistem pengetahuan lokal mereka, sehingga pengetahuan mengenai peran nyamuk dalam mentransmisikan agen parasit filariasis belum baik dipahami di banyak komunitas daerah endemik, bahkan beberapa komunitas menganggap penularan filariasis bukan berasal dari nyamuk, dan dengan demikian tidak mengherankan jika hanya sedikit masyarakat yang memiliki kesadaran di daerah-daerah tersebut akan pentingnya meminimalkan kontak nyamuk untuk mencegah infeksi filaria.
15 Keberhasilan eliminasi filariasis juga
tergantung pada kemampuan, pemahaman, dan strategi petugas kesehatan yang menanganinya. Ketersediaan tenaga kesehatan khususnya analis kesehatan yang dapat mendeteksi filaria sejak dini mutlak diperlukan untuk mencegah keparahan akibat filariasis. Selain itu, dalam pencegahan filariasis, kendala pengobatan massal merupakan hal yang mengkhawatirkan petugas kesehatan. Karena adanya efek samping pengobatan seperti timbulnya demam, mual, muntah, pusing, sakit sendi serta badan, sebagai akibat dari bekerjanya obat dalam membunuh parasit. Hal ini harus disosialisasikan dengan jelas pada masyarakat terlebih dahulu. Sakit yang ditimbulkan akibat pemberian obat filaria dapat diatasi dengan pemberian obat balas oleh petugas medis atau paramedis yang telah disiapkan di lapangan untuk mengawasi jalannya pengobatan selama 3 hari dan menghindari penggunaan istilah efek samping pengobatan.
11 Hasil penelitian
13 Kesadaran masyarakat untuk
12 Identifikasi
strategi pengobatan filariasis dan pencegahan yang tepat dan berkelanjutan membutuhkan pemahaman yang luas seperti penyebab, konsekuensi dan cara pencegahan, termasuk dari persepsi penyakit lokal.
15 Hasil SDJ yang menunjukkan negatif
serta tingkat pengetahuan yang cukup baik pada responden baik pada responden dengan riwayat filariasis maupun tidak, dapat digambarkan bahwa penanganan filarisis di Desa Sokaraja ini sudah cukup baik. Meski demikian, adanya warga yang telah menderita filariasis kronis menunjukkan belum optimalnya diagnosis
14 Kondisi ini berkaitan dengan
awal filariasis untuk pencegahan sebelum kronis. Hal ini disebabkan masih terbatasnya SDM tenaga analis yang dapat mendeteksi filaria, sebagaimana hasil wawancara dengan responden petugas dari Dinas Kesehatan Banyumas. Ketersediaan SDM yang berkompeten sangat mendukung keberhasilan program eliminasi serta pencegahan filariasis yang lebih parah. Untuk mendukung ketersediaan SDM yang kompeten tersebut dapat pula dilakukan kerjasama lintas sektor dalam penanganan filariasis. Hasil penelitian Supali (2010) di Kabupaten Alor Provinsi NTT mengenai keberhasilan penanganan filariasis, dimana sebelum dilakukan intervensi, Kabupaten Alor merupakan daerah endemis filariasis dengan prevalensi infeksi filariasis (mf rate) yang bervariasi dari <1%-19%. Namun setelah dilakukan intervensi untuk mengetahui tingkat endemisitas dengan menjalin kerjasama lintas sektor yang kemudian dilanjutkan ke kegiatan intervensi berupa program eliminasi filariasis yang dicanangkan oleh WHO yang menggunakan obat kombinasi DEC 6mg/kg BB dan albendazol 400 mg pada semua orang berusia lebih dari 2 tahun selama 6 tahun. Dalam penelitian ini kerjasama dilakukan antara Subdit Filariasis, P2M PL Depkes RI, Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Alor, Pemerintah Daerah Kabupaten Alor, GTZ Siskes, dan Departemen Parasitologi, FKUI. Setelah dilakukan evaluasi pada desa dengan prevalensi tertinggi, menunjukkan hasil bahwa prevalensi infeksi sudah menurun dari 27% menjadi kurang dari 1% melalui pemeriksaan darah filtrasi.
peningkatan tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku pada masyarakat dalam pencegahan filariasis, dengan adanya persepsi penyakit filariasis yang bervariasi secara geografis (pengetahuan lokal), maka diperlukan studi mendalam tentang aspek- aspek sosial, budaya dan ekonomi dari penyakit filariasis yang lebih konteks- spesifik. Sehingga keterlibatan masyarakat dapat diperluas, tidak hanya sebatas konsultasi sepintas di awal keterlibatan (masa sosialisasi), namun juga dibangun kesadaran komunitas yang mendukung serta mengarahkan perubahan berkelanjutan yang mendukung program eliminasi filariasis.
15 KESIMPULAN
Pada penularan filarisis di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas, hasil Survei Darah Jari (SDJ) yang dilakukan di Desa Sokaraja Kulon terhadap 500 sampel sediaan darah jari menunjukkan hasil yang negatif.
Namun berdasarkan hasil wawancara pada 67 responden dari 500 orang peserta SDJ di Desa Sokaraja Kulon diketahui ada satu orang responden yang menderita filarisis kronis. Tingkat pengetahuan mengenai filariasis (meliputi tanda penyakit, vektor, cara penularan, pencarian pengobatan, dan cara pencegahan) pada responden, baik yang memiliki riwayat filariasis maupun yang tidak tergolong kategori cukup.
Responden pernah filariasis bersikap mendukung, namun perilakunya kurang. Sementara itu, responden tidak pernah filariasis bersikap tidak mendukung, namun perilakunya baik.
SARAN
Untuk mendukung keberhasilan deteksi awal pencegahan filariasis perlu dilakukan peningkatan SDM terkait kemampuan mikroskopis filaria. Selain itu, diperlukan kegiatan peningkatan pengetahuan pada responden mengenai filariasis agar tergolong kategori baik. Hal ini untuk menunjang keberhasilan program eliminasi filariasis khususnya di Kabupaten Banyumas
14 Terkait dengan keberhasilan
UCAPAN TERIMA KASIH
Perkenankanlah kami menyampaikan penghargaan yang tinggi serta terima kasih yang tulus atas semua izin, kerja sama dan bantuan dari responden di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Puskesmas Sokaraja I, rekan peneliti dan teknisi, serta semua pihak yang telah berpartisipasi dalam mensukseskan penelitian ini. Secara khusus, perkenankan ucapan terima kasih kami kepada Bapak Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University; 1987.
8. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Materi evaluasi kegiatan program P2 demam berdarah dengue Kabupaten Banyumas Tahun 2012 [PPT].
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI yang telah memberi kepercayaan kepada kami dalam melaksanakan penelitian ini dan Kepala B2P2VRP Salatiga yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk menulis artikel ini.
9. Lwanga SKSL. Sample size determination in health studies (a practical manual). Geneva: World Health Organization; 2000.
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 1985.
11. Riftiana N. Hubungan sosiodemografi dengan kejadian filariasis di Kabupaten Pekalongan. Kes Mas UAD. 2010;4(1):59 –65.
16. Supali T. Keberhasilan program eliminasi filariasis di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Bul Jendela Epidemiol. 2010;1(Juli):20 –3.
15. Wynda S, Melroseb WD, Durrheimb DN, Carronb JMG. Understanding the community impact of lymphatic filariasis: a review of the sociocultural literature. Bull World Health Organ [Internet]. 2007;8(6):421
A, Abdulelah H, Al-Adhroey MM and MK. Lymphatic filariasis in Peninsular Malaysia: a cross-sectional survey of the knowledge, attitudes, and practices of residents. Parasit Vectors [Internet]. 2014; Tersedia di: https://parasitesandvectors.biomedcent ral.com/articles/10.1186/s13071-014- 0545-z
14. Nazeh MA, Zurainee MN, Abdulhamid
D. Praktik pencegahan filariasis. J Kesehat Masy. 2013;8(2):25-31
13. Agustiantiningsih
12. Jontari H, Hari K, Supargiyono, Hamim, S. Faktor-faktor risiko kejadian penyakit lymphatic filariasis di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010 Hutaga. OSIR (Outbreak, Surveillance, Investig Reports). 2014;7(1):9 –15.
10. Riwidikdo H. Statistik untuk penelitian kesehatan dengan aplikasi program R dan SPSS. Yogyakarta: Pustaka Rihama; 2010.
3. Kementerian Kesehatan RI. Undang- undang PMK No.94 Tahun 2014 [Internet]. 2014. Tersedia di: http://www.depkes.go.id/resources/dow nload/info-terkini/PMK No. 94 ttg Penanggulangan Filariasis.pdf.
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penentuan daerah endemis penyakit kaki gajah (Filariasis). Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2002.
2. Joesoef A. Petunjuk pelaksanaan pemberantasan filariasis di Indonesia.
Determination of filariae in mosquitoes, in practical entomology malaria and filariasis (Eds. Sucharit, S., S. Supavej). The Museum and Reference Centre,
7. Leemingsawat ST, Deesin SV.
6. Departemen Kesehatan RI. Pedoman program eliminasi filariasis di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2005.
5. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Buku saku kesehatan tahun 2013 [Internet]. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah; Tersedia di: http://www.dinkesjatengprov.go.id/v201 0/dokumen/2014/SDK/Mibangkes/BUK U_SAKU_TH2013.pdf.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah; 2012. Tersedia di: http://www.depkes.go.id/resources/dow nload/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_ 2012/13_Profil_Kes.Prov.JawaTengah_ 2012.pdf.
4. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Buku profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 [Internet].
- –500. Tersedia di: http://www.who.int/bulletin/ volumes/85/6/06-031047/en/